Anda di halaman 1dari 6

Fakhira Athaya Alfirahma - 2106653691 - Paralel

JAWABAN UAS PEMILU

1. Setelah mengikuti perkuliahan Pemilihan Umum, tuliskan 5 (lima) proposal perubahan


pengaturan pemilihan umum di Indonesia yang menurut Saudara paling prioritas untuk
dilakukan dalam rangka mewujudkan pengaturan pemilu yang demokratis dan
konstitusional. Uraikan alasan mengapa lima hal tersebut yang Saudara pilih. Jawaban
maksimal 2 halaman.

Menurut saya perubahan pengaturan pemilihan umum di Indonesia yang paling prioritas adalah:

1. Kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada


Negara Indonesia telah melewati berbagai penyesuaian dalam menyelesaikan sengketa pemilu
yang sebelumnya pernah terjadi. Akan tetapi, penyesuaian ini pada faktanya malah menimbulkan
ketidakpastian hukum, mengingat bahwa masing-masing lembaga penyelenggara Pemilu
melakukan penyelesaian sengketanya menurut kewenangannya sendiri. Apalagi hingga pada
tahun ini pengaturan penyelenggaraan pemilu masih terpisah menjadi 2, yaitu UU Pemilu dan
UU Pilkada, terlebih lagi isi dari kedua peraturan tersebut tidak seluruhnya berkesinambungan,
terdapat beberapa pasal yang justru tumpang tindih dan bahkan kontradiktif. Hal tersebut
menyebabkan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum yang jika dibiarkan akan menjadi pupuk
masalah. Sehingga, perlu dilakukan kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk menghindari
resiko kebingungan dan kerancuan dalam menggunakan dasar hukum, hal ini perlu dilakukan
sesegera mungkin karena kurang dari 3 bulan lagi Indonesia akan menjalankan Pemilu tahun
2024. Diharapkan dengan adanya kodifikasi hukum, penyelenggaraan pemilu selanjutnya dapat
lebih efektif dan efisien serta dapat mewujudkan pemilu yang demokratis dan konstitusional

2. Penegakan Hukum Pemilu


Menjelang Pemilihan Umum tahun 2024 tentunya para calon berbondong-bondong untuk
mendapatkan suara, masa-masa inilah yang berpotensi terjadinya tindakan kecurangan dalam
pelaksanaan pemilu, contohnya yaitu vote buying, intimidasi pemilih, pemalsuan suara,
penyebaran informasi palsu dan lain sebagainya yang dapat memasuki ranah pidana.
Tindakan-tindakan kecurangan tersebut harus segera di habis tuntaskan sebelum hal-hal tersebut
diwajarkan di Indonesia. Penegakan hukum ini tentunya membutuhkan peran dari aparat penegak
hukum dan ketegasan dari penyelenggara pemilu yaitu KPU RI dan Bawaslu. Diharapkan
dengan menegaskan dan memberikan sanksi yang konkrit kepada pelanggar, dapat menciptakan
penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan konstitusional.

3. Transparansi dan Akuntabilitas


Kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu merupakan salah satu faktor terciptanya
penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Dalam rangka mencapai kepercayaan tersebut dapat
dilakukan dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Transparansi dapat dilakukan
dengan keterbukaan dalam pemungutan dan perhitungan suara. Hal ini dapat diperbarui dengan
melibatkan teknologi canggih agar memudahkan mobilitas, penyaluran informasi, dan
penanganan cepat terhadap keluhan pelanggan yang tentunya tetap memperhatikan aspek
keamanan dan integritas sistem. Akuntabilitas dalam hal ini dapat berupa proses pencarian
kandidat harus diberikan catatan kritis. Harapannya dengan meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas, penyelenggaraan pemilu selanjutnya dapat terus lebih baik.
4. Sistem Pemilihan Umum
Setelah Indonesia beberapa kali menyelenggarakan Pemilu, hingga saat ini masih terdapat
fenomena tarik-menarik antara pemilihan sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup.
Kedua sistem tersebut sudah pernah dicoba dalam beberapa pemilihan umum sebelumnya dan
tentunya setiap sistem pemilihan akan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Namun, penggunaan kedua sistem tersebut membatasi warga negara yang harus memilih antara
pemilihan partai politik dan pemilihan calonnya langsung. Hal tersebut dapat diselesaikan
dengan sistem campuran seperti MMP (Mixed-Member Proportional). Sistem ini
menggabungkan elemen dari sistem pemilu proporsional dan sistem pemilu majoritarian,
nantinya akan terdapat 2 jenis suara yaitu untuk memilih kandidat dalam distrik pemilihan
(majoritarian) dan untuk memilih partai politik pada tingkat nasional (proporsional). Sehingga
warga negara akan leluasa dan memiliki pendapat yang beragam dalam memilih pilihannya dan
partai kecil maupun masyarakat minoritas memiliki kesempatan yang sama untuk bergabung ke
dalam parlemen. Diharapkan dengan sistem ini dapat mewujudkan Pemilu Indonesia yang
demokratis. Sistem ini telah berhasil digunakan di beberapa negara diantaranya Jerman,
Meksiko, New Zealand, dan lain-lain.

5. Keterwakilan Perempuan
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, tentunya tidak luput dari
struktur penyelenggara pemilu yang inklusif dan adaptif dengan mempertimbangkan kesetaraan
gender. Peningkatan jumlah perempuan dalam penyelenggara pemilu ataupun peserta tentunya
akan memperluas dan memberikan sudut pandang baru yang dapat mewakili pemikiran dan hak
perempuan-perempuan di negeri ini. Saat ini telah diatur mengenai batas minimum keterwakilan
perempuan dalam penyelenggaraan pemilu baik sebagai peserta maupun penyelenggara pemilu
yaitu sejumlah 30% namun tidak di setiap daerah batas minimum tersebut tercapai, sehingga
untuk memenuhi batas minimum tersebut diperlukan komitmen kuat dan langkah nyata dari KPU
RI dan Bawaslu RI terutama pada daerah-daerah yang belum memiliki pemahaman mengenai
perspektif gender yang kuat.
2. Menurut Saudara apakah sistem pemilu MMP feasible (layak/memungkinkan) untuk
diberlakukan di Pemilu Indonesia sebagai jalan tengah dalam tarik menarik pilihan sistem
proporsional terbuka dan tertutup yang selama ini terjadi? Jelaskan jawaban Saudara
tidak lebih dari 1 halaman.

Sistem Mixed Member Proportional (MMP) merupakan sistem campuran atau gabungan,
terdapat sebagian kursi parlemen dipilih berdasarkan sistem distrik, ada sebagian kursi dipilih
berdasarkan sistem proporsional, representasi bergantung pada apa yang terjadi di dalam
kursi-kursi daerah pemilihan pluralitas-mayoritas dan mengimbangi setiap disproporsionalitas
yang muncul. Saat tidak ada kursi yang di dapat melalui sistem distrik (majoritarian), maka
proses perhitungannya akan menggunakan sistem proporsional. Sistem ini bertujuan untuk
mencapai keseimbangan antara perwakilan proporsional dan kestabilan pemerintahan. Kelebihan
dari sistem ini adalah, hasil suara dapat dilihat dari 2 macam dimensi yaitu dimensi interpartai
dan dimensi intrapartai serta sistem ini menciptakan parlemen yang menunjukkan keberagaman
opini atau pendapat pemilih sembari mempertahankan kemampuan untuk menciptakan
pemerintahan yang stabil. Kemudian sistem ini juga memberikan kesempatan bagi partai kecil
untuk masuk ke dalam parlemen dan memberikan peluang secara merata pada semua golongan
masyarakat termasuk masyarakat minoritas sekalipun untuk mendudukkan wakilnya di parlemen.
Kelemahan dari sistem ini yaitu akan terjadi penggolongan wakil rakyat di lembaga perwakilan,
sebagian wakil rakyat merupakan wakil distrik dan sebagian lain wakil partai politik.

Menurut saya, sistem Mixed Member Proportional (MMP) ini dapat diadopsi dan memiliki
kemungkinan untuk diberlakukan di Indonesia terdapat begitu banyak persoalan yang timbul
selama ini saat menerapkan sistem proporsional terbuka. Setelah melakukan beberapa kali
pemilihan umum, ditemukan bahwa begitu masifnya kecurangan-kecurangan pada saat
penyelenggaraan pemilu seperti money politics, vote buying, dan lain sebagainya. Sistem MMP
ini dapat mengakomodasi dan menjadi solusi dalam fenomena kebimbangan pilihan antara partai
politik dan keinginan masyarakat untuk menentukan calonnya langsung. Karena terdapat
kemungkinan di satu sisi partai politik ingin memberikan kader yang mereka inginkan untuk
duduk di parlemen, namun mereka juga dihadapkan pada masyarakat yang ingin memilih
langsung calon yang mereka inginkan. Jika nantinya sistem MMP ini diterapkan di Indonesia,
yang dapat dipertimbangkan adalah berapa porsi kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan.
Hal ini justru menarik karena jika tetap menggunakan sistem multi member district dengan
jumlah kursi antara 3-8 atau 10, maka keterwakilan dan kedekatan anggota yang terpilih dengan
masyarakat tidak begitu intim. Jika hanya 1 distrik itu akan jelas dan hubungannya akan lebih
intim, masyarakat dapat langsung memberikan aspirasi, saran, dan kritik pada satu calon
tersebut, untuk mengatasi kerancuan-kerancuan tersebut dapat diselesaikan dengan mekanisme
single member district, sehingga tanggung jawab dari seorang parlemen dengan pemilihnya
terasa besar karena sangat menentukan. Selain itu, dalam sistem ini partai akan lebih
mempertimbangkan pemilihan kandidat yang dicalonkan disesuaikan berdasarkan daerah
pemilihannya. Oleh karena itu, sistem pemilu MMP ini dapat jalan tengah dalam tarik menarik
pilihan sistem proporsional terbuka dan tertutup, namun harus dipertimbangkan terlebih dahulu
mengenai porsi kursinya, pembagian persentase untuk list dan electoral, dan ketentuan mengenai
calon yang sudah berada di list apakah boleh berada di electoral juga atau tidak.
3. Berdasarkan paper (tugas) yang saudara tulis bersama kelompok, jelaskan persoalan
inti yang dihadapi pemilu Indonesia berdasarkan tema pembahasan yang telah dilakukan.
Dalam pandangan Saudara, apa tawaran solusi yang paling tepat atas persoalan tersebut?
Jawaban maksimal 1 halaman.

Persoalan inti yang dihadapi pemilu Indonesia berdasarkan tugas kelompok saya yaitu adanya
lebih dari 1 peraturan yang mengatur mengenai pemilihan umum, dan di dalam
peraturan-peraturan yang sudah ada tersebut terdapat perbedaan. Awalnya, peraturan mengenai
pemilihan umum sudah terdapat di Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI
1945), namun peraturan tersebut tidak dijelaskan secara lebih mendalam mengenai mekanisme,
teknis, dan lain sebagainya sehingga memerlukan suatu peraturan lebih lanjut yaitu
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur
penyelenggara pemilu, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota legislatif. Kedua, UU Nomor
1 Tahun 2015 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2014 yang isinya berkenaan dengan pemilihan kepala daerah, sehingga dalam
penyelenggaraan pemilu di Indonesia dikenal adanya dua rezim pemilu. Pertama, pemilihan
umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua,
pemilihan kepala daerah untuk memilih Gubernur dan Bupati atau Walikota. Dengan adanya dua
rezim pemilu di Indonesia ini, menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan
pemilu, ketidakpastian inilah yang mengakibatkan sulit tercapainya penyelenggaraan pemilu
yang demokratis. Adanya perbedaan ketentuan antara UU Pemilu dengan UU Pilkada, materi
substansi yang sering berubah-ubah (UU Pilkada setidaknya telah diubah tiga kali dan UU
Pemilu diubah satu kali), serta seringnya pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada pada Mahkamah
Konstitusi (MK) tidak hanya memberikan ketidakpastian hukum bagi peserta pemilu dalam tata
kelola pemilu saja namun juga bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu aktor
pemilu dalam mengeluarkan peraturan.1

Menurut saya, solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidakpastian dan inkonsistensi
pengaturan mengenai pemilu adalah dengan melakukan kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Pada intinya kodifikasi merupakan pengumpulan beberapa sistem hukum dengan
menggabungkannya atau menyatukannya menjadi satu Undang-Undang. Melalui penyatuan ini,
sistem penyelenggaraan pemilu menjadi lebih efektif dan efisien terkait waktu dan dana yang
dibutuhkan oleh para aktor pemilu.2 Kodifikasi hukum ini menjadi hal yang penting demi
menghadirkan kepastian hukum dan konsistensi terhadap sistem dan aktor pemilu di Indonesia,
selain itu dengan adanya kodifikasi ini akan menghapuskan tumpang tindih dan kontradiktif
dalam peraturan pemilu dan pilkada serta kodifikasi ini akan menyempurnakan sistem dan
mekanisme pemilu selanjutnya.3

1
Putri Diah Lestari dan Hananto Widodo, “Disharmoni Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Pilkada di
Indonesia,” Novum: Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 1 (2023), hlm. 195.
2
Sri Karyati, “Gagasan Kodifikasi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rezim Pemilihan
Umum,” Jurnal Etika & Pemilu, Vol. 2, No. 2, hlm. 12.
3
Jaa Pradana, “Kodifikasi UU Jadi Solusi Tumpang Tindih Kewenangan Pilkada dan Pemilu,”
bawaslu.go.id, 6 Desember 2019, tersedia pada
https://www.bawaslu.go.id/id/berita/kodifikasi-uu-jadi-solusi-tumpang-tindih-kewenangan-pilkada-dan-pemilu,
diakses pada tanggal 15 Desember 2023.
4. Mengapa kepastian hukum penting dalam penyelenggaraan pemilu? Apa konsekuensi
dari bermasalahnya kepastian hukum dalam suatu penyelenggaraan pemilu? Jawaban
maksimal 1 halaman.

Kepastian hukum merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan pemilu karena dalam
pelaksanaan pemilu terdapat empat komponen penting, yaitu sistem pemilu, manajemen pemilu,
aktor pemilu, dan penegakan hukum pemilu. Aktor pemilu menyangkut seluruh stakeholder
dalam pelaksanaan pemilu, dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
penyelenggara, warga masyarakat sebagai pemilih, dan para calon sebagai peserta pemilu.
Penegakan hukum pemilu termasuk di dalamnya mengenai penetapan dan perselisihan hasil
pemilu.4 Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu sama lain, sehingga jika terdapat
ketidakpastian hukum tentunya akan mengakibatkan gesekan antara satu komponen dengan
komponen lainnya. Di dalam suatu komponen itu sendiri juga beresiko terjadi gesekan, misalnya
dalam aktor pemilu jika terdapat ketidakpastian hukum dapat mengakibatkan perseteruan antara
KPU, warga masyarakat, dan juga calon. Selain itu, ketidakpastian hukum dapat meningkatkan
peluang terjadinya kecurangan dalam pemilu, contohnya pembelian suara, pemalsuan
pendaftaran/suara, manipulasi hasil, dan intimidasi pemilih, gangguan, penyebaran informasi
palsu. Dengan adanya kepastian hukum ini diharapkan dapat menghindari adanya resiko gesekan
antara satu komponen dengan komponen lainnya, dapat memberikan keadilan dan kesetaraan
bagi semua aktor pemilu atau pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, dapat
melindungi hak pilih pemilih, dapat menjaga ketertiban dan stabilitas dalam proses politik, dapat
memberikan kepastian prosedural pemilu, dan dapat menjalankan penegakan hukum yang
efektif.5 Fritz, Wakil Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera,
mengatakan dengan adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu ini dapat menjadi
dorongan utama untuk peneguhan demokrasi dan tempat yang tepat untuk menghadirkan
keterwakilan dan kepemimpinan rakyat yang berintegritas.

Menurut Prof. Topo Santoso, adanya kepastian hukum ini menjadi salah satu faktor penting
dalam mencapai suatu penyelenggaraan pemilu yang demokratis, sehingga jika ingin
mewujudkan pemilu yang demokratis, syarat awalnya adalah mewujudkan adanya kepastian
hukum terlebih dahulu.6 Bentuk nyata dari kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu yang
berintegritas dan demokratis adalah tidak ada kekosongan hukum dengan memuat regulasi yang
jelas dan mengatur semua hal mengenai tahapan pemilu, mengandung pasal-pasal yang saling
berkesinambungan, konsisten, tidak multitafsir, dan tidak bertentangan atau kontradiktif dengan
pasal lain, tidak tumpang tindih, pasal-pasal yang tercantum dipahami secara tunggal oleh semua
pemangku kepentingan, serta menciptakan sanksi bagi pelanggar dan melakukan penegakan
aturan secara tegas.

4
Mada Sukmajati dan Aditya Perdana, “Tata Kelola Pemilu di Indonesia,” dalam Aditya Perdana, ed., Tata
Kelola Pemilu di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, 2019), hlm. 4.
5
D.Dj. Kliwantoro, “Kepastian hukum dalam pemilu beri rasa keadilan,” antaranews.com, 15 Agustus
2023, tersedia pada https://www.antaranews.com/berita/3682872/kepastian-hukum-dalam-pemilu-beri-rasa-keadilan,
diakses pada tanggal 15 Desember 2023.
6
Irwan, “Topo Santoso: Kepastian Hukum, Wujudkan Pemilu Demokratis,” bawaslu.go.id, 12 Desember
2017, tersedia pada
https://www.bawaslu.go.id/id/berita/topo-santoso-kepastian-hukum-wujudkan-pemilu-demokratis, diakses pada
tanggal 15 Desember 2023.
5. Jelaskan pandangan Saudara terkait Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dan Putusan
MK No.141/PUU-XXI/2023. Jawaban maksimal 1 halaman.

Menurut saya, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 di mana MK mengabulkan sebagian


permohonan yang menguji Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu) menunjukkan adanya inkonsistensi dan ketidakpastian hukum di
Mahkamah Konstitusi. Hal ini terjadi dikarenakan sebelumnya sudah terdapat beberapa
permohonan perkara yang serupa antara lain No.29/PUU-XXI/2023, No.51/PUU-XXI/2023, dan
No.55/PUU-XXI/2023, namun dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023 ini menghasilkan putusan
yang berbeda.7 Ketika perkara No. 90/PUU-XXI/2023 dikabulkan sebagian, perkara
29/PUU-XXI/2023, No.51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 justru ditolak dengan alasan
permohonan tidak memiliki alasan hukum. Perbedaan sikap dan hasil putusan pada 4 perkara
tersebut membuktikan bahwa terdapat inkonsistensi, dan konstruksi berhukum MK yang
kontradiktif dalam menghadapi perkara yang sama diwaktu yang bersamaan. Terdapat beberapa
kejanggalan dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, salah satunya adalah pada bagian posita
nomor 16-21 secara tidak langsung menunjukkan bahwa tidak ada kerugian langsung yang
dialami oleh Pemohon dengan adanya Pasal 169 huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dan sebetulnya argumentasi tersebut lebih tepat diajukan
oleh partai politik selaku pihak yang berwenang mencalonkan Capres dan Cawapres dalam UU
Pemilu, serta argumentasi yang dibawa oleh pemohon atas dasar kepentingan dirinya sendiri
seharusnya tetap mempertimbangkan kepentingan dan masyarakat luas karena putusan tersebut
akan tetap berlaku bagi umum.

Sama halnya dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, Putusan MK No.141/PUU-XXI/2023


di mana MK menolak permohonan uji materi nomor 141/PUU-XXI/2023 mengenai perkara
gugatan ulang terhadap syarat usia capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah
menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur, juga memperlihatkan dengan jelas adanya
ketidakpastian hukum, hakim MK dalam hal ini mengenyampingkan asas-asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7), UU No.48 Tahun
2009 demi memenuhi hasrat politik kekuasaan. Hakim MK juga menyatakan bahwa ketentuan
pada pasal tersebut tidak berlaku, pernyataan tersebut merupakan dalil yang kontraproduktif
yang melampaui batas wewenang Hakim. Pertimbangan yang digunakan oleh Hakim Konstitusi
dalam hal ini adalah Putusan 90/PUU-XXI/2023 tersebut telah berlaku secara hukum (de jure)
dan karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat berdasarkan prinsip res
judicata pro veritate habitur yang melarang memberi komentar bahkan menilai substansi
putusan. Serta putusan Mahkamah Konstitusi berasaskan erga omnes yaitu putusan berlaku bagi
semua orang. Dari kedua putusan tersebut, dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak
konsisten dalam memutuskan suatu perkara, terlihat adanya keberpihakan dalam memutus
perkara sehingga tidak mencerminkan asas keadilan dan kesetaraan dalam pemilu, serta
kontradiktif dengan pasal lain, yang pada intinya ialah ketidakpastian hukum dan mengakibatkan
hilangnya kepercayaan publik pada konstitusi.

7
Romadhona, “Pakar Umsida Tentang Putusan MK: Kedudukan Penggugat Hingga Angin Segar Pemimpin
Muda,” umsida.ac.id, 19 Oktober 2023, tersedia pada
https://umsida.ac.id/kata-pakar-umsida-soal-putusan-mk-no-90-tahun-2023/, diakses pada tanggal 15 Desember
2023.

Anda mungkin juga menyukai