Anda di halaman 1dari 14

Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014

Oleh
Husni Kamil Manik
(Ketua KPU RI Periode 2012-2017)

I. Pemilihan Umum

Pengisian lembaga perwakilan dalam praktik ketatanegaraan demokratis lazimnya


dilakukan melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Setelah amandemen Undang Undang Dasar 1945,
Pemilu tidak sekadar berfungsi untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD
dan DPRD, presiden dan Wakil presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih
secara langsung.
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2012). Pelaksanaan
Pemilu dilakukan secara berkala. Untuk Indonesia dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Ibnu Tricahyo dalam bukunya yang berjudul Reformasi Pemilu, mendefinisikan
Pemilihan Umum sebagai instrumen dalam mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud
membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
rakyat (Tricahyo, 2009:6).
Definisi di atas menjelaskan bahwa Pemilu merupakan instrumen untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat, membentuk pemerintahan yang absah serta sebagai sarana mengartikulasi
aspirasi dan kepentingan rakyat. Negara Indonesia mengikutsertakan rakyatnya dalam rangka
penyelenggaraan negara. Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam
parlemen dengan sistem perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung
(indirect democracy). Wakil-wakil rakyat ditentukan sendiri oleh rakyat melalui Pemilu (general
election) secara berkala agar dapat memperjuangkan aspirasi rakyat.
Soedarsono mengemukakan lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul Mahkamah
Konstitusi Pengawal Demokrasi, bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum adalah Setiap
warga Negara yang telah memenuhi syarat sesuai ketentuan undang undang memiliki hak untuk
memilih dan dipilih dalam Pemilu.
Penjelasan di atas menyebutkan bahwa Pemilu merupakan syarat minimal adanya
demokrasi yang bertujuan memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah, presiden dan kepala daerah
untuk membentuk pemerintahan demokratis. Anggota legislatif maupun Presiden dan Kepala
Daerah karena telah dipilih secara langsung, maka semuanya merupakan wakil-wakil rakyat yang
menjalankan fungsi kekuasaan masing-masing.
Kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan yang begitu penting dan
agar wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat tersebut
harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui Pemilu.
Menurut Jimly Asshidiqqie, pentingnya penyelenggaraan Pemilihan Umum secara berkala
tersebut dikarenakan beberapa sebab di antaranya sebagai berikut: (1) pendapat atau aspirasi
rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu; (2) kondisi kehidupan masyarakat yang dapat
juga berubah; (3) pertambahan penduduk dan rakyat dewasa yang dapat menggunakan hak
pilihnya; (4) guna menjamin regulasi kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif.
(Asshidiqqie, 2006:169-171).

II. Sistem Pemilu

Dalam sistem Pemilu paling tidak terdapat 3 (tiga) elemen. Pertama, besaran distrik yakni
wilayah geografis suatu negara yang batas-batasnya dihasilkan melalui suatu pembagian untuk
tujuan pemilihan umum. Dengan demikian luas sebuah distrik dapat sama besar dengan wilayah
administrasi pemerintahan, dapat pula berbeda. Oleh karena itu besar distrik adalah banyaknya
anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam suatu distrik pemilihan. Besar distrik bukan
berarti jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut.
Kedua, struktur kertas suara, yaitu cara penyajian pilihan di atas kertas suara. Cara
penyajian pilihan ini menentukan pemilih dalam memberikan suara. Jenis pilihan dapat
dibedakan menjadi 2(dua), yaitu kategorikal, dimana pemilih hanya memilih satu partai atau
calon dan ordinal, dimana pemilih mempunyai kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi
atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah gabungan dari
keduanya.
Ketiga, formula elektoral, adalah bagian dari sistem pemilihan umum yang berhubungan
dengan penerjemahan suara menjadi kursi. Termasuk di dalamnya rumus yang digunakan untuk
menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi, serta ambang batas pemilihan (electoral
threshold).

Pemilihan umum sebagai salah satu dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis,
tentunya dengan sendirinya akan membawa konsekuensi adanya berbagai sistem pemilihan
umum yang berbeda satu sama lain berdasarkan sudut pandang terhadap rakyat, sehingga
pemilihan umum dibedakan atas 2 (dua) macam :

(1). Sistem Pemilihan Mekanis

Sistem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu


yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dan memandang rakyat
pemilih sebagai suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara
dalam setiap pemilihan.
Menurut sistem pemilihan umum mekanis partai-partai yang mengorganisir pemilih dan
memimpin pemilih berdasarkan sistem be party, multy party, atau uny party, sehingga partai
politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem ini.
Sejalan dengan pemikiran itu Jean Blondel mengemukakan bermacam-macam sistem
pemilihan dengan berbagai variasinya, akan tetapi secara umum berkisar pada 2 prinsip pokok,
yakni :

(a) Single Member Constituency/Sistem Distrik

Dalam sistem ini, satu wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal atas
dasar pluralitas (suara terbanyak). Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik
karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat
dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik
memperoleh suara yang terbanyak menang. Sementara suara-suara yang ditujukan kepada calon-
calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, meski selisih
kekalahannya sangat kecil. Sistem ini sering digunakan di Negara yang memiliki sistem dwi-
partai seperti Inggris dan bekas jajahannya.

Ada beberapa kelebihan sistem distrik, yaitu :

1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik.
Hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Anggota legislatif berbasis distrik akan
lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukannya terhadap
partainya lebih bebas karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan
kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting.
2. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-
partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama.
Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat dibendung, sistem ini
mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa paksaan. Maurice Duverger berpendapat
bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika sistem ini telah memperkuat
berlangsungnya sistem dwi partai.
3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerja sama antara partai-partai mempermudah
terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan
Disamping kelebihan, sistem distrik juga memiliki kelemahan, yaitu :
1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas,
apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik
2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik,
kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah
suara yang tidak diperhitungkan sama sekali dan kalau ada beberapa partai yang mengadu
kekuatan, maka jumlah suara yang hilang sangat besar. Hal ini akan dianggap tidak adil
oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan
3. Muncul kemungkinan wakil terpilih cenderung lebih mementingkan kepentingan
distriknya dibandingkan kepentingan nasional

Beberapa varian sistem Pemilu yang lebih dekat ke sistem distrik :

1. Block Vote (BV)


Sistem ini menerapkan pluralitas suara, di mana satu distrik memiliki lebih dari satu
wakil. Pemilih yang memiliki banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi
di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya.
Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih.
2. Alternative Vote (AV)
Sistem ini sama dengan sistem Pemilu distrik sebab dari setiap distrik dipilih satu orang
wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melakukan ranking terhadap calon-calon yang ada
di surat suara (ballot). Misalnya rangking 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan
keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya. Karena itu, terdapat
kemungkinan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada,
daripada hanya memilih 1 saja seperti di sistem distrik.
3. Two Round Sistem (TRS)
Sistem ini berdasarkan pada pluralitas/mayoritas, di mana proses Pemilu tahap 2 akan
diadakan jika Pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan
sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama dengan sistem distrik/sistem
BV. Dalam TRS, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan
Pemilu, tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang
diperoleh pemenang tidak mayoritas.

(b). Multi Member Constituency (Proportional Representation/Sistem Perwakilan Berimbang)

Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara


pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Dalam sistem ini, satu
wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah
suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara
itu.
Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh oleh
sesuatu partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara
yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain. Untuk menggenapkan
jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan. Jika sistem distrik sering
digunakan di negara yang menganut sistem dwi-partai, maka sistem proposional banyak
digunakan di negara yang menganut sistem banyak partai.

Sistem Pemilu Proporsional terbagi 2 :

1. Proporsional Daftar

Dalam sistem ini, setiap partai memuat daftar calon bagi setiap daerah/distrik pemilihan.
Calon diurut berdasarkan nomor (1, 2, 3, dan seterusnya). Pemilih memilih partai, dan partai
menerima kursi secara proporsional dari total suara yang dihasilkan. Calon yang nantinya duduk
diambil dari yang ada di daftar tersebut. Jika kursi hanya mencukupi untuk 1 calon, maka calon
nomor urut 1 saja yang masuk ke parlemen.

2. Single Transforable Vote (STV)

STV menggunakan lebih dari satu wakil pada satu distrik. Pemilih merangking calon
menurut pilihannya di kertas suara seperti pada Alternate Vote. Dalam memilih, pemilih
dibebaskan untuk merangking ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini dipakai di Malta dan
Republik Irlandia.

Kekurangan dari Sistem Proporsional

1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini
tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat. Mereka
lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang
terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya dianggap
bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan oleh karena dianggap
bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada
kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
3. Banyaknya partai mempersulit terbentuknya pemerintah yang stabil. Karena itu
diperlukan koalisi dari dua partai atau lebih.

Disamping kekurangan, sistem ini juga memiliki kelebihan, yaitu :


1. Secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan. Karena, itu
menghilangkan ketidakadilan seperti sistem yang didasarkan pada mayoritas yang
membuang suara kalah.
2. Mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang satu ide
untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan, ideologi,
atau kepemimpinan dalam masyarakat.
3. Mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold)
4. Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen
5. Membuat partai-partai politik berkampanye di luar basis wilayahnya
6. Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan karena proporsional menuntun pada
kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonom
7. Memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi kekuasaan

1. Gabungan dari Kedua Sistem (Distrik dan Proporsional)

Gabungan dari sistem distrik dan proporsional sering disebut dengan sistem
campuran/mixed sistem. Sistem campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal
dari sistem distrik ataupun proporsional. Dalam sistem campuran, terdapat 2 sistem Pemilu yang
jalan beriringan, meski masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara diberikan oleh
pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah kedua sistem
tersebut. Satu menggunakan sistem distrik dan lainnya adalah proporsional daftar. Terdapat dua
bentuk sistem campuran, yaitu :

(a) Mixed Member Proportional (MMP)

Disebut MMP jika hasil dari dua sistem pemilihan dihubungkan, dengan alokasi kursi di
sisi sistem proporsional bergantung pada apa yang terjadi di sistem distrik. Kursi sistem
proporsional didistribusikan pada setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. MMP digunakan
di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela.

(b) Paralel

Jika dua perangkat sistem pemilihan tidak berhubungan dan dibedakan, dan satu sama lain
tidak saling bergantung. Komponen proporsional tidak mengkompensasikan sisa suara bagi
distrik yang menggunakan sistem distrik. Pada sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap
pemilih mungkin menerima hanya satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun
partai (Korea Selatan) atau surat suara terpisah, satu untuk kursi sistem distrik dan satunya untuk
kursi Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand)

(c) Single Non Transferable Vote ( SNVT )

Di dalam SNTV, setiap pemilih memiliki satu suara bagi tiap calon, tetapi (tidak seperti
Distrik) adalah lebih dari satu kursi yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan
total suara tertinggi mengisi posisi. SNTV digunakan untuk pemilihan badan legislatif di
Afghanistan, Yordania, Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk pemilihan DPD di Indonesia dan
Thailand, serta 176 dari 225 kursi di Taiwan yang menggunakan sistem Paralel

(d) Borda Count

Borda Count adalah sistem yang digunakan di Nauru (sebuah negara di Pasifik). Sistem
ini adalah sistem pemilihan preferensi, dimana pemilih merangking kandidat seperti pada
Altenative Vote. Ia dapat digunakan pada distrik dengan satu atau lebih wakil. Hanya satu yang
dipilih, tidak ada eliminasi. Rangking pertama diberi nilai 1, ranking kedua diberi nilai 1/2 ,
rangking ketiga diberi nilai 1/3 dan seterusnya. Kandidat dengan total nilai tertinggi
dideklarasikan sebagai pemenang.

III. Sistem Pemilu 2014

Sistem Pemilu yang digunakan pada Pemilu 2014 sesuai dengan pasal 5 ayat 1 Undang
Undang Nomor 8 Tahun 2012 bersifat proporsional terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara untuk memilih anggota DPD sesuai pasal 5 ayat
2 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 dengan sistem distrik berwakil banyak (Single Non-
Transferable Vote System).
Untuk melihat secara detail sistem Pemilu yang digunakan dapat dielaborasi dari empat
dimensi, yaitu (1) lingkup dan besaran daerah pemilihan, (2) metode pencalonan, (3) metode
pemberian suara, dan (4) formula pembagian dan/atau penentuan calon terpilih.

(1). Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan (district magnitude)

Yang dimaksud dengan daerah pemilihan adalah batas wilayah dan/atau jumlah penduduk
yang menjadi dasar penentuan jumlah suara untuk menentukan calon terpilih. Lingkup daerah
pemilihan dapat ditentukan berdasarkan : (a) wilayah administrasi pemerintahan (Nasional,
provinsi, atau kabupaten/kota), (b) jumlah penduduk, (c) kombinasi faktor wilayah dengan
jumlah penduduk.
Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan, yaitu
apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member constituency) ataukah lebih dari
satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-member constituencies).
Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPR menurut UU No. 8 Tahun 2012
dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi,
kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Kedua, jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak
560 orang. Ketiga, jumlah kursi DPR untuk setiap daerah pemilihan ditetapkan paling sedikit 3
kursi dan paling banyak 10 kursi. Ke empat : penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi untuk
DPR ditetapkan oleh DPR dan menjadi lampiran Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Sementara lingkup dan besaran daerah pemilihan untuk DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota mengalami perubahan yang signifikan dibanding 2009. Pertama : daerah
pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota, gabungan kabupaten/kota atau bagian
kabupaten/kota. Kedua : alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan paling sedikit 3 kursi dan
paling banyak 12 kursi.
Adanya klausul bahwa penentuan dapil dapat dilakukan dengan membagi atau membelah
kabupaten/kota dilakukan untuk mengakomodir jumlah kursi di setiap dapil yang ditentukan
paling banyak 12 kursi. Sebab di sejumlah kabupaten/kota dengan jumlah penduduk besar alokasi
kursinya dapat melebihi 12 kursi. Jika dapil anggota DPRD Proivinsi tetap dipertahankan dengan
rumusan kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota maka akan terjadi kesalahan berulang
seperti pada Pemilu 2009, di mana terdapat dapil dengan alokasi kursi melebihi 12 kursi.
Ketiga : jumlah kursi untuk setiap provinsi paling sedikit 35 kursi dan paling banyak 100
kursi. Penentuan jumlah kursi dilakukan berdasarkan jumlah penduduk. Ada tujuh kategorisasi
jumlah kursi untuk DPRD Provinsi. Untuk daerah dengan jumlah penduduk sampai dengan 1
juta orang, mendapat 35 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta sampai 3 juta
orang, mendapat alokasi 45 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 3 juta sampai 5
juta, mendapat 55 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 5 juta sampai dengan 7 juta,
mendapat 65 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 7 juta sampai 9 juta, mendapat
75 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 9 juta sampai 11 juta, mendapat 85 kursi.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta mendapat 100 kursi.
Untuk lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota,
rumusannya sama dengan penentuan dapil DPRD Kabupaten/Kota. Pertama : daerah pemilihan
anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan, gabungan kecamatan, dan bagian kecamatan.
Logika memasukkan bagian kecamatan tetap sama dengan rumusan dalam penentuan dapil
DPRD provinsi yakni mengantisipasi jumlah kursi dalam satu dapil melebihi 12 kursi. Kedua :
alokasi kursi untuk setiap dapil paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 12 kursi. Ketiga : jumlah
kursi di kabupaten paling sedikit 20 kursi dan paling banyak 50 kursi.
Rumusan penentuan jumlah kursi untuk setiap kabupaten/kota tetap mengacu pada jumlah
penduduk. Ada tujuh kategori jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota. Pertama : kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk sampai dengan 100 ribu orang, mendapat 20 kursi. Kedua :
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 100 ribu orang sampai dengan 200 ribu,
mendapat 25 kursi. Ketiga : kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 200 ribu orang
sampai 300 ribu orang, mendapat 30 kursi. Keempat : kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 300 orang sampai 400 ribu orang, mendapat 35 kursi. Kelima : kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk lebih dari 400 ribu orang sampai 500 ribu orang, mendapat 40 kursi. Keenam :
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500 orang sampai 1 juta orang, mendapat 45
kursi. Ketujuh : kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta orang, mendapat 50
kursi.

2. Metode Pencalonan

Dimensi yang kedua berkaitan dengan pencalonan, yaitu siapa yang mengajukan calon :
partai politik peserta pemilihan umum atau perorangan ataukah keduanya? Jawaban atas
pertanyaan ini tergantung pada siapa yang menjadi peserta Pemilihan Umum: partai politik,
perseorangan (calon independen), atau keduanya. Bila perseorangan yang menjadi peserta Pemilu
maka yang mengajukan calon tertentu bukan pengurus partai politik melainkan sekumpulan
anggota masyarakat yang mendukung calon perseorangan tersebut. Namun bila partai politik
yang menjadi peserta Pemilu, maka calon dapat saja diseleksi dan diajukan oleh pengurus partai
politik tetapi dapat pula diseleksi oleh pengurus partai tetapi dipilih oleh anggota partai secara
terbuka dan kompetitif sebagai pemilihan pendahuluan.
Jumlah calon yang dapat diajukan tergantung pada besaran daerah pemilihan, yaitu berapa
kursi yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan tertentu. Apabila partai politik yang
mengajukan calon, untuk suatu daerah pemilihan dialokasikan lebih dari satu kursi, maka daftar
calon yang diajukan partai politik dapat bersifat tertutup (closed list system), yaitu nomor urut
calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pengurus partai politik, tetapi dapat pula
bersifat terbuka (open list system), yaitu nomor urut calon yang akan mendapatkan kursi
ditentukan oleh pemilih berdasarkan rangking jumlah suara yang diperoleh setiap calon.
Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012, peserta Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPRD Tahun 2014 adalah partai politik untuk memilih anggota DPR dan DPRD, dan
perseorangan untuk memilih anggota DPD. Partai politik dapat mengajukan calon sebanyak-
banyak 100 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan pada setiap daerah pemilihan dengan
ketentuan wajib mengakomodir calon perempuan sekurang-kurangnya 30 persen di setiap dapil.
Penempatan calon perempuan harus dipastikan ada minimal satu orang pada setiap tiga orang
bakal calon.
Partai politik dalam mengajukan calon diharuskan menggunakan nomor urut, tetapi dalam
penentuan calon terpilih, penetapannya dilakukan berdasarkan suara terbayak. Karena itu dari
segi pencalonan, Pemilu anggota DPR dan DPRD, mengadopsi sistem daftar calon terbuka (open
list system). Untuk calon anggota DPD yang akan mewakili provinsi, proses pencalonan
dilakukan sendiri oleh setiap calon dengan menyampaikan bukti dukungan kepada KPU Provinsi.
Dukungan dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol jari
tangan dan dilengkapi fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung. Seorang pendukung
tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.
Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD dinyatakan batal.
Dukungan minimal ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di setiap provinsi. Ada lima
kriteri besaran dukungan minimal yang harus dipenuhi setiap bakal calon anggota DPD. Pertama
: provinsi yang berpenduduk sampai dengan satu juta orang harus mendapatkan dukungan dari
paling sedikit seribu Pemilih. Kedua : provinsi yang berpenduduk lebih dari satu juta sampai lima
juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit dua ribu Pemilih. Ketiga : provinsi
yang berpenduduk lebih dari lima juta sampai dengan sepuluh juta orang harus mendapatkan
dukungan dari paling sedikit tiga ribu Pemilih. Ke empat : provinsi yang berpenduduk lebih dari
sepuluh juta sampai dengan lima belas juta orang harus mendapatkan dukungan dari paling
sedikit empat ribu Pemilih. Ke lima : provinsi yang berpenduduk lebih dari lima belas juta orang
harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit lima ribu Pemilih. Dukungan tersebut harus
tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi
tersebut.

3. Metode Pemberian Suara

Pemberian suara menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 dilakukan dengan cara
mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat
suara. Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan
sah apabila : (a) surat suara ditandatangani oleh ketua KPPS, dan (b) tanda coblos pada nomor
atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota berada pada kolom yang disediakan, atau (c) tanda coblos pada tanda gambar
partai politik berada pada kolom yang disediakan. Surat suara untuk Pemilu anggota DPD
dinyatakan sah apabila : (a) surat suara ditandatangani oleh ketua KPPS dan (b) tanda coblos
terdapat pada 1 (satu) calon perseorangan.
Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2013 memberikan penjelasan yang lebih detail tentang
ketentuan suara sah yakni :
1) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai
Politik, suaranya dinyatakan sah untuk Partai Politik
2) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya
dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan
3) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik,
serta tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai
Politik yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan
dari Partai Politik yang mencalonkan
4) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai
Politik, serta tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut
dan nama calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara
untuk Partai Politik
5) tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota DPD,
suaranya dinyatakan sah untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan
4. Formula Pemberian Kursi

Dimensi keempat menyangkut formula penentuan calon terpilih, yaitu rumus yang
digunakan untuk menentukan calon terpilih. Rumus ini tentu tergantung pada jawaban terhadap
isu yang ketiga, yaitu apakah suara diberikan kepada partai politik atau kandidat.
Kalau suara diberikan kepada partai politik, maka formula proporsionalitaslah yang
digunakan, yaitu setiap partai politk peserta Pemilu akan mendapakan kursi proporsional dengan
jumlah suara sah yang diperolehnya. Kalau suara diberikan kepada kandidat, maka formula yang
digunakan dapat berupa pluralitas (suara lebih banyak) tetapi dapat pula berupa mayoritas (suara
paling banyak). Apabila yang dipilih rakyat kedua-duanya (partai politik dan kandidat), maka
formula yang digunakan juga keduanya, yaitu proporsionalitas dan rangking calon dalam
perolehan suara. Formula apa yang diadopsi dalam Undang-Undang Pemilu sudah barang tentu
akan mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperi derajat keterwakilan,
akuntabilitas calon terpilih, tingkat legitimasi calon terpilih, dan jumlah partai politik (sistem
kepartaian).
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 menganut sistem proporsional dengan daftar calon
terbuka. Lantas apa yang dimaksud dengan sistem proporsional terbuka dan apa bedanya dengan
sistem proporsional tertutup?. Sistem proporsional merujuk pada formula pembagian kursi
dan/atau penentuan calon terpilih, yaitu setiap partai politik peserta Pemilu mendapatkan kursi
proporsional dengan jumlah suara sah yang diperolehnya.
Tetapi proporsional terbuka di Indonesia masih diberi syarat tambahan yakni
parliementary treshold atau ambang batas parlemen sebesar 3,4 persen untuk tingkat DPR.
Artinya partai politik peserta Pemilu yang diikutsertakan dalam pembagian kursi hanya partai
politik yang memperoleh suara 3,5 persen dari suara sah secara nasional. Otomatis suara partai
politik dengan perolehan suara di bawah 3,5 persen menjadi tidak bernilai karena tidak dapat
dikonversi menjadi kursi. Parpol tersebut hanya diikutsertakan dalam pembagian kursi di DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Penentuan persentase perolehan suara Partai Politik yang memenuhi ambang batas
dilakukan dengan cara membagi perolehan Suara Sah setiap Partai Politik secara nasional dengan
total keseluruhan perolehan Suara Sah Partai Politik secara nasional dikalikan 100% (seratus
persen). Partai Politik yang memenuhi ambang batas perolehan Suara Sah berhak diikutsertakan
dalam penghitungan perolehan kursi DPR di seluruh daerah pemilihan Anggota DPR.
Untuk menetapkan perolehan kursi pada setiap daerah pemilihan, tahap pertama
dilakukan dengan menetapkan bilangan pembagi pemilih (BPP) DPR. Penetapan BPP DPR
berdasarkan atas Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Anggota
DPR, Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik, dan Rincian
Perolehan Suara Sah Calon Calon Anggota DPR dan Suara Tidak Sah di KPU. BPP DPR
ditetapkan dengan cara cara menghitung total perolehan Suara Sah Partai Politik disetiap daerah
pemilihan terlebih dahulu dikurangi dengan perolehan Suara Sah Partai Politik yang tidak
memenuhi ambang batas dibagi dengan jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut. Apabila BPP
DPR yang diperoleh dari hasil bagi jumlah seluruh Suara Sah Partai Politik dengan jumlah kursi
di setiap daerah pemilihan yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka angka pecahan
0,5 atau lebih dibulatkan ke atas dan angka pecahan di bawah 0,5 dihapuskan.
Setelah ditetapkan BPP DPR, dilakukan penghitungan perolehan kursi Partai Politik di
setiap daerah pemilihan. Ada dua tahapan penghitungan perolehan kursi Partai Politik di setiap
daerah pemilihan yaitu :
1) Penghitungan Tahap Pertama dilakukan dengan cara membagi jumlah Suara Sah yang
diperoleh setiap Partai Politik dengan BPP, dengan ketentuan :
a. apabila Suara Sah suatu Partai Politik sama atau lebih dengan BPP maka Partai
Politik tersebut memperoleh kursi
b. apabila dalam penghitungan pertama masih terdapat sisa suara, maka sisa suara
tersebut akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua
c. apabila Suara Sah suatu Partai Politik tidak mencapai BPP, maka Partai Politik
tersebut tidak memperoleh kursi pada penghitungan Tahap Pertama, selanjutnya
jumlah Suara Sah Partai tersebut menjadi sisa suara dalam penghitungan kursi Tahap
Kedua.
2) Penghitungan Tahap Kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi dalam
Penghitungan Tahap Pertama, dengan cara membagikan sisa kursi yang belum terbagi
satu per satu sampai habis kepada Partai Politik berdasarkan sisa suara terbanyak. Apabila
terdapat Partai Politik yang memiliki Suara Sah atau sisa suara sama, maka Partai Politik
yang memiliki sisa suara yang lebih banyak persebarannya di daerah pemilihan yang
bersangkutan berhak atas sisa kursi terakhir. Partai Politik dinyatakan memiliki sebaran
sisa suara yang lebih banyak, apabila sisa suara tersebut tersebar pada jumlah wilayah
yang lebih banyak pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta.
Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Budiardjo, Miriam. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Soedarsono. 2005. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi. Setjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi.
Tricahyo, Ibnu. 2009. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Intrans
Publishing.
www.kpu.go.id. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPRD Tahun 2014
www.kpu.go.id. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2013 tentang Pemungutan
dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara
www.kpu.go.id. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2013 tentang Penetapan
Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih

Anda mungkin juga menyukai