Anda di halaman 1dari 14

1

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemilu merupakan Dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum
dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu, dan dihargai
sebagai jembatan terhadap kedaulatan rakyat dan kekuasaan Negara. Hasil
pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan
dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.
Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
dinamika masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa “kedaulatan
ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Kedaulatan ada ditangan rakyat artinya rakyat pada dasarnya memiliki
kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Tetapi karena rakyat merupakan
entitas yang sangat kompleks maka tentu saja kedaulatan tersebut tidak secara
langsung dilaksanakan sendiri oleh rakyat, kedaulatan dilakukan melalui
sistem perwakilan yang akan dipilih oleh rakyat. Dalam melakukan pemilihan
umum diperlukan sebuah sistem agar lebih efektif dalam melaksanakannya,
disini kami telah memaparkan bagaimana sistem pemilihan umum yang
diterapkan di beberapa negara termasuk Indonesia.

2. Rumusan Masalah
1) Apa yang disebut dengan pemilihan umum ?
2) Apa pengertian dari sitem distrik?

3. Tujuan
1) Untuk memenuhi tugas ilmu politik tentang sistem pemilihan umum
2) Sebagai penambah wawasan tentang pemilihan umum
2

B. PEMBAHASAN

SISTEM PEMILIHAN UMUM


 Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, wakil presiden, wakil rakyat
di berbagai tingkat pemerintahan, sampai yang paling sederhana atau paling
kecil yaitu kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilihan umum juga
dapat berarti proses mengisi jabatan-jabatan tertentu. Pemilu merupkan salah
satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa)
dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan kemasyarakatan, komunikasi
massa, lobbying, dan lain-lain. Dalam Negara demokrasi propaganda dan
agitasi sangat dikecam, namun dalam kampanye PEMILU, teknik agitasi dan
propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat sebagai komunikator.1
Biasanya para kandidat akan melakukan  kampanye sebelum pemungutan
suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye
tersebut para kandidat akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara
persuasif, menyatakan visi dan misinya untuk memajukan dan
memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Dalam system distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilah
salah satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam system
proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa
wakil (multi member constituency) perbedaan pokok antara dua system ini
ialah cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam
komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
System distrik merupakan system pemilihan umum yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geograis ( yang biasa
disebut “distrik”  karena kecilnya daerah yang tercakup ) memperoleh satu
kursi daalm parlemen. Untuk itu Negara dibagi dalam sejumlah besar distrik
pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya.

1
Affan Ghaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002.
3

Dalam system distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilawah, satu
distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara
terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the first past the
post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi. Hal ini terjadi walaupun
selisih suara sangat kecil, suara yang tadinya mendukung kontestan lain
diangggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk
menambah jumlah suara partai di distrik lain.
Dalam system proporsional, suatu  wilayah dianggap sebagai suatu
kesatuan  dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai kursi
yang  diperoleh oleh para kontestan , secara nasional, tanpa menghiraukan
distribusi suara  itu. Dalam system proporsional tidak ada suara yang
terbuang  atau hilang seperti yang terjadi dalam system distrik.
System distrik sering dipakai di Negara yang mempunyai system dwi-
partai, seperti inggris dan Negara bekas jajahannya  seperti  India dan
Malaysia serta Amerika. Sedangkan system proporsional sering
diselenggarakan dalam Negara dengan banyak (multi) partai seperti Belgia,
Swedia, Italia, Belanda dan Indonesia.

 SISTEM PEMILIHAN UMUM

Pada dasarnya sistem pemilihan umum ada dua jenis yaitu mekanis dan organis,
pada sistem yang bersifat mekanis dilakukan dengan dua cara yaitu sistem distrik
(single-member constituency ) dan sistem proporsional (multi-member
constituency).
a) Sistem organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai jumlah individu-individu
yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan
genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industry), lapisan-
lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial
(universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu
4

organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi
tertentu dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan-
persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup
itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan
perkataan lain persekutuan-persekutuan itulah yang mempunyai hak pilih untuk
mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan masyarakat. Apabila
dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan diatas,
pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan
fungsional (function represenbtation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen
dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia.
Dalam sistem pemilihan organis partai-partai politik tidak perlu
dikembangkan, karena setiap pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-
tiap persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam
lingkungannya sendiri. lembaga perwakilan rakyat mencerminkan perwakilan
kepentingan–kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing-
masing. Sistem organis menghasilkan dewan korporsi (korporatif).
b) Sistem mekanis
Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat
mekanis yang melihat rakyat sebagai masa individu-individu yang sama.baik
aliran liberalisme, sosialisme dan komunisme semuanya sama-sama mendasarkan
diri pada pandangan mekanis. Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai
kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai suatu kompleks hubungan-
hubungan individu yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme
dan khususnya komunisme lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat
dengan mengecilkan peranan individu. Namun, individu tetap dilihat sebagai
penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai
masa individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap
pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.
Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang
mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem
dua partai ataupun multi-partai menurut paham liberalisme dan sosialisme,
5

ataupun berdasarkan sistem satu partai menurut paham komunisme. Dalam sistem
ini lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan
umum rakyat seluruhnya. Sistem mekanis menghasilkan parlemen. Berikut cara-
cara yang digunakan dalam sistem mekanis :

a) Sistem Distrik (single-member constituency)


Sistem distrik merupakan sistem dimana satu wilayah kecil (yaitu distrik
pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member constituency) atas dasar
pulralitas (suara terbanyak). sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang
paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang
biasanya disebut ditrik karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu
kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar
ditrik pemilihan kecil yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Dalam sistem distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu
distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara
terbanyak menjadi Pemenang tunggal meraih satu kursi itu, hal ini sekalipun
terjadi selisih suara dengan partai lain kecil. Suara yang tadinya mendukung partai
lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk
menambah jumlah suara partainya diditrik lain. Sistem distrik memiliki lima
varian yaitu :
 first Past The Post (FPTP)
Dimana satu distrik menjadi bagian dari suatu daerah pemilihan, satu distrik
hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak
menjadi pemenang tunggal.
 Block Vote (BV)
Terdapat tiga ciri dari sistem ini yaitu (a) berwakil majemuk, dimana satu
distrik memiliki beberapa anggota perwakilan (b) pemilihan akan memberikan
pilihan sebanyak jumlah kursi yang diberikan (c) kandidat yang memperoleh
suara terbanyak menjadi pemenang.
 Party Block Vote (PBV)
6

Sistem ini hamper sama dan merupakan varian dari sistem BV, yang
mebedakannya adalah pemilih memilih partai bukan kandidat.
 Alternative Vote (AV)
Sigit Pmungkas menjelaskan bahwa sistem ini mempunyai ciri umum dimana
pemilih memiliki preferensi untuk merangking sejumlah kandidat yang mereka
sukai.
 Two Round System (TRS)
Sistem ini hampir sama dan merupakan varian dari sistem BV, yang
mebedakannya adalah pemilih memilih partai bukan kandidat kedua.
Kuntungan dari sistem distrik adalah :
 partai-partai terdorong untuk terintegrasi dan bekerjasama.
 Fragmentasi dan kecenderungan mendirikan partai baru dapat dibendung,
sistem ini mendukung penyederhanaan partai tanpa paksaan
 Oleh karena dalam suatu daerah pemilihan kecil (distrik) hanya ada satu
pemenang, wakil yang terpilih erat dengan konstituennya dan
merasa accountable kepada konstituen. Lagipula kedudukanya terhadap
partai lebih bebas karena factor kepribadian seseorang berperan besar
dalam kemenanganya.
 Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas di
perlemen. Sekalipun demikian harus dijaga agar tidak terjadielective
dictatorship.
 Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama mempermudah
tercapainya stabilitas politik.

Kelemahan dari sistem distrik adalah :


 Terjadi kesenjangan antara presentase suara yang diperoleh dengan
jumlah kursi yang diparlemen. Kesenjangan ini disebabkan oleh
distorsi (distortion effect) partai besar memperoleh keuntungan dari
distorsi dan seolah-olah mendapat bonus. Hal ini menyebabkan over-
representation dari partai besar dalam parlemen.
7

 Distorsi merugikan partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika


terpencar dibeberapa distrik. Presentase kursi lebih kecil dari
presentase suara sehingga terjadi under-representation dari partai
kecil. Sistem ini kurang representative karena banyak suara yang
hilang (wasted).
 Sistem ini kurang mengakomodasikan kepentingan berbagai
kelompok dalam masyarakat yang heterogen dan pluralis
sifatnya.Wakil rakyat yang dipilih cenderunglebih memperhatikan
kepentingan daerah pemilihannya dari pada kepentingan nasional.

b) Sistem Proporsional (multi-member constituency).


Sistem proporsional merupakan sistem dimana suatu wilayah besar (yaitu
daerah pemilihan) memilih beberapa wakil, dan suatu wilayah dianggap sebagai
suatu satu kesatuan, dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah
suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional tanpa menghiraukan
distribusi suara itu. Sistem proporsional memiliki dua variasi yaitu :
 proporsional representation
sistem ini memliki beberapa ciri yaitu setiap distrik berwakil majemuk, setiap
partai menyajikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih banyak disbanding
jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan, pemilih memilih
satu kandidat, partai memperoleh kursi sebanding dengan suara yang diperoleh,
kandidat yang dapat mewakili adalah yang berhasil melampauia ambang batas
suara. Sistem ini memiliki beberapa varian yaitu daftar tertutup, daftar terbuka,
daftar bebas.
 single transverable vote
sistem ini mempunyai ciri: menggunakan distrik-distrik bersuara banyak,
pemilih melakukan ranking kandidat secara preferensial, kandidat yang perolehan
suaranya melebihi kuota suara dinyatakan sebagai wakil terpilih, jika ada yang
melebihi kuota kandidat yang preferensinya paling sedikit disingkirkakan.
Keuntungan sistem proporsional :
8

 Dianggap lebih representative karena presentase perolehan suara setiap


partai sesuai dengan presentase perolehan kursinya diparlemen. Tidak ada
distorsi antara perolehan suara dan perolehan kursi.
 Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan
minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya diparlemen.
Karena itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada
sistem ini.

Kelemahan sistem proporsional :


 Kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi satu sama lain, malah
sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara
mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat proses integrasi
diantara berbagai golongan dimasyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini
mempermudah fragmentasi dan berdirinya partai baru yang pluralis.
 Wakil rakyat kurang erat hubunganya dengan konstituenya, tetapi lebih
erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai
lebih menonjol dari pada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya
sistem ini memberi kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk
menentukan wakilnya diparlemen melalui stelsel daftar (list system).
 Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai
mayoritas diparlemen. Dalam sistem pemerintahan parlementer, hal ini
mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena hrus
mendasarkan pada koalisi.

c) Sistem Campuran
Sistem campuran ini juga disebut sebagai sistem pemilihan semi
proporsional. Dengan pemilihan ini suara dikonfersi menjadi kursi dengan hasil
yang berada diantara sistem pemilihan proporsional dan sistem pluralitas-
mayoritas. Tujuan dari sistem campuran ini adalah untuk memadukan ciri-ciri
positif dari sistem mayoritas-pluralis dan sistem proporsional. Dengan demikian
pada sistem ini akan terdapat dua sistem pemilu
9

yang berjalan beriringan meski masing-masing menggunakan modenya


sendiri.
Sistem ini memiliki dua varian yaitu :
 Sistem parallel distrik.
Dalam sistem parallel, sebagian distrik memakai sistem proporsional
representative daftar dan sebagian yang lain memakai sistem distrik. Secara teknis
operasional sistem ini akan bekerja dengan cara menerapkan dua kotak
suara (ballots). Pemilih memilih (1) ballot pertama untuk pilihan distrik , (2)
ballot kedua untuk pilihan partai (proporsional). Dimana setiap pemilih akan
menerima dua surat suara terpisah , satu untuk kursi distrik dan satunya lagi untuk
kursi proporsional. Dalam hal ini komponen proporsional tidak
mengkompensasikan sisa suara bagi daerah pemilihan yang menggunakan sistem
distrik
 Sistem mixed member proporsional
Dalam sistem mixed member proporsional (MPP), sebagian anggota
lelmbaga perwakilan dipilih melalui sistem distrik (FPTP) dan sebagian lain
berdasarkan sistem proporsional. Sedangkan jumlah anggota perwakilan yang
akan dipilih melalui masing-masing sistem tersebut telah ditentukan sebelumnya.
Bisa saja 60% dipilih dengan sistem distrik dan 40% dipilih dengan sistem
proporsional, atau bisa saja 50:50 untuk masing-masing sistem yang diterapkan.
Bagi partai yang tidak mendapatkan kursi melalui sistem distrik maka partai
tersebut akan mendaatkan kursi berdasarkan perolehan suara melalui pemilu
proporsioanal.
Sistem campuran mempunyai kelemahan dimana akan terjadi kategorisasi
wakil rakyat dilembaga perwakilan. Sebagian wakil rakyat merupkan wakil distrik
dn sebagian lain wakil partai politik.

 SEJARAH PEMILU DI INDONESIA


Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu 1945, 1971, 1977, 1982,
1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Akan tetapi pemilihan pada tahun 1955
10

merupakan pemilihan umum yang dianggap istimewa karena ditengah suasana


kemerdekaan yang masih tidak stabil Indonesia melakukan PEMILU , bahkan
dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum
berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi
secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
Semua pemiliha umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang
vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil
pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui
adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk
Indonesia. 2
a) Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktobere 1945, tetapi
baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955.
Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu sistem
itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya
sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara.
Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena merupakan
pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung
secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan tidak ada usaha interversi
dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun kampanye berlangsung seru,
terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar
dan jujur.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai perseorangan,
dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas politik yang diharapkan dari
pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerinth
selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak
kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi
presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.

b) Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

2
Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Putra A. Bardin: Bandung, 1999.
11

Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang


kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah partai
menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI, Masyumi,NU,PKI, Partai
Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian
ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi
terpimpintidak diadakan pemilihan umum.

c) Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)


Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada
harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu sistem
politik yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah melalui sistem
pemilihan umum . pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem
proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di
Indonesia masih sangat baru.
Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik berbagai
kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem
proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada
distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi
dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan
presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak
ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai
saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak
diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem
proporsional telah teratasi.
Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini.
Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan
konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi
tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut
selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah
sipemilih benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan
lain yang menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput,
12

bagaimanapun juga gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan


dari sistem otoriter orde dan hal itu patut dihargai.
d) Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan
fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya
partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru. Kedua, pada
pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah indonesiadiadakan
pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melaluiMPR. Ketiga,
diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan
Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus.
Keempat, diadakannya “electoral thresold “ , yaitu ketentuan bahwa untuk
pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi
anggota badan legislatif pusat.
13

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
 Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, wakil
presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai
yang paling sederhana atau paling kecil yaitu kepala desa. Pada
konteks yang lebih luas, pemilihan umum juga dapat berarti proses
mengisi jabatan-jabatan tertentu. Pemilu merupkan salah satu usaha
untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa)
dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan kemasyarakatan,
komunikasi massa, lobbying, dan lain-lain. Dalam Negara demokrasi
propaganda dan agitasi sangat dikecam, namun dalam kampanye
PEMILU, teknik agitasi dan propaganda banyak juga dipakai oleh
para kandidat sebagai komunikator.
 Sistem distrik merupakan sistem dimana satu wilayah kecil (yaitu
distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single¬-member
constituency) atas dasar pulralitas (suara terbanyak). sistem distrik
merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas
kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut
ditrik karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu kursi
dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah
besar ditrik pemilihan kecil yang kira-kira sama jumlah
penduduknya.
14

Daftar pustaka

Affan Ghaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002.

Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Putra A. Bardin: Bandung, 1999.

Anda mungkin juga menyukai