Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu parameter bagi sebuah negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi
adalah melaksanakan pemilihan umum. Asaz utama didalam pemilihan umum (pemilu) adalah
terlaksananya pemerintahan yang didasarkan pada konsepsi pemilihan umum dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Dalam menyelenggarakan pemilu, suatu negara demokratis seperti
Indonesia, akan menyelenggarakan pemilu selama dua kali, pertama adalah untuk memilih
anggota legislatif yang akan duduk sebagai wakil rakyat di parlemen, dan kedua adalah untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden yang duduk sebagai eksekutif. Mekanisme semacam ini
juga berlaku hingga di tingkat daerah, yaitu dengan memilih kepala daerah yang meliputi
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, pemilihan Bupati/Wakil Bupati, serta pemilihan
Walikota/Wakil Walikota.
Karena menjadi ukuran derajat demokrasi suatu negara, pelaksanaan pemilu (legislatif,
pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah (pilkada)/pemilukada) harus dapat dilaksanakan
dengan cara yang baik, jujur dan dil, tanpa ada paksaan terhadap individu sebagaimana yang
terjadi di masa lalu. Apalagi penyelenggaraan pemilu itu adalah untuk memilih pemimpin dan
membentuk lembaga-lembaga demokrasi lainnya.
Polemik merupakan perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara
terbuka dalam media massa; sastra tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang
masalah sastra. Polemik adalah sejenis diskusi atau perdebatan sengit yang diadakan di tempat
umum atau media massa berbentuk tulisan. Polemik biasa digunakan untuk menyangkal atau
mendukung suatu pandangan agama atau politik.
Dalam proses pelaksanaannya, pemilu ternyata mematik sejumlah persoalan terkait
proses pelaksanaannya yang dinilai cenderung menghamburkan dana rakyat termasuk dugaan
money politic, serta tidak jarang hasil pemilu langsung itu direspon secara negatif sehingga
berbuntut kerusuhan dan kekerasan. Munculnya polemik-polemik tersebut tentunya dapat
mengganggu proses pemilihan umum.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu pemilihan umum dan polemik pemilihan umum ?
b. Bagaimana contoh polemik pemilihan umum di Indonesia ?
c. Bagaimana cara menanggulangi terjadinya polemik pelihan umum ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemilihan Umum


2.1.1 Pengertian Pemilhan Umum
Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga
kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian
menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat. Dalam
konstitusi negara kita, pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD RI 1945) menyebutkan: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Makna kedaulatan rakyat yang dimaksud
sama dengan makna kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang terakhir dalam wewenang untuk
membuat keputusan.

Sedangkan memenurut pernyataan beberapa para ahli mengenai pemilihan umum atau
pemilu antara lain :

a. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim : pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara
untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut
dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam wakru-
waktu tertentu.
b. Bagir Manan : Pemilhan umum yang diadakan dalam siklus lima (5) tahun sekali
merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan langsung
pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin
duduk sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada
keinginan atau kehendak rakyat.

2.1.2 Sistem Penyelenggaraan Pemilihan Umum


Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga
negara memilih atau mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan
erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen.
Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan
bagian dari sebuah entitas yang sama.

Terdapat bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri


dalam melaksanakan pemilihan umum diantaranya:

 Sistem hak pilih
 Sistem pembagian daerah pemilihan.
 Sistem pemilihan
 Sistem pencalonan.

Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem pemilihan umum yang berbeda-beda dan


memiliki cirikhas masing-masing akan tetapi, pada umumnya berpegang pada dua prinsip pokok,
yaitu:
a. Sistem Pemilihan Mekanis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang
sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing
dalam mengeluarkan satu suara di tiap pemilihan umum untuk satu lembaga
perwakilan.
b. Sistem pemilihan Organis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup
bersama-sama dalam beraneka ragam persekutuan hidup. Jadi persekuuan-
persekutuan inilah  yang diutamakan menjadi pengendali hak pilih.

Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan.


Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi
berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari
pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem
pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)


Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap
(tahun 1955). Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang
pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September
dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember.
Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional.

Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat,


Tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah
mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye
berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan.

Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai.
Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi
terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang
berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi  Parlementer
berakhir.

2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)


Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang
keleluasaan untuk mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi
jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak
diselanggarakan pemilihan umum.

3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)


Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap
bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang
ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai
forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di
telinga bangsa Indonesia.

Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik
dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan
partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya
meraih kursi dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan
akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam
melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi.

Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan


umum, Presiden Soeharto  melakukan beberapa tindakan untuk menguasai
kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi
atau penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi
tiga golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan
Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga
partai, dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu diraih Golkar.

4. Zaman Reformasi (1998- Sekarang)


Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan
diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka
dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri
di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan
berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda
dengan era orba.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini
disebabkan telah diberlakukannya ambang batas(Electroral Threshold) sesuai UU
no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak
mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2%
dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh
mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan
mendirikan parpol baru.

2.1.3 Asas-Asas Pemilu

1. Langsung
Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara
langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada
perantara. 
2. Umum
Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yg
memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin,
golongan, pekerjaan,  kedaerahan, dan status sosial yang lain.
3. Bebas
Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih
pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk
membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.
4. Rahasia
Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan
pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat
diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
5. Jujur
Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga
bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Adil
Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan
umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana
pun.

2.2 Polemik Pemilihan Umum


2.2.1 Pengertian Polemik
Secara etimoloegi kata polemik diambil dari bahasa Yunani polemikos (πολεμικως) yang
artinya adalah "mirip perang". Sedangkan menurut istilah polemik adalah sejenis diskusi atau
perdebatan sengit yang diadakan di tempat umum atau media massa berbentuk tulisan. Polemik
biasa digunakan untuk menyangkal atau mendukung suatu pandangan agama atau politik.

2.2.2 Polemik dalam Pemilihan Umum


Dalam ranah politik sering dijumpai berbagai polemik atau perdebatan yang dapat menggaggu
jalannya suatu kegiatan politik. Sama halnya pada pemilihan umum, polemik-polemik yang hadir
dimasyarakat dapat menjadi perbincangan yang negatif. Polemik-polemik pemilu dapat kerap
dijumpai pada saat sebelum diselenggarakannya pemilu ataupun setelah pemilu. Baik di media
tulis (cetak) atau lisan yang keduanya sangat gampang tersebar luas di media sosial atau dalam
jaringan.
Dalam pelaksanaan pemilu pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi
pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan
mengerahkan massanya untuk mendatangi KPU setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu
pembakaran kantor KPU salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat
rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPU sebelum melaksanakan pemilihan
umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul
masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPU
setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPU terbukti melakukan korupsi dana Pemilu
tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Dari sini dapat
kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian
bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar
puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pemilihan umum di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan
memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah
mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu
desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari
kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal
calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya
tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan
mudah hanya karena uang.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai
pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku
dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran.
Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat
berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan
sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat.
Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya
informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi
panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat
merusak integritas daerah tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Contoh Polemik Pemilihan Umum


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai