Anda di halaman 1dari 5

Nama : Saniyyah Aulia Azzahra

Nim : 21042081

Resume Tugas Pertemuan 15

Sistem Politik Indonesia

PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN

(SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI

PENDAHULUAN

Dalam buku yang berjudul Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep,
dan Isu Startegis ditulis oleh Muhamadam Labodo dan Teguh Ilham. Menurut penulis kedua tema
tersebut perlu dioahami dan dikaji dengan utuh, apabila partai politik menjadi pilar demokrasi yang
telah melahirkan kader unggul, dan sudah semestinya sistem pemilu mapu menjadi jembatan
output dari partai politik untuk duduk kedalam sistem pemerintahan. Pada bagian buku ini
ditawarkan konsep-konsep yang dapat menjadi masukan dalam penguatan partai politik sebagai
mesin serta salah satu pilar demokrasi sekaligus perbaikan bagi sistem pemilu.

PASANG-SURUT PARTAI POLITIK DI TIGA ZAMAN

Awalnya partai politik lebih berbentuk golongan atau kelompok-kelompok politik dalam parlemen
yang bersifat elitis dan aristokritis yang berkembang di belahan benua Eropa Barat. Kelompok-
kelompok politik tersebut kembali terlahir menjadi partai politik pada abad ke-19. Pergerakannya
melejit dalam menyongsong kemerdekaan bahkan berkembang dengan pesat seiring dengan
adanya gelombang demokratisasi melalui gerakan reformasi 1998 berujung percepatan pemilu
pada tahun 1999 dan juga tuntutan amandemen konstitusi (UUD NRI 1945) menuju demokrasi
(Riwanto, 2016, 30). Partai politik di Indonesia mengalami pasang-surut awal-awal kemerdekaan
dan reformasi, yang dipengaruhi oleh ketidakstabilan pemerintahan yang beberapa kali mengalami
pergantian sistem pemerintahan.
Menurut Syamsudin Haris (2014, 23), demokrasi parlementer yang diterapkan pada era Soekarno
gagal mewujudkan harapan bahwa Pemilu 1955 mampu menyelesaikan krisis politik nasional
sebagai suatu eksperimen politik pada waktu itu. Yang disebabkan oleh pengaruh tekanan Presiden
Soekarno dan militer, yang pada akhirnya menghentikan eksperimen terhadap sistem parlementer.
Pada akhirnya masa demokrasi parlementer beerkahir setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959, perihal pembubaran konstituante dan kembali berlakunya UUD 1945.

Masa Orde Lama menorehkan sejumlah persoalan yang berkebalikan dari apa yang dihadapi pada
masa demokrasi liberal. Pada masa itu kekuasaan presiden sangat luas dan menonjol, dan apa yang
dijalankan oleh DPR menjadi kewenangan Presiden. Sedangkan jumlah partai semakin berkurang
dan hanya tersisa 10 partai politik setelah Perpres No. 7 Tahun 1959 Tentang Syarat-Syarat dan
Penyederhanaan Kepartaian ditetapkan.

Pasang-surut jumlah partai politik kembali terjadi pada rezim Soeharto setelah berakhirnya era
Orde Baru. Pada masa Orde Baru era Soeharto fusi terhadap partai politik juga dilakukan dengan
membaginya menjadi tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar), sebagai mesin politik pemerintahan Soeharto dan
melanggengkan kekuasaannya. Terbendungnya demokrasi masa Orde Baru menyebabkan
derasnya kemunculan berbagai macam partai politik. Persoalannya, partai politik yang
bermunculan perlu dipertanyakan esensi dan ideologi yang melatarbelakanginya.

Dari redaksi diatas, memungkinkan terbentuknya partai politik yang secara latar belakang den
hakikatnya tidak begitu substansif selama asas atau cirinya tidak bertentangan dengan pancasila.
Namun, secara ideologi, visi dan misi, kaderisasi, serta hakikat sebagai partai politik yang sangat
minim.

SISTEM PEMILU INDONESIA: PILIHAN BERDEMOKRASI

Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk demokrasi perwakilan, yakni rakyat
mempercayakan suaranya kepada wakil-wakilnya yang telah dipilih untuk menjalankan roda
pemerintahan, yang dilakukan secara umum. Dilakasanakan dengan asas langsung, umum, bebas,
jujur, dan adil atau sering disebut Luberjurdil. Pemilu dilaksanakan pada masa demokrasi
liberal/demokrasi terpimpin, atau yang lebih dikenal dengan masa Orde Lama pada tahun 1955.
Berlandaskan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante
dan Anggota DPR juncto Undang-Undang No. 18 Tahun 1953, pemilu pertama kali tersebut
dilaksanakan. Pemilu pertama dilakasankan pada tahun 1955 dengan sistem perwakilan berimbang
dikaitkan dengan sistem daftar sehingga disebut sebagai sistem proporsional tidak murni.

Pemilu kedua diselenggarakan pada tahun 1971, yakni pada rezim Soeharto, pemilu pada tahun
ini dilaksanakan atau berlangsung pada masa Orde Baru. Pemilu pada masa ini masih menganut
multipartai tetapi terbatas, yakni sebanyak 10 partai politik. Pada tahun 1971, 1977,1982, 1992,
sampai pemilu tahun 1997 menganut sistem berimbang.

Belum sampai periode lima tahunan, pemilu kembali dilaksanakan yakni pada tahun 1999. Kondisi
ini terjadi karena runtuhnya kekuasaan Soeharto disebabkan oleh memuncaknya tuntutan
mahasiswa, masyarakat, dan elite supaya Soeharto turun dari jabatannya, digantikan oleh B.J.
Habibie Indonesia mulai masuk gerbang reformasi dan pamilu 1999 dilaksanakan.

Masa reformasi seolah membuka keran demokrasi yang selama Orde Baru terbendung. Tuntutan
dari demokrasi dijadikan sebagai dasar bagi kelompok-kelompok untuk membentuk partai politik
sehingga sistem multipartai kembali bangkit. Selanjutnya dilakukan pemilu lima tahun
setelahnyan, yakni pada tahun 2004.

Sistem pemilu untuk pemilihan anggota DPD dilakukan dengan sistem distrik berwakil banyak.
Tiap-tiap provinsi memiliki kesempatan untuk memilih wakilnya sebanyak empat orang untuk
duduk di kursi DPD. Sistem distrik yang digunakan di Indonesia, misalnya pada pemilihan
presiden dan wakil presiden yang menggunakan sistem distrik dengan varian two round system,
membuka peluang untuk dilakukan pemilu putaran kedua. Kasus ini dialami pada masa pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004 antara pasangan Megawati Soekarnoputri-Ahmad
Hasyim dengan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla.

Pemilu pada tahun 2009 sistem pemilu yang dilaksanakan sama dengan pemilu 2004, yakni pemilu
DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Pada tahun 2009
pemilihan Presiden dan Wakil presiden hanya mengalami satu putaran. Pada tahun 2009 juga
dilakukan evaluasi dan perbaikan adalah dengan mengubah kembali UU Pemilu Legislatif, yakni
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003, menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang No.23 Tahun 2003 diubah menjadi
Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; serta Undang-
Undang Partai Politik (sebagaimana dijabarkan sebelumnya). Selain itu, terdapat payung hukum
baru mengenai pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum, yakni Undang-Undang No. 22
Tahun 2007.

Terakhir pada tahun 2015 terjadi pemisahan pengaturan pemilukada dalam UU Perda, yakni
diterbitkannya UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang
Pentapan Peraturan Pemerintahan Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.

PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU: TANTANGAN DAN PENGUATAN

Partai politik berkaitan dengan sistem pemilu. Partai politik tanpa sistem pemilu yang baik
menyebabkan partai politik kehilangan “wadah” sehingga membuatnya menjadi tidak teratur dan
stabil. Sebaik apapun sistem pemilu tanpa berkualitasnya partai politik, hasil pemilu yang
diselenggarakan akan “kosong”.

Terdapat tiga hal yang menjadi persoalan dan tantang partai politik. Pertama, lemahnya ideologi
partai politik. Kedua, lemahnya sistem rekrutmen dan pola kaderisasi anggota partai politik.
Ketiga, krisisnya fundraising partai politik.

Selanjutnya adalah masalah dan tantang sistem pemilu. Pertama, masih rendahnya daya kritis
masyarakat dalam memilih. Kedua, tingginya biaya pemilu. Ketiga, tingginya angka Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

PENUTUP

Pelaksanaan pemilu dari 1955 hingga terakhir pada 2015 mengalami dinamika politik, hukum,
serta sosiologis yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Rezim pemerintahan bergantung
pada siapa yang memimpin: masa demokrasi liberal, demokrasi terpimpin/Orde Lama, masa Orde
Baru, dan masa reformasi yang telah digulirkan. Tiap-tiap rezim memiliki kekurangan dan
kelebihan, tetapi keberadaan partai politik merupakan pilar yang berwadahkan sistem pemilihan
umum yang menentukan bagaimana suatu rezim dilaksanakan, baik atau buruk. Oleh karena itu,
perbaikan keduanya merupakan keniscayaan yang harus terus diupayakan.

DAFTAR PUSTAKA

Aulia, D. (2016). Penguatan Demokrasi: Partai Politik Dan (Sistem) Pemilu Sebagai Pilar
Demokrasi. Masyarakat Indonesia, 42(1), 115-126.

Anda mungkin juga menyukai