Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 4A PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Nama : PUTRI FARISA ZAHARA

NIM : 21075047

Prodi : PKK/Tata Boga

DEMOKRASI DI INDONESIA

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Menurut Ni’matul Huda dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara jika berbicara tentang sejarah
teori demokrasi, ada 2(dua) fakta historis yang penting. Pertama, hampir semua orang pada masa ini
mengaku sebagai demokrat. Beragam jenis rezim politik di dunia mendeskripsikan dirinya sebagai
demokrasi. Namun, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezin yang satu dengan rezim yang lain
sering berbeda secara substansial.8 Kedua, sementara banyak negara yang saat ini menganut paham
demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan kerawanan tatanan
demokrasi. Sejarah Eropa Abad ke-20 sendiri mengambarkan dengan jelas bahwa demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan yang sangat sulit untuk diwujudkan dan dijaga.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahapan pra
kemerdekaan dan tahapan pasca kemerdekaan. Perkembangan demokrasi di Indonesia pasca
kemerdekaan mengalami pasang-surut (fluktuasi) dari masa kemerdekaan sampai saat ini, selama 55
tahun perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana
demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dalam
bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan, inti tatanan kehidupan
demokratis secara empiris terkait dengan persoalan pada hubungan antar negara atau pemerintah
dengan rakyat, atau sebaliknya hubungan rakyat dengan negara atau pemerintah dalam posisi
keseimbangan (aquilibrium potition) dan saling melakukan pengawasan (check and balance)

Perkembangan demokrasi di Indonesia dilihat dari segi waktu dibagi dalam empat periode, yaitu:

1. Demokrasi Parlementer Periode 1945-1959

Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Sistem demokrasi
parlementer mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan mulai diperkuat
dalam UndangUndang Dasar 1945 dan 1950, ternyata sistem demokrasi parlementer ini kurang
cocok untuk Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan pada beberapa negara Asia
lain.

Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan


eksekutif terdiri dari Presiden beserta MenteriMenterinya yang mempunyai tanggung jawab
politik. Karena fragmentasi partai-partai politik setiap kabinet berdasarkan kondisi yang berkisar
pada satu atau dua partai besar dan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata tidak berjalan dengan
baik dan partai-partai koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktusewaktu,
sehingga kabinet seringkali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri.
Umumnya kabinet dalam masa pra-pemilihan umum yang diadakan dalam tahun 1955 tidak
dapatt bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan
ekonomi politik dan politik oleh karena pemerintah tidak memperoleh kesempatan melaksanakan
programnya.

Namun pada periode ini kedudukan parlemen sangat kuat dan pada gilirannya menguat pula
kedudukan partai politik karena itu segala hal yang terkait dengan kebijakan negara tidak lepas
dari sikap kritis para anggota parlemen untuk mendebatnya baik melalui forum parlemen maupun
secara sendiri- sendiri.

2. Demokrasi Terpimpin Periode 1959-1965

Ciri sistem politik pada periode ini adalah dominasi peranan presiden, terbatasnya peranan
partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
sosial politik. Dalam praktik pemerintahan, pada periode ini telah banyak melakukan distrosi
terhadap praktik demokrasi. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk
mencari jalan keluar dari kemacetan politik yang terjadi dalam sidang konstituante merupakan
salah satu bentuk penyimpangan praktik demokrasi.

Begitu pula dalam UndangUndang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa bagi seorang presiden
dapat bertahan sekurang-kurangnya selama lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963
yang mengatakan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan
waktu lima tahun.

Banyak terjadi penyimpanganpenyimpangan pada praktik demokrasi, terutama pada bidang


eksekutif. Misalnya Presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif. Hal itu
dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 19/1964, di bidang legislatif presiden dapat
mengambil tindakan politik berdasarkan peraturan tata tertib peraturan presiden Nomor 14/1960
dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai manfaat. Demokrasi terpimpin
Soekarno bukanlah demokrasi yang sebenarnya, melainkan sebagai bentuk keotoriteran. Bentuk
sistem demokrasi ini tidak mencerminkan arti dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi terpimpin
dari Soekarno berakhir dengan lahirnya Gerakan 30 September PKI (G30SPKI).

3. Demokrasi Pancasila Periode 1965-1998

Periode pemerintahan ini muncul setelah gagalnya G30SPKI. Landasan formil periode ini
adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta ketetapan MPRS. Semangat yang mendasari
lahirnya periode ini adalah ingin mengembalikan dan memurnikan pelaksanaan pemerintahan
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni.

Untuk meluruskann dari penyelewangan terhadap UndangUndang Dasar yang terjadi pada
masa Demokrasi Terpimpin, kita telah mengadakan tindakan korektif. Ketetapan MPPS Nomor
III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidap untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan
jabatan Presiden kembali menjadi selektif selama lima tahun. Pada periode ini praktik demokrasi
di Indonesia senantiasa mengacu pada nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Maka
dari itu demokrasi pada masa ini disebut dengan Demokrasi Pancasila. Karena dalam demokrasi
pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi, karena rakyat
mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu juga dengan partisipasi
politik yang sama semua rakyat. untuk itu pemerintah patut memberikan perlindungan dan
jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik. Akan tetapi, “Demokrasi Pancasila”
dalam rezim orde baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praksis atau
penerapan. Karena dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini sangat tidak
memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.

4. Demokrasi Periode Reformasi

Pelaksanaan demokrasi di era reformasi (1998-sekarang) ditandai dengan lengsernya presiden


terdahulu, Soeharto yang menjabat sebagai presiden selama sekitar 32 tahun. Demokrasi
Indonesia periode reformasi meletakkan fondasi yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi Indonesia
pada masa selanjutnya. Terdapat beberapa indikator pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu:

a. Diberikan kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan
dan kenegaraan.
b. Berlakunya sistem multipartai, diberlakukan ini terlihat pada Pemilihan Umum 1999.
Masa ini Kesempatan pada rakyat untuk berserikat dan berkumpul sesuai ideologi dan
aspirasi politiknya.

Karakteristik periode reformasi merupakan demokrasi Pancasila. Warga negara bertugas


mengawal demokrasi agar dapat teraplikasikan dalam aspek kehidupan. Karakteristik demokrasi
pada periode reformasi adanya Pemilu lebih demokratis, terjadi perputaran kekuasaan dari
pemerintah pusat hingga daerah. Pola rekrutmen politik terbuka Hak-hak dasar warga negara,
rekrutmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka. Setiap warga negara
yang mampu dan memenuhi syarat dapat menduduki jabatan politik tanpa diskriminasi. Hak-hak
dasar warga negara terjamin, sebagian besar hak dasar rakyat bisa terjamin seperti adanya
kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan sebagainya.

B. DEMOKRASI DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA


1. Prinsip Dan Jaminan Hak Warga Negara Menurut UUD 1945

Sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas
mengemukakan pendapat tetapi harus bertanggung jawab dan beretika dalam berpendapat.
Menentukan parameter nilai etika dalam berpendapat yang ideal sangat sulit. Setiap upaya
penentuan batas nilai etika berpendapat akan divonis sebagai pengebirian berpendapat. Bahkan
undang undang baru seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang
diciptakan oleh para ahli hukum dan pendekar demokrasi saja dianggap mengkebiri kebebasan
berpendapat.

Etika berpendapat tersebut tidak perlu harus sesuai dengan etika adat ketimuran atau etika
kesopanan. Tetapi layaknya dalam berpendapat harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya tanpa
harus men”justifikasi” fakta yang masih belum jelas. Artinya, dalam kebebasan berpendapat tidak
boleh memutarkan balikkan fakta kebenaran yang ada. Bila hal ini terjadi akan merupakan fitnah
dan pencemaran nama baik. Bila etika berpendapat hanya melanggar etika adat, budaya dan
kesopanan tidak terlalu masalah karena sangsi yang didapat hanyalah sekedar sangsi sosial.

Kebebasan berpendapat/mengemukakan pendapat merupakan hak untuk setiap WNI yang


dijamin oleh UUD 1945, bahkan hak kebebasan berpendapat menempati kedudukan yang paling
tinggi dalam aas-asas demokrasi dan liberalisasi, hanya saja hak tersebut tetap ada koridor atau
batasan hukumnya. Ada juga yang penyalurannya lewat lembaga perwakilan di DPR atau DPRD
dan hak kebebasan berpendapat tidak boleh melanggar daripada hak-hak orang lain karna pada
dasarnya setiap warga negara memiliki hak kebebasan berpendapat yang posisinya sama.
Dalam menggunakan hak mengemukakan pendapat yang dianut negara kita, kita harus
memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab. Bebas artinya, bahwa segala ide, pikiran atau
pendapat, dapat dikemukakan secara bebas tanpa ada tekanan dari siapapun juga. Sedangkan
bertanggung jawab artinya, bahwa ide, pikiran atau pendapat tersebut mesti dilandasi oleh akal
sehat, niat baik dan norma-norma yang berlaku.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan


bertanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasal
28 UUD 1945 serta amandemen yang sudah empat kali dilakukan serta prinsip hukum
internasional sebagaimana yang tercantum dalam pasal 29 deklarasi universal HAM dekrit 1949
yang berlaku secara universal di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan UU No. 9/1998 tentang
kebebasan menyampaikan pendapat di muka umu, terdapat lima asas, yang merupakan landasan
kebebasan bertanggung jawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum,
yaitu:

1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban


2. Asas musyawarah dan mufakat
3. Asas kepastian hak dan keadilan
4. Asas proporsionalitas
5. Asas mufakat

Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk :

1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain


2. Menghormati aturan-aturan moral yg diakui umum
3. Mentaati hukum dan peraturan yang berlaku
4. Menjaga keamanan dan ketertiban umum
5. Menjaga keutuhan persatuan kesatuan bangsa

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengemukakan pendapat secara bebas dan
bertanggung jawab, yaitu :

1. Pendapat yang dikemukakan serta argumentasi yang kuat dan masuk akal sehingga tidak
sembarangan berpendapat
2. Pendapat hendaknya mewakili kepentingan orang banyak sehingga bermanfaat bagi
kehidupan bersama
3. Pendapat dikemukakan dalam kerangka aturan yang berlaku, sehingga tidak melanggar
hak
4. Orang yang brpendapat harus terbuka dan siap menerima kritik dan saran dari orang lain
5. Penyampaian pendapat hendaknya dilandasi oleh suatu keninginan dan kebaikan bersama
untuk mengembangkan nilai-nilai keadilan dan demokrasi Tetapi warga negara bebas
mengungkapkan pendapat asal tidak bertentangan dengan falsafat yakni pancasila, UUD
1945, dan tujuan negara republik Indonesia

2. Tinjauan Hukum Kehidupan Terhadap Kebebasan Warga Negara dan Demokrasi di Indonesia

Sebuah negara dikatakan demokratis apabila negara tersebut terus berproses menuju ke
masyarakat demokratis. Salah satu indikasi kuat kreteria negara demokratis adalah adanya
pemilihan umum yang jujur dan adil. Seperti diakui oleh pengamat Internasional bahwa sejak
tahun 1999 Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara relatif adil dan jujur. Bahkan pada
pemilu tahun 1955 pun diakui sebagai pemilu yang adil.

Masalahnya sekarang kenapa dari pelaksanaan pemilu ataupun pilkada di banyak daerah
selalu diwarnai oleh keributan yang tidak jarang menjadi kerusuhan? Padahal jika kita menilik
nilai-nilai demokrasi sejatinya hal tesebut justru bertentangan dengan demokrasi. Dalam
pengamatan selanjutnya ternyata Indonesia masih dalam tataran melakasanakan demokrasi pada
tingkatan prosedural yaitu sesuai dengan prosedur demokratis seperti adanya pemilu, adanya
lembaga-lembaga perwakilan dan seterusnya

Sistem demokrasi agaknya masih dinilai lebih baik dari sistem lainnya termasuk di dalamnya
sistem kerajaan, atau system militer yang cenderung fasis atau totaliter. System Islam yang
menunjuk pemipin sebagai raja juga dinilai cenderung oligarki (kekuasaan tidak berpindah dari
kerabatnya) sehngga dinilai merugikan kelompok lain.

Indonesia termasuk memilih system demokrasi. Namun demokrasi yang dimaksud, agar para
pemimpin partai/kelompok dalam mencari uang atau menyumbang ke dalam partai harus
dilakukan secara transparan dan akuntabilitas sehingga uang tersebut bukan dari hasil keculasan
atau korupsi. Itulah sebabnya, ketika UU politik disetujui banyak pihak berkomentar agar factor
modal tidak menjadi factor utama dalam mengembangkan system demokrasi Indonesia.

Mendapat kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, semua bebas berunjuk rasa


mengeluarkan segala aspirasinya. Namun sayang, aksi ini kadang-kadang dilakukan dengan cara-
cara yang tidak terpuji bahkan cenderung anarkis. Sejatinya unjuk rasa dilakukan untuk membela
kepentingan rakyat, tetapi yang terjadi justru merugikan rakyat yang lain, karna banyaknya
fasilitas publik yang menjadi rusak atau terganggu.

Di kalangan elit pejabat/politikus, kebebasan dalam dalam mengeluarkan pendapat juga


sangat bebas, sehingga tidak jarang memikirkan tentang etika politik dan bertutur kata yang baik
di muka publik. Hal tersebut tentu saja memberikan dampak yang negative, berupa tingkat
kepercayaan masyarakat menjadi menurun

Mencermati fenomena yang terjadi sebagaimana tersebut di atas, kedepannya perlu ada
kebijakan atau regulasi dari pemerintah untuk menjamin semua kepentingan banyak
orang(masyarakat pada umumnya). Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia. karena
pada kodratnya setiap individu memiliki perbedaan, termasuk didalamnya adalah tingkat
pengetahuan/pendidikan, pola pikir, cara pandang dari suatu permasalahan pun berbeda.

Untuk dapat menjamin setiap warga negara dalam menjalankan haknya tersebut maka
komunitas/negara membuat aturan aturan agar dalam menjalankan haknya tersebut tidak
berbenturan dengan hak orang lain. sebagaimana tercantum dalam UUD 45 Amandemennya :

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis

Anda mungkin juga menyukai