Kelompok 5 :
Yermia Nikolas
Pebriana Dara Sesa
Tami
Yogi
Rahmat
Raqietama
Muhammad Ilyasa
Gianluca Bily Argo
D. Demokrasi di Indonesia
Menurut Mirriam Budiarjdo, dilihat dari sejarah, demokrasi di Indonesia, dibagi dalam tiga
masa, yaitu:
Pada masa sistem parlementer, model demokrasi consensus yang berdasarkan UUD 1949 dan
1950 tidak sesuai dengan Indonesia karena pada umumnya cabinet pada masa pra-pemilihan
umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lama dari delapan bulan. Hal ini
menghambat perkembangan ekonomi dan politik karena pemerintah tidak mendapatkan
kesempatan untuk melaksanakan programnya.
Pada masa Orde Baru kekuasaan eksekutif sangat kuat sehingga pada masa ini Soeharto
menjadi penguasa yang otoriter. Hlal ini terlihat lemahnya peranan Dewan Perwakilan Rakyat
pada saat itu sebagai lembaga legislatife yang tidak mampu menandingi dominasi badan
eksekutif.
Pada masa Reformasi tampak perimbangan kekuatan antara eksekutif dan legislative,
perpaduan sistem parlementer dan presidensial di Indonesia. Sistem pemerintahan saat ini
mengarah pada sisitem parlementer karena presiden mengakomodasi kekuatan dari lembaga
lain, seperti yang terjadi pada sistem parlementer.
E. Analisis Demokrasi Indonesia Berdasarkan Model Demokrasi
Arendt Lijphart
Menurut Arendt Lijphart, yaitu model demokrasi Westminster dan model demokrasi consensus,
model yang lebih sesuai di Indonesia adalah model demokrasi consensus. Karena hal ini
disebabkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 185 juta dan terdiri atas berbagai suku bangsa
(heterogen) maka peranan kelompok minoritas juga penting dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian, kelompok minoritas mempunyai perwakilan di parlemen. Karena penduduk
Indonesia heterogen, diperlukan sistem multipartai agar aspirasi kelompok minoritas
mempunyai perwakilan di parlemen. Sebagaimana menurut Lijphart dalam model demokrasi
consensus bahwa mayoritas yang memerintah dan minoritas menjadi oposisi.
Akan tetapi, UUD 1945 lebih cenderung pada model Westminster, yaitu dengan kekuasaan
eksekutif yang dominan. UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) tegas menyebutkan Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Artinya, pemerintahan yang kita anut adalah sistem
presidensial.
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan
negara Indonesia lebih condong pada sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan
dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan
locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan
‘’Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat’’. Kedua
pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan
dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut
dalam Penjelasan UUD 1945. Sistem presidensial tidak mengenal lembaga pemegang supremasi
tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ketiga cabang, yaitu legislative,
eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh
Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang
lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada presiden sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah
pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR
adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislative (legislative councils). Presiden
tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan presiden. Dengan
demikian, presiden dan DPR bersama-sama menyusun undang-undang.
Dalam praktik pemerintahan presidensial yang berlangsung selama ini, terutama sebelum
perubahan UUD 1945 diserahkan sepenuhnya kepada Presiden dan menempatkannya sebagai
hak prerogative Presiden, akibatnya semua berjalan dengan landasan Keppres, seperti
pembentukan cabinet, pengangkatan menteri, duta, konsul, grasi, amnesty, abolisi, rehabilitasi,
pemberian gelar, kesemuanya tidak ada kontrol yang ‘’cukup’’ dari lembaga negara lainnya.
Catatan sejarah politik ketatanegaraan kita jelas membuktikan apabila penggunaan hak-hak
prerogative yang pernah dipraktikkan di masa lalu, malah menyebabkan timbulnya model
kekuasaan politik yang tidak terkontrol. Penggunaan hak prerogative harus dibatasi.
Sistem pemerintahan presidensial periodic atau model demokrasi Westimenster yang sedikit
diubah dari empat tahun menjadi lima tahun, dan motto kenagaraan yang sangat fundamental,
yaitu E Pluribus Unum mengilhami digunakannya ungkapan Sansekerta, Bhineka Tunggal Ika.
Kedua motto itu menunjuk pada pengertian yang amat penting, yaitu ‘’persatuan dalam
perbedaan’’ (unity in diversity), dengan kandungan makna toleransi, pluralisme, dan
inklusifisme. Sekalipun menghasilkan tiruan yang tidak sempurna, Indonesia adalah negara
pertama di dunia yang ingin menerapkan model Amerika, yang kemudian disusul oleh negara
lain, seperti Filipina, Taiwan, dan Korea Selatan.
Para bapak pendiri negara, dipelopori oleh Bung Karno, mencoba mewujudkan cita-cita modern
nation state Indonesia tersebut segera setelah proklamasi kemerdekaan. Akan tetapi, mereka
segera terbentur pada kenyataan belum tersedianya prasarana sosial-budaya pada bangsa ini
untuk mendukung ide-ide negara modern tersebut. Rentetan coba-salah yang dilakukan
akhirnya berujung pada malapetaka politik 1965, hanya 20 tahun setelah proklamasi.
Menimbang:
a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat adalah bagian
dari hak asasi manusia sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republic Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa usaha untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan
kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republic Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan hukum;
c. bahwa kaidah-kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat,
transparansi, keadilan, aspirasi, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif
dalam Negara Kesatuan Republic Indonesia perlu diberi landasan hukum;
d. bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting
dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan,
kebersamaan, kesetaraan, dan kejujuran;
e. bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang
menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninsme telah melakukan
pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republic Indonesia, oleh karena
itu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republic Indonesia Nomor
XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai
Organisasi Terlarang di Seluruh wilayah Negara Republic Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan
Paham atau Ajaran Komunsime/Marxisme-Leninisme harus tetap diberlakukan dan
dilaksanakan secara konsekuen;
f. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik sudah tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan, serta atas dasar
amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001 tentang
Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republic Indonesia oleh
Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyaratan Rakyat Republic
Indonesia Tahun 2001 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republic Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republic Indonesia Tahun 2002,
karena itu perlu diperbaharui;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f
perlu dibentuk undang-undang tentang partai poltik;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal24C ayat
(1), Pasal 27 ayat (1),dan Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1