Anda di halaman 1dari 7

TUGAS SISTEM POLITIK INDONESIA

KEHIDUPAN PARTAI POLITIK SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Disusun Oleh: Adam M.Yusuf Dhaness Dedi Eryka Farisa Hafidu Galih Wahyu Pratama Intan Fitriani Muhammad Falahuddin Meyco Adi Saputra Nurdian Sigit Stephanie M. P.

JUMLAH UNIT YANG BERINTERAKSI SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Dasar hukum yang dipakai sebagai landasan kebijakan jumlah partai yang dapat bertahan di era demokrasi terpimpin adalah Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Melalui kedua Penpres tersebut diambil kebijakan untuk menyederhanakan jumlah partai melalui seleksi atas dasar kriteria kuantitatif. Adapun syarat dapat dibubarkannya partai politik apabila tidak memenuhi syarat yaitu mampu menghimpun anggota yang terdaftar secara resmi minimal 150.000 orang dan dengan keharusan mempunyai daftar nama, umur dan pekerjaan anggotanya Atas dasar kedua landasan hukum tersebut presiden mengeluarkan Keppres Nomor 28 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 440 Tahun 1961, yang menetapkan bahwa hanya sepuluh parpol yang mempunyai hak hidup yaitu PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti. Selain itu dikeluarkan pula Keppres Nomor 200 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1961, yang menetapkan pembubaran partai Masjumi dan PSI dengan dasar pertimbangan bahwa banyak tokoh-tokoh kedua partai tersebut yang terlibat pemberontakan PRR/PERMESTA.

DISTRIBUSI KEKUATAN ANTAR PARTAI SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi terpimpin dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang nyata dimiliki oleh Perdana Menteri, kabinet dan parlemen. Kegiatan partisipasi politik di masa itu berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, demikian, masa itu ditandai oleh terlokalisasinya proses politik dan formulasi kebijakan pada segelintir elit politik semata, hal tersebut ditunjukan pada rentang 1945-1959 ditandai dengan adanya

tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit partai dan masyarakat berada dalam keadaan terasingkan dari proses politik. Penyebaran kekuatan partai politik pada masa demokrasi terpimpin tidak terdistribusi secara rata dikarenakan adanya sikap dominasi pemerintah terhadap salah satu partai yaitu Partai Komunis Indonesia, hal ini menyebabkan perkembangan partai-

partai lainnya menjadi stagnan. Sedangkan untuk partai-partai yang berbasis agama tidak dapat berkembang secara luas dikarenakan basis massa partai tersebut hanya untuk kalangan umat agama mereka masing masing. Selain dari alasan alasan tersebut kebijakan pemerintah untuk memberikan keleluasaan yang begitu besar pada PKI karena hubungan diplomatik antara pemerintah pada masa demokrasi terpimpin dengan Blok Timur seperti China dan Rusia. Dari hubungan diplomatik tersebut Indonesia mendapatkan pengaruh politik sistem komunisme yang berkembang. Menjadikan partai komunis lebih dominan dibandingkan dengan partai politik. DINAMIKA SISTEM KEPARTAIAN DI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapat tempat yang sangat menonjol. Para pemimpin bangsa Indonesia saat itu bersepakat untuk memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian di tungkan kedalam UUD 1945. Pada awal perjalanannya, melalui pasal IV aturan pealihan UUD 1945, presiden di beri kekuasaan sementara untuk melakukan kekuasaan MPR,DPR,dan DPA sebelum lembaga-lembaga konstitusional dibentuk sebagaimana mestinya. Partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Sistem multi partai terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966. Pada pemilu 1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977, jumlah partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja. Mengkaji sejarah tentang sistem kepartaian di indonesia, ternyata terjadi pengulangan sejarah, sistem multi partai atau sistem banyak partai. Pada awal negara ini berdiri sistem multi partai ini terasa berfungsi sebagai alat pergerakan rakyat untuk meraih kemerdekaan dan kedaulatan negara, dengan membentuk satu wadah pergerakan dan perjuangan dalam rangka mencapai tujuan bersama, hasilnya pun menggembirakan untuk kelangsungan bernegara. Awal sistem demokrasi liberal merupakan rentetan dari sistem kepartaian multi partai, yang membawa negara ini pada ketidakstabilan pemerintahan sehingga pemerintahan sering jatuh bangun karena tak mendapat dukungan di parlemen. Kondisi ini terus berlangsung semasa pemerintahan Presiden pertama Indonesia. Berbagai penilaian terhadap sistem pemerintahan ini

ditanggapi pemerintah dengan kembali ke UUD 1945 dengan mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959. Kondisi kepartaian ini membuat rakyat menjadi jenuh dengan banyaknya pilihan yang terkesan demokratis, bebas dan variatif namun bila dilihat visi dan misi partainya itu serupa, hanya terdapat variasi pemikiran politik yang sedikit beda kata dan retorika. Gejala semacam ini sudah patut dihentikan dan dirubah dengan sistem kepartaian dengan 2 partai politik saja yaitu partai politik pemerintah dan partai Oposisi yang akan berebut simpati rakyat Indonesia. Pemikiran ini didasarkan pada pengelolaan negara yang simpel, cepat, sederhana dalam mengambil keputusan, serta unsur ketegasan hanya ada kata setuju atau tidak setuju tak ada kata lain. Tentu saja beroposisi yang didasari pada praktek demokrasi yang elegan dan beradab, bersaing sehat dalam masa lima tahun sekali.

Integrasi Sistem Kepartaian Era Demokrasi Terpimpin Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik, menunjuk jumlah partai untuk mengetahui bagaimana mayoritas mutlak di parlemen terbentuk. Ukuran integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis partai-partai yang membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan kondisi pemilu tahun 1955 yang menunjukan adanya jarak ideologis yang ekstrem antara PKI yang diujung kiri spectrum ideologi dan masyumi diujung kanan. Kehidupan sistem kepartaian yang terjadi pada era demokrasi terpimpin semakin terpojok dan mendapat tolakan dari para elit politik, ketika partai-partai politik itu semakin egois mementingkan golongan atau kelompoknya dan ini tercermin sangat nyata pada sidang-sidang dewan konstituante. Beberapa tokoh elit politik seperti misalnya Moh Hatta, presiden Soekarno dan golongan militer yaitu kolonel A.H. Nasution sangat tidak setuju pada perkembangan kehidupan kepartaian yang cenderung sangat liberal itu. Perpecahan pandangan elit politik dan militer terhadap kehidupan sistem kepartaian yang pada waktu itu dapat dipetakan secara lebih terinci sebagai berikut: a. Kelompok orang yang memandang instabilitas politik dan pemerintahan diakibatkan oleh sistem pemerintahan dan sistem multi partai. Oleh karenanya sistem itu harus diubah dengan kembali ke sistem pemerintahan presidensial dan rasionalisasi atau

penyederhanaan jumlah partai. Kedalam kelompok ini dapat dimasukkan presiden Soekarno dan golongan militer b. Kelompok yang memandang instabilitas politik bukan dikarenakan banyaknya jumlah parpol atau system kepartaian yang dianut, tetapi hanya dikarenakan oleh ulah orangorang partai yang menjadikan partai bukan sebagai alat, tetapi tujuan. Pendapat ini dikemukakan oleh Moh Hatta. c. Kelompok yang memandang bahwa sistem kepartaian yang dianut sudah benar, karena demokrasi itu masih ada, sehingga harus ada kebebasan partai-partai politik. Kalau partai-partai ditiadakan, maka demokrasi itu tidak ada dan diatas itu muncul kediktatoran. Pendapat ini dipelopori oleh ketua masyumi M. Natsir Puncak dari pro dan kontra mengenai banyaknya parpol yang layak hidup di Indonesia pada waktu itu adalah ketika presiden Soekarno membubarkan beberapa partai politik yang ada dan hanya memperbolehkan berdiri sepuluh partai politik. Dasar hukum yang dipakai sebagai landasan kebijakan tersebut adalah Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Penpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Melalui kedua Penpres tersebut diambil kebijakan untuk menyederhanakan jumlah partai melalui seleksi atas dasar kriteria kuantitatif. Adapun syarat dapat dibubarkannya partai politik apabila tidak memenuhi syarat yaitu mampu menghimpun anggota yang terdaftar secara resmi minimal 150.000 orang dan dengan keharusan mempunyai daftar nama, umur dan pekerjaan anggotanya. Selanjutnya atas dasar kedua landasan hukum tersebut presiden mengeluarkan Keppres Nomor 28 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 440 Tahun 1961, yang menetapkan bahwa hanya sepuluh parpol yang mempunyai hak hidup yaitu PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti. Selain itu dikeluarkan pula Keppres Nomor 200 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1961, yang menetapkan pembubaran partai Masjumi dan PSI dengan dasar pertimbangan bahwa banyak tokoh-tokoh kedua partai tersebut yang terlibat pemberontakan PRR/PERMESTA. Dari uraian dimuka dapat disimpulkan bahwa setelah diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit presiden 5 Juli 1959, yang menjadi landasan hukum kehidupan kepartaian di Indonesia mengacu kembali pada pasal 28 atas dasar landasan konstitusional tersebut semestinya harus di bentuk UU yang mengatur kebebasan berserikat dan kebijakan yang diambil yaitu menyerahkan kebebasan kepada masyarakat.

Secara realistis dasar hukum yang dipakai untuk menjabarkan pasal 28 UUD 1945 adalah Penpres dan kebijakan yang dipilih., adalah pembatasan yang dilakukan oleh presiden yang hanya megijinkan berdirinya sepuluh partai politik berdasarkan Keppres Nomor 128 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 440 Tahun 1961. Meskipun terdapat pembatasan jumlah partai tetapi pada waktu itu sistem kepartaian yang dianut masih menggunakan sisitem multi partai. Selain itu pada era ini memunculkan pula fenomena baru, yaitu militer yang pada era sebelumnya terpinggirkan dari langgang politik, mulai muncul sebagai kekuatan politik baru. Anggota-anggota militer yang ada pada jabatan jabatan politis, anggota-anggota militer menjadi anggota parlemen, kabinet dan dewan nasional menunjukan fenomena tersebut. Fenomena ini menjadi semakin menarik pada waktu militer memprakarsai dan mensponsori lahirnya himpunan kekuatan golongan fungsional kekaryaanyang dinamai Golkar pada tanggal 20 Oktober 1964, pada awalnya ide pembentukkan himpunan ini untuk menandingi membentangnya dominasi pengaruh PKI disemua sector organisasi Negara.

Impact politis dari perubahan-perubahan terhadap sistem kepartaian secara keseluruhan Pengaruh secara langsung dari demokrasi terpimpin adalah Dominasi Presiden, dimana presiden memegang peranan terpenting dalam kekuasaan. Dengan tidak terbatasnya kekuasaan presiden menimbulkan sikap otoriter dari presiden hal ini tercermin dari kepeutusan keputusan presiden melalui ketetapan yang dilakasanakan pada masa itu seperti yang telah di jelaskan diatas. Pengaruh secara politis yang paling terasa adalah dengan terbatasnya peran partai politik di masa itu, bahakan seperti dijelaskan diatas salah satu partai besar pada pemilu 1955 yaitu Masyumi dibubarkan, hal ini berkaitan dengan ketakutan pemerintah akan dominasai ataupun pengaruh faham yang disebarkan oleh masyumi. Pengaruh yang berkembang pada masa demokrasi terpimpin adalah paham komunis, dimana pengaruh ini disebarkan oleh Partai Komunis Indonesia. PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antaranasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Dari beberapa partai yang masih dapat bertahan di era ini juga terdapat beberapa efek negatif yang ditimbulkan yaitu mengaburnya sistem kepartaian dengan dominasi yang begitu besar dari PKI, pada masa ini juga terjadi penangkapan pemimpin pemimpin partai. Sehingga dengan cara ini partai partai yang ada pun tidak dapat menngembangkan fahamnya. Perihal dampak buruk dengan memberlakukan sistemmultipartai yang berlebihan seperti di Indonesia yang jumlahnya mencapai 34 partai hingga menjelang pemilu tahun 2009 juga pada akhirnya memberikan dampak buruk, baik bagi kinerja eksekutif maupun legislatif. Pada tubuh eksekutif, dampak buruk tersebut dapat dilihat pada menurunnya kinerja pemerintahan dengan mengajukan sebuah survey putaran III yang dilakukan oleh Reform Institute terhadap 2500 responden, dan hasilnya menyatakan bahwarata-rata keberhasilan pemerintahan Kabinet SBY (susilo Bambang Yudhoyono)-Yusuf Kalladibawah 50 persen. Lebih lanjut Rusadi Kantaprawira mengatakan bahwa sistem multipartaiyang diterapkan di negaranegara berkembang khususnya dalam konteks Indonesia yangmemiliki jumlah partai politik luar biasa, pada realitanya relatif menumbuhkan instabilitasdibandingkan dengan negara yang menerapkan multipartai namun dengan jumlah yang rasionalatau di negara yang menganut sistem dua partai. Masih dari pendapat yang sama Rusadi menyatakan juga bahwa pada hakekatnya sistem multipartai itu tidak banyak berbeda dengantiadanya partai dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai