ROEM
Mr. Moh. Roem merupakan seorang diplomat dan salah satu
pemimpin Indonesia di perang kemerdekaan Indonesia.
Ttl : Temanggung, 16 Mei 1908
Meninggal : Jakarta, 24 September 1983
Pasangan : Markisah Dahlia (m. 1932-1983)
Anak : Rumeisa dan Roemoso
Awal Kehidupan
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah
menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau
Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de
Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat
Minangkabau.
Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi
kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan
PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif
(Lajnah Tanfidziyah). Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih
menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian
bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah
pendidikan agama Islam atau pengkaderan.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda
“Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah
naungan Masyumi. Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam
harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak
akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para
pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus
Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri
Masyumi.
Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai
pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai
diplomat. Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding
RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas,
Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal
14 April 1949.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden
Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung
dalam pemberontak PRRI. Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa
Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di
pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian
sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-
sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka
dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah
pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara
kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain
menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun
1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih
sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi
yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi. Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu,
tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar
seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem
batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-
sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi
Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.
Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi
anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian
Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi
Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).
Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga
berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat
(no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh
karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien
Rais.
Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang
sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun
secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3
diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah
kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah
mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan
sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara
Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”
Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan
majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono,
lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-
Mohammad Roem”. Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan
keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem
mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni
pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
(Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )
Kematian
Ketika Jakarta mulai dikuasai kembali oleh tentara Belanda, pemerintah Republik
dalam bahaya. Mereka mulai melancarkan aksi militer, di antaranya menyerbu pos polisi
Republik seksi VI yang mengakibatkan 13 polisi tewas. Saat mereka dimakamkan pada 21
November 1945, Roem sebagai pejabat Republik ikut menghadirinya. Aksi serdadu Belanda
berlanjut. Kali ini bahkan Roem sendiri yang menjadi korban. Seusai menghadiri pemakaman
13 polisi dan tengah makan siang bersama keluarga dan beberapa kolega seperti Pirngadi dan
Islam Salim, rumah Roem digedor. Pistol salah satu serdadu Belanda memuntahkan peluru
dan mengenai bagian bawah perut, lalu tembus ke bagian belakang di antara pantat dan paha.
“Saya terjatuh, terus pingsan, rasanya waktu itu ajal sudah sampai,” ungkapnya.
Istri dan keponakannya menyangka Roem sudah mati kala itu. Namun setelah
menjalani perawatan selama 70 hari di Centrale Burgelijke Ziekeninrichting (CBZ) yang
sekarang menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ia beranjak sembuh meski harus
memakai tongkat dan kaki kirinya terlihat lebih kecil.
Roem oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir kemudian dijadikan Menteri Dalam Negeri
pada 2 Oktober 1946. Ketika pemerintah RI berkedudukan di Yogyakarta, kota itu diserbu
Belanda pada pada 19 Desember 1948. Bersama Ali Sastroamidjojo seperti ditulis Iin Nur
Insaniwati dalam Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968 (2002:76),
ia dibawa ke Bangka pada 31 Desember 1948, menyusul Hatta dan lainnya sebagai tawanan
perang Belanda.
Nama Roem kemudian banyak diingat setelah perundingan yang dimulai pada bulan
April 1949. Di era pemerintahan Orde Lama, ia menjadi politisi yang kritis sehingga pernah
jadi tahanan politik bersama Sutan Sjahrir.
LINDA ERLIANIS
24/ XII MIPA 5