Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

PETA DI BLITAR ANGKAT SENJATA

Disusun Oleh Kelompok 6:


- Ilhamdi
- Irwanto
- Ririn Maiyuli Santika
- Indriani
- Zulfa Amelia Putri

Guru Pembimbing:
Rian S.Pd

SMA N 1 AMPEK NAGARI


Tahun Pelajaran
2020/2021
Kata Pengantar

Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat allah swt yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga
kita dapat menyelesaikan makalah ini

Dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam membuat makalah ini.

Semoga karya tulis ini dapat berguna bagi pembaca dan penyusun serta juga berharap kritik dan
saran dari pembaca atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAT ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah

BAB II ISI
2.1 Perlawanan Peta
2.2 Kronologi Perlawanan Peta
3.2 Akhir Perlawanan Peta

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pemberontakan PETA di Blitar dilatarbelakangi oleh semakin sulitnya kehidupan rakyat saat itu
dan juga keinginan merdeka atas kepercayaan bahwa tentara Jepang akan segera kalah dalam perang
asia timur raya sesuai berita yang didapat dari radio Internasional dimana satu persatu daerah
kekuasaannya di asia jatuh ketangan sekutu. sehingga sebelum tentara sekutu mendarat di Indonesia
dan mengembalikan Indonesia sebagai wilayah pendudukan Belanda.Indonesia harus merdeka dan
mendapat pengakuan internasional sehingga mencegah hal itu terjadi. Nurani para komandan muda itu
tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh
tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun
benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan.

Banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama
sekali. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan
harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan
mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara
Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang,
walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA
pun terusik dan terhina. Tanggal 14 Februari dipilh sebagai saat perlawanan karena saat itu akan ada
pertemuan besar komandan dan anggota PETA di Blitar sehingga diharapkan anggota PETA yang lain
akan ikut bergabung dalam perlawanan sehingga bisa menguasai Blitar dan mendorong pemberontakan
di daerah lainnya

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa itu perlawanan PETA ?
2. Bagaimana kronologi perlawanan PETA ?
3. Bagaimana akhir perlawanan PETA ?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui perlawanan peta
2. Mengetahui bagaimana kronologi peta
3. Mengetahui akhir perlawanan peta
BAB II
ISI
2.1 Perlawanan Peta
PETA (singkatan dari "Pembela Tanah Air") adalah bentukan junta militer pendudukan
Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda
Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan
Sumatera jika pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, dkk.) tiba. Tentara-tentara
PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Kekaisaran Jepang, tetapi berbeda dengan tentara-
tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia
seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur.
Perlawanan PETA Blitar merupakan salah satu perlawanan terhadap tentara kekaisaran Jepang
yang menguasai Indonesia saat itu.bila melihat dari sejarahnya tentara PETA (Pembela tanah Air)
merupakan organisasi militer yang dibentuk tentara Kekaisaran Jepang sebagai tentara cadangan untuk
melindungi Indonesia. dari serbuan tentara Sekutu (USA,Inggris,Australia,dll ) yang di tahun 1945 terus
mendesak tentara Kekaisaran Jepang Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya
adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas
dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.
Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia
yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang
dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan. Banyak
yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali. Para
prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan
martabat wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan
pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain
itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun
pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun
terusik dan terhina.
Pertemuan-pertemuan rahasia sudah digelar sejak bulan September 1944. Shodancho Supriyadi
merencanakan aksi itu bukan hanya sebagai pemberontakan, tetapi juga sebuah revolusi menuju
kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemberontak PETA tersebut menghubungi komandan-komandan
batalyon di berbagai wilayah lain untuk bersama-sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan
rakyat.
2.2 Kronologi Perlawanan Peta
Pada masa pendudukan Jepang penderitaan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari
pemerintah pendudukan Jepang yang memikirkan kehidupan rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada
benak Jepang adalah memenangkan perang dan upaya mempertahankan Indonesia dari serangan
Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Rakyat menjadi semakin menderita. Penderitaan demi
penderitaan ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta. Tumbuhlah semangat dan
kesadaran nasional, sehingga timbul rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat
penindasan yang dilakukan Jepang. Masalah pengumpulan hasil padi, pengerahan romusa, semua
dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, sungguh kekejaman yang
luar biasa. Hal semacam ini juga dirasakan Supriyadi dan kawan-kawannya di lingkungan Peta. Mereka
kerap menyaksikan sikap congkak dan sombong dari para syidokan yang melatih mereka.

Para pelatih Jepang sering merendahkan para prajurit bumiputra. Hal ini menambah rasa sakit
hati sekaligus rasa benci pasukan Supriyadi terhadap pemerintahan Jepang di Indonesia. Penderitaan
rakyat itulah yang menimbulkan rencana para anggota Peta di Blitar untuk melancarkan perlawanan
terhadap pendudukan Jepang. Rencana perlawanan itu tampaknya sudah bulat tinggal menunggu waktu
yang tepat.

Dalam perlawanan Peta tersebut, direncanakan akan melibatkan rakyat dan beberapa kesatuan
lain. Apa pun yang terjadi, Supriyadi dengan teman-temannya sudah bertekad bulat untuk melancarkan
serangan terhadap pihak Jepang. Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-
temannya mulai bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari
daidan, lalu keluar dengan bersenjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan
penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang Jepang. Pasukan Jepang
juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Mereka segera menghalau para anggota
Peta yang mencoba melakukan perlawanan. Tentara Jepang mulai menguasai keadaan dan seluruh kota
Blitar mulai dapat dikuasai. Pimpinan tentara Jepang kemudian menyerukan kepada segenap anggota
Peta yang melakukan serangan, agar segera kembali ke induk kesatuan masing-masing.
Beberapa kesatuan mulai memenuhi perintah pimpinan tentara Jepang itu. Akan tetapi mereka yang
kembali ke induk pasukannya memenuhi panggilan justru ditangkapi, ditahan, dan disiksa oleh polisi
Jepang. Selanjutnya diserukan kepada anak buah Supriyadi agar menyerah dan kembali ke induk
pasukannya. Kurang lebih setengah dari batalion Supriyadi memenuhi panggilan tersebut. Namun,
pasukan yang lain tidak ingin kembali dan tetap setia melakukan perlawanan Peta yang dipimpin oleh
Supriyadi. Mereka yang tetap melakukan perlawanan itu antara lain peleton pimpinan Shodanco,
Supriyadi, dan Muradi. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.

Untuk menghadapi perlawanan Peta di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua
pasukannya dan mulai memblokir serta mengepung pertahanan pasukan Peta tersebut. Namun,
pasukan Supriyadi tetap bertahan. Mengingat semangat, tekad, dan keuletan pasukan Supriyadi dan
Muradi tersebut, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel
Katagiri berpura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran
dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda
yang telah memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil
mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia
kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri menjanjikan, bahwa segala sesuatu akan
dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka akan diterima kembali
dan tidak akan dibawa ke depan pengadilan militer. Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari
kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan. Di sini
sudah berderet barisan para perwira di bawah pimpinan Daidanco Surahmad. Sejenak kemudian
Shodanco Muradi maju, lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya telah kembali. Mereka
juga menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada
kesatuannya. Mereka tidak menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang
gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan,
diangkut ke Markas Kempetai Blitar. Ternyata Muradi yang sudah menyerah tetap diadili dan dijatuhi
hukuman mati.

Kekuatan Peta ini di bawah Supriyadi ini semakin lemah. Tidak terlalu lama akhirnya perlawanan Peta di
Blitar di bawah pimpinan Supriyadi ini dapat dipadamkan. Tokoh-tokoh dan anggota Peta yang
ditangkap kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Setelah melalui beberapa kali
persidangan, mereka kemudian dijatuhi hukuman sesuai dengan peranan masing-masing dalam
perlawanan itu. Ada yang mendapat pidana mati, ada yang seumur hidup, dan sebagainya. Mereka yang
dipidana mati antara lain, dr. Ismail, Muradi yang sudah disebutkan di atas, Suparyono, Halir
Mangkudijoyo, Sunanto, dan Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak jelas beritanya dan tidak disebut-
sebut dalam pengadilan tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan
1. Jepang telah melakukan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Indonesia. Salah
satunya kebijakan Ekonomi Perang, produk ekonomi yang semua diperuntukkan
pemenangan Perang Asia Timur Raya.
2. Pengendalian pendidikan dan kebudayaan yang berdampak pada kemunduran bidang
ekonomi, rakyat menjadi bodoh dan banyak buta huruf. Bidang seni dan budaya juga
diawasi.
3. Untuk membantu pertahanan Jepang, pemerintah Tirani Jepang telah membentuk
organisasi militer dan semimiliter yang direkrut dari para muda Indonesia.
4. Karena tindak kekejaman dan kesewenang-wenangan Jepang telah menimbulkan
perlawanan di berbagai daerah

3.2 SARAN
Penyusun mengharapkan kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, dan tidak
lupa penyusun juga mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun untuk lebih
menyempurnakan isi daripada makalah ini. Mudah - mudahan Tuhan selalu melimpahkan ridho
dan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Hering,Bob.2003.Mohammad Hoesni Thamrin.Jakarta:Hasta Mitra

Herkusumo,Arniati Prasedyawati.1982.Chuo Sangi In,Jakarta:Rosda Jayaputra

Anda mungkin juga menyukai