Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Adat adalah bagian dari pada Kebudayaan, berbicara kebudayaan dari suatu bangsa atau
suku bangsa maka adat kebiasaan suku bangsa tersebut yang akan menjadi perhatian, atau
dengan kata lain bahwa adat lah yang menonjol didalam mempelajari atau mengetahui
kebudayaan satu suku bangsa, meskipun aspek lain tidak kalah penting nya seperti
kepercayaan, keseniaan, kesusasteraan dan lain-lain.
Dalam matakuliah ISBD kami di tunjuk untuk menjelaskan tentang suku batak, dari adat
istiadat, agama, bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi, sistem kemasyarakatan dan mata
pencarian.
Batak adalah nama sebuah suku bangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di
Sumatra Utara.Sebagian orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam.
Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan
Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu).
Sejarah Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi
(silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan.Raja yang bersangkutan
adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi).Masa kejayaan kerajaan
Batak dipimpin oleh raja yang bernama.Sultan Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah
berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya.
1. Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak
dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu,
Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh
rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar
dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah
administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari
wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli
Utara, dan Asahan.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kami akan membahas
unsur-unsur kebudayaan suku Batak diantaranya :
1. Bagaimana sejarah Batak?
2. Apa yang terdapat pada unsur budaya Batak?

1.3.Tujuan

Dari rumusan masalah diatas kami mempunyai tujua


1. Untuk mengetahui sejarah suku bata
2. Untuk mengetahui unsur yang terdapat pada kebudayaan Batak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Suku Batak

                 Batak merupakan satu istilah yang digunakan untuk kumpulan suku yang terdapat
di daratan tertinggi di Sumatera Utara, Suku Batak berasal dari keturunan Raja Batak. Suku
batak termasuk suku bangsa melayu tua yang berasal dari indocina atau hindia belakang,
nenek moyang orang batak berasal dari utara berpindah ke Filipina dan berpindah lagi ke
Sulewesi Selatan, berlayar hingga akhirnya menetap di pelabuhan barus, kemudian bergeser
ke pedalaman dan menetap dikaki gunung pusuk buhit, di tepi pulau samosir, tempat asal usul
peradaban suku batak.

Keturunan suku batak berasal dari hindia muka (india), pindah ke burma, kemudian
ke tanah genting Kera di Utara Malaysia. Berlayar sampai ke tanjung balai batubara dan di
pangkalan brandan atau kuala simpang di aceh dari sana naik ke pedalaman danau toba. Suku
batak termasuk dalam rumpun proto-melayu yang berasal dari Asia selatan yakni dari
burmayang berlayar sampai malaysia, menyeberang dan menghuni daerah sekitar danau toba.

2.2    Unsur-unsur kebudayaan
A.    Realigi
a.       Kepercayaan Asli Suku Batak
Kepercayaan yang dianut suku batak sebelum mengenal agama protestan dan islam adalah
kepercayaan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon
dan bertempat tinggal diatas langit, bahkan pada masyarakat daerah pedesaan belum
meninggalkan kepercayaan tercebut. mereka mempunyai system kepercayaan dan religi
tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan diatas langit dan pancaran kekuasaan-
Nya terwujud dalam Debata Natolu.
·         Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu :
1)      Debata Mula Jadi Na Bolon : bertempat tinggal diatas langit dan merupakan maha
pencipta;
2)      Siloan Na Bolon : berkedudukan sebagai penguasa dunia makhluk halus. Dalam
hubungannya dengan roh dan jiwa.
Orang Batak mengenal tiga konsep yaitu :
a)    Tondi (adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi
memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila
tondi meninggalkan badan seseorang,  maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka
diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.)
b)   Jiwa
c)    Roh
3)      Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang, semua orang memiliki tondi,tetapi
tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang
dimiliki para raja atau hula-hula.
4)      Begu : tondinya orang yang sudah mati, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku
manusia, hanya muncul pada waktu malam. Orang batak juga percaya akan kekuatan sihir
dari jimat yang disebut tongkal.
b.      Parmalim
Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama  Malim. Agama Malim yang dalam
bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama
asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas
muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing
Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat
pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini tidak mengenal Surga atau sejenisnya, sepeti agama umumnya, selain Debata
Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhur, belum ada ajaran yang pasti
reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk
menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat
Sumangot dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur, juga
dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti Kaum Hula-hula
(dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup,
masih hanya untuk suku Batak, karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap
orang harus punya marga, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan
bumi lainnya, sifatnya tidak universal.
Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME)
sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh
"Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di
provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun
kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu
Boti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu '[bulan]
Pertama') serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di
kompleks Parmalim di Huta Tinggi.

c.       Masuknya Agama Islam Di Tanah Batak


Pada abad 19 agama Islam masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan.
Masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh para pedagang
Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang
melakukan menikah dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa perang Paderi di awal abad ke-
19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran
atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas tanah Toba, tidak
dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama
Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan
masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari
masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur.

d.      Misionaris Kristen
Agama Kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebarannya meliputi batak utara.  Pada
tahun 1824, dua misionaris baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan
kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di
dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan
ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat
Batak. Pada tahun 1834 kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Manson dari
dewan komisaris Amerika untuk misi luar negeri.
         Pada tahun 1850, dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van Der Tuuk
untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak-Belanda. Hal ini bertujuan
untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan
masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
            Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861
dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer
Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak
Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama
diselesaikan oleh P.H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam
huruf latin di Medan pada tahun1893. Menurut H.O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah
dibaca, agak kaku dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
            Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat dan pada awal
abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan
periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak
melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan colonial. Perlawanan secara gerilya yang
dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin
kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.

e.       Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan
September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan
keperawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941. Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) didirikan.

B.     Sistem bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa
logat, ialah : logat karo (yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh
Pakpak), logat simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh
orang Toba, Angkola dan Mandailing).

a.       Aksara Suku Batak


Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara
sendiri yaitu aksara Batak. Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis
huruf yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat
dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku lainnya. Sehingga
tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat menguasai beberapa jenis bahasa Batak
sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2(dua) kelompok
utama: bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa
selatan); bahasa Karo, bersama logat Dairi dan Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa
utara). Sedangkan bahasa yang dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua
kelompok bahasa tersebut di atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah
bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa
bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa
Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau Hindu
Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai arah mata angin
utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya,
apakah orang Batak adalah penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau
sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan yang pasti untuk itu.
Aksara Batak Toba terbagi atas dua bagian besar yaitu suku kata dasar yang dibentuk
oleh penggalan suku-suku kata yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa,
dll. Kelompok huruf seperti ini dikenal sebagai ina ni surat atau indung surat. Kelompok
huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu imbuhan yang membentuk penggalan suku
kata gabungan yang tidak terdapat pada suku kata dasar seperti e, i, u, o, eng, ing, ang, ung,
ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba terdapat aturan-aturan yang menggabungkan
antara ina ni surat dan anak ni surat sehingga membentuk sebuah kata dan kalimat yang
memiliki arti. Secara umum pembagian ini juga ada dalam aksara sub suku Batak lainnya.
Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra yang berkembang
dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun
(tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta teka-
taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita rakyat. Dari sekian banyak
mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, kisah yang paling
banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia pertama yang diyakini berasal dari turunan
Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi
dalam mitologi Batak. Bersama dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia
yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk Patiaraja
melahirkan tiga butir telur yang kemudian menetas menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi
Na Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan di
Banua Ginjang. Soripada berkedudukan di Banua Tonga dan Mangala Bulan berkedudukan
di Banua Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (Tiga
Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata). Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na
Bolon kemudian mengirimkan putrinya Tapionda ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk
Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja Batak.
Ini adalah salah satu mitos yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian banyak mitos yang
diturunkan oleh nenek moyang orang Batak kepada para penerusnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa
Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak
tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles
dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.
Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w,
kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.
Istilah-istilah Sansekerta yang  diserap dalam bahasa Batak:
·  Purwa ; Prba ; Timur
·  Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
·  Wamsa ; Bangso ; Bangsa
·  Pratiwi ; Portibi ; Pertiwi
·  Swara ; Soara ; Suara
·  Swarga ; Surgo ; Surga
·  Tiwra ; Simbora ; Perak
b.      Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak
terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di
masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan
masing- masing berdasarkan puak yang menggunakannya. Berikut ini beberapa contoh salam
khas Batak:
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur
Matua Bulung!”

C.    Adat istiadat dan kesenian


a.       Adat
Adat adalah bagian dari pada Kebudayaan, berbicara kebudayaan dari suatu bangsa atau
suku bangsa maka adat kebiasaan suku bangsa tersebut yang akan menjadi perhatian, atau
dengan katalain bahwa adat lah yang menonjol didalam mempelajari atau mengetahui
kebudayaan satu suku bangsa, meskipun aspek lain tidak kalah penting nya seperti
kepercayaan, keseniaan,kesusasteraan dan lain-lain .
Dahulu kala keseluruhan aspek kehidupan orang Batak diatur oleh dan didalam
adat.Gunanyaialah untuk menciptakan keterarturan didalam masyarakat.Kegiatan sehari-hari
didalamhubungan sesama orang Batak selalu diukur dan diatur berdasarkan adat.
Namun keterbukaan akan suku bangsa lain dan membawa budayanya misalnya melalui
asimilasidan akulturasi (proses percampuran dua budaya atau lebih) , dan agama yang
melarang untuk terlibat dalam adat mempengaruhi sikap pada adat dan tradisi membuat
cenderung semakingoyang. Artinya muncul sikap tidak lagi membutuhkan adat istiadat
warisan nenek moyang,meskipun masih banyak yang mematuhi dan melaksana-kan adat
bahkan dibeberapa suku Batak masih membutuhkannya didalam pengaturan masyarakat, dan
kenyataan dapat diharapkansebagai suatu alat pemeliharaan moral.

Orang Batak mengenal 3 (tiga) tingkatan adat yaitu:


1.   Adat Inti,adalah seluruh kehidupan yang terjadi (in illo tempore) pada permulaan
penciptaandunia oleh Dewata Mulajadi Na Bolon. Sifat adat ini konservatif (tidak berubah).
2.   Adat Na taradat,adat yang secara nyata dimiliki oleh kelompok desa, negeri,
persekutuanagama, maupun masyarakat. Ciri adat ini adalah praktis dan flexibel, setia pada
adat inti atau tradisi nenek moyang. Adat ini juga selalu akomodatif dan lugas menerima
unsur dari luar,setelah disesuaikan dengan tuntunan adat yang asalnya dari Dewata.
3.   Adat Na niadathon, yaitu segala adat yang sama sekalibaru dan menolak adat inti dan adat
nataradat, adat na diadatkan ini merupakan adat yang menolak kepercayaan hubungan adat
denganTuhan, bahkan merupakan konsep agama baru (Kristen, Islam dll)yang dipandang
sebagai adat,yang justru bertentangan dengan agama asli Batak atau tradisi nenek moyang.
(Sinaga 1983).

Berdasarkan ketiga tingkatan adat tersebut diatas.Adat yang sekarang dilakoni orang
Batak adalah Adat tingkat kedua.Namun dibeberapa bagaian kelompok Batak sudah
mendekati tingkat ketiga.Meskipun ini terjadi sadar atau tidak sadar dilakukan.
Oleh karena itu Adat kebiasaan atau “Adat Batak”, sesuatu yang sangat penting didalam
kehidupan bermasyarakat bagi suku Batak maka perlu dikhayati maka petuah petuah
dibawahini:
Adat do ugari, Sinihathon ni mulajadi. Siradotan manipat ari, salaon di si ulubalang
arai.Ia adat ido ugari, Ale guru saingganon. Radotan manipat ari, Salaon di ahason.´
Artinya:
Adat ialah aturan, ditetapkan oleh Tuhan yang dituruti sepanjang hari tampak
dalamkehidupan.
Maksudnya: bahwa Adat itu adalah hukum tidak tertulis yang di siratkan oleh Tuhan yang
MahaKuasa kepada nenek moyang terdahulu sehingga merupakan suatu ikatan bagi
yangmenganutnya.
Jikalau adat itu sudah merupakan hukum maka sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
akan berlaku kepadanya, seperti pelanggaran terhadap adat tersebut maka akan dikenakan
sanksi adatkepada sipelanggar sesuai dengan aturan main, seperti hukum acaranya.
Namun karena ada tBatak itu tidak tertulis karena dia merupakan adat kebiasaan yang
turun-temurun. Dan keputusannya tidak tertulis atau ter arsip namun jika eksekusi telah
terlaksana akan bergulir kesegala penjuru dan diwariskan turun temurun hasil keputusan adat
sehingga terkadangmerupakan pengikat yang kuat atas keputusan adat tersebut.yang terasa
terasa sampai kini .
Jadi adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa
menciptakanketerarturan, ketentraman dan keharmonisan, dan adat ditrapkan didalam
kehidupan sehari-harioleh orang Batak, terutama didalam sistem kekarabatan dengan
pedoman prinsip Dalihan Natolu,disamping aturan adat yang lain.
Adat salah satu dari budaya, dan penguraian tentang adat sangat komplek, karena didalam
semuaaspek kehidupan bermasyarakat orang Batak selalu terikat didalam tata cara yang telah
diatur sejak nenek moyang orang Batak, oleh karena itu ukuran terhormat suatu keluarga
selalu diukur dari kemampuan keluarga tersebut mengimplementasi-kannya (adat) didalam
bermasyarakat. 
Namun suatu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa perilaku pelaksanaan adat (budaya)
Batak sudah banyak disusupi dengan unsur-unsur dari luar termasuk pengaruh dari Agama
yang banyak merobah pola berpikir suku bangsa Batak. Meskipun demikian pada saat-saat
situasi sulit umumnya masyarakat tradisional akan kembali pada nilai-nilai budaya
Tradisional, hal ini nampak jelas pada suku Batak, bagai manapun ketat aturan yang
dikeluarkan gereja dalam pelaksanaan adat, sadar atau tidak sadar pelaksanaan adat
tradisional dilakukan juga, seperti margondang dengan Gondang sabangunan (bukan dengan
alat musik modern).

b.      Sistem Kesenian
Seni Tari khas Suku Batak  yaitu: Tari Tor-Tor (bersifat magis), Tari Serampang dua
belas (bersifat hiburan). Alat musik khas Suku Batak yaitu: Musik gondang.
Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua
sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian
orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis
nyanian. Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai
jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari
merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua.Dahulu kala seni tari-menari
duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa
magis.Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan
sejahtera kepada dewa-dewa.Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir,
akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada waktu sudah
mati.Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan
untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
·         Tari Tor-Tor Khas Suku Batak
Tor-tor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Walaupun
secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya
menunjukkan tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang
disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.Tor-tor dan musik gondang ibarat koin
yang tidak bisa dipisahkan.

Gambar  : Tari Tortor

Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan upacara
ritual keagamaan. Juga menari dilakukan juga dalam acara gembira seperti sehabis panen,
perkawinan, yang waktu itu masih bernapaskan mistik (kesurupan).Acara pesta adat yang
membunyikan gondang sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap), erat
hubungannya dengan pemujaan para Dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman
dahulu.Tetapi itu dapat dilaksanakan dengan mengikuti tata cara dan persyaratan
tertentu.umpamanya sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhutan)
melakukan acara khusus yang dinamakna Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang
sabangunan. Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan (yang
mempunyai hajat )akan meminta permintaan kepada penabuh gondang dengan kata-kata yang
sopan dan santun sebagai berikut:

“Amang pardoal pargonci…….


“Alu-aluhon ma jolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa adong, na
jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.”
“Alu-aluhon ma muse tu sumangot ni omputa sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputa paisada,
omputa paidua, sahat tu papituhon.”
“Alu-aluhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.”

Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme
tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga permintaan atau seruan tersebut dilaksanakan
dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur
susunan tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan
memintak jenis gondang, satu persatu jenis lagu gondang, ( ada 7 jenis lagu Gondang) yang
harus dilakukan Hasuhutan untuk mendapatkan (tua ni gondang). Para melakukan tarian
dengan semangat dan sukacita. Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan
adalah seperti : permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang
mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah
ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh
keluarga, serta para undangan.Sedangkan gondang terakhir yang dimohonkan adalah
gondang hasahatan. Didalam Menari banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti
tangan sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, bila itu dilakukan berarti
sipenari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak
silat, atau adu tenaga batin dan lain lain. Selain menari orang Batak juga sangat senang
menyanyi, baik secara perorangan, maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan
bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang
indah permai. Sedangkan andung atau ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara
khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang
berduka dan sedih. Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi
tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan
perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong.
Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan,
doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi
tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat.
Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai
bas, 1 odap-odap dan 5 tagading. Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini
dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar),
taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil)
yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat
gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune
kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai
pengganti taganing).
·         Alat Musik Margondang Khas Suku Batak
1.      Margondang Pada Masa Purba
Yang dimaksud dengan Masa purba adalah masa dimana sebelum masuknya pengaruh agama
Kristen ketanah batak, dimana pada saat itu masih menganut aliran kepercayaan yang bersifat
polytheisme.Pada masa purba penggunaan gondang dalam konteks hiburan maupun
pertunjukan belum didapati masyarakat . Keseluruhan kegiatan di tujukan untuk upacara adat
maupun upacara religi yang bersifat sakral. Oleh karena itu upacara margondang pada masa
purba dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
1)      Margondang adat, yaitu suatu upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi
dari aturan-aturan yang dibiasakan dalam hubungan manusia dan manusia (hubungan
horizontal), misalnya : gondang anak tubu (upacara anak yang baru lahir), gondang manape
goar (upacara pemberian nama/ gelar boru kepada seseorang), gondang pagolihan anak
(mengawinkan anak), gondang mangompoi huta (peresmian perkampungan baru), gondang
saur matua (upacara kematian orang yang sudah beranak cucu) dan sebagainya.
                 Gambar 3 : Gondang Sembilan , alat yang dipakai saat Margondang
2)      Margondang religi, yaitu upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari
suatu kepercayaan tau keyakinan yang dianut dalam hubungan manusia dengan tuhan-nya
atau yang disembahnya (hubungan vertikal), misalnya : gondang saem (upacara untuk
meminta rejeki), gondang mamele, (upacara pemberian sesajen kepada roh), gordang
papurpur sapata (upacara pembersihan tubuh/ buang sial) dan sebagainya.

Walaupun upacara margondang masa purba dibagi ke dalam dua bagian, namun hubungan
dengan adat dan religi dalam suatu upacara selalu kelihatan dengan jelas. Hal tersebut dapat
dilihat dari tata cara yang dilakukan pada setiap upacara adat yang selalu menyertakan unsur
religi dan juga sebaiknya pada setiap upacara religi yang selalu menyertakan unsur adat.
Unsur religi yang terdapat dalam upacara adat dapat dilihat dari beberapa aspek yang
mendukung upacara tersebut, misalnya : penyertaan gondang, dimana dalam setiap
pelaksanaan gondang selalu diawali dengan membuat tua ni gondang ( memainkan inti dari
gondang), yaitu semacam upacara semacam meminta izin kepada mulajadi nabolon dan juga
kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai pemilik gondang tersebut. Sedangkan unsur adat
yang terdapat dalam upacara religi dapat dilihat dari unsur dalihan na tolu yang selalu
disertakan dalam pada setiap upacara. Menurut Manik, bahwa pada mulanya agama dan adat
etnik Batak Toba mempunyai hubungan yang erat, sehingga tiap upacara adat sedikit
banyaknya bersifat keagamaan dan tiap upacara agama sedikit banyaknya diatur oleh adat
(1977: 69).

Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu
upacara, perbedaaan dari kedua upacara tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara
dilaksanakan. Apabila suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang
disembahnya, maka upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu
upacara dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia, maka upacara tersebut dapat di
klasifikasikan ke dalam upacara adat.
2.      Margondang pada Zaman Sekarang
Gambar 4 : ” Margondang pada zaman sekarang “
Margondang pada masa sekarang merupakan perkembangan dari cara berpikir
masyarakat setelah pengaruh gereja sudah sangat kuat pada masyarakat Batak Toba.Dalam
ajaran Kristiani, gereja hanya mengakui satu Tuhan yang harus disembah yaitu Tuhan Yesus
Kristus, apabila ada anggota gereja masih melakukan penyembahan terhadap roh roh nenek
moyang dan kepercayaan mereka yang lama, maka orang tersebut aka dikeluarkan dari
anggota gereja tersebut. Oleh karena itu,muncul beberapa masalah yang bersifat problematic
tentang penggunaan gondang batak dalam kegiatan adat maupun keagamaan .
Di satu pihak orang Batak ingin mempraktikkan dan menghayati gondang itu menurut
visi dan tradisi yang sudah sangat mendarah daging, dilain sisi ada kelompok yang menolak
gondang untuk dipergunakan dalam upacara adat maupun keagamaan, karena mereka melihat
unsur-unsur animism pada gondang tersebut , ada ketakutan mereka mempelajari sejarah
batak dan menghidupi unsur-unsur kebudayaannya. Ketakutan ini timbul karena adanya
predikat yang kurang baik sepeti kafir, kolot da tuduhan lain yang diberikan penganut
kebudayaan tersebut. Pada bagian yang lain ada juga kelompok agama tradisional pada
masyarakat Batak Toba yang menentang ajaran Kristen.
·         Konsep Margondang pada masa sekarang dapat dibagidalam tiga bagian besar, yaitu :
a)   Margondang pesta, suatu kegiatan yang menyertakan gondang dan merupakan suatu
ungkapan kegembiraan dalam konteks hibuan atau seni pertunjukkan, misalnya : gondang
pembangunan gereja, gondang naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dsb.

b)   Margondang adat, suatu kegiatan yang menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari
system kekerabatan dalihan na tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian
marga), gondang pangolin anak (perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang
diluar suku Batak Toba, dsb.
Gambar 5 : Tari Tortor dan Margondang saat pesta pernikahan

c)   Margondang Religi, upacara ini pada saat sekarang hanya dilakukan oleh organisasi
agamaniah yang masih berdasar kepada kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim,
parbaringin, parhudamdam Siraja Batak. Konsep adat dan religi pada setiap pelaksanaan
upacara oleh kelompok ini masih mempunyai hubungan yang sangat erat karena titik tolak
kepercayaan mereka adalah mulajadi na bolon dan segala kegiatan yang berhubungan dengan
adat serta hukuman dalam kehidupan sehari-hari adalah berdasarkan tata aturan yang
dititahkan oleh Raja Sisingamangaraja XII yang diaggap sebagai wakil mulajadi na bolon.

c.       Hasil Kebudayaan Suku Batak


a)      Pakaian Adat Suku Batak
       Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan
simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk
pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah
pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.
       Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari
terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang
memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan
tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
       Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan
yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan
berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka harus
siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah ulos
bermula.
       Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai
tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari
tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung
sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-
jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena
resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak
akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis.
Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.
       Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai
dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu
cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang.
Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut
atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya
jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat artistik.
       Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang
terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi kebutuhan
primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang
menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tetua-tetua adat
dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan
kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau
pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.
       Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan
orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku
Batak.
       Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi
secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa,
karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian
restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
       Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa
seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada
di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi
orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat.
Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa,
dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
       Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak". Pemberian ini
bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya
pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan
semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang
kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.

       Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:
-          Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena
warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos
jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas
tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri
dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di
daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos
ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.
-          Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya
tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani
jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.
-          Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi
(menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki
pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin
perempuan memberikan Ulos Bela yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.
      Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-
teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua
kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini juga
diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas
jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada
waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut
bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat adalah
Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang
tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan
menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos
tersebut.
      Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis
kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.
Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam
upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.
          Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon;
dililitkan dikepala atau di pinggang.
Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara
kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara Tor-tor.
Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.

b)     Rumah Adat Suku Batak


            Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan
terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga , clan
atau kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut
huta (secara khusus bagi orang Batak Toba).
Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi
oleh tembok batu atau tanah (parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat
sehingga hampir mustahil ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang
bisa ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk atau access road ke huta tersebut hanya ada
satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo (gerbang depan) dan
bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya terdapat sebuah pohon beringin
(baringin) atau hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya sebagai perantara antara
dunia tengah dan dunia atas. Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis dan acara-
acara adat orang Batak Toba.
Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta,
yaitu ruma dan sopo yang letaknya biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan
sopo tersebut terdapat halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan
orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama,
sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari segi konstruksi, ciri-ciri yang
bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi
interior bangunan juga berbeda. Dari segi fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak,
sedangkan sopo berfungsi sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun
dan menganyam tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba pada
awalnya tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan susah,
dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal dengan menambahkan
dinding, pintu dan jendela.
Demikian juga rumah adat orang Batak yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah
dan fungsi yang hampir sama. Namun masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan
masing-masing.
Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk
panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian
adalah bentuk atapnya yang melengkung dan runcing di tiap ujungnya.
Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah adat suku Batak ini memiliki
makna dan arti tersendiri.Filosofi rumah adat suku batak memang sangat menarik untuk
dipelajari, mulai dari proses pembangunan rumah sampai segala dekorasi, ternyata semuanya
memiliki makna yang cukup dalam.

c)      Pembangunan Rumah Bolon


Proses pembangunan rumah adat suku Batak selalu dilaksanakan secara gotong
royong. Bahan yang digunakan adalah bahan yang dengan kualitas baik, umumnya seorang
pande (tukang) akan memilih kayu-kayu dengan cara memukul kayu tersebut dengan suatu
alat untuk mencari bunyi kayu yang nyaring.
Pondasi rumah adalah hal yang terpenting, dibuat dengan formasi berbentuk segi
empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat. Makna dari pondasi ini sendiri adalah saling
bekerja sama demi memikul beban yang berat.
Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah tiang yang biasa disebut tiang
“ninggor” dibantu oleh kayu penopang yang lain. Tiang “ninggor” ini lurus dan tinggi, orang
suku Batak memaknainya sebagai simbol kejujuran. Untuk menjunjung tinggi kejujuran,
perlu didukung oleh rasa keadilan (disimbolkan oleh kayu penopang pada “ninggor”).
Di bagian depan atap terdapat “arop-arop” bermakna harapan untuk bisa hidup
layak. Lalu ada “songsong boltok” untuk menahan atap, yang punya arti bila ada pelayanan
tuan rumah yang kurang baik sebaiknya dipendam dalam hati saja.

d)     Interior Rumah Adat Suku Batak


Orang suku Batak selalu membersihkan ruangan rumah dengan cara menyapu semua
kotoran dan mengeluarkannya lewat lubang “talaga” yang ada di dekat tungku masak. Hal ini
juga bermakna untuk membuang segala keburukan di dalam rumah, juga melupakan
kelakuan-kelakuan yang tidak baik.
Di dalam rumah terdapat semacam rumah panggung kecil yang mirip balkon pada
rumah biasa. Tempat ini untuk menyimpan padi, bermakna pula sebagai pengharapan untuk
kelancaran rezeki.
Di setiap rumah di bagian pintu masuk, selalu ada tangga. Bagi orang lain, bila ada
tangga rumah rusak, mungkin akan mengeluh. Tapi bagi orang Batak, bila tangga rumah ini
cepat rusak atau aus, itu malah membanggakan. Karena itu artinya sering dipakai orang atau
dikunjungi orang karena tuan rumah tersebut adalah orang yang baik dan ramah.
-          Gorga
Gorga adalah pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah adat suku Batak. Hiasan ini sendiri
memiliki nama-nama tersendiri berdasarkan bentuk ukirannya :
Ø  Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan matahari yang merupakan sumber kehidupan
manusia.
Ø  Gorga desa naualu : menggambarkan 8 penjuru mata angin yang sangat berkaitan erat dengan
aktivitas ritual suku Batak
Ø  Gorga singa-singa : menggambarkan tuan rumah sebagai orang yang kuat, kokoh, pemberani
dan berwibawa.
Itu beberapa contoh nama gorga, masih cukup banyak nama gorga lainnya yang
memiliki makna tertentu. Gorga sendiri sering dilukis dengan 3 warna :
Ø  Merah : melambangkan kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir kebijaksanaan.
Ø  Putih : melambangkan kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
Ø  Hitam : melambangkan kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.
Selain terdapat Gorga rumah adat Suku Batak juga ada yang dipasangi tanduk
kerbau di pucuk atapnya.  Hal ini melambangkan rumah sebagai “kerbau berdiri tegak”.
Suku Batak menganggap rumah adat mereka sebagai kerbau yang sedang berdiri dan
dinamakan Rumah Balai Batak Toba. Bentuk rumah adat suku Batak berupa rumah
panggung.
Selain sangat menghargai binatang kerbau, warga masyarakat Sumatera Utara sangat
mencintai gotong royong dan kebersamaan. Misalnya, pada saat membangun rumah adat
suku Batak, mereka melakukannya dengan bersama-sama.
Bagian-bagian Rumah Adat Suku Batak
o  Rumah adat suku Batak terdiri dari tiga bagian yang disebut tritunggal benua, yaitu
-          Atap rumah atau benua atas yang dipercaya sebagai tempat dewa.
-          Lantai dan dinding atau benua tengah yang ditempati manusia.
-          Kolong rumah atau benua bawah yang dipercaya sebagai sebagai tempat kematian.
Pada zaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar. Untuk masuk ke
dalam rumah harus menaiki tangga dari kolong rumah. Anak tangganya berjumlah lima
sampai tujuh buah.

o  Bagian rumah adat Batak berupa tiang biasanya dekat dengan pintu. Tiang ini memepunyai
bentuk yang bulat panjang, yang dimaksudkan untuk menyangga bagian atas atau lantai dua.
o  Balok digunakan untuk menghubungkan semua tiang yang disebut juga dengan rassang.
Balok bentuknya lebih tebal daripada papan Balok ini bisa menyatukan tiang-tiang depan,
belakang, samping kanan dan kiri rumah, dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku).
o  Terdapat pintu di kolong rumah untuk jalan masuk kerbau supaya bisa masuk ke dalam
kolong.
o  Rumah adat suku Batak mempunyai atap rumah yang terbuat dari ijuk. Ijuk ini terdiri atas 3
lapisan. Tuham-tuham merupakan lapisan pertama, sedangkan lapisan kedua disebut lalubak
dan kemudian dilanjutkan dengan lapisan ketiga.
o  Tangga rumah adat suku Batak ada dua macam, yaitu:
-          Pertama adalah tangga jantan (balatuk tunggal). Tangan jantan terbuat dari beberapa
potongan pohon. Jenis pohon yang bisa dijadikan tangga tidak sembarang. Pohon ini biasanya
disebut sibagure, merupakan jenis pohon yang mempunyai batang kuat.
-          Kedua disebut tangga betina (balatuk boru-boru). Jenis tangga ini merupakan paduan
beberapa potong kayu yang keras dan biasanya terdiri atas anak tangga dengan hitungan yang
ganjil.
e)      Ciri Khas Rumah Adat Suku Batak
Ada beberapa ciri khas yang dapat dijumpai pada rumah adat suku Batak. Diantaranya
adalah:
-          Bentuk bangunan merupakan perpaduan dari tiga macam hasil seni, yaitu seni pahat, seni
ukir, serta hasil seni kerajinan.
-          Bentuk rumah adat dari suku Batak pada umumnya melambangkan “Kerbau berdiri tegak
-          Menghias bagian atap dengan tanduk kerbau.
-          Bangunan dibuat berdasarkan musyawarah dan saran-saran dari para orang tua.

Macam - MacamBentuk Rumah Adat Suku Batak


-          Batak Toba
      Rumah Batak Toba memberikan kesan kokoh karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat
dari kayu gelondongan. Dulu ketika sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah selalu
dikelompokkan sebagai benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi pohon sebagai
pagar yang cukup rapat.

Gambar : rumah adat batak Toba


-          Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe rumah pegunugan. Pintu depannya dihadapkan
ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah muara. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda
dengan bentuk rumah-rumah lainnya. Umumnya, denah rumah Batak Karo direncanakan
untuk keluarga jamak yang dihuni rata-rata delapan keluarga batih.
Gambar : rumah adat batak Karo(siwaluh jabu)
-          Batak Pakpak
Gambar : rumah adat batak Pakpak
-          Batak Simalungun
Bentuk atap rumah Batak Simalungun kadang-kadang tidak simetris.Makhota
atapnya menghadap ke empat arah mata angin dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang
berbentuk kepala kerbau.
-          Batak Angkola
Gambar : rumah adat batak Angkola
-          Batak Mandaling
Gambar : rumah adat batak Mandailing (bagas godang)

d)     Senjata Tradisional
            Tunggal Panaluan adalah senjata tradisional bagi suku bangsa Batak Toba.
Senjata ini sebenarnya adalah wujud tongkat berukir dan pangkalnya berwujud kepala
manusia lengkap dengan rambutnya yang terbuat dari bulu kuda.

e)      Upacara
Upacara dalam masyarakat Sumatra Utara, khususnya bagi masyarakat Batak adalah
merupakan upacara religius dan sakral.
Contoh upacara adat Suku Batak:

·  Upacara Masa Kehamilan


·  Upacara Kelahiran
·  Upacara Martutuaek
·  Upacara Mangebang
·  Upacara Khitanan
·  Upacara Kematian
·   Upacara Mangokal Holi

D.    Sistem IPTEK
       Sistem teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya rumah batak yang
menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami
seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini
menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis ruangan tersebut.
       Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai
dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang
terbesar.  Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama.
       Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan
oleh para ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya
digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin.
       Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan
teknologi yang telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak
juga menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga
memiliki nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti
aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan
pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hingga sekarang orang
Batak juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini namun jumlah peminat dan
yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.

E.     Organisasi Masyarakat
a.       Falsafah Dan Sistem Kemasyarakatan
        Ada falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi : jonok
dongan partubu jonokan do dongan parhundul, merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa
menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam
pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya
tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan adat.
        Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus struktur dan system dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut
penyebutan Dalihan na Tolu dalam enam puak Batak.
-          Dalihan Na Tolu (Toba) : somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru.
-          Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) : hormat Marmora, manat markahanggi dan
elek maranak boru.
-          Tolu Sahundulan (Simalungun) : martondong ningon hormat sombah, marsanina ningon
pakkei manat dan marboru ningon elek pakkei.
-          Rakut Sitelu (Karo) : nembah man kalimbubu, mehamat man sembuyak dan nami-nami
man anak beru.
-          Daliken Sitelu (Pakpak) : sembah merkula-kula, manat merdengan tubuh dan elek
marberru.
-          Hula-hula atau mora : adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi
yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub suku Batak)
sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (Somba
Marhula-hula).
-          Dongan tubu atau hahanggi : disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu
marga. Arti harfiahnya lahir dari satu perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang
saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena terlalu dekatnya kadang-kadang saling
bergesekan. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah.
Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetap bersatu. Namun
kemudian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada
saudara semarga. Diistilahkan Manat Mardongan Tubu.
-          Boru atau anak boru : adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga
(keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan, baik
dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun
berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan
pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan Elek Marboru.
       Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan
Dalihan Na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak
pasti pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongan tubu juga sebagai boru. Jadi setiap orang
harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
  Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berprilaku raja. Raja dalam
tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berprilaku baik
sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan
adat selalu disebut raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu dohot raja ni boru.
b.      Sistem politik
Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu
kepemimpinan adat, pemerintah, dan agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi
persoalan perkawinan, perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran
anak, dan sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan seorang
tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sangkep sitelu.
            Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah satu dari turunan tertua
merga taneh. Kepala huta disebut penghulu, kepala urungdisebut raja urung dan sibayak
untuk bagian kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan jabatan turun-temurun dan yang
berhak adalah anak laki-laki tertua (situa) atau si bungsu (sinuda). Anak-anak yang lain
(sitengah) tidak mempunyai hak menjadi pemimpin. Selain menjalankan pemerintaha,
mereka juga menjalankan tugas peradilan, yaitu penghulu mengetuai sidang di balehuta dan
raja urung. Pengadilan teretinggi adalah bale raja berompat yang merupakan sidang kelima
sibayak yang ada di Karo.
           Masyarakat Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang
kekuatan gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak yang
menganut agama islam,  tokoh dalam agam islam (para mualim) sangat besar peranan dan
pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak turun-temurun, seperti dukun
guru sibaso yang menjadi dukun karena pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan
pendeta dan ulama, mereka dipilih karena pengetahuan agama, pengabdian, dan
keteladanannya.

F.     Sistem mata pencaharian


       Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini bermatapencaharian sebagai petani,
peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta
bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti
usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga
yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok
tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah. Pengelolaan
tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.
Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga
memungkinkan untuk bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di
daerah utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup
serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan
untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil sayuran dan
buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan
bentuk lahan tersebut.
       Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan
tanaman padi di sawah hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini
disebabkan oleh pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa
penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan tanaman di
ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak
dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang
yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang yang baru dimulai dengan pemilihan lahan
melalui ritual bersama seorang datu (dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya
dijadikan ladang adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum
dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara
selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak mengganggu
pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai
menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-
masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya yang
mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa terusik. Sekarang  keberadaan datu ini
sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi kebiasaan membuka lahan baru ini masih tetap
ada.  Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, sayu-
sayuran dan mentimun.
       Demikian juga pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan
tuak, sejenis minuman beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula
beberapa komoditi unggulan yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama
dari daerah Simalungun dan Mandailing adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam sayuran.
Dari daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan dan kapur barus.
Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.
       Saat ini masyarakat Batak sudah banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka,
tentunya orang Batak tidak mau ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang
Batak. Beralih kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah
Batak. Pengaruh perkembangan perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah
memasuki daerah Tano Toba. Produksi tanaman padi dan hasil ladang meningkat pesat. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk para pekerja kuli yang datang
memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan dari semenanjung Malasya
(mayoritas china) dan juga daerah Jawa, karena masyarakat lokal tidak bersedia menjadi
pekerja untuk penjajah. Pada tahun-tahun pertama masa pendudukan penjajahan, pejabat
kolonial telah membangun sistem transportasi yang menggunakan tenaga para pekerja kuli
tersebut.
       Untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi di sawah, pejabat kolonial
menyediakan lahan yang akan diolah untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran
irigasi. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman yang berasal
dari Eropa seperti kentang dan kol di daerah dataran tinggi Karo. Masyarakat menyambut
baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada dapat diekspor hingga ke luar negeri(Penang
dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah bercocok tanam padi di sawah dan
ladang. Tapanuli kemudian juga turut mencoba mengelola jenis tanaman yang sama. Selain
tanaman sayuran, diadakan juga percobaan penanaman tanaman perkebunan yang menjadi
cikal bakal pengembangan kawasan perkebunan di Tano Toba. Pada umumnya masyarakat
Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk
bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo),
tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.
       Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah
tadi , tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapaun tanah yang dimiliki
perseorangan. Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku Batak antara lain peternakan
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian
penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan yang berkembang. Misalnya tenun,
anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.

G.    Ilmu pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam
bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut
Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan
tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang
keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan
pesertanya.

BAB III
PENUTUP
3.1         KESIMPULAN
          Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk
adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri atas beberapa suku,
seperti Melayu, Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah, Tapanuli
Selatan (meliputi Sipirok, Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing); serta penduduk
pendatang seperti Minang, Jawa dan Aceh yang membawa budaya serta adat-istiadatnya
sendiri-sendiri. Daerah ini memiliki potensi yang cukup baik dalam sektor pariwisata, baik
wisata alam, budaya, maupun sejarah
          Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah,
jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing.
Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumater Utara.
Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar
etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan memupuk
kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara
yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat
memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara.

3.2.  SARAN
          Kebudayaan yang dimiliki suku Batak ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya.Dengan membuat makalah suku
Batak ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Batak
tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat
bermanfaat dalam dunia kependidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, RajaMalem . 2005. Budaya Batak Dalam Perubahan Multidimensi, Bandung :
ITB Press. (Sebuah Makalah).
Ningrat, Kountjara. 2004. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta :Djambatan.
Salomo, Mangaradja. 1938. Memilih dan Mengangkat Radja di Tanah Batak menurut
Adat Asli.. Sibolga: Rapatfonds Tapanuli.
Nn.  2012.  kebudayaan suku batak (online).  file:///H:/KEBUDAYAAN%20SUKU
%20BATAK%20DAN%20HALAMANNYA/HALAMAN%20BATAK/pendidikan
%20%20kebudayaan%20suku%20batak.html(diakses tgl 14 April 2014)

Anda mungkin juga menyukai