Anda di halaman 1dari 5

Perkembangan Partai Politik di Era Reformasi

Ditinjau dari Aspek Proses Politik dan Kebijakan Publik.

Budaya politik merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu politik yang sangat
merefleksikan adanya pengaruh lintas disiplin dengan bidang-bidang ilmu sosial lainnya.
Sebagaimana diindikasikan dari istilah “budaya politik”, maka kajian ini bermula dari
konsepsi-konsepsi dan kajian-kajian mengenai budaya itu sendiri. Ada tiga aspek dalam
budaya politik yang dikemukakan oleh Almond dan Powell : 1978, yaitu:
 Orientasi terhadap system,
 Orientasi terhadap proses politik, dan
 Orientasi terhadap kebijakan public.
Pada aspek pertama menentukan keabsahan (legitimacy) para otoritas politik. Jika warga
negara bersedia mematuhi aturan perundang-undangan yang dibuat penguasa dan
melaksanakannya karena mereka percaya bahwa memang mereka harus melakukan hal itu,
maka ada otoritas politik yang dianggap absah. Dalam system demokrasi modern, keabsahan
penguasa tergantung pada proses politik yang demokratis. Jika yang berkuasa terpilih untuk
duduk pada jabatannya melalui proses pemilihan yang dapat diterima 9dilakukan lewat
kompetisi yang jujur dan adil) dan peraturan atau kebijakan yang dibuat mengikuti prosedur
konstitusional, maka eabsahan otoritas tidak lagi diragukan dan dapat dipastikan akan adanya
dukungan bagi keputusan-keputusan dan aturan-aturan yang dikeluarkan.
Aspek budaya politik yang kedua, merupakan orientasi terhadap proses politik. Orientasi
kognitif, afektif, dan evaluative merupakan dasar pembentukan tipologi budaya politik. Ada
tiga macam tipe budaya politik berkaitan dengan proses politik menurut Almond dan Powell,
yaitu parochial yaitu suatu negara dikatakan parochial jika warga negara tidak memiliki atau
kecil sekali tingkat kesadaran politiknya tentang system politik. Kedua, sebuah budaya politik
disebut subjek jika warga negara yang menjadi bagian sebuah sistem politik nasional
memandang ada pengaruh atau potensi pengaruh dari system tersebut pada kehidupan
mereka. Tipe budaya politik yang ketiga yaitu, partisipan yang merupakan budaya politik
yang ideal dalam sebuah system politik yang demokratis dimana warga negara dalam
kelompok ini mereka akan berusaha untuk terlibat dan menggunakan kesempatan ini untuk
berperan serta memengaruhi proses politik.
Aspek budaya politik yang ketiga, berkaitan dengan pola orientasi terhadap kebijakan
public. Berdasarkan aspek ini maka rakyat menilai bagaimana kondisi masyarakat saat ini.
Apakah kondisi yang ada sudah sesuai dengan harapan atau masih jauh dari harapan, apakah
ada pengaruhnya jika warga negara ikut berpartisipasi untuk mengubah kondisi masyarakat
yang buruk? Jika dipandang sebuah tindakan, maka dapat mempengaruhi kondisi social yang
ada, dan pasti aka nada dorongan untuk memberi desakan pada kebijakan yang dapat
mengubah kondisi menuju yang dicita-citakan.
Asumsi dan kepercayaan tentang kebijakan publik dapat berubah karena beberapa hal
misalnya karena adanya perubahan kondiisi-kondisi politik atau karena adanya pengalaman
dari negara negara lain yang dapat dipelajari atau ditiru. Sebagai contoh, di Indonesia setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru di era tahun 1998. Perubahan utama yang terkait dengan
pelaksanaan pemilu tahun 1999 dan tahun 2004 adalah diperkenankannyapemantauanpada
hari pemungutan suara di tempat-tempat pemungutan suara. Pengalama di negara-negara
yang baru melaksanakan pemilu bebas untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa kehadiran
pemantau pemilu dapat membantu meningkatkan kepercayaan terhadap hasil pemilihan.
Perkembangan partai politik di Indonesia sendiri mengalami perubahan yang sangat besar
pada wajah kepartaian Indonesia di Era Reformasi. Kejenuhan yang sudah memuncak
terhadap disfungsi peran tiga organisasi kekuatan politik yang ada di Indonesia menyebabkan
keinginan yang sangat besar pada masyarakat untuk membentuk partai-partai politik yang
lebih sesuai dengan aspirasi mereka.
Dari program kerja dan ideologi yang digunakan, terlihat jelas kembalinya politik aliran
dalam perpolitikan Indonesia, terutama kekuatan nasionalis, yang diwakili oleh PDIP dan
Golkar, dan religious diwakili oleh PKB, Kekuatan poros tengah, PAN dan beberapa partai
kecil lainnya.
Setidaknya terdapat 48 partai politik yang mulai mengikuti pemilu tahun 1999. Pemilu
tahun 1999 masih menggunakan UU Pemilu yang lama dimana system pemilu masih
menggunakan system proporsional. Beberapa partai politik dengan basis Islam membentuk
koalisi atau stembus accoord tetapi terjadinya ketidaksetujuan antar partai peserta pemilu
menyebabkan stembus accord ini tidak diperhitungkan. Dengan electoral threshold 2%, hasirl
akhir pemilu tahun 1999 menunjukkan adanya enam partai politik yang berhasil
memenangkan lebih dari 90% suara atau 429 kursi parlemen dari 462 kursi yang
diperebutkan.
UU Pemilu 2003 merupakan reformasi termutakhir yang bisa kita lihat implementasinya
pada pemilu 2004. Dalam UU Pemilu ini digunakan system pemilu simple majority untuk
pemilihan anggota DPR, DPR Provinsi dan DPR Kabupaten. Diharapkan dari penggunaan
siste pemilu ini, spektrum perbedaan partai-partai politik yang begitu besar saat ini bias
direduksi, sehingga dengan sendirinya dapat menjamin stabilitas pemerintahan yang
dihasilkan dari pemilu. Sedangkan untuk pemilu anggota DPD (wakil daerah) digunakan
system proporsional. Pemilihan Presiden secara langsung juga diatur dalam UU pemilu ini
dengan menggunakan system proporsional. UU Pemilu tersebut juga memperkenalkan kuota
30% untuk calon legislative perempuan. Pada tahun 2004, sebanyak 24 partai politik menjadi
peserta pemilu. Hasilnya sebanyak 7 partai politik berhasil melewati electoral threshold 3%
dan berhak untuk mengikuti pemilu 2009, 5 partai diantaranya adalah partai politik yang
pernah mengikuti pemilu 1999 sebelumnya.
Pada perkembangannya, partai politik juga memiliki peran yang semakin menonjol
dalam bernegara dan memutuskan kebijakan-kebijan politik, diantaranya:
- Kebijakan-kebijakan negara, baik pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan
Perwakilan maupun oleh Presiden dalam mengeluarkan peraturan pelaksanaan
undang-undang,  banyak mendengar masukan dari parpol.
- Dalam melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang pertama di era reformasi pada
tanggal 7 Juni 1999, peranan parpol sangat sentral dan strategis. Pelaksana pemilu
tahun 1999 tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan dari
seluruh unsur-unsur parpol yang ikut di dalam Pemilu 1999. Selain pelaksana Pemilu
1999, KPU juga yang membuat regulasi Pemilu 1999, penetapan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) periode tahun 1999-2004, Utusan Golongan dan Utusan
Daerah untuk Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode tahun 1999-2004.
- Demikianpun juga dalam pelaksanaan roda pemerintahan, baik di tingkat pusat
maupun di daerah, peranan parpol sangat signifikan, terutama di dalam penyampaian
aspirasi dan kontrol sosial. Hal tersebut terlihat di dalam proses perubahan
(amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), banyak aspirasi masyarakat
yang disalurkan melalui parpol, terutama mengenai pembatasan masa jabatan
presiden, penjaminan hak azasi manusia (HAM), juga pemilihan presiden secara
langsung.
Namun jika kita telisik dari aspek proses politik dan kebijakan publik saat ini,
perkembangan partai politik di era reformasi belum menjadi institusi publik yang memiliki
tanggung jawab dan akutabilitas terhadap pemilihnya. Pada masa Orde Baru, partai politik
menjadi “mesin” politik penguasa sehingga partai politik lebih diarahkan kepada kepentingan
pelanggengan kekuasaan penguasa (status quo). Ketika memasuki era reformasi, partai
politik seakan-akan kaget dengan tuntutan masyarakat yang besar namun tidak disertai
dengan kelembagaan yang baik.
Partai politik dalam era reformasi juga terjebak dalam oligarkis dalam proses
pengambilan keputusan strategis. Kecenderungan saat ini, pengambilan keputusan partai
politik bersifat tertutup dan hanya ditentukan oleh sekelompok kecil elit partai. Peran
pengurus pusat masih dominan dan terkadang berbeda dengan aspirasi daerah. Ideologi dalam
partai yang merupakan system nilai dan norma diperlukan penjabaran lebih lanjut karena
masih bersifat abstrak dan perlu diterjemahkan pada hal-hal yang riil dan konkret sehingga
dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Hal ini sangat penting dalam konteks kebijakan publik
karena berperan dalam menentukan posisi apa yang harus ditentukan bagi partai untuk
mendorong bahkan menolak suatu kebijakan.
Selama ini tampaknya partai-partai politik lebih sibuk mengurus dirinya sendiri
daripada mengurusi apa yang paling diinginkan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Partai-partai
politik lebih berjibaku menjadi mesin uang dan kendaraan demi kekuasaan pada dirinya
semata. Partai politik lebih sibuk mengurusi dekorasi eksterior partainya, dibandingkan
memperjuangkan apa yang menjadi visi dasar yang menjadi idealisme/ideologi sebuah partai
politik terbentuk. 
Sebagai institusi penyangga demokrasi yang strategis, perkembangan kelembagaan
partai politik di Indonesia setelah era reformasi sudah cukup baik namun melihat gambaran
diatas terutama pemberitaan yang sering kita lihat saat ini bahwa sebagian besar juga
terkoyak oleh kasus-kasus korupsi, perilaku kader-kadernya di parlemen baik di pusat
maupun di daerah menyebabkan timbulnya anggapan bahwa partai politik ini merupakan
instrument yang paling bermasalah dalam demokrasi.
Kecenderungan tersebut perlu dibenahi agar partai tidak terjebak, yang justru akan
berdampak buruk pada perkembangan demokrasi dan keyakinan para pemilih terhadap partai
dan demokrasi. Diantara strategi yang harus dilakukan adalah membenahi organisasi
kepartaian dengan membenahi rekruitmen anggota internal partai agar memiliki sumber kader
yang berkualitas. Pengisisan jabatan-jabatan strategis juga hendaknya didasarkan pada
kemampuan kader bukan karena kepentingan individual ataupun pemimpinnya apalagi
karena kepentingan politik kekerabatan di dalamnya.
Dengan pembenahan tersebut, diharapkan perkembangan partai politik di era
reformasi ini dapat berjalan sesuai dengan amanat dan sesuai dengan harapan rakyat. Dengan
pembenahan kualitas sumber daya partai politik beserta kadernya maka akan membangun
kembali kepercayaan terhadap calon-calon pemimpin politik yang akan mengisi jabatan-
jabatan di pemerintahan kelak sehingga demokrasi yang diharapkan dapat terwujud.
Sumber:

- BMP ISIP 4212/ EDISI 1/ MODUL 4-6/ Miriam Budiardjo, dkk


- Harris, Syamsuddin. 2014. Partai, Parlemen dan Pemilu : Era Reformasi. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/437-konflik-internal-partai-sebagai-
salah-satu-penyebab-kompleksitas-sistem-multi-partai-di-indonesia.html
- http://scholar.google.co.id/scholar_url?url=https://jurnal.dpr.go.id/index.php/
politica/article/view/
292/229&hl=en&sa=X&scisig=AAGBfm3fK5mQ3J_rnT2jDPlcGH1jaI11yw&nossl=
1&oi=scholarr
- https://www.kompasiana.com/fajarbaru/55291b37f17e6114388b45e9/era-reformasi-
era-narsisme-partai-politik?page=1
- http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/download/215/91

Anda mungkin juga menyukai