Anda di halaman 1dari 5

Mencari Jalan Pembaharuan Parpol dan

Komunikasi Politik Konstituen1


Imam Muharror

Dalam rentang 10 tahun reformasi, suasana politik sebagian besar diisi


oleh sepak terjang parpol. Jika ditarik lebih spesifik; pertama, di jaman
liberalisasi politik, terutama awal-awal reformasi, geliat dan sepak terjang
parpol sangat dinamis. Perkembangan semacam itu makin memperkuat
harapan pembenahan sistem politik dan kekuasaan negara. Parpol, sebagai
konsekuansi berdemokrasi, merupakan alat politik untuk keperluan mobilitas
sosial, khususnya mempengaruhi struktur kekuasaan. Kedua, berdasarkan
penilaian (audit) demokrasi terpaparkan, bahwa parpol mengalami masalah
serius. Diantaranya: wataknya yang oligarkhis, feodalis, serta pragmatis.
Masalah itu berakibat terjadi erosi komitmen, kaderisasi kian buruk,
diabaikannya prinsip dasar dan ideologi. Dengan demikian, jika fase-fase awal
mesin politik seperti parpol begitu mudah dioperasikan dan mendapat
sambutan positif dari masyarakat, maka setelah hampir satu dekade reformasi
justru terjadi gelombang distrust (ketidakpercayaan) bahkan delegitimasi
masyarakat pada parpol (Demos, 2003). Kekhawatiran adanya deparpolisisasi
makin terasa, dengan maksud mematikan alat-alat artikulasi sipil. Ada faktor-
faktor yang sifatnya eksternal mengapa soal ini makin terasa dan membesar,
namun ulah internal kader dan pemimpin parpol juga tidak kalah besarnya
merusak dinamika politik. (Arie Sujito, 2006).
***

Perubahan sistem politik yang makin terbuka, merupakan pengaruh


langsung gerak gelombang demokratisasi ketiga yang melanda dunia
(Huntington, 1991), fase-fase penataan ulang dan pembenahan format politik
baru dibutuhkan (Markoff, 1996), terutama untuk pembentukan fondasi dan
kerangka dasar bangunan sistem pemerintahan dan masyarakat demokratis
(Linz & Stepan, 1996). Diantara acuan mengawali fase pasca otoriterisme
(transisional) ini adalah dijalankannya kebijakan multipartai, yakni suatu
tatanan regulasi yang tidak terlalu membatasi komposisi parpol, yang tidak lain
adalah bagian prasyarat awal agar kelembagaan demokrasi dipenuhi. Parpol,
merupakan salah satu pilar demokrasi pada aras parlementaris yang
eksistensinya sangat penting (Dahl, 1999). Dalam pandangan ini, multipartai
terkandung maksud penyediaan ruang dan arena kebebasan bagi warga negara
berafilisasi dalam asosiasi-asosiasi politik, guna mengartikulasi
kepentingannya, setidak-tidaknya berkenaan dengan kebijakan publik,
sekaligus saluran elementer agregasi dasar kepentingan masyarakat.
Ruang kebebasan terbuka lebar setelah segala bentuk represi,
pembungkaman serta domestikasi (dibawah kebijakan deideologisasi,
depolitisasi dan floiting mass) selama 32 tahun itu akhirnya dihentikan secara
formal tahun 1998 melalui gerakan reformasi. Harapan baru bermunculan,
menjadi energi segar membuka cakrawala perubahan. Secara nyata ekspresi itu
berwujud dalam bentuk ledakan jumlah parpol mencapai 48 di tahun 1999 dan,
1
Disampaikan dalam Diskusi Publik “Memperbaiki Kualitas Relasi Partai Politik, Anggota Dewan,
dan Konstituen”, IRI Yogya dan IRI, Yogyakarta 4 Nopember 2008
1
24 di tahun 2004. Kini, untuk pemilu 2009 sebanyak 36 (partai nasional)
ditambah 6 (partai lokal). Tumbuhnya parpol adalah indikator meningkatnya
kesadaran dan partisipasi (sekurang-kurang secara formal) masyarakat
didalam memanfaatkan insitusi politik sebagai alat, arena menyampaikan
pendapatnya, agar dapat mempengaruhi kebijakan secara langsung.
Secara teoritis, parpol memang sangat diperlukan dalam sistem
demokrasi. Parpol dianggap sebagai lembaga politik formal yang berfungsi
mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan konstituen, untuk pengambilan
kebijakan strategis. Parpol juga berfungsi sebagai lahan semaian kaderisasi dan
rotasi kepemimpinan yang paling strategis. Disanalah, parpol menjadi alat
perjuangan rakyat yang efektif, berkontestasi dalam elektoral legitimate, untuk
menyusun kekuasaan yang konstitusional. Menggunakan istilah Robert Dahl,
parpol sebagai bagian terpenting masyarakat politik, penyeimbang kekuasaan
eksekutif ketika wakil-wakilnya di parlemen menyelenggarakan kontrol efektif
terhadap jalannya kekuasaan. Jika keseimbangan dapat dijalankan sesuai
konsep-normatif (ini menjadi pengalaman negara-negara maju yang lebih dulu
memperagakan demokrasi), kemungkinan praktik demokrasi secara benar.
Demokrasi semacam itu, parpol memiliki peran penting dan begitu
besar. Di Indonesia misalnya, saat ini untuk menjadi presiden dan kepala
daerah harus melalui pintu partai, lainnya tidak boleh (itulah masalah yang
saat ini menjadi bahan perdebatan). Bahkan UU Pilpres terbaru, prasyaratnya
juga sangat berat. Artinya, sepak terjang parpol akan berpegaruh pada proses
pembangunan demokrasi, karena kenyataannya parpol memiliki kewenangan,
atau otoritas formal demikian besar.
Kecenderungan munculnya parpol, baik itu ”baru maupun metamorfosis
parpol lama menjadi baru”, terlihat dengan beberapa hal. Ukuran itu dapat
dicandra dari perangkat ideologi, visi dan misi, struktur organisasi, program-
program serta strateginya, sampai dengan para aktor penggerak. Struktur sosial
dan tata politik yang berubah, tak pelak jika Parpol juga dituntut
mengadaptasikan diri, karena pergeseran tantangan bahkan orientasi-orientasi
yang dirumuskan. Kesemua itu berkonsekuensi pilihan strategi perjuangan.
Pada aras masyarakat sipil, sejak perubahan formasi kekuasaan (era
transisional), pembentukan organisasi-organisasi massa, baik itu sifatnya
permanen atau ad-hock, dianggap menjadi alat yang dibenarkan untuk
menyalurkan kepentingan di era liberalisasi tersebut. (Nico Cana, 2003, 2004).
Formasi asosiasi sipil makin terbangun baik itu berbasis klas, etnik maupun
kelompok-kelompok kepentingan, di berbagai tingkat.
***

Perlu diperhatikan, jika menyaksikan pergulatan parpol sejak liberalisasi


politik sejauh ini, nampaknya harapan menjadikan parpol sebagai alat rakyat
dalam proses politik masih jauh dari harapan. Keragu-raguan masyarakat pada
keseriusan parpol dalam menjalankan amanat, terus terasa. Pemilu 2004 lalu
misalnya, banyak yang golput, pilkada dalam 2 tahun terakhir ini makin
menurun angka partisipasinya. Kita bisa lihat untuk pemilu 2009, kira-kira
tendensinya seperti apa. Alasannya, sebagian besar parpol yang berkuasa di
parlemen kian melupakan konstituen. Sebaliknya justeru perilaku politisi di
parpol hanya menonjolkan agenda pribadi saat di parlemen (KKN dan
pemanfaatan fasilitas lembaga secara personal), mencari akses kelompok
2
(konspirasi untuk agenda-agenda kepartaian), serta menciptakan kesepakatan
yang berlawanan dengan kehendak dan aspirasi masyarakat (misalnya
membuat keputusan yang bertentangan dengan kemauan luas masyarakat).
Dalam sistem politik transisi saat ini, biasanya muncul ancaman
membahayakan yakni tindakan kesewenang-wenangan penguasa baru (produk
liberalisasi) yang memperoleh otoritas tanpa kontrol efektif civil society. Robert
Michel misalnya mengingatkan, penyelewengan pemerintahan oleh partai,
sebagaimana di Indonesia pada era multi partai ini, merupakan bentuk “hukum
besi oligarkhi”. Organisasi seperti partai, parlemen maupun negara, adalah
entitas yang melahirkan dominasi minoritas terpilih, oleh pemegang mandat
atas pemberi mandat, oleh utusan atas orang yang mengutus. Setiap organisasi
partai selalu menampilkan kekuatan oligarkhis yang didasarkan pada basis
demokratis. Dimana-mana dijumpai massa pemilih dan orang-orang terpilih,
dan bahwa kekuasaan para pemimpin yang dipilih itu tidak terbatas. Struktur
oligarkhis justeru telah mampu membunuh prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
Hingga saat ini, persoalan oligarkhi dan elitisme parpol memang sudah
menjadi pengetahuan umum. Beberapa parpol kental dengan kultur feodal.
Pemeliharaan feodalisme juga makin subur saat parpol makin dihiasai relasi
keluarga. Keputusan-keputusan strategis parpol, biasanya bergantung pada
selera elit, mengabaikan kehendak arus bawah. Di sejumlah kasus, proses
pengambilan keputusan internal parpol, kemauan pimpinan selalu menjadi
penentu kendatipun bertentangan dengan aspirasi konstituennya. Kita bisa
menyebut misalnya, peristiwa pemilihaan kepala daerah di era otonomi daerah
yang diwarnai sengketa antara DPP dengan DPD. Keputusan pengurus pusat
seringkali mengundang resistensi pengurus daerah, karena biasanya DPD
dipaksa untuk “mengamankan” keputusan DPP meskipun keputusan itu tidak
sesuai dengan keadaan di daerah. Peristiwa itu bukti bahwa komunikasi politik
dalam tubuh parpol masih berjalan satu arah dan berpola top down.
Dampak semua itu makin terasa, di banyak kasus. Pernah suatu ketika
terjadi, simpatisan parpol tertentu menyatakan diri keluar dari parpol dengan
cara membakar kartu keanggotaannya. Sikap itu dilakukan sebagai bentuk
protes kepada para pengurus parpol karena dianggap tidak memperjuangkan
kepentingan konstituennya. Banyak kebijakan pemerintah disetujui parlemen,
tetapi merugikan masyarakat. Para pemilih merasa telah dikhianati politisi di
parpol. Itulah, bagian dari faktor terjadinya demoralisasi parpol. Soal
hubungan antara partai dengan parlemen, dan tanggung jawabnya dengan
konstituen adalah masalah serius yang mengitari ketidakberesan praktek
demokrasi di Indonesia.Arus reformasi nampaknya tidak secara signifikan
diadaptasi parpol, juga parlemen, terutama urusannya dengan soal
tanggungjawabnya dengan pemilih. Parpol tengah mengidap gejala involusi,
ada dinamika tetapi tanpa kemajuan yang berarti. Itulah momentum yang perlu
disayangkan, karena tidak segera dibenahi.
***

Sudah saatnya parpol untuk segera membenahi diri agar keluar dari
kerangkeng oligarkhi dan elitisme. Parpol tidak sekadar mempertebal ambisi
memperluas kewenangan semata, yang kadangkala justeru memerosotkan citra
parpol dimata publik. Justeru parpol dituntut untuk segera merumuskan ulang
ideologi, visi-misinya serta program-program dengan spirit populisme. Setidak-
3
tidaknya memperbaiki menajemen dan mekanisme kelembagaan dengan
landasan prinsip-prinsip demokrasi. Melalui reformasi parpol, diharapkan
menjadi jawaban mengatasi problem ketidakpercayaan pemilih. Itulah upaya
pembuktian parpol sebagai motor demokrasi di masa-masa mendatang. Dalam
pandangan saya, di arena kongres atau munas seharusnya persoalan-persoalan
strategis bangsa untuk lima tahun kedepan dan agenda reformasi parpol
semacam itu perlu dimunculkan, dari pada hanya berkutat pada isu perebutan
posisi dengan cara-cara intrik atau mobilisasi suara.
Memulai membuat terobosan reformasi parpol dan reformulasi sistem
politik, momentum saat ini tentu tepat. Sudah saatnya parpol membuat
terobosan baru, berbasis evaluasi selama reformasi. Problem-problem
sebagaimana diuraikan di atas, menjadi dasar objektif agar parpol pada
akhirnya bisa mendapatkan pengakuan kembali sebagai alat strategis dalam
rangka mempengaruhi kekuasaan agar lebih baik dan tertata. Soal internal
misalnya, tata kelola yang buruk, kaderisasi (rekruitmen) yang lemah dan
orientasi yang pragmatis, hendaknya menjadi dasar arah perubahan dan
perbaikan parpol. Jika demikian, besar kemungkinan, peluang untuk
melakukan deparpolisasi oleh rezim lama (alumni orde aru) bisa diatasi.
Merujuk tata politik yang saat ini makin digiring oleh kepentingan
parpol-parpol besar (dengan interest mendominasi), tentu dengan merujuk
jejak langkah akrobatik politisi di parpol besar, maka hal ini menunjukkan
makin carut marutnya arah parpol, bahkan terjadi disorientasi politik. Sejauh
ini, parpol-parpol besar cenderung konservatif dengan kepentingan semata-
mata merebut ataukah mempertahankan diri. Sementara partai-partai kecil
yang berupaya reformis seringkali “mudah disuap” oleh politik akomodasi
dengan diberikan posisi-posisi tertentu dalam struktur kekuasaan dominan.
Akibatnya, seringkali langkah-langkah progresif parpol kecil, untuk menjadi
besar tidak leluasa, karena terhegemoni oleh politik akomodasi parpol besar
yang kebetulan berkuasa. Hal semacam ini, bagaimanapun jelas mengakibatkan
involusi parpol. Sistem politik apapun jika orientasi ini tidak diubah, maka
parpol tetap akan mandeg. Parpol seharusnya juga makin progresif, melakukan
pembaharuan pemikiran dan manajemen dalam mengawal demokratisasi.
Indonesia dengan struktur sosial yang majemuk (keragaman basis etnik
dan geopolitik yang memiliki jarak daerah berjauhan), parpol memang perlu
membuat skema besar dalam merumuskan format dan agenda
pengembangannya. Diantaranya adalah, tata kelembagaan parpol perlu
diformat dengan model desentralisasi, dengan basis sentral pada ideologi.
Model lama dengan ciri kelola menejemen sentralistik sejauh ini ditengah basis
keragaman sosial, seringkali mengakibatkan terjadi gap politik, baik antar level
pengurus, maupun antar daerah dalam formulasikan kebijakan. Banyak sekali
artikulasi-artikulasi yang disalurkan dengan model tata kelola parpol sekarang
mengalami hambatan. Format desentralisasi manajemen tentu tetap dalam
koridor nilai dan ideologinya (dalam konsensus) parpol, yang perlu
dimatangkan dan diperkuat secara sentralistik. Soal format atau formulasinya
perlu memperhatikan konteks kedaerahan (mempertimbangkan kebutuhan
dan persoalan lokal). Dengan kalimat lain, desentralisasi tata kelola parpol
lebih memberikan ruang agar artikulasi dan negosiasi lebih terbuka, betatapun
platform dengan dasar ideologi perjuangan tetap dirumuskan dalam satu
kesatuan. Dengan konteks model dan format parpol semacam ini, maka
4
formulasi sistem kepartaian lebih relevan konsosiasional. Adalah
mempertimbangkan struktur sosial dan keragaman etnik, parpol lebih
memformulasikan diri dalam platform dengan nilai-nilai terbuka, kontekstual
dan demokratis. Model semacam itu akan bisa dilakukan jikalau masalah-
masalah konsolidasi politik antar kelompok terus menerus dilakukan sehingga
terbangun konsensus baru, diantaranya parpol harus bersegera melakukan
reorientasi, agar tidak terjebak disorientasi yang berkelanjutan, bahkan makin
stagnan. Inilah tantangan tantangan untuk berbenah.
***

Selama ini, politik representasi yang otorisasinya melekat pada parpol dan
parlemen kurang berhasil dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana
perjuangan rakyat. Pertama, kecenderungan putusnya hubungan antara parpol
dan konstistuennya. Parpol pada umumnya tidak memiliki pola perawatan
konstituen, sistem kaderisasi yang sistematik dan kerjasama dengan komunitas
dalam skema jangka panjang atau terprogram. Kedua, model artikulasi dan
agregasi parlemen dengan masyarakat sipil tidak berjalan secara efektif,
sehingga sirkuit pengambilan keputusan di aras daerah dimonopoli oleh
eksekutif dan parlemen. Akibatnya, aspirasi-aspirasi masyarakat sipil tidak
terepresentasikan secara nyata dalam kebijakan pembangunan. Ketiga,
hubungan saling negasi antara kekuatan intraparlemen dan ekstraparlemen
membuat proses konsolidasi demokrasi berjalan compang-camping. Cara kerja
parlemen selama masih reaksioner, sementara ekstraparlemen juga
menggunakan pendekatan ad-hock. Perpaduan keduanya perlu dilakukan jika
menginginkan terbangunnya ruang negosiasi antara kekuatan yang berimbang.
Atas dasar itulah, segala kemerosotan kualitas demokrasi dan
pembangunan sebagai akibat terlalu besarnya ruang eksekutif dan legislatif di
satu sisi, sementara masyarakat sipil mengalami penyempitan arena di sisi lain,
perlu dirumuskan jalan keluarnya. Partai, parlemen dan masyarakat sipil
(sebagai basis pemilih) harus menjadi kekuatan berimbang yang saling
mendukung dan mengontrol, agar legitimasi kekuasaan demokratis makin
bekerja efektif.
Belakangan, jika muncul ide calon independen, dalam pandangan saya
itu sebenarnya hanyalah pilihan sementara ketika peran parpol tidak optimal.
Sebagai wacana, gagasan calon independen hanya bentuk teguran pada parpol
agar membenahi diri dan melakukan reformasi dalam menjalankan demokrasi
representasi. Karena itu, mengenai calon independen yang maju dalam pemilu
(nasional maupun daerah) untuk presiden dan kepala daerah dipahami sebagai
konstruksi kebutuhan jangka pendek, bukan jangka panjang yang permanen.
Dalam sistem demokrasi representasi saat ini, ruang subjek politik yang
disandarkan pada personal sebenarnya kurang menguntungkan bagi
pelembagaan politik demokratik. Apa yang diistilah O’Donnel dengan
demokrasi delegatif cenderung membahayakan tatanan konsolidasi demokrasi,
apalagi era transisional. Seburuk apapun keadaan parpol, memang itulah alat
politik formal mesin suara untuk membentuk kekuasaan. Hanya saja kualitas
yang buruk parpol jangan dibiarkan begitu saja, harus segera diatasi, ada exit
stretegy, agar konsolidasi demokrasi dapat dilangsungkan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai