Sudah saatnya parpol untuk segera membenahi diri agar keluar dari
kerangkeng oligarkhi dan elitisme. Parpol tidak sekadar mempertebal ambisi
memperluas kewenangan semata, yang kadangkala justeru memerosotkan citra
parpol dimata publik. Justeru parpol dituntut untuk segera merumuskan ulang
ideologi, visi-misinya serta program-program dengan spirit populisme. Setidak-
3
tidaknya memperbaiki menajemen dan mekanisme kelembagaan dengan
landasan prinsip-prinsip demokrasi. Melalui reformasi parpol, diharapkan
menjadi jawaban mengatasi problem ketidakpercayaan pemilih. Itulah upaya
pembuktian parpol sebagai motor demokrasi di masa-masa mendatang. Dalam
pandangan saya, di arena kongres atau munas seharusnya persoalan-persoalan
strategis bangsa untuk lima tahun kedepan dan agenda reformasi parpol
semacam itu perlu dimunculkan, dari pada hanya berkutat pada isu perebutan
posisi dengan cara-cara intrik atau mobilisasi suara.
Memulai membuat terobosan reformasi parpol dan reformulasi sistem
politik, momentum saat ini tentu tepat. Sudah saatnya parpol membuat
terobosan baru, berbasis evaluasi selama reformasi. Problem-problem
sebagaimana diuraikan di atas, menjadi dasar objektif agar parpol pada
akhirnya bisa mendapatkan pengakuan kembali sebagai alat strategis dalam
rangka mempengaruhi kekuasaan agar lebih baik dan tertata. Soal internal
misalnya, tata kelola yang buruk, kaderisasi (rekruitmen) yang lemah dan
orientasi yang pragmatis, hendaknya menjadi dasar arah perubahan dan
perbaikan parpol. Jika demikian, besar kemungkinan, peluang untuk
melakukan deparpolisasi oleh rezim lama (alumni orde aru) bisa diatasi.
Merujuk tata politik yang saat ini makin digiring oleh kepentingan
parpol-parpol besar (dengan interest mendominasi), tentu dengan merujuk
jejak langkah akrobatik politisi di parpol besar, maka hal ini menunjukkan
makin carut marutnya arah parpol, bahkan terjadi disorientasi politik. Sejauh
ini, parpol-parpol besar cenderung konservatif dengan kepentingan semata-
mata merebut ataukah mempertahankan diri. Sementara partai-partai kecil
yang berupaya reformis seringkali “mudah disuap” oleh politik akomodasi
dengan diberikan posisi-posisi tertentu dalam struktur kekuasaan dominan.
Akibatnya, seringkali langkah-langkah progresif parpol kecil, untuk menjadi
besar tidak leluasa, karena terhegemoni oleh politik akomodasi parpol besar
yang kebetulan berkuasa. Hal semacam ini, bagaimanapun jelas mengakibatkan
involusi parpol. Sistem politik apapun jika orientasi ini tidak diubah, maka
parpol tetap akan mandeg. Parpol seharusnya juga makin progresif, melakukan
pembaharuan pemikiran dan manajemen dalam mengawal demokratisasi.
Indonesia dengan struktur sosial yang majemuk (keragaman basis etnik
dan geopolitik yang memiliki jarak daerah berjauhan), parpol memang perlu
membuat skema besar dalam merumuskan format dan agenda
pengembangannya. Diantaranya adalah, tata kelembagaan parpol perlu
diformat dengan model desentralisasi, dengan basis sentral pada ideologi.
Model lama dengan ciri kelola menejemen sentralistik sejauh ini ditengah basis
keragaman sosial, seringkali mengakibatkan terjadi gap politik, baik antar level
pengurus, maupun antar daerah dalam formulasikan kebijakan. Banyak sekali
artikulasi-artikulasi yang disalurkan dengan model tata kelola parpol sekarang
mengalami hambatan. Format desentralisasi manajemen tentu tetap dalam
koridor nilai dan ideologinya (dalam konsensus) parpol, yang perlu
dimatangkan dan diperkuat secara sentralistik. Soal format atau formulasinya
perlu memperhatikan konteks kedaerahan (mempertimbangkan kebutuhan
dan persoalan lokal). Dengan kalimat lain, desentralisasi tata kelola parpol
lebih memberikan ruang agar artikulasi dan negosiasi lebih terbuka, betatapun
platform dengan dasar ideologi perjuangan tetap dirumuskan dalam satu
kesatuan. Dengan konteks model dan format parpol semacam ini, maka
4
formulasi sistem kepartaian lebih relevan konsosiasional. Adalah
mempertimbangkan struktur sosial dan keragaman etnik, parpol lebih
memformulasikan diri dalam platform dengan nilai-nilai terbuka, kontekstual
dan demokratis. Model semacam itu akan bisa dilakukan jikalau masalah-
masalah konsolidasi politik antar kelompok terus menerus dilakukan sehingga
terbangun konsensus baru, diantaranya parpol harus bersegera melakukan
reorientasi, agar tidak terjebak disorientasi yang berkelanjutan, bahkan makin
stagnan. Inilah tantangan tantangan untuk berbenah.
***
Selama ini, politik representasi yang otorisasinya melekat pada parpol dan
parlemen kurang berhasil dimanfaatkan dengan baik sebagai sarana
perjuangan rakyat. Pertama, kecenderungan putusnya hubungan antara parpol
dan konstistuennya. Parpol pada umumnya tidak memiliki pola perawatan
konstituen, sistem kaderisasi yang sistematik dan kerjasama dengan komunitas
dalam skema jangka panjang atau terprogram. Kedua, model artikulasi dan
agregasi parlemen dengan masyarakat sipil tidak berjalan secara efektif,
sehingga sirkuit pengambilan keputusan di aras daerah dimonopoli oleh
eksekutif dan parlemen. Akibatnya, aspirasi-aspirasi masyarakat sipil tidak
terepresentasikan secara nyata dalam kebijakan pembangunan. Ketiga,
hubungan saling negasi antara kekuatan intraparlemen dan ekstraparlemen
membuat proses konsolidasi demokrasi berjalan compang-camping. Cara kerja
parlemen selama masih reaksioner, sementara ekstraparlemen juga
menggunakan pendekatan ad-hock. Perpaduan keduanya perlu dilakukan jika
menginginkan terbangunnya ruang negosiasi antara kekuatan yang berimbang.
Atas dasar itulah, segala kemerosotan kualitas demokrasi dan
pembangunan sebagai akibat terlalu besarnya ruang eksekutif dan legislatif di
satu sisi, sementara masyarakat sipil mengalami penyempitan arena di sisi lain,
perlu dirumuskan jalan keluarnya. Partai, parlemen dan masyarakat sipil
(sebagai basis pemilih) harus menjadi kekuatan berimbang yang saling
mendukung dan mengontrol, agar legitimasi kekuasaan demokratis makin
bekerja efektif.
Belakangan, jika muncul ide calon independen, dalam pandangan saya
itu sebenarnya hanyalah pilihan sementara ketika peran parpol tidak optimal.
Sebagai wacana, gagasan calon independen hanya bentuk teguran pada parpol
agar membenahi diri dan melakukan reformasi dalam menjalankan demokrasi
representasi. Karena itu, mengenai calon independen yang maju dalam pemilu
(nasional maupun daerah) untuk presiden dan kepala daerah dipahami sebagai
konstruksi kebutuhan jangka pendek, bukan jangka panjang yang permanen.
Dalam sistem demokrasi representasi saat ini, ruang subjek politik yang
disandarkan pada personal sebenarnya kurang menguntungkan bagi
pelembagaan politik demokratik. Apa yang diistilah O’Donnel dengan
demokrasi delegatif cenderung membahayakan tatanan konsolidasi demokrasi,
apalagi era transisional. Seburuk apapun keadaan parpol, memang itulah alat
politik formal mesin suara untuk membentuk kekuasaan. Hanya saja kualitas
yang buruk parpol jangan dibiarkan begitu saja, harus segera diatasi, ada exit
stretegy, agar konsolidasi demokrasi dapat dilangsungkan dengan baik.