Anda di halaman 1dari 158

BAB II

KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN


ISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA

2.1. Partai Politik


2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik
Partai politik sebagai lembaga politik, bukan sesuatu yang dengan
sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga
belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru
dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi
negara dan baru ada di negara moderen.1
Susan Scarrow menuliskan bahwa kemunculan partai politik sebagi salah
satu penemuan pada abad ke-19. Pada saat gelombang pertama negara-negara di
Eropa dan Amerika Utara perlahan-lahan mengalami proses demokratisasi
terutama dengan mentransfer kekuasaan kepada parlemen dan ekspansi partai
politik dalam pemilihan umum yang dibentuk sebagai mekanisme penghubung
utama untuk memfasilitasi proses perwakilan.2
Menurut Lapolambara dan Weiner dalam Ramlan Surbakti, ada tiga teori
yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik.3 Pertama, teori kelembagaan
yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik.
Partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif karena ada
kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan)
untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari
masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian
muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik
lain ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar
politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak
mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.

1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. op.cit. hal 397
2
Ibid. hal 5
3
Joseph Lapalombara dan Myron Weiner. The Origin and Development of Political Parties, dalam
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta. 2007. hal 113

1
Teori kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik
sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan
dengan perubahan masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakalah
suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat
moderen yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan,
seperti pertambahan penduduk karena perbaikan fasilitas kesehatan, perluasan
pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi
media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-
harapan baru dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan ini
menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi.
Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan
prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah;
menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai
suatu bangsa dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk
ikut serta dalam proses politik.
Untuk mengatasi tiga permasalahan inilah partai politik di bentuk. Partai
politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan
pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang
berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Teori ketiga melihat
moderinasasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa
media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,
pembentuk berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi melahirkan
suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan
memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut, partai politik merupakan produk logis
dari modernisasi sosial ekonomi.
Partai politik sebagai institusi modern, yang berhubungan erat dengan parlemen
dan pemilihan umum, muncul pertama kali di Eropa dan Amerika Serikat pada
abad ke 19 dan pada akhir abad tersebut kemudian meluas ke hampir sebagian
besar dunia non barat.4 Partai politik sangat dipengaruhi oleh asal/sejarah
4
Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia Democratic
Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias Press. Denmark. 2004. hal 26

2
pembentukkannya.5 Adalah tidak mungkin untuk memahami perbedaan struktur
antara misalnya partai buruh di Inggris dengan Partai Sosialis di Perancis tanpa
mengetahui kondisi saat pembentukkannya.
Menurut Alan Ware, di negara-negara masa kini, sangatlah sulit untuk
dibayangkan adanya politik tanpa partai. Saat ini, hanya ada dua bentuk negara
yang tidak memiliki partai politik. Pertama, negara yang kecil dengan masyarakat
yang tradisional, terutama di Persian gulf, yang masih di kuasai oleh keluarga
yang dominan pada wilayah itu sebelum dunia luar, mengenali mereka sebagai
negara merdeka. Kedua adalah negara dengan rezim yang mengekang keberadaan
partai, yaitu rezim militer atau dengan kekuasaan otoriter yang mendapat
dukungan dari militer.6

2.1.2. Fungsi Partai Politik


Sudah sejak lama para ahli mengemukakan peran penting partai politik
dalam sistem demokrasi perwakilan. Sartori berpendapat bahwa warga negara di
negara-negara demokrasi barat direpresentasikan oleh dan melalui partai.
Sementara Schattschneider menyatakan bahwa demokrasi modern tidaklah
mungkin tanpa adanya partai politik (modern democracy is unthinkable save in
terms of Political Party).7 James Bryce mengatakan bahwa partai politik tak dapat
dihindari dan tidak ada yang dapat menyaksikan bagaimana sistem pemerintahan
perwakilan dapat berjalan tanpa partai politik (Parties are inevitable : no free
country has been without them : and no one has shown how representative
government could work without them).8
Di negara demokrasi, partai politik mempunyai berbagai fungsi, sebagai saranan
komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik dan sarana rekrutment
politik.:9

5
Maurice Duverger. Political Parties and Their Organisations in Modern State. USA 1959. hal
xxiii
6
Alan Ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. New York. 1996, hal 1
7
Anika Gauja. Political Party and Election. Legislating for Representatives Democracy. Ashgate
Publishing Limited. England. 2010. hal 1
8
Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage.
How Party Organize Democracy. Ox
9
Miriam Budiardjo, op cit hal 405-409

3
a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Dalam fungsi sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berfungsi
untuk melaksanakan agregasi dan artikulasi berbagai kepentingan (pendapat dan
aspirasi) masyarakat. Setelah itu hasil dari agregasi dan artikulasi kepentingan
tersebut dirumuskan menjadi usul kebijakan yang dimasukkan ke dalam program
atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan dan disampaikan
kepada pemerintah melalui partai politik.
Disisi lain, partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan
menyebarluaskan rencana-rencana kebijakan pemerintah, sehingga terjadi arus
informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam
pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubungan antara pemerintah
dengan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di
satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok
masyarakat dan di lain pihak pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan
masyarakat

b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik


Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu suatu proses yang
melaluinya sesesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik
yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas
sosial, suku bangsa, ideologi hak dan kewajiban.

c. Sebagai Sarana Rekrutment Politik


Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.
Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,
karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang
mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan
mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan
pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk
masuk bursa kepemimpinan nasional.

4
d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, terutama pada masyarakat
yang heterogen. Peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya
atau sekurang-kurangnya menekan akibat negatifnya seminimal mungkin. Elit
partai dapat menumbuhkan pengertian dan juga memberikan keyakinan kepada
pendukungnya.
Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister menjelaskan bahwa
fungsi partai politik dapat dibagi menjadi tiga level yaitu di antara warga
masyarakat, dalam organisasi-organisasi dan di pemerintahan.10 Di level warga
masyarakat, partai berfungsi untuk menyederhanakan pilihan bagi para pemilih,
dengan fungsi ini partai telah juga mengurangi kompleksitas kebijakan pada
pemerintahan moderen ke sejumlah kecil pilihan-pilihan yang dapat dimengerti
dengan mudah oleh pemilih. Partai politik mendidik para pemilih tentang manfaat
dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan. Diantara
warga masyarakat, partai politik diharapkan akan memobilisasi warga untuk aktif
berperan serta dalam proses politik sehingga dapat menciptakan stabilitas sistem
politik dalam jangka panjang. Dalam level organisasi, partai politik merekrut dan
melatih pemimpin politik yang potensial dan para kandidat yang akan
ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan kepada mereka tentang nilai
dan norma dari pemerintahan yang demokratis. Secara organisasi, partai politik
juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan politik para pendukungnya. Pararel
dengan perannya sebagai artikulasi kepentingan, partai politik juga berfungsi
dalam agregasi kepentingan, menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke
dalam bentuk yang komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi
kebijakan pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di
pemerintahan.11 Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara
kerja pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan
kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan
yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai
10
Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage.
How Party Organize Democracy. op.cit. hal 5
11
Ibid hal 6

5
politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan
mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga
menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan
menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan
apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat
juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.12
Hubungan (Linkage) antara partai dan pemilih dapat digambarkan pada gambar
berikut ini :13

 Penghubung pada Tahap Kampanye (Campaign Linkage) : partai merekrut


calon/kandidat dan menyusun parameter-parameter dari proses pemilihan
umum
 Penghubung pada tahap partisipasi (Participatory Linkage) : partai
mengaktifkan warga masyarakat selama waktu pemilihan dan memobilisasi
mereka untuk memilih
 Penghubung Ideologi (Ideological Linkage) : Partai menginformasikan kepada
pemilih tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam pemilihan dan pemilih akan
memilih kebijakan-kebijakan tersebut.
 Penghubung Perwakilan (Representative Linkage) : pemilihan akan
memberikan kesesuaian antara pilihan-pilihan kebijakan dari warga
masyarakat dengan kebijakan-kebijakan partai yang direpresentasikan dalam
parlemen maupun di pemerintah.
 Penghubung Kebijakan (Policy Linkage) : partai-partai melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang mereka tawarkan dalam pemilihan.

2.1.3. Klasifikasi Partai Politik


Klasifikasi partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara. jika dilihat
dari komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi menjadi

12
Ibid. hal 5-6
13
Ibid. hal 6

6
dua jenis, yaitu partai massa dan partai kader. Partai Massa mengutamakan
kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu terdiri dari
pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat
untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang
biasanya luas dan agak kabur. kelemahan dari partai massa adalah bahwa masing-
masing aliran atau kelompok yang bernaung di partai massa cenderung untuk
memaksakan kepentingan masing-masing terutama pada saat-saat krisis, sehingga
persatuan menjadi lemah bahkan hilang. Partai kader mementingkan keketatan
organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. pimpinan partai biasanya
menjaga kemurnian doktrin yang dianut dengan jalan mengadakan saringan
terhadap calon anggotanya dan memecat anggota partai yang menyeleweng dari
garis partai yang telah ditetapkan.14
Klasifikasi selanjutnya dapat dilakukan dari segi sifat dan orientasi dalam
hal mana partai-partai dapat dibagi dalam dua jenis yaitu : partai lindungan
(patronage party) dan partai ideologi/partai azas (programmatic party).15

2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara


2.2.1. Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang- Undangan
Berbagai kelemahan sistem multipartai, menyebabkan banyak negara
menempuh kebijakan untuk menyederhanakan sistem partai tersebut melalui
persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan
tentang Partai Politik. Menurut Venice Commision, peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang partai politik merupakan perkembangan
yang relatif baru, sementara pemahaman tentang pentingnya keberadaan partai
politik telah jauh sebelumnya dipahami dan diterima. Meskipun saat ini sudah
banyak negara yang konstitusi dan perundang-undangannya secara spesifik
mengatur tentang partai politik, namun derajat dari peraturan perundang-
undangan tersebut sangat bervariasi dikarenakan perbedaan tradisi hukum dan
tertib konstitusi.16
14
Miriam Budiarjo.op.cit hal 166
15
Ibid
16
OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party Regulation. Adopted By

7
Proses pengadopsian partai politik sebagai obyek dalam Undang-Undang
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :17
Pertama pada saat semester pertama abad ke 20, tiga negara yaitu Jerman,
Finlandia dan juga Austria yang mengalami demokratisasi menjadi bagian dalam
tahap pertama disusunnya Undang-Undang tentang partai politik. Meskipun
terdapat perbedaan terhadap panjang dan juga detail yang diatur dalam undang-
undang tentang internal organisasi partai politik. Namun semuanya menyadari
perlunya mengatur tentang pendanaan partai politik.
Kedua, fase berikutnya adalah dari kesadaran munculnya undang-undang tentang
partai politik bertepatan dengan awal Huntington 'Third Wave', muncul di
Portugal dan Spanyol. Berbeda dengan fase pertama, undang-undang Partai
politik di sini tujuan utamanya adalah tidak begitu banyak mengatur tentang
pendanaan partai politik, tetapi kebutuhan untuk mengendalikan penciptaan dan
aktivitas partai-partai yang mulai berkembang biak dalam lingkungan demokratis
baru. baik Portugal dan Spanyol sebagian besar ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam pertama hukum berkaitan dengan peraturan partai politik
sebagai organisasi itu sendiri.
Ketiga, fase ketiga dari Undang-Undang tentang Partai politik pasca perang
sangat terkait erat dengan jatuhnya komunisme di Eropa Timur pada awal 90an.
Dalam tahap ini, bertepatan dengan apa yang disebut Fourth Wave of
Democratization. Hubungan antara dua gelombang ini sangat menjurus bahwa
tidak ada negara demokrasi Eropa Timur yang tidak terpengaruh oleh proses
pengaturan tersebut sejak munculnya Undang-Undang tentang Partai Politik
pertama di Hungaria Tahun 1989. Terlebih dikebanyakan kasus, Undang-Undang
yang mengatur tentang partai politik diperkenalkan ditahun-tahun pertama
terjadinya transisi politik.
Van biezen menyebutkan secara umum Peraturan Perundang-Undangan

The Venice Commission. at its 84th Plenary Session.Venice, 15-16 October 2010.
http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf [15 Juli 2012]
17
Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. ‘Party Law in
Comparative Perspective’, Working Paper Series on the Legal Regulation of Political Parties.
2012. hal 5

8
tentang Partai Politik sebagai dasar hukum operasional partai politik ditetapkan
dalam konstitusi, undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang
pendanaan partai politik, Undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-
undang tentang kampanye dan juga peraturan administrasi, penetapan-penetapan
dan putusan pengadilan.18
Konstitusi memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang
partai politik, karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi
aturan politik melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan
kekuasaan. Melalui konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format
kelembagaan negara. Aturan hukum lainnya yang sebagai dasar pembentuk
undang-undang tentang partai politik lebih menargetkan pada aspek nyata dari
fungsi dan prilaku partai. Undang-undang yang mengatur tentang partai politik
spesifik mengatur tentang internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang
partai dalam undang-undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang
mengatur partai politik dalam berbagai bentuk instrumen hukum.19
Wolfgang Muller berpendapat bahwa Jerman adalah negara barat yang
memiliki peraturan perundang-udangan tentang partai politik dengan sangat detail
dan mengikat.20 Muller bahkan mengatakan bahwa Jerman sebagai the heartland
of Party Law. Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik dimulai
pertama kali di Jerman pada tahun 1967.120
Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan
detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai21:
Political parties participate in the formation of the political will of the people.
They may be freely established. Their internal organization must conform to
democratic principles. They must publicly account for their assets and for the
sources and the use of their funds.

18
Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and
breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17.
2012 hal 2
19
Ibid hal 2
20
Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives.
Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC.
2005. hal 17
21
Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 4

9
Undang-Undang tentang partai politik mengatur tentang kewajiban dan larangan
yang harus dipatuhi oleh partai politik.22 Richard Katz menyatakan bahwa
undang-undang tentang partai politik mengatur tentang :23
1. Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan partai politik
Penentuan ini sering menimbulkan aturan tambahan seperti, siapa yang
memenuhi syarat untuk dipilih, siapa yang memperoleh keuntungan dari
masyarakat (misalnya subsidi, iklan media), siapa yang berpartisipasi dalam
pemerintahan dan bagaimana caranya.
2. Untuk mengatur bentuk aktivitas dari partai politik
Ketentuan ini untuk membatasi peningkatan dan pengeluaran dana,
kampanye, platform partai.
3. Untuk memastikan bentuk yang sesuai dari prilaku dan organisasi partai
Mengatur pemilihan pimpinan partai, kesetaraan gender dan ras.
Undang-Undang tentang Partai Politik memiliki 12 domain pengaturan partai
yaitu :24 (1) Prinsip-prinsip demokratis, (2) Hak-hak dan kebebasan (3) extra-
parliamentary party; (4) electoral party; (5) parliamentary party; (6) governmental
party; (7) aktivitas dan prilaku; (8) identitas dan program; (9) keuangan; (10)
akses media; (11) pengawasan eksternal; and (12) Undang-Undang ke dua
Prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak serta kebebasan meliputi pilihan-pilihan
yang mendefinisikan partai politik dalam kunci prinsip-prinsip dan nilai-nilai
demokrasi atau menyatukan partai-partai dengan hak-hak dan kebebasan
demokratis yang fundamental.
Kenneth Janda mengemukakan empat model Undang-Undang tentang
Partai politik yaitu:25
1. The proscription model
To proscribe, berarti menyatakan illegal atau melanggar hukum (outlaw). Namun
tidak ada dari 159 Undang-Undang tentang partai politik menggunakan kata

22
Kenneth Janda. Op cit hal 14
23
Ibid Hal 3
24
Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 9
25
Kenneth Janda. Op.cit. hal 8

10
Illegal atau outlaw. Negara-negara cenderung menggunakan cara penolakan partai
politik sebagai badan hukum daripada menggunakan istilah melanggar hukum.
Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan tidak menyebutkan partai
politik secara eksplisit dalam konstitusi. Salah satu contoh adalah Konstitusi
Aljazair, article 42 :
political parties cannot be founded on a religious, linguistic, racial, sexual,
corporatist or regional basis. They may not resort to partisan propaganda
pertainingto these elements and they may not in any way submit to any interest or
any foreignparty. No political party may resort to violence or constraint, of
whatever nature or form

2. The permission model


To permit, untuk mengizinkan. Model ini mengizinkan keberadaan dan
operasionalisasi partai politik tanpa mengatur secara spesifik tentang keanggotaan
partai, bagaimana partai harus diorganisasikan, bagaimana cara memilih
pemimpin partai dan bagaimana pendanaan organisasi. Model ini adalah model
peraturan partai politik yang minimalis. Sebagai contoh adalah Konstitusi Andora
pada article 26 :
Andorrans have the right freely to create political parties. Their functioning and
organization must be democratic and their activities lawful. The suspension of
their activities and their dissolution is the responsibility of the judicial organs.

11
3. The promotional model
To promote, berarti untuk memajukan, mengatur lebih lanjut dan mendorong.
Pemerintah terkadang tidak hanya membentuk undang-undang yang mengatur
aktivitas partai tetapi juga mengatur tentang pembentukannya. Biasanya melalui
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang mendukung keberadaan dan
kelangsungan sejumlah besar partai politik. Sudah lama diketahui bahwa
pemilihan legislative berdasarkan sistem proporsional representative dalam
multimember district menghasilkan partai yang lebih banyak jika dibandingkan
dengan sistem dimana kursi dimenangkan melalui simple voting pluralities in
single-member districts. Bentuk lain adalah dengan pemberian subsidi dan
bantuan pendanaan untuk mendukung partai politik.
Sebagai contoh Konstitusi Colombia Article 109 :
The state will contribute to the financing of the functioning and holding of
election campaigns of parties and political bmovements with a legal identity.

4. The protection model


To Protect, untuk melindungi dari kehilangan. Bentuk perlindungan yang paling
ekstrim adalah perlindungan suatu partai untuk menjadi partai tunggal, seperti
yang dilakukan Syria dalam konstitusinya untuk melindungi Partai Ba’th.
The leading party in the society and the state shall be the Socialist Arab Ba’th
Party. It shall lead a patriotic and progressive front seeking to unify the resources
of the people’s masses and place them at the service of the Arab nation’s goals.

5. The Prescription Model


To prescribe berarti mengeluarkan perintah, mendikte. Pemerintah mendikte
partai melalui Undang-undang tentang kesalahan yang dilakukan partai. Pada
kondisi ekstrim, Prescription model mengizinkan rezim untuk seolah-olah
menyatakan bahwa mereka menganut sistem multipartai, namun pada
kenyataannya mengontrol prilaku dan organisasi partai politik.
Organisasi partai politik dapat dibagi menjadi empat kategori yang setiap
kategorinya memiliki peran yang khusus-yaitu Partai di luar, partai di arena
pemilihan umum, partai di parlemen dan partai dipemerintah. Kategori extra-

12
parliamentary meliputi ketentuan-ketentuan yang mengatur operasional struktur
internal dari partai politik. Diantara ini adalah peraturan-peraturan yang
dikhususkan ke dalam demokrasi internal partai politik, yang merefer kepada
pemilihan badan partai, akuntabilitas, resolusi partai, konflik dan prosedur untuk
memilih calon/kandidat. Kategori ini juga diatur tentang bentuk-bentuk organisasi
partai, status hukum dan perysaratan pendaftaran dan pembentukan partai politik.
Kategori ke dua adalah partai politik peserta pemilihan umum. Kategori ini
merefleksikan partai politik dalam kompetisi. Prilaku partai-partai dalam
parlemen dalam kaitan dengan legislator local dan regional, partisipasi dalam
komisi parlementer, staff dan formasi kebijakan adalah subjek dalam kategori
partai di parlemen. Disini, semua referensi hukum mengacu pada partai di
parlemen di tetapkan. Terakhir adalah kategori partai dipemerintahan yang
meliputi referensi bagaimanan eksekutif baik ditingkat lokal, regional maupun
nasional di susun. Di bawah kategori aktivitas dan identitas, skema aturan
pendaftaran mensyaratkan pengetatan atau larangan beberapa bentuk prilaku atau
ideologi yang mendasari partai politik.
Banyak peraturan hukum mengandung kondisi yang menghormati hak
asasi manusia, larangan untuk menggunakan kekerasan, penyebaran kebencian
atau penggunaan metode non demokrasi pada partai politik. Sebagai contoh,
Undang-Undang Partai politik di Spanyol melarang partai politik untuk merusak
sendi-sendi demokrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi. Beberapa
negara juga mengatur tentang larangan bentuk partai politik dengan dasar etnis,
nasionalis atau agamais. Sementara partai politik tidaklah diikat karena alasan
identitas, ada beberapa larangan untuk menerima dana dari institusi agama
contohnya di Bulgaria. Pengaturan tentang pendanaan partai politik dapat dibagi
menjadi lima sub kategori yaitu : pendanaan public secara langsung, pendanaan
publik tidak langsung, pendanaan pribadi, pengaturan tentang pengeluaran,
pelaporan dan pembuktian. Kategori yang pertama meliputi jumlah, alokasi dan
penggunaan dari pendanaan negara, sementara yang tiga focus pada pembatasan,
transparansi dan penggunaan dari dana masyarakat.
Persyaratan-persyaratan pendirian partai memiliki pengaruh penting

13
terhadap kompetisi politik dan sistem partai di negara demokrasi. 26 Undang-
Undang yang mewajibkan partai politik untuk memenuhi batas
minimum/threshold (misalnya jumlah kandidat dan anggota) telah membatasi
akses masuk ke arena politik.27
Gauja dalam tulisannya tentang Legislative Regulation, Judicial Politics and the
Cartel Party Model menyimpulkan bahwa aspek-aspek pengaturan dalam
Undang-Undang yang mengatur tentang partai politik khususnya yang mengatur
tentang pendaftaran partai politik dalam pemilu dan akses terhadap suara memiliki
pengaruh dalam pembentukan karakter persaingan politik dan sistem partai dalam
sistem demokrasi. Lebih lanjut Gauja menjelaskan bahwa undang-undang yang
mensyaratkan pembatasan minimum misalnya batasan anggota dan bakal calon,
pembayaran deposit sebagai syarat peserta pemilu serta syarat
memperoleh subsidi memiliki aspek yang sama dengan tesis mengenai partai
kartel, yaitu terdapat prilaku kolusif partai incumbent dalam membatasi atau
memperketat partai politik lainnya untuk memasuki arena politik dan mengambil
kekuasaan.28 Gaujah menyatakan sebagai berikut :
Laws that require parties to meet minimum thresholds (for example, candidates,
members or signatures) as well as they payment of deposits in order to contest
elections and receive state subventions have a particular resonance with aspects
of the cartel party thesis that highlight the collusive behaviour of incumbents in
limiting or restricting entry to the political arena and the spoils of the state

2.2.2. Praktek Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai


Negara
Kebijakan penyederhanaan partai politik banyak dipraktekan di berbagai

26
Anika Gauja. Op.cit hal 14
27
Ibid
28
Anika Gauja. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party Model. Department
of Government and International Relations School of Social and Political Sciences Room 443,
Merewether Building The University of Sydney NSW 2006 Australia. 2011.http://sydney.edu.au
hal 14. Tesis tentang partai kartel ini dijelaskan oleh Richard S. Katz and Peter Mair (2009) yang
menyatakan bahwa partai politik semakin berfungsi seperti kartel, menggunakan sumber daya
negara untuk membatasi persaingan politik dan memastikan kesuksesan pemilihan mereka.
Richard S. Katz and Peter Mair (2009). The Cartel Party Thesis: A Restatement. Perspectives on
Politics, 7. hal 753-766

14
negara. venice commission mencatat beberapa negara yang menerapkan kebijakan
penyederhanaan partai politik melalui berbagai persyaratan dan juga
parliamentary threshold di beberapa negara seperti Rusia, Jerman, Republik Ceko
dan juga Turki. Pada studi ini, akan dibahas kebijakan penyederhanaan partai
politik di Rusia, Jerman dan Republik Ceko serta di berbagai negara lainnya
sebagai bahan perbandingan dalam menganalisis kebijakan penyederhanaan partai
politik di Indonesia.

2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia


Berdasarkan article 3.2 Russian Federation Federal Law on Political
Party, persyaratan untuk mendaftar sebagai partai politik adalah :29
a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah
negara bagian dengan jumlah anggota lebih dari 100, dan minimum anggota
di sisa cabang lainnya tidak kurang dari 50 anggota.
b. Partai politik harus memiliki minimum 10.000 anggota
Pada Tahun 2005, Russian Federation Federal Law on Political Party di
Amandemen, dan berdasarkan article 3.2 persyaratan untuk terdaftar sebagai
partai politik diperberat, yaitu :30
a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah
negara bagian, dengan jumlah anggota lebih dari 500 tiap cabang dan di
cabang-cabang yang tersisa harus memiliki lebih dari 250 anggota
b. Partai politik harus memiliki lebih dari 50.000 anggota untuk terdaftar.

a political party shall comprise not less than fifty thousand members of political
party, understanding that in more than half of the subjects of the Russian
Federation a political party shall have its regional branches comprising not less
than five hundred members of political party as is envisaged under Item 6 of
Article 23 of this federal law. In the remaining regional branches, the
membership of each such branch shall be not less than two hundred and fifty
members of political party as is provided under Item 6 of Article 23 of this
29
http://www.cikrf.ru/eng/law/fz95_en_110701.html diunduh 18 November 2012
30
http://legislationline.org/documents/action/popup/id/4375 diunduh 18 November 2012

15
Federal Law;
berdasarkan data dari venice commission, minimum threshold untuk memperoleh
kursi di parlemen rusia sebelum tahun 2007 adalah sebesar 5 %, namun threshold
meningkat menjadi 7 % pada tahun
2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik Ceko
Berdasarkan Act of Law 424/1991 Coll., on association in political parties
and political movements yang telah diamandemen beberapa kali terakhir tahun
200631, proposal pendirian partai politik dibuat oleh panitia persiapan pendirian
partai politik yang setidaknya terdiri dari tiga orang yang telah berusia di atas 18
tahun. Selanjutnya petisi pendirian partai politik harus ditandatangani oleh
setidaknya 1000 warga negara yang menginginkan pendirian partai politik
tersebut (article 6.2)
Partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu diwajibkan untuk
mendeposit dana sebesar 200,000 crowns ($6,450). Partai politik harus
mendeposit dana tersebut di setiap wilayah pemilihan umum yang akan diikuti.
Sehingga jika suatu partai hendak mengikuti pemilihan umum di delapan wilayah,
maka mereka harus memiliki deposit dana sebesar 1.6 million crowns (c. $51,600)
1.6 million crowns (c. $51,600) untuk dapat mengikuti pemilu di seluruh wilayah.
(article 35.2).32
Ketentuan tentang Parliamentary Threshold diatur pada article 49. 3 Act of Law
247/1995 Coll., on elections to the Parliament of the Czech Republic 33. Yang
mengatur bahwa partai politik harus memperoleh 5-4% suara untuk mendapat
kursi, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara, koalisi tiga
partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat partai harus
memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.

2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman


Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi,

31
http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1991/424.html [19 November 2012]
32
http://www.osce.org/odihr/elections/czech-republic/16147 article 35.2, kemudian dihapus
setelah UU diamandemen http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November
2012]
33
http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]

16
mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi
yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah
organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa
partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi
Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on
Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai
politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai
politik di Jerman tidak perlu didaftarkan.34
Partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilihan umum di
Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal
Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili
oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara)
sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan
ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai.
Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal
kepemimpinan.35
Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke
Federal Returning Officer:36 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program
partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang
lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk
menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon
independen.37 Berdasarkan section 6.6 Federal Elections Act partai politik peserta
pemilu dapat diikutkan dalam perhitungan kursi apabila memperoleh sedikitnya 5
% suara dari suara sah atau memenangkan kursi untuk setidaknya tiga
konstituen.38

34
CHAU Pak-kwan. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the United
Kingdom, New Zealand and Singapore. Research and Library Services Division Legislative
Council Secretariat.Hong Kong.2004. hal 5
35
Ibid. hal 6
36
Ibid
37
Ibid hal 16
38
http://www.bundeswahlleiter.de/en/bundestagswahlen/downloads/rechtsgrundlagen/bundeswahl
gesetz_engl.pdf [19 November 2012]

17
2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara Lainnya
Di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya
meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus
berhadapan dengan adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik,
dan di sebagian lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan
birokrasi yang panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama
untuk mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas
nasional (sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya
persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan
deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan
konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan
buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum
tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan
distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat39
Di Negara Australia, partai politik harus terdaftar untuk mendapatkan
pendanaan berdasarkan the Commonwealth Electoral Act 1918, partai politik
haruslah didirikan berdasarkan konstitusi tertulis, memiliki minimal 500 anggota
donatur atau satu orang yang menjadi anggota parlemen commonwealth. Anggota
partai lain, tidak dapat digunakan oleh partai lainnya untuk mendaftar. Partai
politik diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dari sumber
pendanaannya dan laporan keuangan partai diaudit oleh Komisi Pemilihan Umum
Australia.40 Di Meksiko, syarat pendaftaran partai politik adalah dengan
menyerahkan dokumen deklarasi prinsip, program dan kegiatan partai, serta
peraturan internal partai. Memiliki 3000 anggota yang tersebar setidaknya 10 dari
32 entitas federal atau 300 anggota pada setidaknya 100 dari 300 single member
district yang mana negara tersebut dibagi untuk kepentingan pemilihan umum. Di
Kanada, partai didaftarkan dengan menyertakan pengurus partai dan deklarasi
yang ditandatangani minimum 250 anggota.41 Sedangkan di negara Austria,
39
Pippa Norris.op.cit. hal 8
40
Ibid.
41
Ibid

18
Spanyol dan Uruguay mensyaratkan memiliki 5000 anggota untuk mendirikan
partai politik.42
Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu
organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :43
1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat
partai
2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit
akuntan;
3. salinan Konstitusi Partai
4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan
pendanaan
5. Biaya sebesar £ 150

Venice Commision berpendapat bahwa Undang-Undang tentang Partai


Politik di Ukraina mengatur persyaratan pendirian partai baru dengan cukup sulit
dan berat. Berdasarkan article 10 Undang-Undang tentang Partai Politik Ukraina
tahun 2010, untuk membentuk partai baru, haruslah didukung oleh 10.000 tanda
tangan dari warga negara Ukraina yang memiliki hak untuk memilih yang
haruslah tersebar di 2-3 distrik atau 2 sampai 3 wilayah administratif Ukraina dan
di Kota Kyiv dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di Republik Otonomi
Crimea.44
Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur
tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang
Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian
dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi
mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran.

42
OSCE/ODIHR AND VENICE COMMISSION. Op.cit (1) .hal 19
43
ibid hal 20
44
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The
Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By The Venice Commission At Its 51st
Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3. http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL- AD
%282002%29017-e.pdf [15 Juli 2012]

19
Persyaratan untuk Mengikuti Pemilihan Umum
Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun
2000, partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan
auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250
pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan
mendukung aplikasi partai untuk terdaftar. partai juga harus menyerahkan
deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk
berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai
calon anggota dan mendukung pemilihan mereka.45
Penerapan batasan pada jumlah donor dapat memberikan kontribusi bagi
partai atau calon adalah bentuk umum reformasi keuangan partai politik.
Pembatasan kontribusi didasarkan pada prinsip untuk mengurangi disparitas
pengaruh politik antara pendonor besar, pendonor kecil, dan non-donors.
Beberapa negara juga melakukan pembatasan terhadap sumber-sumber
pendanaan. Negara Eropa beberapa, seperti Spanyol dan Perancis, misalnya,
melarang atau membatasi sumbangan perusahaan kepada partai politik. Batas
partai dan kandidat pengeluaran juga umum. Dalam upaya untuk tingkat lapangan
antara partai, pemerintah memberlakukan plafon total pengeluaran, biasanya
dilaksanakan hanya selama masa kampanye.46
Persyaratan nilai parliamentary Threshold dipraktekkan secara beragam di
berbagai negara. Di negara-negara Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki
adalah negara dengan PT tertinggi yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007,
menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia,
Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan PT 5%, sementara negara Austria,
Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol,
Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2%
dan Belanda 0.67%.47

45
Anika Gauja. op.cit hal 6
46
Peter M.Manikas and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting Reform and
Combating Corruption in Eight Countries .National Democratic Institute for International
Affairs. 2003 hal 12
47
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Report On
Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar Parties From Access To

20
Alasan utama untuk memperkenalkan ambang batas adalah untuk
mencegah fragmentasi lebih lanjut dari spektrum politik. Efeknya adalah bahwa
partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral
threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk
menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas
gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan parlemen 2003. Setelah
penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang
mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam
pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai
minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam kasus
Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan threshold
10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi. Venice
commission menyatakan bahwa ambang pemilu tidak boleh mempengaruhi
kemungkinan minoritas nasional untuk diwakili. Penurunan atau bahkan
pencabutan ambang batas untuk partai minoritas dapat dibenarkan.48

2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik


Hak kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi dan berpendapat
merupakan dasar berfungsinya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Partai
politik sebagai instrumen dalam menyatukan ekspresi politik haruslah dapat
menikmati hak-hak tersebut secara utuh. Seperti yang telah dirangkum oleh
Venice Commission dalam Pedomannya bersama OSCE/ODHIR :49
Parties have developed as the main vehicle for political participation and
contestation by individuals, and have been recognized by the European Court of
Human Rights as vital to the functioning of democracy. The Parliamentary
Assembly of the Council of Europe has further recognized that political parties
Parliament (II). Adopted by the Council for Democratic Elections at its 32nd
meeting. (Venice, 11 March 2010).and by the Venice Commission at its 82nd
48
ibid
49
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The
Law On Political Parties Of The Russian Federation. Adopted by the Council for Democratic
Elections at its 40th meeting (Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th
Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012). http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD
%282012%29003-e.pdf [16 Juli 2012] hal 3

21
plenary session. (Venice, 12-13 March
2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf hal
5 [15 Juli 2012]
are “a key element of electoral competition, and a crucial linking mechanism
between the individual and the state” by “integrating groups and individuals into
the political process…” As required by the Copenhagen Document, paragraph 3,
political pluralism, as fostered by competition and opposition parties, is critical
to the proper functioning of democracy.”
Menurut Venice Commission tidaklah perlu demokrasi memiliki hukum tertentu
yang mengatur partai politik. Namun, ketika hukum tersebut ada, seharusnya tidak
"terlalu menghambat aktivitas atau hak partai politik". Undang-undang harus,
sebaliknya, memfasilitasi peran partai politik sebagai aktor penting dalam
demokrasi yang berfungsi dan menjamin perlindungan penuh hak-hak mereka.50
Pada prinsipnya hukum harus memperlakukan semua partai secara sama,
bukan membatasi atau diskriminasi untuk atau terhadap jenis tertentu dari partai,
baik karena filsafat politik mereka, prinsip, atau program partai. Partai politik
yang berbeda, kelompok, atau asosiasi harus memiliki hak untuk mengatur dan
kebebasan berpendapat dan berekspresi. Aktivis partai harus bebas untuk menyatu
melalui pertemuan damai dan demonstrasi, pemimpin partai seharusnya bebas
untuk menyebarluaskan dan mempublikasikan pandangan mereka, pengurus partai
harus memiliki otonomi untuk mengelola urusan internal mereka, dan kandidat
harus memiliki hak berkampanye untuk mendapatkan jabatan publik 51. Untuk
lebih menyederhanakan perbandingan, tingkat regulasi hukum yang mengatur
partai politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe ideal atau kategori analitis
yaitu:52
1. Monopolistik, secara eksplisit peraturan perundang-undangan condong
terhadap partai yang berkuasa, membatasi semua partai oposisi dan gerakan
penentang, untuk menopang rezim represif dan satu partai negara.

50
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).op.cit Hal 4
51
Pippa Norris.Building political parties: Reforming legal regulations and internal rules.Harvard
University Report commissioned by International IDEA 2004.hal 5
52
Ibid .Hal 5

22
2. Kartel, menghormati hak asasi manusia secara umum tetapi tetap saja mereka
membatasi kompetisi partai melalui berbagai praktek pembatasan dirancang
untuk menguntungkan partai mapan di parlemen atau di pemerintahan.
Peraturan ini termasuk persyaratan untuk mendapatkan suara, peraturan yang
mengatur alokasi umum pendanaan, dan hak untuk kampanye gratis dan subsidi
negara. Kartel dirancang untuk condong terhadap sumber daya internal, dengan
ambang batas suara yang tinggi dan efektif melindungi terhadap penantang luar.
3. Terakhir, peraturan yang paling egaliter dirancang untuk memfasilitasi kompetisi
jamak partai di antara beberapa pesaing, dengan akses yang sama terhadap sumber
daya publik dan pembatasan hukum yang minimal pada partai.
Venice Commission telah menyusun sepuluh prinsip-prinsip yang menjadi
panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang partai politik,
yaitu :53
1. Prinsip hak individu untuk berserikat
Hak seseorang untuk berserikat dan membentuk partai politik harus sepenuhnya
bebas dari pengaruh. Meskipun ada pembatasan terhadap hak untuk berasosiasi,
pembatasan tersebut haruslah disusun secara ketat dan hanya karena alasan yang
meyakinkan pembatasan tersebut dapat dilakukan. Pembatasan haruslah diatur
dalam undang-undang, diperlukan oleh masyarakat demokrasi, dan bernilai
proporsional. Bergabungnya seseorang dengan partai politik haruslah terjadi
secara sukarela dan tidak ada unsure paksaan bagi seseorang untuk bergabung
dalam suatu partai politik
2. Kewajiban negara untuk melindungi hak individu akan kebebasan berserikat. Ini
merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa perundang-
undangan yang relevan menetapkan mekanisme yang penting
untuk memberikan jaminan kebebasan seseorang untuk berserikat dan
mendirikan partai politik. Lebih lanjut, negara mempunyai tanggung jawab, untuk
menetapkan perundang-undangan untuk melarang interfensi dari pihak-pihak di
luar negara ataupun dari pemerintah sendiri. Ketika terjadi pelanggaran terhadap
hak untuk berserikat, maka negara harus melakukan tindakan perbaikan yang

53
OSCE/ODIHR And Venice Commission. Op.cit (1).

23
sesuai untuk menghentikan pelanggaran tersebut.

24
3. Prinsip Leg
Setiap pembatasan terhadap hak individu untuk berserikat dan berekspresi harus
mempunyai landasan yuridis berdasarkan konstitusi ataupun undang- undang.
Pembatasan-pembatasan bukanlah berasal dari kegiatan politik partisan, namun
merupakan keinginan yang sah dari masyarakat demokratik. Konstitusi dan
perundang-undangan haruslah menghormati hak untuk berserikat yang ada di
peraturan-peraturan internasional. Hukum harus jelas dan tepat, menunjukkan
kepada partai politik baik kegiatan apa saja yang dianggap melanggar hukum dan
apa sanksi yang tersedia dalam kasus pelanggaran. Undang-undang partai politik
harus diadopsi secara terbuka, setelah perdebatan, dan tersedia kesempatan untuk
ditinjau publik untuk memastikan individu dan partai politik menyadari hak
mereka dan pembatasan hak-hak tersebut.

4. Prinsip Proporsionalitas
Pembatasan yang dikenakan pada hak-hak partai politik harus proporsional secara
alami dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu mereka. Terutama dalam hal
partai politik, diberikan peran fundamentalnya dalam proses demokrasi,
proporsionalitas harus hati-hati ditimbang dan diterapkan secara ketat.
Sebagaimana dinyatakan di atas, satu-satunya pembatasan dikenakan harus yang
diperlukan dalam suatu masyarakat yang demokratis dan ditentukan oleh hukum.
Jika pembatasan tidak memenuhi kriteria tersebut, mereka tidak dapat dianggap
sebagai proporsional dengan pelanggaran. Pembubaran partai politik, atau
pembatasan pembentukan partai politik, merupakan sanksi paling ekstrim dan
tidak boleh dikenakan kecuali ukuran tersebut adalah proporsional dan diperlukan
dalam masyarakat demokratis.

5. Prinsip Non-Diskriminasi
Peraturan perundang-undangan tentang partai politik haruslah tidak
mendiskriminasi setiap individu atau grup atas dasar apapun, misalnya ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan
atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran, orientasi seksual, atau lain status. Hak
individu untuk bebas asosiasi tidak membuatnya dapat mengharuskan partai

25
politik diminta untuk menerima anggota yang tidak berbagi inti keyakinan dan
nilai-nilai. Namun prinsip non-diskriminasi oleh partai politik dimungkinkan jika
dilakukan secara sukarela.

6. Prinsip Perlakuan yang Sama


Semua individu dan kelompok yang berusaha membentuk partai politik harus
dapat memiliki dasar perlakuan yang sama dimata hukum. Tidak ada individu atau
kelompok yang ingin mengasosiasikan sebagai partai politik harus diuntungkan
atau dirugikan dalam usaha ini oleh negara, dan peraturan tentang partai politik
haruslah seragam diterapkan untuk semua partai. Untuk menghilangkan
kesenjangan historis langkah-langkah dapat diambil untuk menjamin kesempatan
yang sama bagi perempuan dan minoritas. Sementara tindakan khusus yang
bertujuan mempromosikan kesetaraan de facto untuk perempuan dan etnis, ras
atau lainnya minoritas mengalami diskriminasi masa lalu dapat ditetapkan dan
tidak boleh dianggap diskriminatif.

7. Prinsip pluralisme politik


Legislasi tentang partai politik harus bertujuan untuk memfasilitasi pluralisme
politik. memfasilitasi warga negara untuk menerima berbagai pandangan politik,
seperti melalui ekspresi platform partai politik, umumnya diakui sebagai elemen
penting dari masyarakat demokrasi. Yang dibuktikan dengan ayat 3 dari Dokumen
Kopenhagen dan komitmen OSCE lain, pluralisme diperlukan untuk memastikan
individu ditawarkan pilihan yang nyata dalam asosiasi politik mereka. Fungsi
peraturan partai politik harus dipertimbangkan dengan cermat untuk memastikan
mereka tidak melanggar atas prinsip pluralisme politik.

8. Prinsip administrasi yang baik dari perundang-undangan tentang partai politik.


Pelaksanaan undang-undang yang relevan dengan partai politik harus dilakukan
oleh badan yang bebas dan ketidakberpihakan dijamin baik dalam hukum maupun
dalam praktek. Ruang lingkup dan kewenangan badan hukum harus secara
eksplisit ditentukan oleh hukum. Legislasi juga harus memastikan bahwa badan
pelaksana wajib menerapkan hukum secara obyektif dan tidak sewenang-wenang.

26
Ketepatan waktu merupakan salah satu unsur administrasi yang baik. Keputusan
yang mempengaruhi hak-hak partai politik harus dilakukan secara cepat, terutama
keputusan-keputusan yang terkait dengan sensitif waktu, seperti pemilu.

9. Prinsip hak untuk mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak.


Partai politik harus memiliki jalan lain untuk sebuah pemulihan hak yang efektif.
Untuk semua keputusan yang mempengaruhi hak-hak dasar mereka, termasuk
yang berserikat, berekspresi dan berpendapat. Apabila hak tersebut diberikan
kepada individu, mereka umumnya dilaksanakan secara kolektif, yang
membutuhkan bantuan karena untuk dugaan pelanggaran membawa tidak hanya
oleh individu tetapi oleh partai secara keseluruhan. Dalam penerapan hak-hak ini,
partai politik juga harus memperoleh hak atas perlindungan pengadilan yang adil
dan tidak memihak. Ganti rugi yang tepat dan efektif harus tersedia bagi partai
jika setiap pelanggaran yang ditemukan telah terjadi. Prinsip efektivitas
mensyaratkan bahwa beberapa pemulihan diberikan secepatnya. Pemulihan yang
tidak disediakan dalam tepat waktu tidak cukup untuk memenuhi persyaratan
bahwa pemulihan menjadi efektif.

10. Prinsip Akuntabilitas


Partai politik dapat memperoleh hak hukum tertentu, karena terdaftar sebagai
politik partai, yang tidak diberikan kepada organisasi lain. Hal ini terutama
berlaku di bidang keuangan dan akses ke berbagai media selama kampanye
pemilu. Sebagai hasil dari memiliki hak tidak diberikan kepada asosiasi lain,
adalah tepat untuk menempatkan kewajiban tertentu pada partai politik karena
diperoleh status hukum mereka. Kewajiban tersebut dapat berupa pemberlakuan
persyaratan pelaporan atau transparansi dalam pengaturan keuangan. perundang-
undangan harus memberikan rincian khusus mengenai hak-hak yang relevan dan
tanggung jawab yang menyertai didapatkannya status hukum sebagai partai
politik.

27
2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana
Di zaman sekarang ini, terutama sejak awal abad ke-20, muncul
kecenderungan bahwa sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu semakin
popular. Sebaliknya, sistem multipartai seperti yang banyak diterapkan di
berbagai negara yang menganut sistem kabinet justru banyak menghadapi kritik
karena kelemahan-kelemahannya yang kurang menjamin stabilitas. Karena itu
dapat dikatakan bahwa muncul dan berkembangnya sistem partai tunggal dan
sistem dua partai itu, bersamaan dengan semakin kurang populernya sistem
banyak partai, juga menjadi salah satu sebab yang mendorong terjadinya
pergeseran kekuasaan dari parlemen ke pemerintah dalam perkembangan sejarah
abad ke-20.54
Sistem multipartai memiliki beberapa keunggulan dibanding sistem partai
lainnya, diantaranya sistem multipartai lebih mewakili keinginan rakyat banyak.
Semakin banyak jumlah partai, maka semakin banyak pilihan bagi pemilih. Selain
itu sistem multipartai adalah bentuk yang lebih baik dalam mewakili kepentingan
minoritas.55
Namun demikian sistem multipartai, menurut para ahli memiliki banyak
kelemahan. Scot Mainwarring menyatakan bahwa kombinasi antara sistem
presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi yang tidak stabil.56
The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy
difficult to sustain.

Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil
di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah,
yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan
multipartai.57 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan
imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem
presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika
54
Jimly Asshiddiqie. op.cit(4). hal 51
55
Daniele Caramani, op cit. hal 331
56
Lowell. Barington. Comparative Politics.Structure and Choices. Wadsworth Cengage
Learning. Boston. 2012. hal 264
57
Scott Mainwaring. Op.cit (1) . 1993. hal 199

28
pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung
mayoritas parlemen.58
Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi
antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan
fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang
mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang
efektif.59 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak
berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai,
koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga
faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem
presidensil adalah :60
Pertama, dalam sistem presidensil, presiden (bukan partai) yang
bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat
kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini
tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden
lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan
dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka
partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden.
Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu
untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten
dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana
dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu
dalam parlemen.
Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem
presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai,
pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk
membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi
dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan
identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati
58
Ibid hal 199
59
Ibid hal 214
60
Ibid hal 215

29
prestasi yang dicapai.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam sub bab sistem kepartaian,
para ahli membagi sistem multipartai menjadi sistem multipartai sederhana
(moderate) dan sistem multipartai ekstrim sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sartori. sistem multipartai sederhana terdiri dari 3 sampai 5 partai yang relevan,
sedangkan sistem multipartai terpolarisasi (ekstrim) terdiri dari 6 sampai 8 partai
politik yang relevan.61 Partai politik yang relevan adalah partai yang memperoleh
3% atau lebih di parlemen setelah pemilihan umum.62
Sartori memperhalus kategori sistem multipartai dikarenakan dia
menyadari bahwa kontra terhadap opini Duverger bahwa sistem multipartai
tidaklah sama. sebagian sistem multipartai (pluralisme moderat) berfungsi
layaknya sistem dua partai (dan inilah mengapa disebutkan bahwa sistem ini
adalah sistem bipolar yang dinamis), sementara sistem multipartai lainnya sangat
berbeda dari sistem dua partai. dan dalam pandangan Sartori sistem ini adalah
pluralisme yang terpolarisasi.63
Sartori menemukan bahwa karakteristik struktural dari pluralisme
terpolarisasi dicirikan oleh hadirnya lebih dari lima partai politik yang relevan
dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi, dengan adanya partai anti
pemerintah, dengan hadirnya oposisi bilatelar, dengan kenyataan bahwa oposisi
tidaklah bertanggungjawab.64
Siaroff membagi lagi sistem multipartai moderate menjadi sistem
multipartai moderate dengan satu partai dominan (moderate multiparty with one
dominant party), moderate multiparty with two main parties, moderate multiparty
with a relative balance amongst the parties.65 sistem multi partai cenderung
menyerupai dan meniru mekanisme dan karakteristik dari dua partai sistem. Vis-à- vis
sifat dari sistem dua partai, sifat penting yang membedakan sistem multi partai moderat
61
Wen Cheng Wu. Duverger Hypothesis Revisited. Department of Political Science, Soochow
University, Taipei . 2001. hal 48. Bagaimanapun juga Wen Cheng Wu mengemukakan bahwa
jumlah partai politik bukanlah yang utama, namun jumlah partai yang relevan membentuk ataupun
menghambat koalisilah yang perlu untuk dihitung.
62
Alan ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. 1996. hal 159
63
http://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=soss_research dunduh
20 november 2012]
64
http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012]
65
http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012]

30
adalah pemerintah koalisi. Tetapi struktur sistem multi partai moderat tetap bipolar
(bukan segitiga) dan oposisi tetap unilateral (bukan bilateral). Sistem multi partai moderat
dicirikan oleh koalisi alternatif-satu di kanan dan yang lain di sebelah kiri. Pusat dari
sistem ini adalah kosong. Sistem multi partai moderat kurang relevan anti-sistem partai
baik di ekstrim kanan atau ekstrem kiri. Semua partai berorientasi kepada pemerintahan,
sehingga mudah terbentuk koalisi. Dan koalisi biasanya cukup stabil dan kabinet jarang
rusak dan reshuffle.66
Daniel caramanie mengemukakan ciri dari Jumlah partai politik terbatas,
dibawah 5 partai dan arah kompetisi sentripetal, yang berarti partai-partai utama
cenderung menyatu ke arah pusat dari kiri-kanan untuk mendapat dukungan
dalam pemilihan umum. Pada titik pusat, terdapat satu partai kecil atau beberapa
partai yang akan membentuk koalisi ke masing-masing sisi. Peran dari partai-
partai kecil ini amatlah penting, yang akan menentukan kecenderungan koalisi
apakah ke arah kiri atau kanan. Jarak ideologi tidaklah jauh sehingga koalisi
67
masih memungkinkan.

2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara


Daniel Caramani dalam tulisannya menghimpun negara-negara yang
menganut sistem multipartai sederhana. Dalam studi ini, akan dikaji lebih dalam
sistem multipartai sederhana di negara Rusia, Republik Ceko dan Jerman, agar
terdapat kesinambungan antara kebijakan penyederhanaan partai politik di negara-
negara tersebut yang telah dibahas pada Sub Bab sebelumnya.

2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia


Pemilu tahun 2003 diikuti oleh lebih dari 24 partai politik, dan
berdasarkan minimum threshold 5%, maka sebanyak 12 partai politik
memperoleh kursi di Parlemen. Berdasarkan perhitungan Nilai ENPP dengan
rumus dari Laakso dan Tagepera, diperoleh angka ENPP sebesar 3.38 yang berarti
pada pemilu 2003 telah menciptakan Sistem Multipartai Sederhana (Moderate
Multiparty System) di Rusia. Jumlah Partai Efektif di Parlemen 3 sampai 4 Partai.
Partai United Russia berhasil memperoleh kursi terbanyak, yaitu sebesar 49.55%,
66
Wen Cheng Wu. op.cit. hal 48
67
Daniele caramani. hal 330

31
diikuti oleh communist party 11.55%, Rodina 8.22% dan Zhirinovsky Bloc 8%.
Pada pemilu tahun 2007, 11 partai politik menjadi peserta dan dengan
threshold 7%, hanya 4 partai politik yang dapat memperoleh kursi di parlemen.
perhitungan nilai ENPP sebesar 1.98 menunjukkan bahwa pemilu tahu 2007 telah
menciptakan sistem satu partai atau multiparty systems with a predominant party
(multipartai dengan satu partai dominan). United Rusia berhasil memperoleh kursi
lebih dari 70%, diikuti oleh Communist Party of the Russian Federation 12.67%,
Liberal Democratic Party of Russia 8.89% dan A Just Russia 8.44%.
Jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu pada tahun 2011
kembali menurun, pemilu 2011 hanya diikuti oleh 7 partai politik dan 4
diantaranya berhasil memperoleh kursi di parlemen. Perhitungan nilai ENPP
didapat sebesar 2.80 menunjukkan bahwa pemilu 2011 menciptakan sistem
multipartai sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. United Russia
memperoleh 52.89% kursi, Communist Party 20.44%, A just Rusia 14.22%,
Liberal Democratic Party 12.44%. berdasarkan klasifikasi sistem partai Blondel,
sistem kepartaian di rusia juga dapat disebut sistem multipartai dengan 1 partai
dominan yaitu united russia yang memperoleh lebih dari 50% kursi di Parlemen.
Dari data di atas, jika dikaitkan dengan kebijakan penyederhanaan partai
politik di rusia, dapat dikatakan bahwa beratnya persyaratan untuk terdaftar
sebagai partai politik yaitu harus mempunyai 50.000 anggota dan tingginya nilai
parliamentary threshold (7%) telah mengakibatkan penurunan jumlah partai
politik peserta pemilu dan juga partai politik yang memperoleh kursi di parlemen
rusia sehingga menciptakan sistem multipartai sederhana dan bahkan pada pemilu
tahun 2007 telah menciptakan sistem 1 partai (predominant party system).

2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko


Pada pemilu tahun 1998, diikuti oleh 13 Partai politik. ketentuan
Parliamentary Thershold sebesar 5% menyebabkan hanya 5 partai politik yang
memperoleh kursi di Parlemen. Czech Social Democratic Party memperoleh 37%
kursi, diikuti dengan Civic Democratic Party 32%, Communist Party of Bohemia
and Moravia 12%, koalisi KDU dan CSL 10%, serta Freedom Union 10%. Nilai

32
ENPP pemilu tahun 1998 sebesar 3.71 menunjukkan bahwa pemilu 1998 telah
menciptakan sistem multipartai sederhana di Republik Ceko dengan 3 sampai 4
partai efektif di Parlemen.
Jumlah peserta pemilu bertambah pada tahun 2002 sebanyak 28 partai dan
hanya 4 partai yang berhasil memperoleh kursi di Parlemen Czech Social
Democratic Party memperoleh 35% kursi, Civic Democratic Party 29% kursi,
Communist Party of Bohemia and Moravia, 21%, dan koalisi KDU-ČSL-US-
DEU 16%. Perhitungan nilai ENPP sebesar 3.67 menunjukkan tidak ada
perubahan sistem partai dari pemilu sebelumnya yaitu 3 sampai 4 partai efektif di
parlemen.
Pada pemilu tahun 2006, jumlah partai peserta pemilu lebih dari 8 partai
dan lima partai berhasil memperoleh kursi di Parlemen. perhitungan ENPP
sebesar 2.258 menunjukkan pemilu 2006 telah menciptakan sistem multipartai
sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. Civic Democratic Party
(ODS) memperoleh 41% kursi, Czech Social Democratic Party (ČSSD) 37%,
Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM) 13% dan Christian and
Democratic Union - Czechoslovak People's Party (KDU-ČSL) 7%.perhitungan
diperoleh nilai ENPP sebesar 3.38, sehingga pemilu tahun 2005 di Jerman telah
menciptakan sistem multipartai moderate (sederhana).
Pada pemilu tahun 2005 diikuti oleh lebih dari 8 partai politik. 6 partai
politik berhasil memperoleh kursi di parlemen. Social Democratic Party of
Germany memperoleh 36.16% kursi, Christian Democratic Union 29.32%, Free
Democratic Party 9.93%, The Left Party.PDS 8.79. Berdasarkan perhitungan
didapat Nilai ENPP sebesar 4.05, yang dapat diartikan bahwa pemilu 2005
berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana (moderat) di Jerman.
Pemilu 2009 juga menciptakan sistem multipartai sederhana, meskipun
terjadi peningkatan Nilai ENPP sebesar 4.83, namun jumlah efektif partai di
parlemen bahwa kebijakan parliamentary threshold sebesar 5 % telah berhasil
menmbatasi jumlah partai yang dapat memperoleh kursi di Parlemen. sistem
multipartai sederhana bertahan dan stabil pada masa tiga periode pemilu yaitu dari
tahun 2002, 2005 sampai 2009.

33
2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara
Berdasarkan uraian mengenai sistem multipartai sederhana di beberapa
negara di atas, yaitu di Jerman, Rusia dan Republik Ceko, dapat dianalisa bahwa
Kebijakan threshold 5% di Rusia, berhasil menyaring 50% peserta pemilu masuk
ke parlemen, dan menciptakan sistem multipartai moderat di pemilu 2003,
kenaikan angka threshold menjadi 7% dipemilu tahun 2007 menyebabkan hanya 4
partai yang memperoleh kursi dan menciptakan sistem multipartai dengan satu
partai dominan. sistem partai kemudian berubah kembali pada pemilu 2011
menjadi sistem multipartai sederhana dengan jumlah 4 partai politik di parlemen.
kondisi yang sama juga terjadi di Republik Ceko, dengan angka threshold sebesar
5% telah berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana di tiga pemilu
yaitu pemilu 1998, 2002 dan 2006. Federasi Jerman yang juga menerapkan
threshold sebesar 5% telah dapat mempertahankan sistem multipartai sederhana
pada pemilu 2002, 2005 dan 2009.

34
BAB III
PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI

3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan


Partai Politik di Indonesia
Partai politik sudah dikenal di Indonesia sejak masa perjuangan
kemerdekaan. Partai politik tidaklah menghilang setelah Indonesia mendapatkan
kemerdekaan, namun terus berkembang.68 Munculnya partai politik di Indonesia
sangat lekat dengan meningkatnya Nasionalisme di Hindia Belanda pada masa
sekitar abad 1900. Periode pertama dari pergerakan nasional meningkat sampai
pada pertengahan 1920 yang menunjukkan kepedulian politik di antara bangsa
pribumi, dengan peningkatan permintaan terhadap partisipasi politik pribumi,
termasuk juga seruan kemerdekaan dari Belanda.69 Partai-partai politik pada masa
ini, berdasar pada baik budaya atau persatuan agama atau ideologi sosialis.
Di awal abad ke 20, bagaimanapun juga menunjukkan peningkatan konflik
dan persaingan diantara partai dan pemimpin yang berbeda dari pergerakan
nasionalis. Terdapat pembagian ideologi yang kuat diantara partai-partai
setidaknya pada awal 1920an. Kesepakatan untuk berpisah dari Belanda adalah
sedikit kesepakatan dari kesepakatan mengenai bentuk dan arah ideologi dari
Negara Indonesia Merdeka. Perbedaan ideolgi secara umum diantara para
pemimpin yang konservatif pada partai politik berbasis masa pertama, Sarekat
Islam dan banyak lagi pemimpin yang radikal dari Partai Komunis Indonesia sulit
untuk disatukan.70
Pada tahun 1918 Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai

68
David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader. Routledge
Curzon. London. 2003. hal 60
69
Stefan Eklof. Op.cit hal 26. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, op cit. Partai politik pertama
lahir di zaman colonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu
semua organisasi, apakah ia bertujuan social (seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau
terang terangan menganut asas politik/agama (seperti sarekat islam dan partai katolik) atau asas
politik sekuler (seperti PNI dan PKI) memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan
nasional. Pola kepartaian masa itu menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita hidupkan
kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai. hal 423
70
Ibid hal 26

35
badan perwakilan, dan ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan
kesempatan itu untuk bergerak melalui badan ini. Pada awalnya partisipasi
organisasi Indonesia sangat terbatas. Pada 1931 waktu diterimanya prinsip
“mayoritas pribumi” dari 60 orang anggota, 30 orang adalah pribumi. Disamping
itu, ada usaha untuk meningkatkan persatuan nasional melalui penggabungan
partai-partai politik dan memperjuangkan Indonesia Berparlemen dan pada tahun
1939 terbentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI) yang dibentuk oleh Gabungan
Partai-Partai Beraliran Nasional (GAPI) dan Majelisul Islamil a’laa Indonesia
(MIAI). Namun dalam kenyataannya partai dan organisasi kemasyarakatan
lainnya sulit untuk bersatu yang kemudian menjadi landasan untuk terbentuknya
pola sistem multipartai di zaman kemerdekaan. 71 Pola sistem multipartai ini juga
disebabkan oleh kondisi masyarakat yang multi etnis dan multi agama.
Keberagaman ini juga direfleksikan dalam partai-partai politik di Indonesia.72
Pasca kemerdekaan, sejarah politik Indonesia biasanya dibagi menjadi
beberapa periode atau rezim, yaitu : periode demokrasi parlementer atau
dominansi kabinet, yaitu mulai dari masa peralihan kemerdekaan tahun 1949
sampai dengan parlemen kehilangan kewenanganya di tahun 1957, periode
demokrasi terpimpin atau dominansi presidensil, yaitu dimulai sejak dekrit
presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada Juli 1959 sampai dengan kejatuhan
Partai Komunis di tahun 1965 dan periode orde baru dari tahun 1965. 73 Periode
orde baru berakhir setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
dan Indonesia memasuki era reformasi.74
Pada saat proklamasi kemerdekaan diumumkan oleh Soekarno-Hatta,
secara formal Indonesia tidak lagi memiliki partai politik. Menjelang akhir
pendudukan Jepang di Indonesia, seluruh kegiatan politik tidak diperbolehkan dan

71
Miriam Budiardjo.op.cit hal 423-424
72
Leo Suryadinata.Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia. Institute of
Southeast Asian Studies. Singapore. 1982. hal 1
73
Karl D Jakckson and Lucian W Pye. Political Power and Communications in Indonesia.
University California Press. California 1978. hal 172
74
Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana
Prenada Media Grup. Jakarta 2010. hal 2

36
partai-partai yang telah berkembang sejak 1900 dibubarkan.75 Berdirinya partai
politik pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia merupakan jawaban atas
Maklumat Pemerintah Nomor X pada 3 November 1945 yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.76 Sebelumnya Presiden Soekarno
merencanakan untuk membentuk partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia
yang dimaksudkan agar kekuatan masyarakat tidak terpecah belah, namun rencana
itu ditentang oleh tokoh pergerakan lainnya.77
Maklumat Wakil Presiden itu dikeluarkan setelah ada usul dari Badan
Pekerja KNPI supaya diberikan kepada rakyat seluas-luasnya hak untuk
mendirikan partai politik. Isi dari Maklumat tersebut antara lain yaitu :78
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya
partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran
yang ada dalam masyarakat
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum
dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada
Bulan Januari 1946.
Mengikuti Maklumat Pemerintah itu, sejumlah partai politik tumbuh dalam kurun
waktu singkat. Para anggota KNIP pun ikut berlomba mendirikan partai politik. 79
Pada masa pemilihan umum pertama tahun 1955, ada lebih dari 30 partai politik
dan hanya empat diantaranya yang dapat berfungsi efektif, yaitu : 80 Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang memenangkan 22.3% suara, Masyumi (Partai
Islam Modern) memenangkan 20.9 % suara, Nahdatul Ulama (NU) memperolah
18,4% suara sementara Partai Komunis Indonesia memperoleh 16.4% suara.
Perkembangan selanjutnya adalah adanya suasana perdebatan di
konstituante hasil pemilu 1955 tentang dasar ideologi negara telah membuat
pembuatan Undang-Undang Dasar yang permanen menjadi terbengkalai dan
75
Ign Ismanto. Pemilihan Presiden secara Langsung 2004 : dokumentasi, analisis, dan kritik. hal
11
76
M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran dan jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan Pustaka. 2010. hal 93.
77
Ign Ismanto. op cit hal 13
78
Mohammad Hatta. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi. PT. Kompas
Media Nusantara. Jakarta. 2011. hal 115
79
Ign Ismanto. op.cit. hal 14
80
Leo Suryadinata. op cit hal 1

37
pemerintah menganggap hal itu sebagai kemacetan konstitusional yang serius.
Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 untuk
kembali ke UUD 1945 dan membubarkan majelis konstituante yang dipilih oleh
rakyat. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 7/1959 yang mengatur kehidupan
dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden
untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar
negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak
anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.81 Presiden Sukarno
menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah
membahayakan persatuan dan keselamatan negara.82
Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian
mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang
dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI.83 Soekarno, dalam
amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi dan PSI adalah karena kedua
partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959.84 Pada
tanggal 21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai
politik, yaitu Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang
menetapkan pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-
rantingnya di seluruh wilayah Republik Indonesia.85 Disamping itu, untuk
memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah
yang mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front
Nasional. Semua partai dan kelompok organisasi terwakili di dalamnya. Melalui
Front Nasional, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan mempengaruhi
semua aspek kehidupan politik. Pada tahun 1965 gerakan Gestapu PKI

81
Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. hal 51
82
Wawan Tunggul Alam. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 2003. hal 284.
83
Tohir Luth. Op cit hal 52
84
Muchamad Ali Safa’at. op cit hal 169
85
Rosihan Anwar. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-
1965. Yayasan Obor Indonesia. 2006. hal 372

38
mengakhiri riwayat demokrasi terpimpin.86
Letnan Jenderal Suharto, berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) pada 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan menyatakannya
sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.87 Keputusan Presiden
tentang Pembubaran PKI tersebut kemudian dikukuhkan kedudukannya menjadi
TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang, di seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan, Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme,
Leninisme.88
Sebagai pemimpin orde baru, Soeharto mengusahakan dilaksanakannya
pemilihan umum. Tapi baru pada tahun 1971, pemilu berhasil dilaksanakan.89
Pada Pemilu Tahun 1971, pemerintah mengelarkan beberapa kebijakan baru,
diantaranya adalah keharusan bagi para pejabat negara untuk bersikap netral,
diterapkannya stembus accord bagi partai peserta pemilu. Aturan ini
menyebabkan konfigurasi politik berubah, beberapa partai yang sebelumnya
Berjaya pada pemilu 1955 diwajibkan berafiliasi dengan partai lain karena
kekurangan suara. Sejak Pemilu 1971, Golkar mulai mendominasi dunia politik
Indonesia.90 Golkar semakin Berjaya setelah pemerintah bersama DPR
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya, peserta pemliu hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua
Partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).91 Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu
1971, dimaksudkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap.92

86
Miriam Budiardjo. Op cit hal 442
87
Syamsudin Haris. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi Demokrasi di
Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. hal 914
88
Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor Indonesia. 2004. hal
129.
89
Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007. hal 6
90
J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar dan Pemilu.
Kanisius. 2009 hal 84
91
Ibid,hal. 5
92
Ibid. hal 85

39
Dengan persuasi yang kuat, akhirnya semua partai politik menyetujui
untuk melaksanakan fusi, sehingga terbentuk Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII dan
Persi, sedangkan PDI merupakan fusi dari Partai-Partai Nasional, Partai Katolik
dan Partai Kristen Indonesia.93 Peluang politik PPP dan PDI sulit untuk
mengalahkan Golkar, yang memang didesain untuk selalu menjadi pemenang
pemilu dengan melalui tiga jalur yaitu : Jalur A PNS, Jalur B ABRI dan Jalur C
(organisasi masyarakat yang mendukung Golkar).94 Golkarpun selama lima kali
pemilu berturut-turut, yakni pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, hingga tahun 1997
selalu menjadi pemenang dengan jumlah suara yang signifikan. Kondisi ini
berubah ketika pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto
digulingkan oleh generasi muda Indonesia, sejak tanggal 21 Mei 1998 yang
merubah orde politik menjadi orde reformasi.95

3.2. Partai Politik pada Masa Pasca Reformasi


Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat
ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei
1998 dan Februari 1999, kurang dari 10 bulan, telah lahir 160 partai politik baru.
Ini berarti hampir setiap dua hari lahir satu partai politik baru. Sepeninggal
Soeharto, sistem kepartaian Indonesia pun hiruk pikuk. Partai politik berjumlah
181 buah, dan 148 di antaranya mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen
Kehakiman. Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya.
Dari 141 partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas
untuk ikut Pemilu 1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai
politik yang boleh ikut Pemilu 1999.96
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada tahun 1999, 2000,
2001 dan 2002, mengharuskan adanya perubahan tatanan dan kelembagaan dalam

93
Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah Memoar. PT.
Kompas Media Nusantara. 2008. hal 200
94
Ibid
95
Ibid
96
Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia : Ideologi,
Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.

40
kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya sistem politik. 97 Sistem
politik Indonesia yang harus dijalankan sesuai UUD 1945 adalah sistem politik
demokrasi berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan Negara Indonesia adalah Negara
hukum. Dengan demikian tatanan kelembagaan politik, termasuk juga partai
politik harus dijalankan berdasarkan aturan hukum yang demokratis.98
Salah satu prinsip luhur dalam UUD 1945 adalah adanya jaminan
kemerdekaan berserikat sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 28, Pasal
28E ayat (2) dan ayat (3) UUD1945). Partai politik adalah salah satu pilar
kemerdekaan berserikat, sehingga pembubarannya hanya dapat dilakukan melalui
mekanisme peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat
(1) UUD1945). Dalam sistem representative democracy, biasa dimengerti
bahwa partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan
suara untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap
dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau
kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan
peran partai politik sangat dominan.99 Peranan partai politik tersebut diatur dalam
Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik. Pentingnya peran dan kedudukan partai politik
pasca reformasi diatur pula dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesuai
dengan Pasal 6A ayat (2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
Pada masa reformasi, kebijakan pembatasan partai ditiadakan, tetapi sebagai
gantinya diterapkan kebijakan ambang batas (threshold) yang sebenarnya juga
merupakan pembatasan, meskipun tidak secara langsung. Pembatasan dilakukan
dengan membuka peluang kepada semua pihak, semua partai politik untuk

97
Jimly Asshiddiqie. op.cit (4). hal 268
98
Ibid
99
Ibid hal 283.

41
bersaing secara terbuka. Apabila dalam persaingan itu, partai-partai politik yang
bersangkutan tidak dapat mencapai perolehan dukungan yang memadai, maka
keberadaannya didiskualifikasi, baik untuk menjadi peserta pemilu (electoral
threshold) atau pun untuk duduk di kursi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat
(parliamentary threshold).100

3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai Politik


Pasca Reformasi
Kebijakan penyederhanaan partai politik sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, sudah berlaku sejak zaman awal kemerdekaan. Di Masa
kepemimpinan Presiden Soekarno selama demokrasi terpimpin dan masa
kepemimpinan Presiden Suharto telah membentuk Undang-Undang yang bersifat
represif terhadap kehidupan partai politik. Partai politik cenderung sangat dibatasi
dan bahkan dibubarkan apabila tidak sesuai dengan kehendak penguasa. Sifat
hukum represif ini dapat dikaitkan dengan rezim otoriter pada waktu itu,
sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznik dalam bukunya Law and
Society in Transition Toward Responsive Law. Karakter hukum tersebut dapat
dibagi menjadi karakter hukum represif (repressive law) dan karakter hukum
responsif (responsive law)101. Menurut Nonet and Zelznik, timbulnya sifat
represif adalah karena apa yang disebut merriam sebagai the poverty of power,
atau keterbatasan kekuasaan. Kekuasaan itu bergantung pada dukungan alat dan
kepercayaan. Apabila dua hal itu tidak ada, maka kekuasaan akan menggunakan
cara-cara yang represif. Hukum represif adalah berkaitan dengan bentuk rezim
pemerintahan yang totaliter,
In fact, the most extreme manifestations of repressive law occure in the
totalitarian superstate of modern times.

Meskipun demikian, politik represif sebenarnya dapat muncul di mana saja dan

100
Jimly Asshiddiqie. op.cit. hal 3
101
Philipe Nonet dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward Responsive Law
dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Jakarta. 2001. hal 5

42
kapan saja baik di rezim yang stabil dan kuat bahkan pada lembaga yang liberal
dan rasionalitas tinggi. Represi digunakan apabila tidak ada jalan lain untuk
mengelola ketertiban masyarakat102.
Dengan kata lain timbulnya hukum yang represif adalah karena adanya :
1. Penyatuan yang kuat antara hukum dan politik
2. Kekuasaan pemerintah yang berlebihan

3.3.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitafif Pendirian dan Pendaftaran Partai


Politik sebagai Badan Hukum

3.3.1.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik merupakan
Undang-Undang pertama pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Undang-Undang ini
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya dan Undang-Undang Nomro 3 Tahun 1985 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
yang dipandang sudah tidak dapat menampung lagi aspirasi politik yang
berkembang.103
Partai politik, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 diartikan
sebagai setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia
secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik
kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum
[Pasal 1 ayat (1)]. Persyaratan-persyaratan yang membatasi partai politik dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut :

102
Ibid
103
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Nomor. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3809

43
A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, untuk membentuk
partai politik, harus dibentuk oleh minimal 50 orang warga negara Republik
Indonesia yang telah berusia 21 tahun sebagaimana dijelaskan pada :
Pasal 2 ayat (1) :
Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia
yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.
Ketentuan syarat pembentukkan partai politik kemudian diatur dalam pasal 2 ayat
(2) yang menambah syarat asas/ ideologi pembentukan partai yaitu :
mencantumkan Pancasila dalam Anggaran Dasar Partai, Asas atau Ciri, aspirasi
dan program partai tidak bertentangan dengan pancasila, tidak menggunakan
nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara
Republik Indonesia, bendera negara asing, gambar perorangan serta lambang
partai lain.

Pasal 2 ayat (2) :


Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi
syarat:
a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai;
b. asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan
dengan Pancasila;
c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara
Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih
d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama
dengan lambang negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan
dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.

Pada ketentuan Pasal 3 dijelaskan bahwa


pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persaturan dan kesatuan
nasional.

44
Syarat dan prosedur pendirian dan pendaftaran partai diatur dalam Pasal 4 ayat
(1), (2) dan (3) yang mengatur bahwa partai politik didirikan dengan akta notaris
dan kemudian didaftarkan pada Departemen Kehakiman RI. Partai Politik yang
telah memenuhi persyaratan pembentukan sebagaimana dimaksud pada Pasal (2)
dan Pasal (3) kemudian disahkan sebagai badan hukum dan diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 4 ayat (1)
Partai Politik didirikan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen
Kehakiman Republik Indonesia

Pasal 4 ayat (2)


Departemen Kehakiman Republik Indonesia hanya dapat menerima pendaftaran
pendirian Partai Politik apabila telah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 2
dan Pasal 3 undang-undang ini.

Pasal 4 ayat (3)


Pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hukum diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

B. Ketentuan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik


Pada Bab VI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, diatur tentang
Keuangan Partai Politik. Ketentuan mengenai keuangan partai meliputi ketentuan:
1) mengenai sumber pendanaan, 2) . Bentuk organisasi 3). Besaran maksimal
penerimaan, 4). Laporan Keuangan.
Pada Pasal 12 ayat (1), keuangan partai politik bersumber dari : iuran anggota,
sumbangan dan usaha lain yang sah. Selain itu berdasarkan Pasal 12 ayat (2)
partai politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara dan ditetapkan
berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya dan partai
politik dilarang menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.
Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (4) :
(1) Keuangan Partai Politik diperoleh dari:

45
a. iuran anggota;
b. sumbangan;
c. usaha lain yang sah.
(2) Partai Politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang
ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum
sebelumnya.
(3) Penetapan mengenai bantuan tahunan sebagaimana dimaksud ayat (2)
ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.
(4) Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak
asing.
Bentuk organisasi partai dikaitkan dengan keuangan adalah merupakan organisasi
nirlaba (organisasi yang tidak mencari keuntungan financial). Dengan demikian
partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu
badan usaha.
Pasal 13 ayat (1) dan (2) :
(1) Partai Politik merupakan organisasi nirlaba.
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai Politik dilarang
mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Pada Pasal 14 ayat (1), (2), (3), diatur batasan maksimal sumbangan yang dapat
diterima partai politik. Jumlah sumbangan dari setiap orang dibatasi sebesar
Rp.15.000.000 (Lima Belas Juta) dalam setahun. Sedangkan jumlah sumbangan
dari setiap perusahaan atau badan lainnya dibatasi sebesar Rp. 150.000.000
(Seratus Lima Puluh Juta) dalam setahun. Partai politik dapat juga menerima
sumbangan yang berupa barang, namun nilainya disesuaikan dengan sumbangan
berupa uang.
Pasal 14
(1) Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh Partai
Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah) dalam waktu satu tahun.
(2) Jumlah sumbangan dari setiap perusahaan dan setiap badan lainnya yang

46
dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam waktu satu tahun.
(3) Sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku
dan diperlakukan sama dengan sumbangan yang berupa uang.
Laporan pengelolaan keuangan Partai Politik diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan
(2). Partai politik diwajibkan untuk melapor daftar penyumbang, jumlahnya dan
laporan keuangan yaitu : setiap akhir tahun, 15 hari sebelum dan 30 hari sesudah
pemilihan umum kepada Mahkamah Agung. Laporan Keuangan partai dapat
diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.

C. Larangan, Pengawasan dan Pembubaran Partai Politik


Ketentuan yang berbentuk larangan selain yang sudah diuraikan di atas
diatur pula dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai politik
dilarang untuk menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham
Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan
Pancasila.

Pasal 16 huruf a :
10.1. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham
Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan
dengan Pancasila;
Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) serta Pasal 18
ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 berwenang untuk :
mengawasi, membekukan, membubarkan dan menjatuhkan sanksi administratif
berupa penghentian bantuan anggaran negara kepada partai politik. Selain itu
Mahkamah Agung berwenang mencabut hak partai politik untuk mengikuti
pemilihan umum jika melanggar ketentuan.
Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4)
(1) Pengawasan atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-
undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik

47
Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika
nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16
undang-undang ini.
(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan
dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan
dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui
proses peradilan.
(4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3)


(1) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi
administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara apabila
suatu Partai Politik nyata-nyata melanggar Pasal 15 undang-undang ini.
(2) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat mencabut hak suatu Partai
Politik untuk ikut pemilihan umum jika nyata-nyata melanggar Pasal 13
dan Pasal 14 undang-undang ini.
(3) Pencabutan hak sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih
dahulu mendengar pertimbangan pengurus pusat Partai Politik yang
bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

3.3.1.2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002104


Pada tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai
politik dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002. Kebijakan tentang penyederhanaan partai mulai dikemukakan
secara eksplisit dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Tujuan
dan Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik adalah melalui

104
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4251.

48
penetapan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, sebagaimana yang dijelaskan
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002:
“Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan
kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan
dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana
akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional.
Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan
lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat
berperan secara optimal. Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan
dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam
pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.”
Ketentuan persyaratan penyederhanaan partai politik berdasarkan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002 dapat diuraikan sebagai berikut :

D. Persyaratan Pembentukan dan Pendirian Partai Politik


Ketentuan Pembentukan Partai Politik terdapat pada Bab II Pasal 2, Pasal 3 dan
Pasal 4. Pada Pasal 2 ayat (1) dan (2), disyaratkan bahwa partai politik dibentuk
dan didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta
notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta
kepengurusan di tingkat nasional. Untuk terdaftar sebagai badan hukum di
departemen kehakiman, berdasarkan Pasal 2 ayat (3), Partai politik harus
memenuhi persyaratan yaitu : memiliki akta notaris yang sesuai dengan UUD
1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya, memiliki kepengurusan
minimal 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah Kabupaten/Kota di tiap
Provinsi bersangkutan dan 25% dari jumlah kecamatan di setiap Kabupaten/Kota
yang bersangkutan, memiliki nama, lambang dan tanda gambar yang tidak sama
dengan nama, lambang dan tanda gambar partai politik lain serta memiliki kantor
tetap.
Pasal 2 ayat (1), (2), (3) :
(1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua

49
puluh satu) tahun dengan akta notaris.
(2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional.
(3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada
Departemen Kehakiman dengan syarat
a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya;
b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen)
dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah
kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25%(dua
puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota
yang bersangkutan;
c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang,
dan tanda gambar partai politik lain; dan. mempunyai kantor tetap.
Prosedur pendaftaran partai politik menjadi badan hukum diatur pada pasal 3 ayat
(1), (2) dan (3). Partai politik yang telah memenuhi syarat pembentukan
didaftarkan ke Departemen Kehakiman. Selambat-lambatnya 30 hari setelah
penerimaan pendaftaran Menteri Kehakiman mengesahkan partai politik menjadi
badan hukum dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
(1) Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik yang
telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri
Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

50
A. Persyaratan Asas/Ideologi Partai
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan (2) ditentukan bahwa asas dan ciri partai politik
tidaklah boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pasal 5
(1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan
kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
undang- undang.

B. Pengaturan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik


Pengaturan tentang Keuangan partai politik diatur dalam Bab IX yang terdiri dari
aspek sumber pendanaan, batasan minimum penerimaan. Mengenai kewajiban
tentang laporan keuangan diatur dalam Pasal 9 huruf h, i dan j. sumber pendanaan
partai berasal dari : iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan
bantuan dari anggaran negara yang diberikan sesuai perolehan kursi di DPR.
Pasal 17
(1) Keuangan partai politik bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan dari anggaran negara.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa
uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa.
(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara
proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga
perwakilan rakyat.

Besaran sumbangan dari anggota dan bukan anggota maksimal Rp. 200.000.000
per tahun. Sumbangan dari perusahaan/badan usaha maksimal Rp. 800.000.000.-
per tahun.

51
Pasal 18
(1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00(dua ratus
juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.
(2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu)tahun.
Terkait dengan keuangan, partai politik diwajibkan untuk membuat pembukuan,
daftar penyumbang, jumlah sumbangan yang bersifat terbuka kepada masyarakat
dan pemerintah. Laporan keuangan dibuat secara berkala per tahun disampaikan
kepada Komisi Pemilihan Umum setelah sebelumnya diaudit oleh akuntan publik.
Partai juga diwajibkan untuk memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan
umum serta wajib menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan
publik kepada KPU selambatnya 6 bulan setelah hari pemungutan suara.
Pasal 9 :
a. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah
sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat
dan pemerintah;
b. membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi
Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan
c. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan
laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi
Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan
suara.

D. Larangan dan Sanksi


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, mengatur larangan dalam Bab tersendiri
yaitu pada Bab X. Materi yang diatur terutama mengenai nama dan lambang
partai, kegiatan partai, sumbangan/penerimaan, larangan mendirikan badan usaha
dan larangan untuk menganut ajaran komunisme/Marxisme-Lenisme.

52
1. Larangan mengenai Nama dan Lambang Partai
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1), partai politik dilarang menggunakan nama,
lambang atau tanda gambar yang sama dengan : a). bendera atau lambang
negara Republik Indonesia, b). lambang lembaga negara atau lambang
pemerintah, c). nama, bendera atau lambang negara lain dan nama,
bendera atau lambang lembaga/badan internasional, d. nama dan gambar
sesorang serta e). yang mempunyai persamaan dengan partai politik lain.
2. Kegiatan Partai Politik.
Pada pasal 19 ayat (2), partai politik dilarang untuk melakukan kegiatan
yang : a). bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-
undangan lainnya, b). membahayakan keutuhan NKRI, c). bertentangan
dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan
dengan negara lain dalam rangka memelihara ketertiban dunia.
3. Sumber Pendanaan dan Pendirian Badan Usaha
Partai politik berdasarkan Pasal 19 ayat (3) dilarang menerima dan
memberikan sumbangan dari : a). pihak asing, b). pihak manapun tanpa
mencantumkan identitas yang jelas, c). orang/lembaga melebihi batas yang
ditentukan, d). BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa, koperasi,
yayasan, LSM, organisasi kemasyarakatan dan organisasi kemanusiaan.
Partai politik dilarang mendirikan badan usaha atau memiliki saham suatu
badan usaha [pasal 19 ayat (4)].
4. Partai politik dilarang menganut, mengembangkan dan menyebarkan
ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme [pasal 19 ayat (5)].
Pelanggaran terhadap larangan dan ketentuan pada pasal-pasal
sebagaimana yang diuraikan di atas akan berakibat dikenakannya sanksi
kepada partai politik berupa :
a. Penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen
Kehakiman jika melanggar pasal 2 dan pasal 5 ayat (1), pasal 19 ayat
(1)
b. Sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi
Pemilihan Umum apabila melanggar Pasal 9 huruf h, Pasal 19 ayat (3)

53
c. Sanksi administratif berupa dihentikan bantuan dari anggaran negara
jika melanggar pasal 9 huruf i dan j,
d. Pembekuan sementara paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan
apabila melanggar pasal 19 ayat (2)
e. Larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan jika
melanggar pasal 19 ayat (4).

3.3.1.3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008105


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 merupakan pengganti dari Undang
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang dipandang belum
optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut
peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan
mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern,
sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu
diperbarui. Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring
dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah
pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai
Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan
gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan
bernegara.106

A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik


Pendirian partai politik berdasarkan pasal 2 ayat (1), (2) (3) dan (4). Partai politik
didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta notaris
yang menyertakan 30% keterwakilan perempuan dan memuat AD dan ART serta
kepengurusan di tingkat pusat. AD partai memuat : asas dan ciri partai, visi dan
misi, nama, lambang dan tanda gambar, tujuan dan fugnsi partai, organisasi,
tempat kedudukan dan pengambilan keputusan, peraturan dan keputusan partai,
105
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4801.
106
Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.

54
pendidikan politik dan keuangan partai.
Pasal 2
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun
dengan akta notaris.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan
ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a. asas dan ciri Partai Politik;
b. visi dan misi Partai Politik;
c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d. tujuan dan fungsi Partai Politik;
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. kepengurusan Partai Politik;
g. peraturan dan keputusan Partai Politik;
h. pendidikan politik; dan keuangan Partai Politik.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3 )disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
Pendaftaran dan prosedur penetapan partai politik sebagai badan hukum diatur
pada pasal 3 dan pasal 4. Untuk menjadi badan hukum, partai politik harus
mempunyai akta notaris pendirian, nama dan lambang/tanda gambar yang tidak
sama dengan nama dan lambang partai lain, memiliki kantor tetap dan memiliki
kepengurusan di minimal 60% dari jumlah provinsi, 50% pada kabupaten/kota
provinsi yang bersangkutan dan 25% pada kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan dan memiliki rekening atas nama partai.
Pasal 3
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan
hukum.

55
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau
tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. kantor tetap;
d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah
provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota
pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada
daerah yang bersangkutan; dan
e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.

Prosedur penetapan sebagaimana pasal 4 dilakukan oleh Departemen yang


membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Departemen menerima
pendaftaran dan memverifikasi yang dilakukan paling lama 45 hari kerja sejak
persyaratan lengkap. Pengesahan dilakukan dengan keputusan menteri paling
lama 15 hari kerja sejak proses verifikasi dan dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

B. Persyaratan dan Pengaturan Asas/Ideologi dan Ciri Partai


Berdasarkan Pasal 9, asas partai tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945. Partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan
kehendak dan cita-cita partai politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945.

C. Pengaturan Keuangan Partai Politik


Mengenai keuangan Partai diatur pada Bab XV pada Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal
36. Sumber keuangan partai dibatasi berasal dari : iuran anggota, sumber

56
keuangan lain yang sah, bantuan keuangan dari APBN/APBD yang diberikan
secara proporsional sesuai perolehan suara.
Pasal 34
(1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pada Pasal 36 diatur bahwa sumbangan dari anggota partai politik dalam
pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART. Sumbangan yang berasal dari
perseorangan yang bukan dari anggota partai politik dibatasi senilai 1 miliar
rupiah per tahunnya, sedangkan sumbangan dari perusahaan dan Badan Usaha
maksimal empat miliar rupiah pertahun.

D. Larangan dan Sanksi


Larangan yang harus dipatuhi oleh partai politik diatur pada Bab XVI tentang
Larangan, yang meliputi : nama dan lambang partai, kegiatan partai, sumber
pendanaan dan pendirian badan usaha, ajaran Komunisme.
1. Nama dan Lambang Partai
Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa partai politik dilarang menggunakan
nama dan lambang partai yang sama dengan :
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan
internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.

57
2. Kegiatan Partai
Pasal 40 ayat (2) mengatur tentang larangan partai politik untuk
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan
keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Sumber Pendanaan
Pada Pasal 40 ayat (3) ditentukan bahwa partai politik dilarang untuk
menerima atau memberi sumbangan kepada pihak asing, dari pihak yang
tidak jelas identitasnya, menerima sumbangan melebihi batas yang telah
ditentukan serta menerima sumbangan dari BUMN/BUMD, menggunakan
fraksi sebagai sumber pendanaan.
4. Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha.
5. Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan
ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Partai politik yang melanggar ketentuan Pasal Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat
(1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan
pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I (laporan
pertanggungjawaban keuangan) dikenai sanksi administratif berupa penghentian
bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran
berkenaan. Partai politik yang melanggar ketentuan pasal 40 (melanggar UUD
1945) dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan hingga pembubaran yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

3.3.1.4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011107


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 merupakan perubahan atas
107
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.

58
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang dipandang perlu untuk
disempurnakan dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem
kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta
peningkatan fungsi dan peran Partai Politik.
Sistem kepartaian yang hendak dituju adalah sistem multi partai yang sederhana
sebagai salah satu upaya untuk memperkuat dan mengeefektifkan sistem
presidensiil sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011, yaitu :
Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak
dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem
multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang
demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan
partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis
dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.

Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah : Persyaratan
Pembentukan Partai, Persyaratan Kepengurusan Partai dan pengelolaan Keuangan
Partai.
A. Persyaratan Pembentukan Partai
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 syarat-syarat
pembentukan partai meliputi : syarat minimum jumlah pendiri yaitu 30 orang
WNI berusia 21 tahun di setiap provinsi. Partai politik didaftarkan oleh minimal
50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai dengan akta notaris yang
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Akta notaris dilengkai dengan AD
dan ART dan kepengurusan di tingkat pusat.
Pasal 2

(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu)
tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.

59
(1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)didaftarkan
oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili
seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris.
(1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai
anggota Partai Politik lain.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan
ART serta kepengurusan PartaiPolitik tingkat pusat.
Prosedur pendaftaran diatur pada pasal 3 ayat (1), yang menyatakan partai politik
didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM untuk menjadi Badan Hukum
dengan persyaratan sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 3 ayat (2) :
Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik
harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar
yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan
dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada
kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai
tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e. rekening atas nama Partai Politik.

Pada Pasal 4 diatur mengenai prosedur penetapan Partai Politik sebagai badan
Hukum, mulai dari diterimanya pendaftaran, penelitian/verifikasi oleh
Kementerian. Verifikasi dilakukan paling lambat 45 hari kerja sejak diterimanya

60
dokumen lengkap. Pengesahan partai poltik sebagai badan hukum oleh Keputusan
Menteri paling lama 15 hari sejak berakhirnya proses verifikasi dan diumumkan
dalam Berita Negara NKRI.

B. Persyaratan Pendanaan
Keuangan Partai Politik diatur pada Pasal 34 ayat (1), Keuangan partai politik
bersumber dari : a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c.
bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Berdasarkan Pasal Pasal 34A ayat (1), Partai
Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada Badan Pemeriksa
Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.

C. Larangan dan Sanksi


Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i
dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan
diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.

61
3.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan
Umum Pasca Reformasi

3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai Peserta Pemilu

3.4.1.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999108


Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi
syarat-syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang
Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia;
c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi; d.
mengajukan nama dan tanda gambar partai politik. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:
peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di
Indonesia;
c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah
kabupaten/kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.
Syarat jumlah pengurus tersebut sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU 3
Tahun 1999 adalah untuk menunjukkan bahwa partai politik yang menjadi peserta
Pemilihan Umum betul-betul memiliki jaringan organisasi dan basis keanggotaan
yang representif secara nasional.

3.4.1.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003109


Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: diakui
keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Partai Politik; memiliki pengurus

108
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3810
109
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.

62
lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; c. memiliki
pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan; d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang
atau sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan
partai politik, harus mempunyai kantor tetap dan mengajukan nama dan tanda
gambar partai politik kepada KPU. Syarat peserta pemilu sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat:
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang
b. Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;
c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari
seluruh jumlah provinsi;
d. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-
kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap
kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang
dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;
f. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c
g. harus mempunyai kantor tetap;
h. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

3.4.1.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008110

A. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu


Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi
persyaratan:
110
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor
4836

63
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat
pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau
1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap
kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan
huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf
b dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

3.4.1.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012111


Persyaratan bagi partai politik sebagai peserta pemilu diatur pada Pasal 8
ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

Pasal 8 ayat (1) :


Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

111
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5316.

64
Pasal 8 ayat (2) :
Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah
memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan
kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;
dan
i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai
politik kepada KPU.

3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold bagi Partai


Politik sebagai Peserta Pemilu

3.4.2.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999112


Selain mengatur tentang syarat-syarat partai politik untuk menjadi peserta

112
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3810

65
pemilu, UU 3 Tahun 1999 juga mengatur tentang persyaratan ambang batas
perolehan kursi, jika partai politik hendak mengikuti pemilu berikutnya yaitu,
harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki minimal 3%
jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2
jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia
berdasarkan hasil Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3)
yang menyatakan bahwa :
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus
memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki
sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II
yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil
Pemilihan Umum.
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum
berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain. [Pasal 39 ayat (4)].

3.4.2.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003113


Persyaratan bagi parpol untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai
Politik Peserta Pemilu juga diatur dalam mekanisme ambang batas perolehan
kursi, yaitu : memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR; b.
memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c.
memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang
tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD
113
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.

66
Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi
seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh
Indonesia.
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan di atas hanya dapat
mengikuti Pemilu berikutnya apabila (Pasal ayat 2 ):
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
persyaratan peserta pemilu ;
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan
peserta pemilu dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah
satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan
peserta pemilu dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan
tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

3.4.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008114


ET yang dianut dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003 kemudian oleh UU
10/2008 diganti dengan kebijakan baru yang terkenal dengan istilah
“Parliamentary Threshold” (disingkat PT) yang tercantum dalam Pasal 202 ayat
(1) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi
ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi DPR.” Melalui kebijakan PT ini, tampaknya
pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan
sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat
menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan

114
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4836

67
ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu.115
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

3.4.2.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012116


Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan
suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagaimana yang diatur pada Pasal
208.

3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi


Sistem multi-partai dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dapat
dikatakan merupakan keniscayaan. Dengan kebebasan berorganisasi (freedom of
association) yang dibuka sangat lebar sejak reformasi, kita tidak mungkin
berharap dapat memiliki jumlah partai politik yang terbatas, seperti 2, 3, 4, atau
hanya 5, kecuali dengan menerapkan prinsip-prinsip yang membatasi jumlah
partai politik itu secara ketat.117 Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya dari
sisi etnis tetapi juga dari faktor agama. etnis terbesar di Indonesia terdiri dari
40.6% Jawa, Sunda 15%, Madura 3,3% dan cina 3 sampai 4%. Mayoritas
penduduk beragama Islam yaitu sebesar 86.1%, Kristen 8.7%, Hindu 1.8% dan
Budha 1%.118 Namun demikian, sistem multipartai ekstrim yang terbentuk
115
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009
116
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5316.
117
Jimly Asshiddiqie. Memperkuat sistem presidensil. op.cit. hal 3
118
Allen Hicken. Political engineering and party regulation in Southeast Asia. United Nations

68
memunculkan beberapa permasalahan. Kombinasi yang sulit antara
presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik yang tak
terhindarkan pada masa pasca amandemen konstitusi. Kombinasi yang sulit itu
sudah tampak diantaranya dalam beberapa realitas politik sebagai berikut :
pertama, terpilihnya presiden dengan basis politik minoritas (minority president)
seperti bukan hanya tampak pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono dengan
basis Partai Demokrat (56 dari 550 kursi di DPR), melainkan juga terjadi pada
Presiden Abdurrahman Wahid (PKB 51 dari 500 kursi DPR) dan Presiden
Megawati (PDI Perjuangan 153 kursi dari 500 kursi DPR). Kedua, terbentuknya
DPR tanpa kekuatan mayoritas. Walaupun memenangkan pemilu legislatif, baik
PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 maupun Partai Golkar pada Pemilu 2004 gagal
menjadi partai mayoritas. Ketiga, terciptanya “kohabitasi” atau semacam “kawin-
paksa secara politik antara Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagai akibat
perbedaan basis politik di antara mereka. Ironisnya hal ini tak hanya terjadi pada
era Presiden Abdurrahman Wahid (dan Wakil Presiden Megawati) dan Megawati
(dengan Wakil Presiden Hamzah Haz/PPP), melainkan juga ketika Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono harus berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf
Kalla (Golkar). Perbedaan basis politik antara Presiden dan Wakil Presiden seperti
ini tentu merupakan problematik tersendiri yang berpotensi menjadi kendala
efektivitas pemerintahan.119
Pemilu Tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. 21 Partai Politik berhasil
memperoleh kursi di DPR. PDI memperoleh kursi terbanyak yaitu sebesar 33.11%
dari Jumlah Keseluruhan kursi, diikuti Golkar 25.97%, PPP 12.55%, PKB
11.04%, PAN 7.36%, dan PBB 2.08%. Herman dalam tesisnya menyimpulkan
bahwa bentuk sistem kepartaian di Indonesia berdasarkan hasil pemilihan umum
University Press. 2008. hal 71
119
AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. PT Kompas Media Nusantara.
Jakarta. 2009. Hal Ixiv. Baca juga pendapat Adnan Buyung Nasution bahwa ketegangan dalam
hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang berakibat jalan buntu
(deadlock) selalu menjadi kemungkinan di Indonesia sekarang. Hal ini disebabkan karena
keduanya mempunyai legitimasi yang sama. Kesulitan akan bertambah apabila partai politik
pendukung presiden tidak menguasai suara mayoritas dalam parlemen. (Adnan Buyung Nasution.
Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal
119)

69
1999 dengan menggunakan model laakso-Taagepera (1979) dan klasifikasi
Duverger (1954) dan Coppedge (1999) adalah bentuk kepartaian yang bercorak
multipartai yang moderat dengan ENPP 4.72.120 hal tersebut dapat diartikan bahwa
jumlah efektif partai politik yang ada di DPR adalah 4 sampai 5 partai politik.
Pemilu Tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai politik dan sebanyak 15 partai
memperoleh kursi di DPR. Partai Golkar meraih kursi terbanyak dengan 23%
kursi, diikuti PDIP sebanyak 19.8%, PPP 10.5%, Partai Demokrat 10%, PAN
9.6%, PKB 9.5% dan PKS 8.2%. Hasil pemilu 2004 diketahui berganti menjadi
sistem kepartaian multipartai ekstrim dengan ENPP 7.07. Berdasarkan acuan pada
aspek tipologi numerik (numerical typology) sesungguhnya jumlah partainya
sudah berkurang dari 48 pada tahun 1999 menjadi 24 partai pada tahun 2004,
namun dengan rumusan ENPP (Effective Number of Parliament Parties).
Angkanya justru meningkat.234 Jumlah partai yang efektif di parlemen naik dari
lima partai pada tahun 1999 menjadi tujuh partai pada tahun 2004, sehingga
berdasarkan model laakso (1974) hasil pemilu 1999 menunjukkan sistem lima
partai sedangkan pada pemilu 2004 menunjukkan sistem tujuh partai.121
Pada Pemilu Tahun 2009, diikuti oleh 38 partai politik, pemberlakuan PT
mengakibatkan hanya 9 partai politik yang lolos dan memperoleh kursi di DPR.
Partai Demokrat meraih 26.43% Kursi, diikuti Golongan Karya 18.93%, PDIP
16.79%, PKS 10.18%, PAN 8.21%, PPP 6.79%, PKB 5%, Partai Gerindra 4.64%
dan Partai Hanura 3.04%. Model Laakso apabila diterapkan pada pemilu tahun
2009, menunjukkan bahwa : Jumlah partai peserta pemilu 2009 meningkat dari 24
partai menjadi 38 partai politik. dengan rumusan ENPP (Effective Number of
Parliament Parties). Diperoleh angka efektif partai 6.4774652. angka ENPP tahun
2004 sebesar 7.072. meskipun angka efektif partai berkurang, namun dengan
pembulatan jumlah partai yang efektif pada tahun 2009 tetaplah tujuh partai,
sehingga di tahun 2009 Indonesia menunjukkan sistem multipartai ekstrim dengan
jumlah tujuh partai efektif.
120
Herman. op.cit
121
Ibid

70
71
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN
AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM
KEPARTAIAN DI INDONESIA

4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca


Reformasi.
Kebijakan penyederhanaan partai politik bukanlah kebijakan yang baru
dalam sejarahketatanegaraan di Indonesia. Sebelum reformasi, yaitu sejak
kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, telah melaksanakan
kebijakan penyederhanaan partai politik. Seperti yang telah diuraikan pada Bab I,
Maklumat Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran
Pemerintah Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik yang ditandatangani wakil
presiden Mohammad Hatta, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai
di Indonesia.122 Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai
karena Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang
menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa.123
Ketidakstabilan pemerintah ini menjadi alasan bagi Presiden Soekarno untuk
mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959
tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai yang mengatur kehidupan dan
pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden untuk
menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar negara
atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-
anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.124 Presiden Sukarno menilai
kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah membahayakan
persatuan dan keselamatan negara.125
Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian
mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang

122
Hanta Yuda HR. op.cit. hal 101
123
Adnan Buyung Nasution. Op.cit. hal 133
124
Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. Hal 51
125
Wawan Tunggul Alam. Op.cit. hal 284.

72
dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI.241 Pada tanggal
21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai politik, yaitu
Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang menetapkan
pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-rantingnya di seluruh
wilayah Republik Indonesia.126
Kebijakan Penyederhanaan partai politik kemudian terulang pada masa
orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit
banyak radikal, di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto
mengumumkan sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah
kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau
dibubarkan sama sekali.127 Suharto kemudian menetapkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, peserta pemliu
hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua Partai tersebut adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 128
Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu 1971, dimaksudkan
pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap.129
Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat
ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei
1998 dan Februari 1999 pasca runtuhnya orde baru. Pasca reformasi, partai politik
mengalami kebebasan dengan ditetapkannya undang-undang nomor 2 tahun 1999.
Ratusan partai baru berdiri yang semula dibatasi dan dberedel secara paksa hanya
menjadi 2 partai dan satu golongan karya pada zaman presiden soeharto menjadi
bebas. Sebanyak 41 partai lolos menjadi peserta pemilu dan 27 partai mendapat
kursi di DPR. Namun, pengambil kebijakan merasa jumlah partai yang ekstrim
membawa dampak yang tidak baik terhadap sistem politik, sehingga menetapkan
undang-undang tentang partai politik yang baru yaitu undang-undang Nomor 31
tahun 2002 dimana dipandang perlunya penyederhanaan partai. Tujuan
pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik pada masa pasca reformasi

126
Tohir Luth. Op cit hal 52
127
Rosihan Anwar. Op.cit . hal 372
128
Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445
129
Ibid. hal 85

73
dapat dilihat pada penjelasan dan dasar pemikiran Undang-Undang tentang partai
politik dan juga pemilihan umum yaitu untu membentuk Sistem Multipartai
Sederhana dan memperkuat sistem presidensil.
Penjelasan UU 31 tahun 2002 :130
Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan
kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan
dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana.
Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama
menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung
menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis
yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal.
Dengan sistem multipartai kekuatan-kekuatan politik akan lebih mudah mencapai
sinergi nasional dan partai dapat lebih mengoptimalkan perannya. Pada penjelasan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dinyatakan bahwa sistem multipartai
sederhana dimaksudkan sebagai salah satu upaya memperkuat sistem presidensil
di Indonesia. sebagaimana yang dinyatakan berikut :
Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak
dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem
multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang
demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan
partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis
dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.
Pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem presidensil
juga dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang
menyatakan bahwa :
Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan
rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang
selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.131
130
Republik Indonesia. Penjelasan UU 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
131
Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah mengenai Kriteria penyusunan daerah pemilihan,

74
Tujuan pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem
presidensil, juga dikemukakan dalam pendapat-pendapat pemerintah dan DPR
dalam pengujian/judicial review Undang-Undang tentang Partai Politik dan
Pemilu. Namun demikian, dalam setiap undang-undang belum dapat dipastikan
sistem multipartai sederhana yang seperti apa yang hendak dituju, Mahkamah
konstitusi dalam putusannya memberikan kritik bahwa pengambil kebijakan
cenderung bereksperimen dan berubah-ubah.
Menurut para ahli, sistem multipartai memang tidaklah cocok apabila disatukan
dengan sistem pemerintahan presidensiil. Salah satunya adalah pendapat dari
Scott Mainwarring, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa
kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi
yang tidak stabil.132
The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy
difficult to sustain.
Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil
di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah,
yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan
multipartai.133 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan
imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem
presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika
pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung
mayoritas parlemen.134
Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi
antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan
fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang
mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang
Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dari Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh

ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi suara
menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
132
Scott Mainwaring. Op.cit. hal 199
133
Ibid hal 199
134
Ibid hal 214

75
suara terbanyak efektif.135 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai
tidak berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai,
koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga faktor
yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem presidensil
adalah:136
Pertama, dalam sistem presidensil, presiden (bukan partai) yang
bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat
kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini
tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden
lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan
dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka
partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden.
Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu
untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten
dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana
dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu
dalam parlemen.
Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem
presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai,
pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk
membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi
dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan
identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati
prestasi yang dicapai.
Perlunya kebijakan penyederhanaan partai politik dikemukakan juga oleh
Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa pada masa reformasi, keran politik
terbuka lebar, sehingga segala pembatasan terhadap prinsip kebebasan berserikat
ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional mengenai prinsip kebebasan,
semua orang diakui berhak mendirikan partai politik, sehingga berkembang
menjadi sistem politik yang biasa dikenal dengan ‘multi-party system’. Untuk
135
Ibid hal 215
136
Ibid hal 220

76
mengatur dan mengarahkan agar kecenderungan dan nafsu orang untuk
mendirikan partai politik menjadi rasional, perlu diadakan pembatasan jumlah
partai politik. Apabila jumlah partai politik tidak dibatasi, maka jumlah yang
terlalu banyak akan menurunkan citra partai itu sendiri secara keseluruhan di mata
rakyat. 137

4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik


Kebijakan penyederhanaan partai politik diwujudkan dalam penetapan
persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif baik dalam pembentukan partai politik
sebagai badan hukum, persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu dan juga
persyaratan ambang batas penempatan wakil partai di DPR. Hal tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 yang menyatakan bahwa :
Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan
persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai
maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.”

4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai Badan


Hukum
Perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik mulai dari sejak
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sampai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 diikuti pula dengan perubahan persyaratan-persyaratan pembentukan
dan penetapan partai politik sebagai badan hukum. Penetapan partai politik
sebagai badan hukum merupakan salah satu persyaratan kualitatif yang
merupakan perwujudan dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Selain itu
syarat kualitatif lainnya adalah partai politik harus memiliki kantor tetap.
Sedangkan wujud pelaksanaan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui

137
Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke Empat UUD
Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema Penegakan
Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli 2003. hal 40

77
penetapan syarat kuantitatif meliputi mempunyai kepengurusan dan memiliki
dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas sebagaimana
dijelaskan dalam pendapat pemerintah dalam putusan perkara pengujian undang-
undang nomor 20/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa : 138
Perwujudan sistem multi partai yang sederhana dilakukan dengan menetapkan
persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam pembentukan Partai Politik
maupun penggabungan Partai Politik. Yang dimaksud dengan persyaratan
kualitatif sebuah Partai Politik yaitu berbadan hukum, artinya dengan berstatus
sebagai badan hukum, dengan sendirinya harus memenuhi persyaratan
administratif untuk menjadi badan hukum publik, dan bertindak sebagai badan
yang transparan kepada public. Di samping merupakan badan hukum publik,
juga harus mempunyai kantor yang tetap. Sedangkan persyaratan kuantitatif
sebuah Partai Politik yaitu mempunyai kepengurusan dan memiliki dukungan
yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, partai politik dibentuk dan
didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia (WNI)
yang telah berusia 21, ketentuan ini tetap berlaku dalam Undang-Undang Nomor
31 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Syarat minimal jumlah
pendiri partai berubah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Syarat minimal pendiri partai semakin diperberat yaitu 30 orang WNI telah
berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
Undang-Undang tentang partai politik juga mengatur tentang batasan
ideologi/asas partai politik. Dari semua Undang-Undang tentang Partai politik,
asas partai adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, selain itu setiap partai
politik dilarang untuk menganut dan menyebarkan aliran Leninisme/komunisme
dan Marxisme. Selain itu Undang-Undang Partai Politik mengatur tentang batasan
nama dan lambang partai, pendirian dengan akta notaris. Persyaratan
kepengurusan partai ditingkat pusat ditetapkan sejak Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002. Syarat kepengurusan kemudian ditambahkan syarat menyertakan
30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan

138
Ibid. hal 13

78
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Partai politik yang telah terbentuk dengan akta notaris, diwajibkan
mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang untuk
ditetapkan sebagai badan hukum dengan terlebih dahulu memenuhi berbagai
persyaratan. Semua Undang-Undang tentang Partai Politik dari yang pernah
berlaku, mengatur tentang syarat akta notaris pendirian partai serta nama dan
lambang partai sebagai prasyarat pendaftaran partai sebagai badan hukum. Jumlah
minimal pendaftar baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu
partai politik didaftarkan oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh
pendiri partai politik. Persyaratan mengenai jumlah minimum kepengurusan
partai baru diatur pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,
untuk didaftarkan sebagai badan hukum, partai politik harus memenuhi
persyaratan minimal kepengurusan 50% dari jumlah Provinsi, 50% dr jumlah
kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan 25% dari jumlah kecamatan di
tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Syarat kepengurusan kemudian diperberat
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, terutama syarat kepengurusan di
tingkat provinsi, yang semula minimal 50% dari jumlah provinsi menjadi 60%
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, syarat kepengurusan semakin diperberat,
menjadi di setiap Provinsi, 75 % dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi dan 50
% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Dengan
demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 373
kabupaten kota, dan 3.311 kecamatan. Pengaturan tentang syarat keputusan ini
dimaksudkan untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai
sebagaimana yang dikemukakan dalam opening statement pemerintah dalam
putusan perkara pengujian undang-undang Nomor 15/PUU-IX/2011 bahwa
Pengaturan tentang syarat kepengurusan partai politik dimaksudkan dan adanya
alasan sebagai berikut :139
a. Partai politik adalah organisasi yang sifatnya nasional, maka pendirinya

139
Ibid. hal 25

79
juga bersifat nasional dan kepengurusannya tersebar di seluruh provinsi
yang ada di Indonesia.
b. Untuk terciptanya integritas nasional.
c. Sebagai bentuk perwujudan-perwujudan jaminan penguatan kemandirian
kelembagaan partai politik itu sendiri.

Mendaftar kepada lembaga yang berwenang sebelum muncul di surat suara. Tapi
di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya meningkat
dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus berhadapan dengan
adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik, dan di sebagian
lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan birokrasi yang
panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama untuk
mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas nasional
(sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya
persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan
deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan
konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan
buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum
tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan
distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat.
Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi,
mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi
yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah
organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa
partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi
Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on
Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai
politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai
politik di Jerman tidak perlu didaftarkan.140
Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu

140
Chau Pak-kwan. Op.cit Hal 5

80
organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :141
1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua
pejabat partai
2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit
akuntan;
3. salinan Konstitusi Partai
4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan
pendanaan
5. Biaya sebesar £ 150

Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur


tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang
Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian
dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi
mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran.
Selain mengatur tentang pembentukan dan pendaftaran partai politik
sebagai badan hukum, Undang-Undang tentang Partai Politik mengatur juga
batasan-batasan mengenai keuangan partai politik yang mencakup sumber
pendanaan, batasan pengeluaran dan penerimaan, laporan keuangan, audit laporan
dan juga rekening partai. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan
memberi bantuan kepada partai politik yang dapat memancing dan mendorong
minat orang mendirikan partai dengan harapan dapat memperoleh dana bantuan
dari pemerintah, bertentangan dengan kebutuhan untuk mengendalikan jumlah
partai politik, dan karena itu sebaiknya dihentikan.142
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002, audit laporan dilaksanakan cukup oleh akuntan publik yang
ditunjuk, namun sejak berlakunya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, anggaran yang bersumber dari APBD
haruslah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
141
ibid Hal 20
142
Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan RI. hal 42

81
4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral Threshold
Partai politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat
menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta pemilihan umum, partai
politik diwajibkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum. Pasca reformasi berlaku Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang berturut-turut kemudian digantikan
oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Persyaratan Partai
Politik untuk mengikuti pemilu meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap,
jumlah minimum anggota dan persyaratan ambang batas, serta persyaratan-
persyaratan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Partai
Politik yang hendak menjadi peserta pemilihan umum, harus memenuhi syarat
kepengurusan lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi yang bersangkutan. Syarat ini
kemudian diperberat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008, menjadi minimal 2/3 dari seluruh jumlah
provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, syarat kepengurusan
partai politik kembali diperberat menjadi di seluruh provinsi, minimal di 75%
(tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
minimal di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan.
Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, harus memenuhi ambang batas (electoral
threshold) 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II
di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia.
ketentuan ini diperberat pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
menjadi 3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam Undang-

82
Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Ketentuan ini kemudian diganti dengan ketentuan mengenai Parliamentary
Threshold. Ringkasan mengenai syarat partai politik untuk menjadi peserta
pemilu.
Partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilihan umum di
Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal
Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili
oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara)
sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan
ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai.
Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal
kepemimpinan.143
Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke
Federal Returning Officer:144 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program
partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang
lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk
menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon
independen.145
Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun 2000,
partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan
auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250
pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan
mendukung aplikasi partai untuk terdaftar. partai juga harus menyerahkan
deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk
berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai
calon anggota dan mendukung pemilihan mereka.146
The Sustainable Governance Indicators 2009 Project dalam laporannya

143
Chau Pak-kwan. Op.cit hal 6
144
Ibid
145
Ibid hal 16
146
Anika Gauja. op.cit Hal 6

83
tentang Democracy and Electoral Process di 31 negara anggota The Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) mengemukakan bahwa :147
1. Australia
Sejak 1984, partai-partai politik telah diwajibkan untuk mendaftar kepada
AEC sebelum pencalonan kandidat untuk pemilu. Tidak ada hambatan
yang signifikan untuk pendaftaran, untuk setiap calon potensial atau partai
haruslah memenuhi syarat yaitu partai harus memiliki minimal 500
anggota pemilih yang sah. Sejak pendaftaran partai harus mengikut aturan
tentang pendanaan kampanye pemilu yang ketat. Calon perseorangan yang
tidak terafiliasi dengan partai politik dapat mencalonkan diri untuk pemilu
jika telah berusia 18 tahun atau lebih, memegang kewarganegaraan
Australia dan berada di daftar pemilih.
2. Austria
secara umum pendirian partai politik tidaklah dibatasi, pembatasan.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Partai tahun 1975, partai politik
harus memiliki aturan internal Partai dan menyampaikannya kepada
Kementerian Dalam Negeri sehingga dapat diterbitkan dalam brosur
berkala. Aturan tentang pembatasan mendirikan dan mendaftarkan partai
dan kandidat, hanya ada dalam Perjanjian Negara Wina (1955), yaitu
larangan pembentukan organisasi fasis dan nasional sosialis.
3. Denmark
partai-partai sudah memiliki wakil di parlemen otomatis dapat
berpartisipasi dalam pemilihan umum yang baru, sementara partai lain
harus mendapatkan persetujuan dari menteri dalam negeri dengan
menyediakan sejumlah besar tanda tangan pemilih pendukungnya
partisipasi. Jumlah tanda tangan harus setidaknya 1/175 dari pemilih yang
berpartisipasi dalam pemilu sebelumnya, yang dalam prakteknya
berjumlah lebih dari 25.000. Kedua, nama partai yang baru harus
mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa, pengaturan tentang syarat-syarat

147
Ibid hal 2-

84
pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu juga bervariasi diatur di berbagai
negara.

4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR


(Parliamentary Threshold)
Partai politik yang memperoleh suara di pemilu DPR tidak serta merta
dapat menempatkan wakilnya (memperoleh kursi) di DPR. Pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Partai Politik harus memperoleh
minimum 2.5% suara ditingkat nasional untuk dapat diikutsertakan dalam
perhitungan kursi di DPR. Ketentuan ini semakin diperberat pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Yaitu menjadi 3 % perolehan suara
nasional.
Dalam praktek-praktek di negara lain, sebagaimana telah diuraikan pada
Bab II, Penerapan besaran Parliamentary Threshold bervariasi. Di negara-negara
Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki adalah negara dengan PT tertinggi
yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007, menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia,
Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan
PT 5%, sementara negara Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia
menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol, Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan
PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2% dan Belanda 0.67%.266 Dengan demikian,
angka PT di Indonesia masih berada pada PT di negara-negara lain seperti Turki,
Rusia Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan
Slovakia Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia.

4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan


Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister sebagaimana telah
diuraikan dalam Bab II, menjelaskan bahwa fungsi partai politik dapat dibagi
menjadi tiga level yaitu di antara warga masyarakat, organisasi-organisasi dan di
pemerintahan.148 Di level warga masyarakat, partai berfungsi untuk
menyederhanakan pilihan bagi para pemilih. Partai politik mendidik para pemilih

148
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Op.cit hal 5

85
tentang manfaat dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang
ditawarkan. Diantara warga masyarakat, partai politik diharapkan akan
memobilisasi warga untuk aktif berperan serta dalam proses politik sehingga
dapat menciptakan stabilitas sistem politik dalam jangka panjang. Dalam level
organisasi, partai politik merekrut dan melatih pemimpin politik yang potensial
dan para kandidat yang akan ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan
kepada mereka tentang nilai dan norma dari pemerintahan yang demokratis.
Secara organisasi, partai politik juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan
politik para pendukungnya. Pararel dengan perannya sebagai artikulasi
kepentingan, partai politik juga berfungsi untuk agregasi kepentingan,
menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam bentuk yang
komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi kebijakan
pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di pemerintahan.268
Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara kerja
pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan
kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan
yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai
politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan
mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga
menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan
menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan
apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat
juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.149 Hubungan (Linkage) antara partai dan
pemilih dapat digambarkan pada gambar pada Bab II.
Berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus
sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis)
dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual
oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi

149
Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Op.cit hal 5

86
partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang
merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. 150 Hal
tersebut setidaknya yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 alinea [3.15], huruf d. yang menyatakan bahwa
Bahwa tambahan pula, berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah
berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta
(otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi
faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga
eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu
memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.
Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy)
pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan
dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas
kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai
persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET.

4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai


Politik
Vicky Randal menilai bahwa Indonesia telah sukses
mengimplementasikan Undang-Undang tentang Partai Politik. Undang-Undang
dikombinasikan secara baik antara tujuan untuk membentuk partai politik yang
berkarakter organisasi yang bersifat nasional dan ketentuan thershold telah sukses
menurunkan jumlah partai politik yang efektif dan meningkatkan kapasitas
geografinya.151

4.4.1. Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum


Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, banyak
bermunculan partai politik baru karena syarat-syarat untuk mendirikan partai
politik belumlah diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.
150
Putusan 16/PUU-V/2007 Hal 82
151
Vicky Randal. Party regulation in conflict-prone societies: More dangers than opportunities?hal

87
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, telah diatur syarat minimal
jumlah anggota dan kepengurusan (Pasal 2) apabila hendak membentuk dan
mendaftarkan partai politik di Departemen Kehakiman. Akibat hukum tidak
terpenuhinya persyaratan tersebut adalah penolakan pendaftaran sebagai partai
politik oleh Departemen Kehakiman, sehingga partai politik tersebut tidak diakui
sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dinyatakan
dalam :
pasal 26 ayat (1) :
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran
sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman.
Penolakan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum akibat tidak
terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang juga
diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menyatakan bahwa :
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3,Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 :


Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.

88
148 partai mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen Kehakiman.
Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya. Dari 141
partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut Pemilu
1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik yang boleh
ikut Pemilu 1999.152 Hal tersebut menciptakan sistem multipartai yang ekstrim dan
dinilai oleh pengambil kebijakan kurang sesuai dengan sistem pemerintahan
presidensiil di Indonesia. sehingga Undang-Undang tentang Partai Politik
berikutnya mengatur tentang upaya penyederhanaan partai politik untuk mencapai
sistem multipartai sederhana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik, untuk membentuk partai politik, haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan antara lain yaitu : memiliki akta notaris pendirian partai politik,
kepengurusan di 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada
setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota yang bersangkutan; memiliki nama, lambang, dan tanda gambar
dan mempunyai kantor tetap. Partai politik yang telah memenuhi persyaratan
tersebut, kemudian disahkan oleh departemen kehakiman untuk ditetapkan
sebagai badan hukum. Kementerian Kehakiman melaksanakan tiga tahap
verifikasi untuk menetapkan partai politik yang memenuhi syarat sebagaimana
yang ditetapkan di dalam UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik untuk
menjadi badan hukum. Verifikasi tahap I, tahap II dan tahap III. Sejak departemen
membuka pendaftaran partai politik untuk disesuaikan dengan ketentuan UU No.
31 Tahun 2002 pertengahan tahun 2003, secara keseluruhan ada 112 partai politik
yang mendaftar (dalam 3 angkatan atau gelombang).153 Sebanyak 66 parpol
mendaftar pada tahap ke tiga.154 Verifikasi tahap I dan II meloloskan 18 partai

152
Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia :Ideologi,
Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com 1999.
153
Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan Ada 50 Partai
yang Lolos di Depkeh dan HAM . http://www.kpu.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=5134&Itemid=76
[juli 2012]
154
Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003.
http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012]

89
politik.155 Pada tahap III, sebanyak 32 partai politik. Sehingga total partai politik
yang lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai badan hukum sebanyak 50 partai
politik. Dengan demikian implikasi hukum diterapkannya persyaratan pendirian
partai politik pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah sebanyak 62
partai politik tidak dapat ditetapkan sebagai partai politik yang berbadan hukum
dan tidak terdaftar di Kementerian Kehakiman.
Pada tahun 2008, Undang-Undang tentang Partai Politik diganti dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pendirian
partaipun mengalami perubahan dan semakin diperberat, terutama pada syarat
kepengurusan partai di tingkat provinsi yang semula 50% menjadi 60% dari
jumlah provinsi. Departemen Hukum dan HAM berdasarkan amanat Undang-
Undang menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi
kelengkapan dan kebenaran. Pada Tahun 2008, sebanyak 24 Partai Politik
memperoleh status Badan Hukum dari 115 partai politik yang mendaftarkan diri
ke Departemen Hukum dan HAM.156
Hal yang sama, terjadi juga Pada Tahun 2011, pasca diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pembentukan partai politik
semakin diperberat. Pasca diberlakukannya ketentuan ini, Setelah melalui proses
verifikasi sejak tanggal 23 September 2011 sampai dengan 25 November 2011,
dari paerol yang mendaftarkan diri untuk memperoleh status badan hukum, yang
lolos verifikasi adalah partai Nasdem yang sesuai dengan keterangan pers
menkumham tanggal 11 November 2011. Sedangkan 13 partai politik lainnya
tidak memenuhi syarat untuk lolos verifikasi dan oleh karena itu tidak
memperoleh status badan hukum sesuai dengan peraturan perundang –undangan
yang berlaku mengenai partai politik. Ketiga belas partai politik yang tidak lolos
verifikasi tersebut adalah157: 1. Partai Demokrasi Pancasila (DEPAN), 2. Partai
155
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur Pendaftaran dan
Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos Menjadi Badan Hukum.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5109&Itemid=76 [8 juli
2012]
156
Antara News . Sebanyak 24 Parpol Lolos Verifikasi Depkumham.
http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s= 2008. [8 juli 2012]
157
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol.

90
Independent, 3. Partai Rakyat bangkit, 4. Partai Rakyat Republik (PAKAR), 5.
Partai kekuatan Rakyat Indonesia, 6. Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara
(PKBN), 7. Partai Nasional Republik, 8. Partai Penganut Thariqot Islam Negara
Islam Indonesia, 9. Partai Persatuan Nasional, 10. Partai Republik Perjuangan, 11.
Partai Republik Satu, 12. Partai Satria Piningit, 13. Partai Serikat Rakyat
Independent. Namun pada tanggal 27 Maret 2012, Partai Serikat Rakyat
Independen (SRI) resmi berbadan hukum dengan keluarnya SK Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia M.HH-09.AH.11.01.158 status badan hukum Partai SRI
diperoleh setelah bersinergi dengan Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR)
yang memang telah berbadan hukum tetapi gagal lolos Pemilu 2009.159
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik
telah menyebabkan tidak diakuinya partai-partai politik yang tidak memenuhi
persyaratan Undang-Undang sebagai badan hukum. Dalam prakteknya, akibat ini
tidak serta merta diterima oleh partai politik yang tidak lolos verifikasi untuk
menjadi badan hukum. Beberapa upaya judicial review terhadap Undang-Undang
tentang Partai Politik diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Pada setiap Undang-Undang tentang Partai Politik sebagaimana telah
dijelaskan di atas, diatur sanksi administrasi berupa penolakan bagi partai politik
yang tidak memenuhi persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai
badan hukum. Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang berwenang
untuk menolak menetapkan partai yang tidak lolos persyaratan sebagai badan
hukum. Ketentuan sanksi administratif berupa penolakan partai politik sebagai
badan hukum diatur pada pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 , dan pada Pasal 47
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Dalam prakteknya dari sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 hingga Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011, sejumlah partai politik tidak diakui sebagai partai politik
berbadan hukum dan tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.

http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol
158
Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014.
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Ikuti.Pemilu.2014 [7 juli
2012]
159
Ibid

91
4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum.
Partai politik yang telah memperoleh status sebagai badan hukum, tidak
serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Berbagai persyaratan untuk
menjadi peserta pemilu harus dipenuhi, dan persyaratan tersebut semakin
diperberat di setiap perubahan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003,
Partai Politik yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), berakibat hukum bahwa partai
politik tersebut tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum.
Pasal 39 ayat (1) :
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di
Indonesia;
c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah
kabupaten/kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.

Pasal 39 ayat (2) :


Partai Politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak dapat menjadi Peserta Pemilihan Umum,
namun keberadaannya tetap diakui selama partai tersebut melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Partai
Politik.
Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan Pasal 39
ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 harus memenuhi ambang batas perolehan
kursi, sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau
DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi dan di ½

92
jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia.
Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 :
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus
memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki
sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang
tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil
Pemilihan Umum.
Akibat hukum dari berlakunya ketentuan ambang batas perolehan kursi (electoral
threshold) adalah tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali
bergabung dengan partai politik lain sebagaimana diatur pada Pasal 39 ayat (4)
yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum
berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Akibat hukum tidak terpenuhinya syarat-syarat partai untuk menjadi peserta
pemilu juga diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 12 Tahun 2003 yang menyatakan
bahwa :
Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta Pemilu.
Ketentuan electoral threshold dalam UU 12 Tahun 2003, diatur pada pasal 9 ayat
(1) dan akibat hukum tidak terpenuhinya ketentuan tersebut adalah partai politik
masih dapat mengikuti pemilu berikutnya hanya apabila : a). bergabung dengan
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan electoral threshold, b).
bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan ET dan
selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang
bergabung sehingga memenuhi ET atau c). bergabung dengan partai politik yang
tidak memenuhi ketentuan ET dengan membentuk partai politik baru dengan
nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi ET sebagaimana dinyatakan
pada Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

93
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan
nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung
sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik
baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan
minimal jumlah kursi.
Pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal
17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat ditetapkan
menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU, sehingga partai-
partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu.
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 :
Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan peralihan yang
mengatur persyaratan partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum
berikutnya, yaitu pada pasal 315 yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya
3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya
4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar
sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau
memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta
Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pada pasal 316 memuat ketentuan bagi partai yang tidak memenuhi ketentuan

94
pasal 315 dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009 dengan ketentuan :
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan
nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau bergabung dengan partai
politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda
gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
d. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat
ditetapkan menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU,
sehingga partai-partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai
peserta pemilu.
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 :
Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
Pada Pelaksanaannya di pemilu tahun 1999, dari 110 partai politik yang
mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas, dan setelah melalui proses verifikasi,
hanya ada 48 partai politik yang boleh ikut Pemilu 1999. Sehingga lebih dari
separoh dari jumlah partai politik (52 partai) yang tidak dapat mengikuti pemilu
karena tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Pada Pemilu 2004, dari
50 parpol yang mendaftar ke KPU untuk Pemilu 2004, hanya 24 parpol yang
ditetapkan sebagai peserta pemilu. Itu termasuk enam parpol besar yang bebas
verifikasi karena lolos electoral threshold pada Pemilu 1999.160
Pada pemilu 2009, sebanyak 68 partai politik mendaftar ke KPU sebagai

160
Okezone.com. 68 Partai Politik Baru Gugur.
http://jakarta.okezone.com/read/2008/02/28/1/87368/68-partai-politik-baru-gugur[22 juli 2012]

95
calon peserta pemilu 2009.161 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan 18
partai politik dinyatakan lolos verifikasi faktual KPU dan berhak menjadi peserta
Pemilu 2009 bersama 16 partai lainnya yang telah memiliki keterwakilan di DPR,
sesuai pasal 315 dan 316 UU No 10 tahun 2008.
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, KPU membuka
Pendaftaran partai politik (parpol) calon peserta Pemilu 2014 yang dibuka sejak
Jumat, 10 Agustus 2012 lalu, dan resmi ditutup pada 7 September 2012. Hingga,
parpol yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), seluruhnya
berjumlah 46 (empat puluh enam) partai.162 Hingga 10 September 2012, telah 12
partai politik ditetapkan tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Pemilu
sehingga tidak dapat menjadi peserta pemilu.
Dengan demikian dapat dkatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai
politik khususnya persyaratan partai politik untuk menjadi peserta pemilu, telah
berakibat tidak lolosnya sejumlah partai politik sehingga tidak dapat menjadi
peserta pemilu.
Pada setiap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, diatur persyaratan-perysaratan bagi partai politik untuk
dapat menjadi peserta pemilihan umum, sehingga bagi partai-partai yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut, berakibat hukum tidak dapat menjadi peserta
pemilihan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dan 12 Tahun
2003, diatur persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan
umum berikutnya harus memenuhi ketentuan ambang batas perolehan kursi,
ketentuan ini berakibat hukum bagi partai-partai plitik yang tidak dapat memenuhi
haruslah bergabung dengan partai politik lain atau membentuk partai baru. Dalam
prakteknya dari sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Pada Pemilu pertama pasca reformasi, sebanyak 110 partai politik

161
Detiknews. 68 Parpol Sudah Ambil Form di KPU.
http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpol-sudah-ambil-form-di- kpu?
nd993303605 [8 September 2012]
162
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi Ditutup, Total 46
Partai Mendaftar Ke KPU. http://www.kpu.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=7065&Itemid=1 [ 8 September 2012]

96
mendaftar ke KPU, namun hanya sebanyak 48 partai saja yang dapat menjadi
peserta pemilu. Partai politik yang mendaftar untuk menjadi peserta pemilu
semakin berkurang pada pemilu tahun 2009, yaitu hanya 50 partai dan yang
berhasil lolos persyaratan hanya 24 partai dan menjadi peserta pemilu. Pada tahun
2008, memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU dari 50
partai di tahun 2003 menjadi 68, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan
kebijakan yang semula menggunakan ET pada UU 3 tahun 1999 dan uu 12 tahun
2003 menjadi PT sehingga partai yang menjadi peserta pemilu naik dari 24
menjadi 38. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM, per akhir tahun
2012, jumlah partai politik yang diakui keberadaannya sebagai badan hukum
adalah berjumlah 73 partai politik, namun pada kenyataannya hanya 46 partai
yang mengajukan pendaftaran ke KPU untuk menjadi peserta pemilu karena
beratnya syarat yang telah ditetapkan oleh UU Pemilu.
Sebanyak 16 Partai Politik calon Peserta Pemilu 2014 dinyatakan
memenuhi syarat verifikasi faktual tingkat pusat. Tiga Partai yang semula belum
memenuhi syarat pada verifikasi faktual tahap pertama yakni partai bulan bintang,
partai keadilan sejahtera, dan partai golongan karya, telah dinyatakan memenuhi
syarat.163 adapun 13 parpol yang terlebih dahulu lolos verifikasi faktual tingkat
pusat berikut keterwakilan perempuan dalam kepengurusannya adalah PKBIB,
partai Hanura, PPN, PPRN, PArtai Nasdem, PDP, PKB, Partai Demokrat, Partai
Gerindra, PAN, PPP, PKPI, PDI-P.164

4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR


Ketentuan Parliamentary Threshold yang diterapkan pada Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 telah mengurangi jumlah partai yang dapat
menempatkan wakilnya di DPR karena partai yang tidak memenuhi ketentuan
ambang batas perolehan suara tidak dapat diikutkan dalam penentuan kursi di
DPR sebagaimana yang dinyatakan Pada Pasal 202 ayat 1 UU 10 Tahun 2008
dan Pasal 208 UU 8 Tahun 2012.

163
Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari 2013. Politik
dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4
164
Ibid

97
Pasal 202 ayat (1) UU 10 Tahun 2008
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Pasal 208 UU 8 Tahun 2012
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR,
sebanyak 9 parpol yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai
Gerindra, PKS, PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat
sehingga dapat diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR.165

4.4.4. Penggabungan Partai Politik


Hasil dari kebijakan tersebut, pada Pemilu 1999 hanya enam Parpol yang
memenuhi ET dan pada Pemilu 2004 hanya tujuh Parpol yang memenuhi ET,
sedangkan bagi Parpol-Parpol yang tidak memenuhi ET untuk dapat mengikuti
Pemilu berikutnya harus bergabung dengan Parpol lainnya yang memenuhi ET
atau tidak memenuhi ET agar memenuhi ET sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam UU 12/2003. Pasal 39 ayat 4 menyatakan bahwa partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan ambang batas sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (3),
berakibat hukum tidak boleh ikut dalam pemilihan umum kecuali bergabung
dengan partai politik lain. Pasal 39 ayat (3) :
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus
memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki
sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang
tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil

165
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6520&Itemid=171 [5
Januari 2012]

98
Pemilihan Umum.
Pasal 39 ayat (4) :
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum
berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Pasal 9 ayat (2)
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama
dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru
dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan
minimal jumlah kursi.
Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara (parliamentary
threshold) nasional sebagai syarat diikutkannya partai politik untuk mendapatkan
kursi di DPR baru diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, menggantikan kebijakan ET yang diatur pada Undang-Undang sebelumnya.
Akibat hukum dari ketentuan PT adalah bagi partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan tersebut, tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Pada Pemilu 2009,
perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR, sebanyak 9 parpol
yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS,

99
PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat sehingga dapat
diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR.166
Menurut Venice Commission Efek dari penerapan threshold adalah bahwa
partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral
threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk
menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas
gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan parlemen 2003. Setelah
penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang
mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam
pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai
minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam
kasus Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan
threshold 10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi.
Pada tahun 2007 dalam Resolusi nya 1.547 Dewan Majelis Parlemen
Eropa memilih untuk Batas 3%, meskipun dengan reservasi penting bahwa
rekomendasi ini diterapkan untuk demokrasi yang sudah mapan. Ambang ini
tampaknya terlalu rendah, jika kita mengakui pentingnya perbedaan antara
demokrasi yang sudah mapan dan yang kurang mapan di mana sistem kepartaian
masih sedang dibuat. Pada sistem yang pertama, ambang batas 3 sampai 5%
masih dapat diterima. Dalam negara demokrasi baru, sebaliknya, ambang batas
yang lebih tinggi mungkin dipertimbangkan untuk mendorong pembentukan
sistem partai yang sederhana dan efektif dan tentunya tidak melebihi angka 10%
yang sudah cukup tinggi.167

4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap


pembentukan sistem Multipartai Sederhana
Perjalanan sistem multipartai di Indonesia disertai karakateristik tersendiri.
Penerapan multipartai di Indonesia disertai dengan tingkat pelembagaan sistem

166
KPU. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40 http://www.kpu.go.id/dmdocuments/saku_h.pdf
167
Venice Commission. Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which
Bar Parties From Access To Parliament (II). Maret 2012. hal 12 http://www.venice.coe.int/docs/
2010/CDL-AD(2010)007-e.pdf [diunduh 29 November 2012]

100
kepartaian yang rendah. Rendahnya tingkat pelembagaan ini akan berimplikasi
pada sistem multipartai yang cenderung terfragmentasi. Kondisi fragmentasi
politik ini menyebabkan partai politik pemenang pemilu akan sulit mencapai
kekuatan mayoritas tanpa adanya koalisi dalam pemerintahan.168
Pemilu tahun 1999, diikuti oleh 48 partai politik dan sebanyak 24 partai
politik memperoleh kursi di DPR. PDIP memperoleh kursi terbanyak dengan
33.11%, diikuti oleh partai golkar 25.97% kursi di DPR, PPP 12.55%, PKB
11,03%, PAN 7.35%, . Nilai ENPP pemilu tahun 1999 sebesar 4.71 yang dapat
diartikan bahwa sistem partai hasil pemilu 1999 adalah multipartai moderat
(sederhana) dengan 4 sampai 5 partai efektif di parlemen. tidak ada partai yang
mendominasi parlemen, karena tidak ada partai yang memperoleh lebih dari 40%
suara atau berdasarkan kategorisasi Blonde, dapat dikatakan juga bahwa sistem
partai saat itu adalah sistem multipartai dengan tidak ada partai dominan
(multiparty systems without a predominant party).
sistem partai di Indonesia berubah menjadi sistem multipartai ekstrim
(extreme multiparty system) setelah pemilu tahun 2004. pemilu diikuti oleh 24
partai politik dan sebanyak 15 partai memperoleh kursi di DPR. Partai Golongan
Karya memperoleh 23.27% kursi di DPR, diikuti oleh PDIP 19.81%, Partai
Persatuan Pembangunan 10.54%, Partai Demokrat 10%, PAN 9.63%, PKB
9.45%, dan PKS 8.18%. nilai ENPP sebesar 7.07 menunjukkan bahwa jumlah
partai politik yang efektif di DPR lebih dari 7 partai, sehingga sistem partai saat
itu bergeser dari sistem multipartai sederhana (moderat) pada tahun 1999 menjadi
sistem multipartai ekstrim (extreme multiparty system). berdasarkan klasifikasi
Blondel, tidak ada partai yang mendominasi mayoritas suara di DPR (40%)
sehingga sistem partai dapat dikatakan pula sebagai sistem multipartai tanpa ada
partai dominan (multiparty systems without a predominant party).
pada pemilu tahun 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim
dengan nilai ENPP 6.47. namun dapat dikatakan bahwa jumlah efektif partai di
parlemen mengalami penurunan menjadi 6 sampai 7 partai politik. pemilu 2009
diikuti oleh 38 partai politik, dan sebanyak 9 partai memperoleh kursi di DPR.

168
Hanta Yuda HR. Presidensialisme. Op cit hal 102

101
Partai Demokrat memperoleh 26.43% kursi, diikuti oleh partai Golongan Karya
18.93%, PDIP 16.79%, Partai Keadilan Sejahtera 10.18%, PAN 8.21%, PPP
6.79%, PKB 5%, Gerindra 4.64% dan Hanura 3.04%. sistem partai dapat
dikatakan juga sebagai sistem multipartai tanpa ada partai dominan yang
memperoleh lebih dari 40% (multiparty systems without a predominant party).

102
BAB V
JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR TENTANG
KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi


Pendaftaran Partai Politik.169

5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji


Pemohon adalah Ketua Umum Partai Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI)
yang mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.170
Pasal yang diujikan salah satunya adalah Pasal 2 ayat (3) sub b, yang dianggap
bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-pasal yang terkait dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
Pasal 2 ayat (3) Sub b, menyatakan bahwa :
Partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat :
b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen)
dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota
pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;

Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dikarenakan PPRI


merupakan salah satu partai yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada Pasal 2
ayat (3) sub b yang mengakibatkan PPRI : 1).Tidak bisa ikut serta sebagai Partai
Politik peserta pemilihan umum, 2) Tidak diakui keberadaannya oleh Departemen
Kehakiman dan HAM.171

169
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU 20/PUU-I/2003.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf [2 Juni 2012]
170
Ibid hal 1
171
Ibid hal 4

103
5.1.2. Pendapat Pemerintah
Pemerintah mengemukakan bahwa Maksud penyusunan Undang-undang
tentang Partai Politik adalah memberikan landasan yang kokoh bagi kaidah-
kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, transparansi,
akuntabilitas, berkeadilan, aspiratif, dan tidak diskriminatif, sehingga terwujud
Partai Politik sebagai aset demokrasi yang mandiri dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang efektif. Sedangkan tujuan penyusunan undang-undang
tentang Partai Politik adalah menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan
berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat, sebagai upaya untuk
mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang kondusif bagi
penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, bersatu,
berdaulat, demokratis, berdasarkan atas hukum. Selain itu, tujuan pembangunan
kehidupan demokrasi melalui penataan Partai Politik adalah untuk menjamin
jumlah Partai Politik yang dikehendaki bangsa Indonesia dengan tidak menempuh
cara otoriter tetapi juga tidak menempuh cara liberal, melainkan menyepakati
persyaratan jumlah dukungan rakyat kepada Partai Politik sebagai syarat
berperan-serta dalam pemilihan umum. Dengan demikian Partai Politik dapat ikut
berperan serta dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan
sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.172
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik, dimaksudkan untuk membangun Partai Politik yang berkualitas,
mandiri dan mengakar di masyarakat. Di samping itu, dengan pengaturan tersebut
diharapkan tercipta suatu Partai Politik yang mempunyai kredibilitas dan
ketersebaran kepengurusan di seluruh Indonesia, memiliki dukungan massa yang
kuat, dan bersifat nasional (Indonesia sebagai negara kepulauan dan beragam suku
bangsa serta agama). Dengan persyaratan dan kriteria dimaksud pada saatnya
nanti akan terwujud Partai Politik yang dapat merefleksikan keanekaragaman
suku, bangsa, budaya, dan agama dalam satu wadah dan tujuan demi kepentingan
bangsa dan negara.173
Selanjutnya esensi pengaturan tersebut bukan merupakan pembatasan dan
172
Ibid hal 11-12
173
Ibid hal 16

104
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi lebih kepada pembelajaran dan
pendewasaan politik bangsa. selain mengatur juga membatasi. Pengaturan dan
pembatasan masih dapat dibenarkan dan sah sepanjang dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Secara formal, suatu
undang-undang sah berlakunya sepanjang telah dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama. Prosedur ini telah dipenuhi dalam
pembahasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.174

5.1.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi


Pasal 2 ayat (3) sub b, tidak bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-
pasal yang terkait dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pendapat
Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan tersebut adalah sebagai berikut :
Pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b ini dimaksudkan untuk membangun
Partai Politik yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Di samping
itu dengan pengaturan tersebut diharapkan partai politik dapat tumbuh dan
berkembang dengan kredibilitas dan didukung oleh ketersebaran kepengurusan di
seluruh Indonesia, serta memiliki dukungan massa yang kuat dan bersifat
nasional. Pengaturan sebagaimana tersebut di atas diperlukan bagi negara yang
tengah berada dalam proses pematangan demokrasi. Dalam keadaan seperti itu,
hukum bukan saja diperlukan sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan
kepastian hukum yang berkeadilan, melainkan harus pula berperan sebagai sarana
pembangunan masyarakat.175
Undang-undang yang mengatur tentang partai politik, yang didalilkan
Pemohon, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin
agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu
kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Dengan demikian, tidak satu
pun dari pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau
174
Ibid hal 18
175
Ibid hal 35

105
pembatasan terhadap kebebasan untuk mendirikan partai politik, melainkan hanya
pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai
politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian
pula, pengaturan tersebut tidak dapat dipandang diskriminatif karena berlaku
terhadap semua partai politik.176
Pengaturan demikian, bahkan juga pembatasan, bukan saja tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar tetapi juga tidak bertentangan prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional sebagaimana terlihat dari
rumusan Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang
menyatakan: 177
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due
recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the
just requirements of morality, public order and the general welfare in a
democratic society”;

5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold.298


Ketentuan tentang syarat electoral threshold diatur pada Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003. Dalam prakteknya ketentuan ini dan juga ketentuan
persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu pernah dimohonkan untuk
dijudicial review oleh lima partai berbasis Islam ke Mahkamah Agung pada tahun
2003.178 Ke lima Partai tersebut adalah DPP PII Masyumi, DPP Partai Nadhatul
Ulama Umat, DPP Partai Kebangkitan Umat, DPP Partai Islam Indonesia, DPP
179
Partai Al-Islam Sejahtera Indonesia. pasal yang diuji : Pasal 7 ayat (1) butir b,
c, d dan ayat (2) serta ayat (3), tentang syarat minimal kepengurusan partai politik
untuk dapat menjadi peserta partai politik. Pasal 9 ayat (1), tentang syarat
electoral treshold untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 142 dan 143, tentang

176
Ibid hal 35-36
177
Ibid hal 36
178
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16PUUV2007ttg-
UUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012]
179
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resumesidangResume%20007PUU2003.pdf

106
syarat penetapan sebagai peserta pemilu. Pada tanggal 15 Oktober, perkara
pengujian UU ini kemudian dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi. 180 namun
demikian, pemohon pada akhirnya menarik kembali permohonannya sehingga
MK mengeluarkan penetapan yang berisi mengabulkan permohonan penarikan
perkara pengujian Undang-Undang tersebut.

5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji


Pemohon merupakan 13 partai politik yang mangajukan Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemohon adalah partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan electoral threshold sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 9
ayat (1).
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menyatakan:
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu
harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi
DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah)
jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi
DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah
kabupaten kota seluruh Indonesia;
Ketentuan Electoral Thershold oleh pemohon dianggap bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena pembentuk undang-undang dengan
sewenang-wenang mencabut hak para Pemohon untuk turut serta membangun
demokrasi melalui jalur pemilu oleh partai politik sebagaimana telah dilakukan
sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Keikutsertaan partai politik dalam pemilu
bukanlah muncul tiba-tiba dan bukan tanpa dasar hukum. Keberadaan para

180
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/BOOK_BMK1.pdf

107
Pemohon sendiri telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.
Oleh karena itu harus dicegah upaya penghilangan hak para Pemohon tersebut
sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. dan juga Terhadap Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Bahwa para Pemohon dilindungi oleh Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memperjuangkan untuk memperoleh
perlakuan yang adil dan sama di hadapan hukum. Bahwa para Pemohon adalah
badan hukum yang berbentuk partai politik telah diatur dalam hukum positif serta
telah lama menyelenggarakan kegiatan politik telah diperlakukan tidak adil oleh
Pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, sehingga
undang-undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Para Pemohon dalam dalilnya juga menyatakan ketentuan Electoral Threshold
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, karena jelas-
jelas pasal tersebut bersifat diskriminatif, sebab partai politik dibatasi
partisipasinya dalam kegiatan pemilu. Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 yang bersifat diskriminatif tersebut secara perlahan mematikan peran serta
dan keberadaan para Pemohon yang menyelenggarakan kegiatan politik, dengan
sendirinya. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
bersifat diskriminatif dan telah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945;
Kerugian nyata para Pemohon dapat dirinci sebagai berikut:
1. Para Pemohon tidak dapat lagi mengikuti pemilu pada tahun 2009 dan
seterusnya, padahal para Pemohon masih eksis sebagai partai politik,
sehingga para Pemohon tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai
partai politik, untuk mengikuti pemilihan umum dalam menyalurkan aspirasi
politik para anggota dan konstituennya, untuk menempatkan wakil-wakilnya
di DPR dan di DPRD;
2. Para Pemohon akan kehilangan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan para
Pemohon dalam rangka mendirikan partai politik;
3. Para Pemohon juga harus melakukan verifikasi ulang apabila harus
mengganti nama partai untuk mendirikan partai politik baru guna dapat
mengikuti pemilu yang akan datang;

108
Kerugian konstitusional para Pemohon apabila terjadi penggabungan partai
politik:
1. meskipun para Pemohon memiliki ideologi yang sama yaitu Pancasila, tetapi
secara spesifik sangat berbeda-beda, misalnya Partai Bulan Bintang yang
berakar dari Masyumi memperjuangkan Syariat Islam, sedangkan para
Pemohon yang lain tidak satupun yang memperjuangkan Syariat Islam.
Dengan demikian secara konstitusional penggabungan partai politik adalah
sangat merugikan hakhak dasar yang diperjuangkan oleh masing-masing para
Pemohon;
2. apabila para Pemohon bergabung, maka para Pemohon akan kehilangan
pemilihnya masing-masing, karena para Pemohon mempunyai masing-masing
pemilih yang fanatik, dengan penggabungan itu para Pemohon akan
kehilangan identitas dirinya atau perjuangannya tidak akan murni lagi
sebagaimana prinsip dasar awal berdirinya para Pemohon sebagai partai
politik;

5.2.2. Pendapat Pemerintah


Dalam keterangan tertulisnya pemerintah menerangkan bahwa ketentuan
Electoral Threshold, antara lain bertujuan agar terbangun sistem multi partai
sederhana (the multiple simple party system), guna mewujudkan tujuan
kemasyarakatan dan, kenegaraan yang berwawasan kebangsaan agar tercipta
sistem pemerintahan yang stabil, juga ketentuan a quo dapat digunakan sebagai
pengukuran (parameter) legitimasi dukungan public terhadap partai politik, yang
pada gilirannya masyarakat diberikan hak dan/atau kesempatan untuk memilih
partai politik yang memiliki kapabilitas memadai; Disisi lain ketentuan a quo
juga memberikan kesempatan yang sama terhadap partai politik lain (baru) yang
telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Partai
Politik maupun Undang-Undang Pemilu, untuk mengikuti tahapan
penyelenggaraan pemilihan umum guna memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 181

181
Ibid hal 57-58

109
Selain itu, ketentuan yang mengatur tentang batasan suara minimal yang
harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold), untuk dapat
megikuti pemilihan umum berikutnya, tidaklah serta merta dianggap sebagai
perlakuan maupun pembatasan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan
atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik,
kelompok golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan
keyakinan politik [vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Masi Manusia, maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and
Political Rights]; Sehingga ketentuan yang mengatur tentang batasan suara
minimal yang harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold) untuk
dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya, tidak dapat dipandang secara serta
merta dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan
pilihan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara
sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-
undang (detournement de pouvoir).182

5.2.3. Pendapat DPR


Warga Negara Indonesia memang memiliki kemerdekaan untuk berserikat
dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu media
untuk menyalurkan aspirasi itu adalah membentuk Partai Politik sebagai sarana
yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Melalui Partai Politik maka
rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat mengenai arah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat pendelegasian untuk pengaturan
lebih lanjut dengan undang-undang. Jadi undang-undang tersebut, termasuk
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 berfungsi sebagai penjabaran ketentuan
yang bersifat "asas" dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

182
Ibid hal 58

110
Tahun 1945;183
Hak dasar dalam Undang-Undang Dasar yang dijadikan dasar hukum para
Pemohon, tidak berlaku secara mutlak. Hal ini secara tegas juga diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:184
a. Pasal 28I ayat (5) yang menyatakan "Untuk menegakkan dan melindungi hak
asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan";
b. Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis";
jika dilihat dari tujuan akhir kedua sistem tersebut pada hakikatnya adalah
sama yaitu sebagai penyaring dari banyaknya peminat di satu sisi sedangkan di
sisi lain terbatasnya "kursi/anggota perwakilan" yang telah ditetapkan dalam
undang-undang; Oleh karena itu, "electoral threshold" merupakan ukuran yang
jelas dan rasional terhadap upaya pendewasaan partai politik dan untuk
melaksanakan pendidikan politik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 huruf a
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang berbunyi:
"Partai politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadiwarga
negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara".
Electoral threshold yang berlaku pada partai politik untuk dapat mengikuti
pemilu berikutnya, juga berfungsi sebagai sarana bagi rakyat pendukung untuk
mengevaluasi seberapa jauh misi dan visi dari Partai Politik tersebut mendapatkan

183
Ibid hal 63-64
184
Ibid hal 64

111
apresiasi dan dukungan dari masyarakat luas. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak menutup hak Partai Politik
untuk mengikuti pemilu berikutnya, tetapi mengatur persyaratan yang harus
dipenuhi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya. Banyak
pakar mengemukakan bahwa sistem multipartai mutlak itu tidak compatible
dengan sistem presidensiil. Maka demi kestabilan politik dan partisipasi penuh
dalam pengambilan keputusan politik dari parlemen, upaya penyederhanaan partai
politik secara bertahap tetap harus dilakukan.

5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi


Dalam pertimbangan hukumnya pada alenea [3.15], Mahkamah Konstitusi
menyatakan pendiriannya bahwa Partai politik menempati posisi strategis dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD
1945.306 Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon, yakni:185

185
Ibid hal 80

112
1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, karena pasal a quo hanya memuat persyaratan objektif bagi
semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti pemilu berikutnya dan
tidak mengurangi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan,
bahkan seharusnya para Pemohon sebagai warga negara Indonesia wajib
menjunjung ketentuan tersebut
2. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya
itu berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara
demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET
yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik
yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-
undangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang
diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
3. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya
itu berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara
demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET
yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik
yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan
undangundangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang
diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);

Lebih lanjut Mahkamah mengemukakan bahwa berdasarkan UU Pemilu memang


partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak
secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus

113
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi
administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7
UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik
dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat
dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum
(legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak
bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan
mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk
mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan
186
ET.
Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian
dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan
demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di
Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde
Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan.Dalil para Pemohon yang
menyatakan keharusan untuk bergabung bagi partai politik yang tidak memenuhi
ET sangat sulit misalnya bagi Partai Bulan Bintang (PBB) yang memperjuangkan
syariat Islam secara demokratis dan konstitusional dan bagi Partai Damai
Sejahtera (PDS) yang aspirasinya Kristiani, menurut Mahkamah hal itu tidak ada
kaitannya dengan konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu. Lagi pula,
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Parpol setiap partai politik harus bersifat
terbuka bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.187

5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik untuk
Mengikuti Pemilu Tahun 2009

5.3.1. Pemohon
Pemohon adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan
Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai

186
Ibid hal 82
187
Ibid hal 83

114
Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia
(PSI), Partai Merdeka.188
Para pemohon mengajukan perkara permohonan Pengujian Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal yang diuji adalah Pasal 316 huruf d, yang berbunyi :
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315
dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan :
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004

5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon


Kepentingan para Pemohon adalah sebagai partai politik yang selanjutnya akan
mengikuti Pemilihan Umum berikutnya pada tahun 2009, sebagai sarana dalam
memperjuangkan aspirasi politik rakyat dalam menempatkan wakil-wakilnya
dalam parlemen.189 Para pemohon adalah partai politik yang pada pemilu 2004
memperoleh suara kurang dari 3%.190
Menurut pemohon, dengan adanya Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008
yang dirumuskan dan ditetapkan secara sewenang-wenang, dan tidak memberikan
pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, sehingga menyebabkan hak
konstitusional para Pemohon secara langsung maupun tidak langsung dirugikan,
sebagai berikut:191
Pasal 316 hurud d UU Nomor 10 Tahun 2008 Bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum, Pasal 28D ayat
(1) sepanjang kalimat “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil”, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
sepanjang kalimat “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang

188
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUU-VI/2008.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%2012%20Parpol
%20Baca%2010%20Juli%202008.pdf hal 1 [2 Juni 2012]
189
Ibid hal 10
190
Ibid ha 11
191
Ibid hal 11

115
diskriminatif itu.192
Menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia adalah negara
hukum”, sebab dalam negara hukum semua warga negara, termasuk pembentuk
undang-undang harus mematuhi hukum, dalam hal ini ketentuan undang-undang
mengenai berlakunya kebijakan electoral threshold yang oleh Mahkamah telah
dinyatakan konstitusional menurut Putusan Nomor 16/PUU-V/ 2007. Selain itu,
dalam negara hukum juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk
adanya perlakuan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara atau
kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah
melanggar ketentuan undang-undang mengenai electoral threshold dan juga
memberi perlakuan yang tidak sama kepada partai-partai yang tidak memenuhi
electoral threshold.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sebab pasal a quo telah tidak memberikan perlindungan dan kepastian
hukum yang adil, serta memberikan perlakuan yang tidak sama kepada Parpol-
parpol yang sebetulnya oleh undang-undang telah dinyatakan tidak memenuhi
electoral threshold, hanya karena alasan diperoleh tidaknya kursi di DPR.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945, Sebab menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah
mendiskriminasi Parpol-parpol yang sama-sama tidak memenuhi electoral
threshold, ada Parpol-parpol yang karena mempunyai wakil di DPR, meskipun
hanya satu kursi, langsung dapat mengikuti Pemilu 2009, sedangkan sebaliknya,
para Pemohon, yakni Parpol-parpol yang tidak mempunyai wakil di DPR, kendati
pun perolehan suaranya lebih banyak dari pada Parpol yang memperoleh satu
kursi di DPR, tidak dapat langsung mengikuti Pemilu 2009.
Menurut pemohon, ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun
2008 telah melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ““persyaratan
untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik
setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui Pemilu”. Frasa “berlaku

192
Ibid hal 17

116
untuk semua partai politik” ternyata tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 316
huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena seharusnya partai-partai politik yang
sama-sama tidak memeuhi ET baik yang mempunyai kursi maupun tidak
mempunyai kursi di DPR harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat
mengikuti Pemilu 2009.193

5.3.3. Penjelasan Pemerintah


Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan dan dalil yang
dikemukakan para Pemohon, karena jikalaupun anggapan para Pemohon benar
adanya, dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul atau terjadi atas
keberlakuan ketentuan a quo tidaklah dapat dipulihkan atau dengan perkataan lain
dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon maka kerugian konstitusional
yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi sangatlah tidak mungkin, karena
sebagai Parpol yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tetap saja harus memenuhi ketentuan
electoral threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 315 UU 10/2008.194
Ketentuan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan pilihan
kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, karena kebijaksanaan yang
demikian adalah merupakan kewenangan pembuat undang-undang itu sendiri
(Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan perkataan lain proses
pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, telah memenuhi prosedur
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.195
Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d tidak
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

193
Ibid hal 50
194
Ibid hal 97
195
Ibid hal 97

117
Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon.

5.3.3. Pendapat DPR


Menurut DPR dalam keterangannya menyatakan bahwa ketentuan Pasal
316 huruf d merupakan ketentuan tambahan dan berupa alternatif serta tidak
mereduksi ketentuan yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003. Pasal 316 huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
adalah pengaturan tambahan terhadap partai politik yang tidak mencapai 3% dari
jumlah kursi DPR dan tidak memilih untuk bergabung untuk dapat mengikuti
Pemilu 2009. Pengaturan tambahan ini adalah gambaran dari kondisi objektif dan
hasil kristalisasi dari berbagai aspirasi yang berkembang dalam pembahasan RUU
tentang Pemilu.196

5.3.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi


Menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya alinea
[3.10], Pasal 316 huruf d UU 10/2008 mencerminkan pembedaan kedudukan dan
perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum
(legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Parpol-parpol Peserta
Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008, maka
anggapan para Pemohon mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 316 huruf d UU
10/2008 tersebut, menurut Mahkamah beralasan dan berdasar hukum. meskipun
sama-sama tidak memenuhi electoral threshold, namun ada Parpol yang hanya
karena memiliki minimal 1 (satu) kursi di DPR dapat dengan sendirinya
mengikuti Pemilu 2009, sedangkan Parpol lainnya yang tidak memiliki kursi di
DPR, meskipun perolehan suaranya dalam Pemilu 2004 lebih banyak dari pada
partai yang memiliki satu kursi di DPR, tidak dapat dengan sendirinya mengikuti
Pemilu 2009.197
Menurut Mahkamah Konstitusi, Ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008
196
Ibid hal 106
197
Ibid hal 118

118
tidak jelas ratio legis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi dari
prinsip electoral threshold ke prinsip parliamentary threshold yang ingin
diwujudkan melalui Pasal 202 UU 10/2008. Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004,
baik yang memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak
memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, sebagaimana
dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU
10/2008. Mahkamah Konstitusi kemudian Menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.198
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 justru
menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold. Perlakuan yang
tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya
memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada
Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi
peserta Pemilu 2009, sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak,
tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk
dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan
verifikasi faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-
undang, in casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang
tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang
memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya
kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut
Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.199

198
Ibid hal 128
199
Ibid hal 128-129

119
5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold.200

5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji


Pemohon adalah 11 partai politik peserta pemilu tahun 2009, 186 Calon
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009 dan 306
Anggota Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Pemohon
mengajukan perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 202
ayat (1) UU 10/2008 yang menyatakan bahwa :
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.”
Ketentuan ambang batas perolehan suara yang dirumuskan dalam Pasal
202 ayat (1) Undang-Undang a quo menurut pemohon bertentangan dengan UUD
1945, karena :201
1. Telah terjadi kesewenang-wenangan (willekeur) oleh pembentuk undang-
undang. Pembentuk Undang-Undang merumuskan pasal tersebut dengan
tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi.
2. Ketentuan ambang batas perolehan suara bertentangan dengan asas pemilu
proporsionalitas, keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih tinggi
sebagaimana tersirat dalam Penjelasan UU 10/2008 Tentang Pemilu.
3. Adanya suara rakyat yang hilang. Hilangnya suara rakyat sama dengan
hilangnya aspirasi pemilih. Hal itu bertentangan dengan jaminan hak asasi
manusia sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi.
Jika ambang batas diberlakukan, maka berdasarkan simulasi Pemilu
legislative 2004 akan terjadi peningkatan suara hangus dari 4,81% (empat
koma delapan puluh satu perseratus) menjadi 16,52% (enam belas koma lima
200
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUU-VII/2009.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sidangPUTUSAN3
-PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012]
201
Ibid hal 63

120
puluh dua perseratus). Hasil ini berdasarkan simulasi Pemilu legislatif 2004,
berkursi 550 dan penghitungan suara hangus hanya berdasarkan pada suara
yang tidak terkonversi menjadi kursi. Ketentuan a quo melanggar prinsip
kedaulatan rakyat, yaitu akan menyebabkan hilangnya jutaan suara pemilih
anggota DPR yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ketentuan PT, yang berarti secara tidak langsung merugikan hak
konstitusional para anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang
bersangkutan sebagai pemilih secara otomatis hangus, yang berarti melanggar
prinsip kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
4. Ketentuan a quo menyebabkan hilangnya kesempatan yang sama bagi warga
negara dalam pemerintahan, karena Calon Anggota Legislatif Partai Politik
yang tidak memenuhi PT meskipun dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil)
suaranya lebih besar daripada Calon Anggota Legislatif Partai Politik yang
memenuhi PT, tidak mendapat kursi DPR, sedangkan yang lebih kecil namun
Partai Politiknya memenuhi PT mendapat kursi. Hal tersebut berarti
bertentangan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
1945.
5. Persyaratan ambang batas perolehan suara menyebabkan partai politik tidak
diikutkan dalam penentuan kursi dan pembagian sisa kursi legislatif,
sehingga bertentangan dengan prinsip representasi dan legitimasi anggota
legislative berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008.

5.4.2. Pendapat Pemerintah


Pemerintah dalam persidangan menerangkan bahwa terkait dengan
threshold, baik itu electoral threshold, political parties threshold, maupun local
leaders threshold, Pemerintah sependapat dengan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi, sebagai berikut: 1) Putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-V/2007 terkait
dengan persentase electoral threshold 3% bagi Parpol oleh Mahkamah Konstitusi
dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 2). Putusan Mahkamah Nomor

121
020/PUU-I/2003 terkait dengan persentase political parties threshold
(kepengurusan 50% di provinsi, 50% dari kabupaten/kota dan 25% kecamatan)
oleh Mahkamah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 3).202
Menurut Pemerintah pengaturan dalarn pasal-pasal yang diuji dalam
perkara a quo adalah pengaturan yang didelegasikan oleh UUD 1945, dibuat
dengan memperhatikan dan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, merupakan pilihan
kebijakan (legal policy) pembentuk Undang-Undang guna mengatur Pemilu
legislatif Tahun 2009, dan tidak bersifat diskriminatif, selengkapnya diuraikan
sebagai berikut:203
a. Delegasi pada Undang-Undang Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 berbunyi,
"ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang". Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUUV/2007, menjelaskan
bahwa makna ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
Undang-Undang dalam Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 adalah pembentuk
Undang-Undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
b. Pembatasan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
berbunyi, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis” Pasal-pasal yang diuji dalam
perkara a quo adalah pembatasan atau pengaturan terkait dengan prosedur dan
mekanisme Pemilu serta ditetapkan pula dengan Undang-Undang, bukan
dengan peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden. Pengaturan atau
pembatasan demikian dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, yang menyatakan pembatasan-
pembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan hak-
hak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 283 ayat
202
Ibid hal 106-107
203
Ibid hal 107-108

122
(2) UUD 1945.
c. Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo
seharusnya tidak diajukan pengujian oleh para Pemohon karena ketentuan a
quo merupakan pilihan kebijakan (legal policy) bagi pembentuk Undang-
Undang (DPR bersama Presiden) guna mengatur Pemilu legislatif. Pemerintah
sependapat dengan Mahkamah dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 yang
menegaskan bahwa pilihan kebijakan (legal policy) demikian tidak dapat
dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Pembatasan dengan Undang-Undang
dibolehkan sepanjang tidak bersifat diskriminatif. Berkaitan dengan
pengertian diskriminasi, Mahkamah dalam Putusan Nomor 06/PUU-III/2005,
menyatakan bahwa pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27
ayat (1) dan 28D ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dijabarkan lebih jauh
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yakni setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak Iangsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya dan aspek kehidupan lainnya. Dengan demikian, pembatasan yang
diatur dalam pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo tidak dapat diartikan
sebagai ketentuan yang bersifat diskriminatif, tidak pula diartikan sebagai
pelanggaran terhadap persamaan kedudukan dan kesempatan yang sama bagi
warga negara dalam pemerintahan yang memang dijamin konstitusi.
Ketentuan dalam pasal- pasal tersebut hanya mengatur mekanisme mengenai
penentuan perolehan kursi DPR.

5.4.3. Pendapat DPR


Menurut DPR, ketentuan ambang batas yang tercantum dalam Pasal 202
ayat (1) UU 10/2008, untuk mudahnya disebut parliamentary threshold (PT)

123
adalah pilihan kebijakan untuk memperkuat sistem presidensiil dan membangun
sistem kepartaian yang sederhana. Pilihan kebijakan PT ini untuk menggantikan
pilihan kebijakan sebelumnya, yaitu electoral threshold (ET) yang dianut dalam
Undang-Undang Pemilu sebelumnya yang ternyata tidak mampu memperkuat
sistem presidensiil dan menciptakan sistem kepartaian sederhana. Sebagai pilihan
kebijakan, kebijakan mengenai PT tidak diskriminatif, karena berlaku untuk
seluruh partai politik peserta Pemilu dan tidak memakai istilah partai politik besar
atau partai politik kecil sebelum Pemilu berlangsung, semuanya diserahkan
kepada rakyat pemilih. Kebijakan PT justru menguntungkan partai politik Peserta
Pemilu karena telah dijamin untuk dapat ikut Pemilu berikutnya tanpa harus
bergabung atau membentuk partai politik baru sebagaimana ketentuan dalam
kebijakan ET.204

5.4.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 202 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dalam pertimbangan hukumya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa,
Pasal 22E UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi rambu-rambu
Konstitusi mengenai Pemilu adalah : a) Pemilu dilakukan secara periodik setiap
lima tahun sekali; b) dianutnya asas Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil; c) tujuan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD,
DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; d) peserta Pemilu untuk memilih anggota
DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta Pemilu untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan; dan e) penyelenggara Pemilu adalah suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dengan
demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan dengan Pemilu, misalnya tentang
sistem Pemilu, Daerah Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan

204
Ibid hal 105

124
sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang
untuk mengaturnya dalam Undang-Undang secara bebas sebagai kebijakan hukum
(legal policy) pembentuk Undang-Undang. 205
Lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy
bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini
diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena
pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-
Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-
pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya
angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang
untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak
bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan
demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang
diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena
ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara
untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara
rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun
di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-
Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi
pelaksanaan hak-hak politik rakyat.206

205
Ibid hal 127
206
Ibid hal 131

125
5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap
Diakui Sebagai Badan Hukum.207

5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji


Pemohon adalah 14 partai politik yang terdiri dari Partai Persatuan Daerah
(PPD); Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI);
Partai Patriot, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia),
Partai Pelopor, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Perjuangan
Indonesia Baru, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Karya Peduli
Bangsa (PKPB), Partai Merdeka, Partai Indonesia Sejahtera (PIS). 208 Pemohon
melakukan pengujian terhadap Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2008 Tentang Partai Politik.
Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa :

Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya
dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan
mengikuti verifikasi.

5.5.2. Alasan/Kerugian Pemohon


Pemohon mendalilkan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 bertentangan dengan
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon
pada pokoknya mendalilkan dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal
51 ayat (1) UU 2/2011, sebagai partai politik yang telah memiliki kedudukan
badan hukum karena telah memenuhi prosedur pendirian partai politik
sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Undang-Undang yang berlaku
sebelumnya, telah dirugikan hak konstitusionalnya. Kerugian konstitusional
tersebut disebabkan oleh adanya ketentuan baru yang mewajibkan kepada para
Pemohon untuk mengikuti verifikasi dalam tenggang waktu selambat-lambatnya
dua setengah tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum 2014.

207
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 15/PUU-
IX/2011. www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012]
208
Ibi hal 2

126
Menurut para Pemohon proses verifikasi sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 menimbulkan akibat bahwa meskipun para Pemohon
telah sah sebagai badan hukum apabila tidak lolos dalam proses verifikasi maka
sebagai akibat hukumnya tidak memiliki hak konstitusional sebagai peserta
pemilihan umum. Bahwa menurut para Pemohon adanya frasa “tetap diakui
keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-
Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah frasa yang tidak jelas maksudnya
sehingga dapat merugikan para Pemohon.
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol di atas membatasi kiprah dari para
Pemohon sebagai partai yang sah dan berbadan hukum, masih saja diwajibkan
untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang yang baru dengan cara akan
dilakukan verifikasi ulang setelah selesai verifikasi ulang dalam batas waktu yang
telah ditentukan, barulah para Pemohon sebagai partai yang sudah berbadan
hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku, akan diberikan legalitas kembali
sebagai partai yang berbadan hukum.209
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, sepanjang menyangkut frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian
menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.210

5.5.3. Pendapat Pemerintah


Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 diletakkan dalam Bab 20 tentang
Ketentuan Peralihan yang memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-
undangan yang sudah ada, pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai
berlaku. Dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat
berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Pada saat suatu
peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan
hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat,
maupun sesudah peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku, tunduk

209
Ibid hal 9
210
Ibid hal 11

127
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. 211
Karena itu, menurut pemerintah, keberadaan ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UU 2/2011, justru dibuat agar menjamin kepastian hukum tentang keberadaan
seluruh partai politik yang telah berbadan hukum yang tetap diakui keberadaannya
dengan kewajiban untuk melakukan penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh
undangundan a quo.212 Lebih lanjut menurut pemerintah, jika tidak terdapat
ketentuan a quo maka kehendak mewujudkan multipartai sederhana di Indonesia
sebagaimana diinginkan oleh pembentuk undang-undang, yang juga telah sejalan
dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yang terkait dengan electoral
threshold maupun parliamentary threshold niscaya akan sulit dapat diwujudkan
pemerintah, ketentuan a quo tidak dalam rangka mengurangi atau menghalang-
halangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau
melanjutkan keberadaan partai politik yang telah berbadan hukum tersebut,
sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Juga, ketentuan tersebut merupakan
perwujudan perlakuan yang sama dan setara (equal treatment) baik terhadap
partai politik lama yang telah berbadan hukum maupun terhadap partai politik
baru yang belum berbadan hukum.213

5.5.4. Pendapat DPR


Ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah
ketentuan peralihan. Terkait dengan hal tersebut, DPR berpandangan bahwa
ketentuan peralihan dari sisi peraturan perundang-undangan merupakan
penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku. Tujuannnya untuk mengisi
kekosongan hukum agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan
lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.214
Demikian halnya mengenai Partai Politik, dengan adanya perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
211
Ibid hal 26
212
Ibid hal 26-27
213
Ibid hal 27
214
Ibid hal 38

128
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik perlu diatur mengenai keberadaan
Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008. Karena itu, menurut DPR keberadaan Pasal 51
ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 justru dibuat agar menjamin adanya suatu
kepastian hukum tentang keberadaan seluruh Partai Politik yang telah berbadan
hukum yang tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban untuk melakukan
penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang a quo.
DPR berpandangan salah satu bentuk penyesuaian adalah adanya kewajiban
terhadap seluruh partai politik yang berbadan hukum (saat ini berjumlah 74 partai
politik) untuk melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM.
Sehingga menurut DPR adalah konsekuensi logis karena telah terjadinya
perubahan hukum yang mengamanatkan seluruh partai politik yang berbadan
hukum wajib melakukan penyesuaian sebgaimana ditentukan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011. Selanjutnya menurut DPR, jika tidak terdapat ketentuan a
quo, maka untuk mewujudkan multy party sederhana di Indonesia sebagaimana
diinginkan oleh pembentuk undang-undang.215

5.5.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi


Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 51 ayat
(1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan
status badan hukum partai politik, baik oleh UU 2/2008 maupun UU 10/2008,
telah tepat dan benar. Oleh karena partai politik masih tetap diakui berstatus badan
hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap mendapat perlindungan
konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945.216 Mahkamah sependapat dengan para Pemohon bahwa adanya frasa
”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian terhadap
215
Ibid hal 38
216
Ibid hal 48

129
undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” yang terdapat dalam Pasal 51
ayat (1) UU 2/2011 adalah tidak jelas maksudnya. Dengan adanya kata
”keberadaannya” dalam Pasal a quo menimbulkan pertanyaan apakah hal ini
menyangkut eksistensi partai politik sebagai badan hukum. Frasa ”kewajiban
mengikuti verifikasi” mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi para Pemohon
sebagai partai politik yang berbadan hukum, yaitu apakah hasil verifikasi dapat
secara langsung mempengaruhi eksistensi partai politik dalam hal ini para
Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para Pemohon akan kehilangan status
badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi. Mahkamah berpendapat bahwa hal
yang demikian akan melanggar kepastian hukum terhadap para Pemohon yang
oleh Undang-Undang sebelumnya telah dijamin keberadaannya sebagai partai
politik yang berbadan hukum.217
Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara
pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat
yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti
pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR.218
Tata cara pembentukan atau pendirian partai politik adalah tata cara yang harus
dilakukan oleh warga negara yang akan mendirikan partai politik, sehingga partai
politik yang didirikan tersebut mendapatkan status badan hukum. Adapun syarat-
syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum adalah syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri agar partai politik yang telah
berbadan hukum tersebut dapat menjadi peserta pemilu untuk dapat menempatkan
wakilnya di dalam lembaga perwakilan yang harus diraih melalui pemilihan
umum. Mengenai ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR juga diatur
dalam Undang-Undang tersendiri yang antara lain mengatur tentang susunan
organisasi, keanggotaan, tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, dan
sebagainya. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal
51 ayat (1) UU 2/2011 mencampuradukkan ketiga hal tersebut.

217
Ibid hal 49
218
Ibid hal 49

130
5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik.219

5.6.1. Pemohon dan Perkara Pengujian

pasal dalam UU 2/2011 yang akan diuji adalah sebagai berikut:


Pasal 2 ayat (1) UU 2/2011 berbunyi, "Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh
paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia
21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi".

Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 berbunyi, "Untuk menjadi badan hukum
sebagaimana imaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: c.
kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan
paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada
kabupaten/kota yang bersangkutan".

5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon


Ketentuan tersebut telah mempersulit Pendirian Pembentukan Partai
Politik Baru Yang dimaksudkan "mempersulit" tersebut dikarenakan persyaratan
sukar dipenuhi, berbiaya tinggi, dan waktu yang tersedia untuk menghadapi
verifikasi sangat singkat. Akibatnya dengan persyaratan-persyaratan yang berat
tersebut mengakibatkan tidak semua orang dapat melaksanakan "haknya untuk
berserikat" (Pasal 28 UUD 1945) dan hak bahwa "Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya" [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945].
UU Sengaja Mempersulit demi Penyederhanaan Sistem Kepartaian.220
Para Pemohon berpendapat bahwa setiap partai politik di dalam suatu
sistem yang demokratis dengan sendirinya berkehendak untuk mengikuti
pemilihan umum. Para Pemohon memandang bahwa tindakan itu bukan saja
219
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-
IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX-
2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]
220
Ibid hal 6-7

131
melawan Pasal 28 UUD 1945 melainkan juga para pembuat seolah-olah hendak
membekukan masyarakat sehingga pada akhirnya partisipasi politik masyarakat
hanya bisa diwakili oleh mereka sendiri (monopoly by law). Membiarkan hal ini
berarti menjadikan partai-partai politik yang ada sekarang, khususnya partai-partai
politik besar, sebagai partai kartel yang akan terus menerus menguasai negara
ini.221
Kondisi kemajemukan Indonesia tampaknya tidak memungkinkan
mewujudkan sistem dwi-partai. Dalam keadaan demikian, maka opsi lain adalah
sebenarnya bentuk presidensialisme itu yang harus diubah; Sungguh pun begitu,
perlu disadari bahwa betapa pun pentingnya tuntutan penyederhanaan sistem
kepartaian tersebut, prinsip ini dalam skala nilai harus tetapditempatkan di bawah
dan bukan di atas kebebasan berserikat yang merupakan hak yangmelekat pada
warga negara. Dengan kata lain, penyederhanaan sistem kepartaian tidak boleh
melumpuhkan kebebasan berserikat (Pasal 28 UUD 1945).
Undang-Undang telah keliru Menerapkan Konsep "bersifat nasional" yang
hanya memaknainya secara geografis sehingga mengharuskan
adanyakepengurusan partai politik di setiap provinsi, di sejumlah kabupaten/kota
dan kecamatan.Padahal, "bersifat nasional" tidak bisa melulu hanya dimaknai
sebagai sebaran geografis diseluruh wilayah negara, tetapi juga bisa dimaknai
sebagai "wilayah kerja" yangdimaksudkan tanpa harus berada di suatu wilayah
tetapi kegiatan dan hasil kerjanyaterasa pengaruhnya sampai di wlayah tersebut.222

5.6.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi


Mahkamah berpendapat bahwa syarat pendirian dan pembentukan partai
politik yaitu didirikan paling sedikit 30 orang dari setiap provinsi merupakan
pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Apabila
dasar yang dijadikan perbandingan para Pemohon untuk menilai berat atau
tidaknya dalam pendirian partai politik baru tersebut menggunakan Undang-
Undang Partai Politik yang lama in casu UU 2/2008, maka terlihat persyaratan
pembentukan partai politik baru memang berat, namun menurut Mahkamah,
221
Ibid hal 10
222
Ibid hal 20-21

132
untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan
dengan Undang-Undang Partai Politik yang lama, melainkan juga harus
mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Karena
persyaratan pendirian partai politik baru tersebut menggunakan pertimbangan
bertambahnya penduduk, maka menjadi wajar jika disyaratkan bahwa pendirian
partai politik baru oleh paling sedikit 30 orang pendiri di setiap provinsi. Hal
demikian merupakan jumlah yang relatif sedikit dan sederhana atau setidak-
tidaknya mudah untuk dipenuhi oleh partai politik baru tersebut. Selain itu,
sebagai negative legislator pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat
membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga
apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan
terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu,
setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi
perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut
dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;223
Para Pemohon mendalilkan Undang-Undang a quo telah mempersulit
partai politik untuk menjadi badan hukum, Selain itu, menurut para Pemohon
Undang-Undang a quo telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi
badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu.
Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan
pembentukan partai politik bagi warga negara, padahal hak untuk berserikat dan
berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin
oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon
tersebut, menurut Mahkamah, partai politik merupakan organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas
dasar persamaan kehendak dan cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan
anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Untuk dapat
mengikuti pemilihan umum, partai politik tersebut harus berbadan hukum yang

223
Ibid hal 20-21

133
didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.224
Apabila dicermati Undang-Undang Partai Politik yang berlaku sejak
reformasi, pengaturan syarat partai politik untuk dapat menjadi badan hukum
selalu berbeda antara Undang- Undang yang satu dengan Undang-Undang yang
lainnya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU 2/2008, serta pada n UU 2/2011. 225
Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari
pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat
objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan
sistem multipartai di Indonesia. Kebijakan yang demikian itu, tergambar dalam
penjelasan umum UU 2/2011 yang menyatakan:
“Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk
mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil
yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua
hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang
terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung
prinsipprinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan
perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan
yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan
politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai
Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui
pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk
menghasilkan kader- kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang
politik. Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling
tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya
sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai
yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya
kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong
penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat”.

224
Ibid hal 22
225
Ibid hal 22

134
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 tidak
bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Jika pun pasala quo menetukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai
politik baru, haltersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah
masyarakat karenatujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta
dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk: (i) pendidikan politik bagi anggotanya
dan masyarakat luas agarmenjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar
akan hak dan kewajibannyadalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; (ii) penciptaan iklim yangkondusif serta sebagai perekat persatuan dan
kesatuan bangsa untuk menyejahterakanmasyarakat; (iii) penyerap, penghimpun,
dan penyalur aspirasi politik masyarakatsecara konstitusional dalam merumuskan
dan menetapkan kebijakan negara; (iv)wahana partisipasi politik warga negara;
dan (v) rekrutmen politik dalam prosespengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikankesetaraan dan keadilan gender;226

5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta
Pemilu (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012)227

5.7.1. Pemohon dan Perkara Pengujian


Pemohon adalah 17 partai politik yaitu Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nasional
(PPN), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK
Indonesia), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Sarikat Indonesia (PSI),
Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Kesatuan Demokrasi
Indonesia (PKDI), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Damai
Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Republika
Nusantara, Partai Pemuda Indonesia (PPI), mendalilkan sebagai badan hukum
226
Ibid hal 25
227
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-
X/2012. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PUU%202012-
TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012]

135
publik (partai politik) yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu :
Pasal 8 ayat (1)
Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya;
sepanjang frasa,
“yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara
nasional”;
Pasal 8 ayat (2)
Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah
memenuhi persyaratan
sepanjang frasa,
“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau”;
Pasal 208 yang menyatakan,
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa,
“DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”;
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).

136
5.7.2. Alasan Kerugian Pemohon
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang
frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada
Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal
208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“
UU Pemilu jelas akan merugikan setidak-tidaknya potensial merugikan para
Pemohon. Hal ini karena mengatur ketentuan yang sangat tidak adil dan bersifat
diskriminatif yang diberlakukan kepada para Pemohon sebagai partai politik
peserta pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau
parliamentary threshold/PT) dalam kepesertaan Pemilu pada Pemilu berikutnya
(2014), melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Sebaliknya, sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif hanya
menetapkan partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009)
yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional secara otomatis
ditetapkan sebagai peserta Pemilu berikutnya (2014) dengan tanpa harus melalui
persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Para
Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat
tidak adil dan bersifat diskriminatif, suatu perlakuan yang jelas-jelas bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.228
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang
batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2)
sepanjang frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara pada Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu jelas menimbulkan
ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainty) bagi para Pemohon.
Sebab, para Pemohon dari sebelumnya sudah mendapatkan jaminan untuk
menjadi peserta pemilu berikutnya (Pemilu 2014) sebagaimana ketentuan Pasal
ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008. Namun

228
Ibid hal 18

137
demikian, karena sebagai akibat adanya perubahan atau penggantian menjadi
ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Tahun 2012, maka para
Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil (fair legal uncertainty)
dalam kepesertaan pemilu berikutnya (Pemilu 2014). 229
Menyimak ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, dapat diperoleh
penjelasan yang tegas bahwa pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih
anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD
provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut membedakan
secara jelas sasaran penggunaan hak pilih, dan sekaligus penegasan terhadap
pemberian hak suara dilakukan dengan tingkat representasi yang berbeda. Sebagai
salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, suara yang ditujukan ke dalam
kotak suara tertentu, tidak boleh menegasikan dan mereduksi makna pemberian
suara ke kotak suara yang lain. Hal ini berarti masing-masing kotak sebagai
representasi hak suara sebagai hak asasi untuk memilih, memiliki nilai
keterwakilan masing-masing, sehingga tidak mungkin karena tidak mencapai pada
ambang batas tertentu pada kota tertentu menghilangkan representasi pada kotak
yang lain. Tegasnya, representasi keterwakilan pada anggota DPR tidak dapat
mereduksi representasi keterwakilan pada DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 208 UU Pemilu 2012 jelas menciderai asas
demokrasi yang dibangun oleh Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD
1945. Selain itu, ketentuan Pasal 208 UU Pemilu 2012 berpotensi mereduksi
kebhinekaan pilihan pemilih, dan sangat potensial membunuh hak rakyat dalam
menentukan representasi mereka di lembaga legislatif pada setiap tingkatan yang
berbeda. Hal itu sekaligus bermakna bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen
secara nasional menjadi mesin pembunuh masal kebhinekaan berpolitik
sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Dengan hilangnya kebhinekaan
berpolitik, menjadi ancaman serius dan sangat mungkin partai politik yang secara
tradisional hanya memiliki basis dukungan di daerah tertentu, tetapi karena tidak
mencapai ambang batas parlemen secara nasional, secara otomatis suara

229
Ibid hal 31

138
pemilihnya akan hilang sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.230

5.7.3. Pendapat Pemerintah


Persoalan besaran nilai ambang batas mengikuti pemilu (electoral
threshold/ET) maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT)
merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. PT merupakan tingkat
minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan
perwakilan kursi di DPR. Berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT
pada Pemilu terakhir dijadikan sebagai ET untuk Pemilu tahun berikutnya. 231
Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memberlakukan PT tahun 2009 sebagai
ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD, Pemerintah berpendapat bahwa peserta pemilu DPR dan
DPRD Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 membolehkan perlakuan khusus dimaksud.
Hal ini berarti, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak perlu diverifikasi
lagi.
Ketentuan pasal a quo dapat menimpa semua partai politik jika yang bersangkutan
tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang. Sebab hasil sebuah
pemilu dimana partai politik memperoleh sejumlah suara yang kemudian dapat
dikonversi menjadi kursi, merupakan indikasi atau parameter utama apakah partai
politik tersebut mendapatkan dukungan rakyat secara signifikan atau tidak. Pemilu
adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut. Oleh karena itu, ketentuan
persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk diskriminatif penyempurnaan
sistem kepartaian mutlak dilakukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah
yang efektif dan produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila
penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim pemerintahan
yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung jawab, dan transparan, sehingga
bangsa Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa
230
Ibid hal 42
231
Ibid hal 63

139
yang besar, damai, dan bermartabat.232
Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas
program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Fakta yang terjadi
sebelumnya sering kali program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak sejalan
dengan kebijakan yang ada di daerah. Hal ini disebabkan masing-masing
keterwakilan partai politik di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya
dikarenakan dalam Pemilu Tahun 2009, partai politik yang terwakili di DPR
belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. Hal ini
sangat memengaruhi sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah,
233
sehingga penyelenggaraan Pemerintah kurang efektif.

5.7.4. Pendapat DPR


sebagai sebuah upaya menciptakan sistem presidensiil yang efektif dan
efisien dengan beberapa asas yang harus kita penuhi, maka diatur beberapa
ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya yang diatur
dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Untuk diketahui bahwa asas-asas sistem
presidensiil yang dikemukakan Lijphart adalah sebagai berikut:234
1. stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden yang tertentu
(fixed term);
2. pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dianggap lebih legitimate; dan
3. pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasisehingga terjadi
perlindungan individu atas tirani pemerintah.
Pembentuk Undang-Undang berupaya untuk mendekatkan agar sistem
presidensiil berlangsung di Indonesia secara lebih baik. Hal itu tercermin dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (2) bahwa partai politik yang hendak mengikuti pemilu
harus memenuhi sejumlah persyaratan. Disadari bahwa terdapat frasa “... yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau
partai politik baru” yang sebenarnya merupakan sebuah mekanisme reward and
punishment bagi setiap partai politik yang akan ikut Pemilu. Disadari pula bahwa
232
Ibid hal 64
233
Ibid hal 64-65
234
Ibid hal 72

140
threshold bukan satu-satunya cara untuk menyederhanakan partai politik, namun
threshold juga harus diakui sebagai salah satu cara yang paling banyak digunakan
di berbagai negara untuk membatasi jumlah partai politik yang dapat duduk di
parlemen dan dalam UU Nomor 8 tahun 2012 merupakan salah satu persyaratan
bagi partai politik untuk mengikuti pemilu berikutnya yang tercermin dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2012. Penentuan threshold
merupakan sebuah electoral system engineering guna menciptakan sebuah sistem
Pemilu yang lebih berkualitas. DPR, sebagai lembaga pembentuk undang-undang
memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan itu (open legal policy) yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Patut disadari oleh semua parpol bahwa
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bukan merupakan ketentuan
diskriminatif tapi justru merupakan persyaratan berat sebuah Parpol untuk bisa
ikut serta pada Pemilu berikutnya dan ketentuan tersebut berlaku bagi semua
Parpol. Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT jika tidak
mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah parpol tidak cukup hanya
dengan modal loloas syarat administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat
pengakuan dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam
syarat lolos PT. 235
Terkait dengan keberatan para Pemohon dengan diberlakukannya
ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) tersebut dianggap merugikan dan bersifat
diskriminatif, dan akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan perlakuan
yang tidak sama dalam hukum bagi semua partai politik sehingga para Pemohon
akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya dalam hal memajukan diri dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, dapat
dijelaskan bahwa sebenarnya ketentuan Pasal a quo berlaku untuk semua partai
politik jika yang bersangkutan tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan
datang. Sebab, hasil sebuah pemilu di mana partai politik memperoleh sejumlah
suara yang kemudian dapat dikonversi menjadi kursi merupakan indikasi atau
parameter utama apakah partai politik tersebut mendapat dukungan rakyat secara
signifikan atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut.

235
Ibid hal 72

141
Oleh karena itu ketentuan persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk
diskriminatif.236

5.7.5. Pertimbangan Hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi


Menurut Mahkamah semua partai politik yang didirikan di Indonesia
dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakilnya di
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya jumlah
kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang dapat
menempatkan wakil-wakilnya. Keadaan tersebut pada akhirnya menjadikan
keragaman aspirasi, yang berbanding lurus dengan jumlah partai politik, tidak
dapat terwakili seluruhnya, karena faktanya hanya ada beberapa partai politik saja
yang dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan tersebut. Dengan
demikian, hal yang harus diperhatikan adalah kecilnya dukungan pemilih kepada
partai politik tertentu berkemungkinan menghalangi keterwakilan pemilih yang
bersangkutan di DPR maupun di DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
menurut Mahkamah, politik hukum berkenaan dengan pembatasan partai politik
adalah suatu kewajaran karena banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara
efektif mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak
dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan adalah wajar bila partai
politik yang bersangkutan harus menggabungkan diri dengan partai lain yang
sepandangan/sejalan dengannya.237
Dalam membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan mengikuti
pemilihan umum, pembentuk undang-undang tidak melakukan pembatasan
dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan,
antara lain dengan menentukan syarat-syarat administratif sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta
Pemilu yang akan mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari
maksud pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga
negara untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa semua
warga negara memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau bergabung dengan
236
Ibid hal 73
237
Ibid hal 87-88

142
partai politik tertentu, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pengertian yang
demikian, menurut Mahkamah, tindakan pembentuk undang-undang yang
membatasi jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut
jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh
pembentuk undang-undang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah.238
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Mahkamah
menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti
pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan
partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai
politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut
Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan
penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan
dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary
threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus
dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8
ayat (1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus
memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum
[vide Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012].239
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak
memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk
238
Ibid hal 88
239
Ibid hal 88-89

143
menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi
sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009,
sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009
telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya
diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai
politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi
persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun
2009. Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak memenuhi prinsip
keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang
mengikuti suatu kontestasi yang sama. 240
Dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun
2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau
kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum
Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008
berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang
menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian,
meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang
terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah
ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU
8/2012. Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012.
Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan
dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya.241

Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012


Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik menjadi
peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa syarat yang
harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif
240
Ibid hal 89
241
Ibid hal 90

144
tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif
tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai
politiktahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun
2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos
menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi
untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai
politik baru, sementara partaipolitik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti
verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan
sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1
angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah
ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan
anggotanya di DPR Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk Undang-
Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun
penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang
berlainan kepada masing-masing partai politik. Memberlakukan syarat yang
berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan
perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment)
yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik
harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau
pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014.
Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan
adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti
verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-
undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi
peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus
diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum
Tahun 2014 tanpa kecuali.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 Penjelasannya
bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian,

145
dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan
dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi
politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang
tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR,
namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai
politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya
kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah
tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara
nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal
demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD
bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan
suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi
anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya.
Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan
Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan
aspirasi politik yang beragam di setiap daerah;
Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara
bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai
politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang
memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat
menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik
peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga
maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal
3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu
partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik
yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi
yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang
menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak
tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik
yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;

146
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah,
permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian,
ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat
hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD
provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota;

5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik


Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik adalah dasar hukum
operasional partai politik yang ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang
tentang partai politik, undang-undang tentang pendanaan partai politik, Undang-
undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang kampanye dan juga
peraturan administrasi, penetapan-penetapan dan putusan pengadilan. Konstitusi
memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang partai politik,
karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi aturan politik
melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan kekuasaan. Melalui
konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format kelembagaan negara. 242
Undang-undang yang mengatur tentang partai politik spesifik mengatur tentang
internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang partai dalam undang-
undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang mengatur partai politik
dalam berbagai bentuk instrumen hukum.243
Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan
detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai244:
Political parties participate in the formation of the political will of the people.
They may be freely established. Their internal organization must conform to
democratic principles. They must publicly account for their assets and for the
sources and the use of their funds.
Partai politik memiliki kedudukan yang penting dalam struktur ketatanegaraan

242
Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and
breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17.
2012 hal 2
243
Ibid hal 2
244
Kenneth Janda. Op cit hal 14

147
Indonesia Pasca Reformasi, sehingga Undang-Undang yang mengatur tentang Parta
Politik tidaklah boleh bertentangan dengan hak-hak konstitusional yang telah diberikan
UUD 1945 kepada Partai Politik.
Kedudukan partai politik setidaknya diatur dalam beberapa pasal dalam UUD
1945 yaitu :
Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa :
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa :
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dari beberapa putusan perkara pengujian Undang-Undang yang mengatur
tentang kebijakan penyederhanaan partai politik, beberapa kebijakan dinyatakan
konstitusional, namun demikian terdapat pula kebijakan yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi inkonstitusional dan juga konstitusional bersyarat.
Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi seperti yang telah
diuraikan pada Bab V, dapat dianalisa bahwa kebijakan penyederhanaan partai
politik merupakan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945 dikarenakan
Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan pelaksanaan dari Pasal 28
UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-
Undang.

148
5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang tentang Partai Politik
merupakan Pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Perkara
Nomor PUU-20/PUU-I/2003, substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor
31 Tahun 2002 yang mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen
Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal
23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang
partai politik, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna
menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak
mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan
bukan bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan
pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai
politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum.245
Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan
mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk
undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai
politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-
syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak
dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan mengikuti
pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud pembentuk undang-undang
dalam mengakomodasi kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul,
sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama
untuk mendirikan atau bergabung dengan partai politik tertentu, tentunya setelah
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah, tindakan
pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta
pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah

245
Putusan PUU-20/PUU-I/2003. hal 35-36

149
pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena
pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan
ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihannya secara alamiah.246

5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Legal Policy


Pembentuk Undang-Undang
Pada putusan perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
Nomor 16/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukumnya [3.15], Mahkamah
mengemukakan bahwa Partai memang politik menempati posisi strategis dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.247
Berdasarkan ketentuan berbagai Undang-Undang Partai Politik yang pernah
berlaku tersebut, tampak bahwa UU 2/1999 tidak memasukkan adanya
kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan)
sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU
31/2002, UU 2/2008, dan UU 2/2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan
partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu
246
52 PUU 2012. Hal 88
247
16/PUU-V/2007 hal 80

150
syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu
membedakan jumlah kepengurusan di daerah. Menurut Mahkamah, hal tersebut
merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di
bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya
alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di
Indonesia.248

5.9. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik


Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan, meskipun menyatakan
bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik tidak bertentangan dengan UUD
1945, tidaklah serta merta setiap kebijakan bersifat konstitusional, ada persyaratan
dan batasan yang dinyatakan oleh Mahakamh Konstitusi yaitu prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi oleh kebijakan tersebut yaitu : prinsip demokratis, Rasional
dan Non Diskriminatif.
A. Demokratis
Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah,
kebijakan tentang PT yang terkandung dalam pasal a quo didasarkan atas
Undang-Undang, in casu UU 10/2008, yang dibuat secara demokratis oleh DPR
dan Pemerintah, serta tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan tetap
menjamin hak hidup Parpol Peserta Pemilu serta kesempatan yang sama untuk
mengikuti Pemilu berikutnya.249

B. Konstitusional
Partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi,
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
248
35/PUU-IX/2011. hal 24
249
3/PUU-VII/2009. hal 128

151
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945;250

C. Tidak Bersifat Diskriminatif


Substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 yang
mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat
(2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d
yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang partai politik tidak
dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua partai politik.251
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu
berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis
melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi
syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang bersangkutan
dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya.252
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008
menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [Pasal 9 ayat (1)
UU 12/2003 juncto Pasal 315 UU 10/2008]. Perlakuan yang tidak adil tersebut
ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu
kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang
250
16/PUU-V/2007
251
PUU-20/PUU-I/2003 hal 35-36
252
Putusan 16/PUU-V/2007 hal 81-82

152
tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta
Pemilu 2009; sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi
tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat
mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi
faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-undang, in
casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang tidak sama
kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang memiliki
wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya
kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut
Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945.253
Menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama
sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan
setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang
sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya
memang
ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang
bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap sama,254
Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 bersifat diskriminatif dan tidak rasional, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.” Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat
(1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang
diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua Parpol Peserta
Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu,
tanpa kecuali, juga tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin,
status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 39
253
12/PUU-VI/2008 Hal 128-129
254
3/PUU-VII/2009. hal 129

153
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR).255

255
3/PUU-VII/2009. hal 129

154
BAB VI
PENUTUP

6.1. Simpulan
1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia
bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai
salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan
presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai
organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan
menguatkan kelembagaan partai. Kebijakan penyederhanaan partai
politik diatur dalam Undang-Undang tentang Partai Politik dan
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Perwujudan kebijakan
penyederhanaan partai politik dalam Undang-Undang tentang Partai
Politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan
dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, sedangkan dalam
Undang-Undang Pemilu Kebijakan Penyederhanaan partai politik
diwujudkan dalam persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta
persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi
partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga
persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold)
sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR. Pada
prakteknya, persyaratan-persyaratan sebagai wujud kebijaksanaan
penyederhanaan partai politik, semakin diperberat seiring dengan
perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik dan Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum Pasca Reformasi. Partai politik yang telah
berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi peserta
pemilihan umum. Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti pemilu
meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap, jumlah minimum
anggota dan persyaratan ambang batas perolehan Kursi (electoral
threshold) di DPR. Namun ketentuan mengenai electoral threshold
dihilangkan dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan

155
ini kemudian diganti dengan ketentuan mengenai Parliamentary
Threshold. Yaitu ambang perolehan suara nasional untuk diikutkan
dalam perhitungan perolehan kursi di DPR.
2. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai
politik adalah 1) Partai Politik tidak mendapat status badan hukum
apabila tidak memenuhi syarat pendirian dan pendaftaran sebagai
badan hukum, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu
apabila tidak memenuhi syarat untuk dapat menjadi peserta pemilu dan
3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR, apabila tidak
memenuihi ketentuan ambang batas perolehan suara (parliamentary
threshold). Semakin diperberatnya persyaratan pendirian dan
pendaftaran partai politik berakibat hukum berkurangnya partai politik
yang dapat memperoleh status badan hukum dan berkurangnya partai
politik menjadi peserta pemilu. Pada tahun 2008, memang terjadi
kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU untuk menjadi peserta
pemilu, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan kebijakan yang
semula menggunakan Elecotral Threshold menjadi Parliamentary
Threshold (PT). Diberlakukannya kebijakan PT menyebakan
berkurangnya parpol yang lolos ke DPR. Kebijakan Penyederhanaan
Partai Politik belum optimal membentuk sistem multipartai sederhana.
Meskipun jumlah partai peserta pemilu menurun karena kebijakan
persyaratan mendirikan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu
dan juga elektoral threshold, namun jumlah efektif partai di DPR
meningkat dari 4 sampai 5 partai di tahun 1999 menjadi lebih dari 7
partai di tahun 2004. Sistem partai di Indonesia berubah dari
multipartai moderat (sederhana) menjadi ekstrim. Pemilu Tahun 2009,
juga menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian,
Pemberlakuan kebijakan PT telah sedikit menurunkan Nilai ENPP
(jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004
bernilai 7.07 menjadi 6.47, yang berarti jumlah efektif partai menurun
menjadi 6 sampai 7 partai efektif di DPR.

156
3. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keharusan partai politik untuk
didaftarkan sebagai badan hukum dengan berbagai persyaratannya
merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan
dimaksud penting guna menjamin agar penggunaan kebebasan
seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu kebebasan
seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan bukan
bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan
merupakan pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan
hukum, sehingga partai politik tersebut dapat diakui sah bertindak
dalam lalu lintas hukum. Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai
politik, terutama yang akan mengikuti pemilihan umum tidak
bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk undang-undang tidak
melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai politik
sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan
syarat-syarat administratif. Partai politik memang menempati posisi
strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi,
implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-
undang. Hal ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang
mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan partai
politik, sepanjang undang-undang yang mengatur masalah tersebut
tidak bertentangan dengan UUD 1945, bersifat objektif, dan
merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan
sistem multipartai di Indonesia.

6.2. Saran
1. Partai Politik sebagai elemen penting dalam menegakkan demokrasi
memanglah dapat diatur dan dibatasi menurut UUD 1945, karena

157
merupakan kewenangan yang didelegasikan dan diberi kebebasan bagi
pengambil kebijakan. Namun demikian, pengaturan tersebut
memerlukan kehati-hatian karena dibatasi oleh prinsip-prinsip yang
tidak boleh dilanggar karena telah ditetapkan oleh UUD 1945. Prinsip-
prinsip sebagaimana telah dianalisa sebelumnya adalah prinsip
konstitusional, demokrasi, rasional dan non diskriminatif haruslah
tercermin dalam setiap kebijakan penyederhanaan partai politik.
2. kebijakan penyederhanaan partai politik pada prakteknya belum maksimal
membentuk sistem multipartai sederhana. kebijakan PT yang terbukti
dapat menghambat jumlah partai politik yang efektif di DPR masih
dapat ditingkatkan sampai dengan 5%. Alternatif lain, bahwa
kebijakan PT dapat juga diperuntukkan bagi koalisi partai,
sebagaimana yang dipraktekan di Republik Ceko, koalisi dua partai
harus memperoleh 10 sampai 6 % suara, koalisi tiga partai harus
memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat partai harus
memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.
3. Penelitian lebih lanjut dapat difokuskan pada sumber keuangan partai
politik, terutama tentang perlunya pembatasan kebijakan
pemberianbantuan pemdaaam kepada partai politik oleh negara yang
akan memicu keinginan untuk membentuk partai baru ehingga tidak
sejalan denan upaya pembentukan istem multiparai, sederhana. Di
beberapa negara ustru sebaliknya, pendirian parai politik dienakan
pungutan biaya, misalnya di Inggris atau di Republik Ceko. Dengan
pengenaan biaya baik pada saat tahap pendafaran sebagai badan hukum
ataupun sebagai peserta peilu diharapan akan mengurangi keinginan
untuk mendirikan partai-partai baru.

158

Anda mungkin juga menyukai