Anda di halaman 1dari 8

RANGKUMAN MATA KULIAH PARTAI POLITIK

Nama : Revi Cuhyanti

NIM : 16/399472/SP/27605

PERTEMUAN 1 PENDAHULUAN

Partai Politik dan Demokrasi


PERTEMUAN 2  Vicky Randall and L. Svasand. Introduction: The Contribution of Parties
to Democracy and Democratic Consolidation. Democratization, Vol. 9,
No. 3, 2008.
Pada pertemuan ini membahas tentang Partai Politik dan Demokrasi.

Asal-Usul Partai Politik


PERTEMUN KE-3  Joseph Lapalambara dan Jeffrey Anderson, Political Parties, dalam Mary
Hawkesworth dan Maurice, Encylopedia of Government and Politics,
Volume 1, London, 1992, p. 393—412

Pada pertemuan ke-3 ini membahas tentang Asal-usul Partai Politik. Menurut Joseph
Lapalombara dan Myron Weiner (1969:8-12), asal usul partai dijelaskan dalam tiga teori yaitu :
1. Teori kelembagaan (Institutional Theory)
Teori ini terbentuk karena melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya
partai politik. Keanggotaan partai politik ditawarkan secara luas seiring dengan political suffrage
yang juga semakin luas, dan setiap anggota harus kontributif dan aktif dalam organisasi partai.
Program partai menjadi spesifik dan diarahkan terutama pada kepincangan-kepincangan sosial dan
ekonomi yang dihasilkan oleh revolusi industri.

Ada dua tipe partai politik dalam teori ini:

a) Intra parliamentary Party


Partai politik dibentuk oleh kalangan legislative dan eksekutif karena kebutuhan
dari para anggota parlemen untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan
membina dukungan dari masyarakat. Setelah parpol terbentuk dan jalankan
fungsinya baru kemudian muncul partai politik jenis lain yang dibentuk oleh
kalangan masyarakat.
b) Extra Parliamentary Party
Partai tipe kedua ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pimpinan masyarakat
yang sadar politik berdasarkan penilain bahwa partai politik yang dibentuk
pemerintah tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.
2. Historical Theory
Teori ini melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk
mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubhan masyarakat secara luas. Krisis yang dimaksud di
sini adalah manakala sustu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat
dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur
kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan seperti : pertambahan penduduk, perluasan
pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, dan
munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan ini akibatnya memunculkan tiga
macam krisis : legitimasi, integrasi dan partispasi. Artinya, perubahan-perubahan tersebut
mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari seperti :
a. Legitimasi kewenangan pihak yang memerintah;
b. Menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu
bangsa; dan
c. Akibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses
politik.
Berdasarkan tiga masalah inilah partai politik kemudian dibentuk. Partai yang
berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat kendalikan pemerintahan sehingga terbentuk
pola hubungan kewenangan yang legitimate antara pemerintah dan masyarakat. Partai yang ikut
serta dalam pemilu sebagai sarana konstitusional dalam mendapatkan kekuasaan diharapkan
dapat berperan sebagai saluran partisipasi politik masyarakat.

3. Teori Pembangunan (Development Theory)


Teori ini melihat kehadiran parpol sebagai produk modernisasi sosial ekonomi. Dan teori
ini melihat modernisasi sosial ekonomi , seperti teknologi komunikasi berupa media massa dan
transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, dan peningkatan
kemampuan individu melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu
memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Jadi parpor merupakan produk logis dri
modernisasi sosial ekonomi. Teori pembangunan memiliki kesamaan dengan teori historis,
bahwa kelahiran parpol terkait dengan perubahan yang ditimbulkan modernisasi. Perbedaan
kedua teori ini terletak pada proses pembentukan parpol. Teori ini mengatakan bahwa
perubahan menimbulkan tiga krisis dan parpol dibentuk untuk atasi krisis tersebut. Sedangkan
teori pembangunan mengatakan bahwa perubahan-perubahan itulah yang melahirkan kebutuhan
akan partai politik.

Fungsi-Fungsi Partai
 Dalton, Russel J., dan Martin P. Wattenberg, Unthinkable Democracy:
PERTEMUAN KE-4 Political Change in Advance Industrial Democracies, dalam Dalton,
Russel J., dan Martin P. Wattenberg, (ed), Parties without Partisans:
Political Change in Advance Industrial Democracies, Oxford, New York,
2000, p.3—18

Russel J. Dalton, dan Martin P Wattenberg menggambarkan fungsi partai politik sebagai
berikut:

Pertama adalah fungsi partai di elektorat (parties in the electorate). Pada bagian ini fungsi
partai menunjuk pada penampilan partai politik dalam menghubungkan individu dalam proses
demokrasi. Terdapat empat fungsi partai yang termasuk dalam fungsi elektorat, yaitu:

1. Pertama, menyederhanakan pilihan bagi pemilih. Politik adalah fenomena yang komplek,
pemilih rata-rata mengalami kesulitan dalam memahami semua persoalan dan
mengkonfortasi berbagai isu-isu dalam pemilu. Partai politik membantu untuk membuat
politik “user friendly” bagi warga negara. Sekali pemilih mengetahui partai mana yang
biasanya mewakili kepentingan mereka, ini menjadi kunci informasi sebagai layar persepsi
membantu bagaimana mereka melihat persoalan dan berperilaku ketika pemilihan.
2. Kedua, pendidikan warga negara. Partai politik adalah edukator, pada konteks itu partai
politik adalah mendidik, menginformasikan dan membujuk masyarakat untuk berperilaku
tertentu. Partai politik bertugas memberikan informasi politik yang penting bagi warga
negara. Selain itu partai politik juga mendidik warga negara mengapa mereka harus
mengambil posisi kebijakan tertentu. Pemilu menjadi salah satu kursus pendidikan warga
negara yang bersifat masal.
3. Ketiga, membangkitkan symbol identifikasi dan loyalitas. Dalam sistem politik yang stabil,
pemilih memerlukan jangkar politik, dan partai politik dapat memenuhi fungsi itu.
Ketertarikan partisipan terhadap partai politik dapat melestarikan dan menstabilkan
pemerintahan demokratis, menciptakan kesinambungan pilihan pemilih dan hasil pemilu.
4. Keempat, mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi. Di hampir semua negara demokratis,
partai politik memainkan peran penting dalam mendapatkan orang untuk memilih dan
berpartisipasi dalam proses pemilihan. Partai politik memobilisasi warganegara untuk
terlibat dalam kampanye, serta berpartisipasi dalam aspek-aspek lain proses demokratisasi.
Kedua adalah fungsi partai sebagai organisasi (parties as organization). Pada fungsi ini
menunjuk pada fungsi-fungsi yang melibatkan partai sebagai organisasi politik, atau proses-proses
didalam organisasi partai itu sendiri. Pada bagian ini partai politik memiliki empat fungsi:
1. Pertama, rekruitmen kepemimpinan politik dan mencari pejabat pemerintahan. Fungsi ini
sering disebut sebagai salah satu fungsi paling mendasar dari partai politik. Pada fungsi ini
partai politik aktif mencari, meneliti, dan mendesain kandidat yang akan bersaing dalam
pemilu. Desain rekruitmen kemudian menjadi aspek penting yang harus dipikirkan partai
untuk menjalankan fungsi ini. Kualifikasi siapa yang akan diseleksi, siapa yang menyeleksi,
diarena mana kandidat diseleksi, siapa yang menyelksi, diarena mana kandidat diseleksi,
dan siapa yang memutuskan nominasi, serta sejauh mana serajat demokrtisasi dan
desentralisasi adalah pertanyaan-pertanyaan kunci dalam desain seleksi kandidat.
2. Kedua, pelatihan elit politik. Dalam fungsi ini partai politik melakukan pelatihan dan
pembekalan terhadap elit yang prospektif untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Berbagai
materi pelatihan dapat meliputi pemahaman tentang proses demokrasi, dan prinsip-prinsip
partai, serta berbagai persoalan strategis yang dihadapi oleh bangsa dan pilihan-pilihan
fungsi utama partai di pemerintahan :kerja dari sistem demokrasi.
3. Ketiga, pengartikulasian kepentingan politik. Pada fungsi ini partai politik menyuarakan
kepentingan-kepentingan pendukungnya melalui pilihan posisi dalam berbagai isu politik
dan dengan mengekspresikan pandangan pendukungnya dalam proses pemerintahan.
4. Keempat, pengagresian kepentingan politik. Fungsi ini membedakan partai dengan
kelompok kepentingan, yaitu partai melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan,
sedangkan kelompok kepentingan terbatas pada artikulasi kepentingan.

Ketiga, adalah fungsi partai dipemerintahan (parties in government). Pada arena ini, partai
bermain dalam pengelolaan dan penstrukturan persoalan-persoalan pemerintahan. Partai telah
identik dengan sejumlah aspek kunci proses demokratik. Terdapat tujuh fungsi partai
dipemerintahan:
1. Pertama, menciptakan mayoritas pemerintahan. Fungsi ini dilakukan setelah pemilihan.
Partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen dituntut untuk menciptakan mayoritas
politik agar dalam sistem parlementer dapat membentuk pemerintahan, atau dalam sistem
parlementer dapat membentuk pemerintahan, atau dalam sistem presidensil,
mengefektifkan pemerintahan.
2. Kedua, pengorganisasian pemerintahan. Pada fungsi ini, partai politik menyediakan
mekanisme untuk pengorganisasian kepentingan dan menjamin kerjasama diantara
individu-individu legislator.
3. Ketiga, implementasi tujuan kebijakan. Ketika dipemerintahan, partai politik adalah actor
sentral yang menentukan output kebijakan peerintahan. Normalnya, peaksanaan fungsi ini
dibentuk dari transformasi manifesto partai dan janji kampanye.
4. Keempat, mengorganisasikan ketidaksepakatan dan oposisi. Fungsi ini diperankan oleh
partai-partai yang tidak menjadi bagian dari penguasa (eksekutif). Pada fungsi ini, partai
oposisi mengembangkan alternative kebijakan yang ditempuh penguasa.
5. Kelima, menjamin tanggung jawab tindakan pemerintah. Adanya partai oposisi
menyiratkan kepada siapa tanggungjawab sebuah pemerintahan harus dibebankan, yaitu
partai penguasa. Partai penguasa bertanggungjawab terhadap berbagai tindakan yang
dilakukan pemerintah.
6. Keenam, control terhadap administrasi pemerintahan. Fungsi ini terkait dengan peran
partai dalam ikut mengontrol birokrasi pemerintahan.
7. Ketujuh, memperkuat stabilitas pemerintahan. Stabilitas pemerintahan secara langsung
terkait dengan tingkat kesatuan partai politik. Stabilitas partai membuat stabil
pemerintahan, dan stabilitas pemerintahan berhubungan dengan stabilitas demokrasi.
Dalam kerangka itu, fungsi partai untuk memperkuat stabilitas pemerintahan dan
demokrasi adalah menjaga stabilitas partai.
Berdasarkan penjelasan fungsi partai politik diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi partai
politik adalah untuk membantu masyarakat menyalurkan aspirasinya dan membantu
masyarakat berpartisipasi dalam politik, mengawasi jalannya pemerintahan dan mewujudkan
pemerintahan yang adil dan demokratis.

Tipologi Kepartaian: Partai Elit dan Massa


PERTEMUAN KE-5  Krouwel, Andre, Party Model, dalam Katz, Richard S., William Crotty
(2006), p. 249-269

Pada pertemuan ke-5 ini membahas tentang Tipologi Kepartaian : Partai Elit dan Partai
Massa.

Partai Elit partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis
kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari
elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status
ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi
dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.

Partai Massa partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi
kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya
untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang
kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas
sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.

Tipologi Kepartaian: Partai Catch-All dan Kartel


PERTEMUAN KE-6  Kirchheimer, Otto. The Transformation of the Western European Party
System, 1966.
 Katz, Richard S and Peter Mair. Changing Models of Party Organization
and Party Democracy. The Emergence of the Cartel Party, Party Politics,
Vol. 1. No. 5, 1995
Pada pertemuan ke-6 ini membahas tentang Tipologi Kepartaian : Partai Catch-All dan
Kartel.

Partai Catch-All Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun,
berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All
mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini
berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap
kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau
Partai Rational-Efficient.

Partai Kartel Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota
partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal
tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup
untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak
memiliki arti lagi.

Tipologi Kepartaian: Partai Perusahaan Bisnis


PERTEMUAN KE-7  J, Hopkin and C: Paolucci. The Business Firm Model of Party
Organization: Cases from Spain and Italy. European Journal of Political
Research, Vol. 35, 1999.

Pada Pertemuan ke 7 membahas tentang Tipologi Kepartian: Partai Perusahaan Bisnis.


Model partai perusahaan bisnis merupakan fenomena baru kepartian eropa, dimana pada dasarnya
ada dua spesies dari partai jenis ini: satu berbasis pada perusahaan komersial yg sudah ada, dan yg
satu merupakan struktur organisasi baru yg digunakan utk usaha-usaha politik. Dalam terminologi
organisasi, business-firm party menggerakkan sumberdayanya dari sektor-sektor privat, yang
membedakannya dengan cartel parties. Tipe partai ini hanya memiliki organisasi berskala kecil
yang fungsi dasarnya adalah memobilisasi para simpatisan pd waktu pemilihan. Ativitas anggota
partai sangat terbatas,demikian pula iuran anggota,sementara kampanye maupun hal-hal
teknokratik lain diconctracting-outkan ke sumber-sumber daya yang profesional.  Esensi dari
business-firm party: semua aktivitas dan tugas-tugas partai dijalankan di bawah kontrak-kontrak
formal & komersil dalam hal tenaga kerja, pelayanan, maupun barang-barang dan jasa yang
diberikan kepada partai. Business-firm party banyak dilihat sebagai political company, karena
sebagaimana pabrik yang hasilkan produk, maka produk dari partai ini adalah kekuasaan.

Perkembangan Partai Politik: Pengalaman dari Amerika dan Eropa


 Crotty, William. Party Transformations. The United States and Western
PERTEMUAN KE-8 Europe, in Richard S. Katz and William Crotty, Handbook of Party
Politics.

 Fungsi partai di masyarakat demokratis


1. Parties in electorate
2. Parties as organization
3. Parties in government
 Foundation of patry change
1. Perubahan sosial merupakan salah satu faktor
2. Elemen-elemen yang mempengaruhi transformasi partai
 Parties roots in the electorate
Hubungan yang berjarak antara partai dan pendukungnya
 Partai dan mobilisasi massa demokrasi
1. Tingkat partisipasi politik di amerika serikat
2. Posisi pemilu di berbagai negara
 Perubahan (kembali) partai
1. Perubahan sekuler
1) Transformasi bertahap
2) Kurang popular
2. Perubahan kritis
1) Lebih dramatis
2) Partisipasi pemilih sangat diperhitungkan
 Transformasi partai di eropa barat
 Sebagian besar negara-negara di eropa barat menggunakan beberapa bentuk
representasi proposional dimana setiap suara memiliki arti

Institusionalisasi Partai Politik


PERTEMUAN KE-9  Randall, Vicky, and Lars Svansand, Party Institutionalization in New
Democracies, Party Politics Vol 8 No. 1, Sage Publication, 2002.

Pada pertemuan ini membahas tentang Institusionalisasi Partai Politik. Menurut Vicky
Randal dan Lars Svansand (2002), proses pelembagaan partai politik mengandung dua aspek, yakni
aspek internal-eksternal, serta stuktural-kultural. Dan dari kedua aspek tersebut terdapat
empat dimensi pelembagaan partai politik yakni systemness, value infusion, decisional autonomy
dan Reification.

Systemness atau derajat kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik,
termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur dan mekanisme
yang disepakati dan di tetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai
politik. Derajat systemness sebuah partai dapat diukur dengan memperhatikan beberapa aspek,
yakni scope pengorganisasian, untuk melihat sejauh mana jangkauan sebuah partai terhadap akar
rumput. Kemudian dari tingkat kesolidan demokrasi internal partai. Hal ini bisa dilihat dari
kemampuan partai untuk mengelola keragaman dan perbedaan (faksionalisme) kepentingan dalam
partai. Pelembagaan politik yang baik ditandai dengan kemampuan mengelola faksionalisme,
sementara pelembagaan yang gagal bisa dilihat dari tumbuhnya personalistic party. Aspek lainnya
untuk mengukur derajat systemness adalah dengan melihat pada aspek rutinitas konstitusi partai.

Value Infusion atau identitas nilai partai politik didasarkan atas ideologi atau platform
partai, basis sosial pendukungnya, dan identifikasi anggota terhadap pola dan arah perjuangan
partai. Identitas nilai partai berhubungan dengan beberapa hal, diantaranya : Pertama, hubungan
partai dengan kelompok populis tertentu (popular base), yaitu apakah suatu partai politik
mengandung dimensi sebagai gerakan sosial yang didukung oleh kelompok populis tertentu,
ataupun kelompok-kelompok tertentu. Kedua, pengaruh clientilism dalam organisasi, yaitu apakah
hubungan partai dengan anggota bersifat instrumentalis, atau lebih bersifat ideologis yang
anggotanya mengenal dan mengharapkan partai bertindak berdasarkan indentifikasi terhadap
partai.
Decisional autonomy keputusan suatu partai politik berhubungan dengan ketergantungan
terhadap aktor luar, atau dengan kata lain dimensi ini terkait dengan hubungan antara partai
dengan aktor luar partai baik dengan sumber otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupun
dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara, atau lembaga luar), dan sumber dukungan
massa (organisasi masyarakat). Hal terpenting dari dimensi ini adalah: Pertama, apakah partai
tergantung pada aktor luar tersebut atau hubungan tersebut bersifat independen. Kedua, apakah
keputusan partai ditentukan oleh aktor luar atau hubungan itu berupa jaringan (linkage) yang
member dukungan kepada partai. Selain itu, partai juga dituntut untuk otonom dari “oligarki elite”,
artinya dalam membuat keputusan partai dituntut untuk otonom tanpa didikte kepentingan elite
partai. Partai juga dituntuk otonom dari korupsi, membebaskan diri dari praktek korupsi. Dan
dalam aspek desentralisasi , partai di tingkat lokal dituntut untuk mampu mengambil keputusan
secara mandiri tanpa selalu diintervensi level diatasnya.

Reification adalah bagaimana partai mampu memberikan citra ke publik yang mampu
mengangkat nilai kesetiaan konstituen dalam memberikan dukungannya. Selain itu juga berkaitan
dengan bagaimana partai mampu menjelmakan institusinya sebagai institusi yang memiliki nilai
positif dan membawa dampak positif dalam mendapatkan pilihan konstituen sebanyak-banyaknya.
Reifikasi partai juga merujuk pada apakah keberadaan partai politik telah tertanam pada imajinasi
publik dan sebagai faktor yang membentuk pperilaku aktor politik. Reifikasi partai pada akhirnya
merupakan sebuah fungsi untuk memperpanjang usia partai, sehingga partai bisa bertahan
sepanjang waktu.

Partai dan Organisasi Lainnya


PERTEMUAN KE-  Poguntke, Thomas, Political Parties and Other Organizations, dalam
10 Katz, Richard S., William Crotty (2006), p. 396-405

Sentimen Anti-Partai
PERTEMUAN KE-  Torcal, Mariano, Richard Gunther, Jose Ramon Montero, Anty-Party
11 Sentiments In Southern Europe, dalam Gunther, Richard, Jose Ramon
Montero, and Juan J. Linz, (ed)., Political Parties: Old Concepts and New
Challenges, Oxford UP, New York, 2002, p. 257-290.

Sentimen anti-partai merupakan sikap minor warga negara terhadap partai politik. Pada


umumnya sikap ini muncul sebagai respon warga negara terhadap ketidakpuasan penampilan
partai politik dalam pemerintahan, pengelolaan partai, dan partai di akar rumput. Hal itu
merupakan hasil dari ketidakyakinan diantara janji-janji, lebel ideologi, dan pidato politik. Dalam
beberapa hal tanggapan itu merupakan akibat yang logis dari ’janji yang berlebihan’ oleh  para
politikus selama kampanye yang meningkatkan harapan diantara masyarakat. Beberapa hal yang
lain, sentimen anti-partai juga menyangkut tanggapan warga negara terhadap kegagalan yang
sebenarnya dari partai dan elit politik dalam menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Banyak masalah sosial, politik dan ekonomi tidak dapat dipecahkan degan mudah; kebanyakan
pemimpin partai mungkin menjadi tidak bertanggungjawab, atau beberapa pemimpin partai
mengkin menyalahgunakan akses mereka terhadap sumber daya pemerintah dan hak istimewa,
dan menggunakannya untuk korupsi, perlindungan dan kegiatan lain yang serupa.
Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero  mengembangkan 6 (enam) pertanyaan
survei untuk melihat hal itu. Pertanyaan survei yang dikembangkannya adalah persetujuan atau
ketidaksetujuan bahwa (1) partai saling mencela satu sama lain, tapi pada kenyataannya mereka
sama saja; (2) partai politik hanya memecah-belah masyarakat; (3) tanpa partai, tak akan ada
demokrasi; (4) partai dibutuhkan untuk mempertahankan kepentingan berbagai kelompok dan
kelas  sosial; (5) terima kasih kepada partai, masyarakat dapat berpartisipasi dalam kehidupan
politik; terakhir (6) partai tak ada gunanya. Indikator 1 dan 2 disebut sebagai indikator kultural
sentimen anti-partai, sedangkan indikator 3, 4, dan 5 disebutnya sebagai indikator reaktif sentimen
pro-partai. Dalam riset yang dilakukan di negara-negara Eropa Selatan, seperti Spanyol, Portugis,
Itali dan Yunani, ditemukan ketidakkonsistenan atau ambivalensi sikap warga negara terhadap dua
kelompok indikator yang disampaikan oleh Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero
tersebut. Pada kelompok indikator kultural sentimen anti-partai menunjukkan sikap sentimen anti-
partai, sedangkan pada kelompok indikator reaktif sentimen pro-partai menunjukkan bahwa warga
negara di negara-negara tersebut bersikap pro-partai, meskipun dengan beberapa catatan.

Sistem Kepartaian
PERTEMUAN KE-  Wolinetz, Steven B., Party Systems and Party System Types, dalam Katz,
12 Richard S., William Crotty (2006), p. 51-61

Sistem kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu
tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem
politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku,
agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang
ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik
yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.

Peneliti Kriteria Klasifiksi Sistem kepartaian


Maurice Duverger Jumlah Partai Sistem 2 partai
Sistem multipartai
Robert Dahl Kompetitif Oposisi Kompetitif murni
Kompetitif-kooperatif
Kompetitif-koalisi
Koalisi murni
Lionel Blondel Jumlah Partai: ukuran partai Sistem 2 partai
secara relatif Sistem 2 dan setengah partai
Multi partai dengan satu partai
dominan
 Multi partai tanpa partai
dominan
Stonley Rokkan Jumlah Partai: Kadang satu partai Sistem 1 vs. 1 + 1 (British, Jerman)
mayoritas; distribusi kekuatan Sitem 1 vs. 3-4 Skandinavia
partai minoritas. Sistem multi partai 1 vs. 1 vs. 1 vs.
+ 2-3
Giovani Satori Jumlah partai  Sistem 2 partai
Jarak ideologi  Pluralism moderat
 Pluralism terpolarisasi
 Sistem partai berkuasa

Anda mungkin juga menyukai