Anda di halaman 1dari 77

MODUL AJAR

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILIHAN UMUM


DI INDONESIA
(IPM - 2506)

Disusun Oleh:
Diego Romario de Fretes, S.IP., M.A.
NIP. 19890324 201903 1 001

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

JURUSAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................ 1
Bab 1 : Definisi Partai Politik dan Sejarah Perkembangannya...... 2
Bab 2 : Tinjauan Teoritik Kelahiran Partai Politik
dan Tipologi Partai Politik ..............................................8
Bab 3 : Fungsi Partai Politik....................................................... 16
Bab 4: Sistem Kepartaian dan Model Sistem Kepartaian
di Asia Tenggara ............................................................ 22
Bab 5 : Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Pra Kemerdekaan dan Orde Lama ................................. 31
Bab 6 : Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Orde Baru dan Reformasi .............................................. 40
Bab 7 : Sistem Pemilihan Umum Majoritarian ............................ 49
Bab 8 : Sistem Pemilu Proporsional & Kombinasi ...................... 56
Bab 9 : Seleksi kandidat Pemegang Jabatan Politik .................... 63
Bab 10: Kampanye Pemilu .......................................................... 70

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 1


Bab 1
Definisi Partai Politik dan
Sejarah Perkembangannya

A. Pendahuluan
Kehadiran partai politik sudah merupakan sebuah gejala yang
umum diberbagai negara, terutama di negara yang mengaku menganut
paham demokrasi. Partai politik saat ini telah menjadi organisasi utama
atau sarana yang sah untuk mengantarkan seseorang untuk mendapat-
kan jabatan politik yang dia inginkan. Selain itu, partai politik men-
jalankan fungsi-fungsi tertentu yang penting dalam penyelenggaraan
sebuah negara. Oleh karena sangat strategisnya peran partai politik di
sebuah negara, maka seorang sarjana ilmu pemerintahan dan ilmu
politik tentunya harus mengetahui dan memahami berbagai hal yang
berhubungan dengan partai politik yang terdapat dalam bab 1 bahan
ajar ini.
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa memahami secara umum
definisi partai politik dan sejarah perkembangan partai politik dari dulu
hingga sekarang. Sedangkan secara khusus mahasiswa diharapkan dapat:
a. Mengetahui dan menjelaskan secara teoritik definisi partai politik.
b. Mampu membedakan partai politik dibandingkan organisasi-
organisasi lainnya.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 2


c. Mengetahuiproses kelahiran partaipolitik baik di dalam parlemen
maupun dari luar parlemen.
d. Mengetahui bagaimana perkembangan partai politik di masa kini.

B. Definisi Partai Politik


Banyak para ahli yang telah berusaha memberikan definisi yang
memadai tentang partai politik, diantaranya Carl J. Friedrich ber-
pendapat bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya, dan ber-
dasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil. Kemudian, Sigmun
Neuman juga berpendapat bahwa artai politik adalah organisisasi dari
aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai kekuasaan peme-
rintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan
suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai panda-
ngan berbeda. Di sisi lain Giovanni Sartori berpendapat partai politik
adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum, dan
melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya
untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Selanjutnya definisi partai
politik yang lebih sederhana dikemukan oleh Rod Hague. et al., bahwa
partai politik adalah organisasi permanen yang mengikuti Pemilu,
bertujuan mendapatkan kewenangan menentukan dalam sebuah negara.
Selain definisi menurut para ahli di atas, dalam peraturan per-
undangan di Indonesia juga ditemukan definisi partai politik. Di-
antaranya UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menjelaskan
bahwa partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk seke-
lompok warga negara republik Indonesia secara suka rela atas dasar
persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan
anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui Pemilu. Selanjutnya
dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Partai Politik

3 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


menjelaskan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang
dibentuk sekelompok warga negara republik Indonesia secara suka
rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memper-
juangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara
serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Definisi partai politik dalam peraturan perundangan di Indonesia
menekankan pentingnya partai politik memperjuang kepentingan politik
masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini dapat dimaklumi sebab
sepanjang sejarah bangsa Indonesia, partai politik lebih cenderung
memperjuangkan kepentingan politik para elitnya dibandingkan
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

C. Sejarah Lahirnya Partai Politik


Partai politik secara umum lahir dengan dua cara, yakni partai
politik yang lahir dari dalam parlemen (intra parlemen) dan partai politik
yang lahir atau dibentuk masyarakat di luar parelemen (ekstra par-
lemen), yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Partai Politik Intra Parlemen
Partai politik pada awalnya tumbuh di Inggris dan Francis Abad
ke 18 yang disebabkan meluasnya gagasan masyarakat perlu ikut serta
dalam proses politik termasuk menentukan wakil-wakilnya di parlemen.
Hal ini disebabkan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja para
bangsawan yang menjadi anggota parlemen tidak mampu menjadi
penghubungan antara rakyat dan raja. Parlemen saat itu bersifat elitis
dan aristokratis untuk mempertahankan kepentingan bangsawan versus
raja, sedangkan kepentingan rakyat kurang diperhatikan. Oleh karena
itu sistem pemilihan anggota parlemen yang pada mulanya berdasarkan
jumlah harta kekayaan, yakni para bangsawan yang punya banyak
harta saja yang berhak menjadi anggota parlemen diubah dengan syarat
baru yakni seseorang bisa terpilih menjadi anggota parlemen jika ia
mendapat dukungan suara yang luas dari masyarakat.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 4


Disebabkan meluasnya hak pilih masyarakat dalam menentukan
anggota parlemen tersebut, para anggota parlemen “dipaksa” membuat
organisasi dari dalam parlemen, selanjutnya memperluas jaringan orga-
nisasinya ke tengah-tengah masyarakat guna mendapatkan dukungan
suara yang banyak untuk terpilih kembali menjadi anggota parlemen.
Di dalam parlemen Inggris saat itu sebenarnya sudah terdapat dua
kelompok (faksi) yang memang selalu bersaing, yakni kelompok
bangsawan Inggris versus kelompok orang Irlandia. Kelompok bang-
sawan Inggris membentuk kelompok Torries dan kelompok orang
Irlandia membentuk kelompok Whig. Kemudian untuk memper-
tahankan eksistensinya di parlemen, kelompok Torries dan Whig
tersebut mengembangkan sayap organisasinya dengan bergerak keluar
parlemen membuat kelompok pendukung dan organisasi massa. Pada
abad ke-19, dilangsungkan Pemilu I di Inggris yang diikuti oleh dua
organisasi, yakni Torries dan Whig. Dengan ikut sertanya dua orga-
nisasi yang didirikan oleh kalangan parlemen tersebut dalam Pemilu,
maka secara resmi lahirlah partai politik dan pada masa selanjutnya
berkembang menjadi penghubung massa dan pemerintah. Partai politik
yang lahir dalam parlemen ini memiliki ciri-ciri diantaranya meng-
utamakan kemenangan dalam pemilu, mengutamakan jumlah anggota
disiplin tidak ketat, bertindak semacam broker, dan mempunyai
progam tertentu.

2. Partai Politik Ekstra Parlemen


Menjelang Perang Dunia I, di dunia Barat muncul juga partai
yang lahir didirikan oleh masyarakat yang berada di luar parlemen.
Partai politik ini didirikan masyarakat untuk memperjuangkan asas
atau ideologi tertentu, misalnya ideologi komunisme, sosialisme, fasisme,
dan lain sebagainya. Partai politik ini memiliki ciri mempunyai pandangan
hidup (asas/ ideologi) yang jelas, anggotanya berdisiplin ketat dan
memiliki ikatan yang kuat dengan ideologi partai. Partai politik ini lahir
disebabkan adanya pembedaan dan pertentangan dua ideologi

5 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


dihubungkan dengan ekonomi. Partai beridiologi kiri, yang diwakili
ideology komunis menginginkan campur tangan negara secara total
pada kehidupan sosial dan ekonomi, sedangkan partai politik yang
berideologi kanan yang diwakili ideologi liberal menolak campur tangan
negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi dan ingin mewujudkan
pasar bebas.
Pada tahap selanjutnya menjelang Perang Dunia II, partai-partai
politik yang pada dasarnya memang bertujuan mendapat dukungan
sebanyak-banyaknya dalam pemilu, mulai berfikir untuk mendapatkan
dukungan yang luas dari masyarakat termasuk masyarakat yang tidak
se-ideologi dengan partai. Salah satu cara yang digunakan untuk
mendapatkan dukungan secara luas adalah dengan meninggalkan
pemakaian ideologi yang kaku, sehingga memungkin semua orang untuk
bergabung ataupun memilih partai politik tersebut. Jenis partai-partai
politik yang berkeinginan mendapat dukungan dari semua kalangan
dikenal dengan nama catch all party. Kelebihan partai jenis ini adalah
kemauan dan kemampuannya yang lebih memperjuangkan kepentingan
umum dibandingkan kepentingan kelompok berideologi tertentu,
misalnya partai buruh di Inggris serta partai Republik dan Demokrat
di Amerika Serikat. Saat ini penggunaan ideology yang kaku dan
ekstrim oleh partai politik semakin berkurang. Bahkan menurut Daniel
Bell (1960) dalam bukunya yang berjudul the end of ideology bahwa
perbedaan ideology telah berakhir yang ditandai dengan tercapainya
konsensus antara para intelektual tentang masalah politik yaitu : dite-
rimanya negara kesejahteraan, diidamkannya desentralisasi kekuasaan,
sistem ekonomi campuran,dan pluralisme politik.

D. Rangkuman
1. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai
definisi partai politik maka dapat disimpulkan bahwa partai politik
adalah sebuah organisasi yang menjadi peserta Pemilu dan

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 6


berusaha menempatkan wakilnya di parlemen atau legislatif.
2. Berdasarkan sejarah awal lahirnya partai politik, maka partai
politik digolongkan dalam dua kelompok, yakni partai politik
yang lahir dalam parlemen dan partai politik yang lahir dari luar
parlemen.
3. Partai politik dewasa ini berusaha meninggalkan ideologi dan
berusaha mendapatkan dukungan masyarakat yang melintasi
ideologi (cath all party).

E. Soal latihan
1. Jelaskan definisi partai politik menurut Rod Hague et.al !
2. Jelaskan penyebab lahirnya partai politik dari dalam parlemen!
3. Jelaskan ciri partai politik yang lahir di luar parlemen
4. Jelaskan hal yang menyebabkan partai politik saat ini, mulai
meninggalkan basis ideologi yang kaku!

Daftar Pustaka
Hague, Rod et.al (2001), Comparative Politics & Politics: An
Introduction : 4 .Ed, Hampshire: Mac Millan.
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Roni, Heriyandi (2006). Demokratisasi Internal Partai Golkar Pasca
Orde Baru (1998-2004 ), Disertasi, di Universitas Indonesia.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 tentang Pemilu dan Partai Politik Tahun
2008.

7 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Bab 2
Tinjauan Teoritik Kelahiran
Partai Politik dan Tipologi Partai Politik

A. Pendahuluan
Sejak masa orde lama sampai orde reformasi, sudah banyak
partai-partai politik yang tumbuh dan bubar di pentas politik nasional.
Adapun faktor penyebab tumbuh dan bubarnya partai-partai politik,
tidak selalu sama diantara setiap partai, melainkan didahului oleh
penyebab yang khas untuk setiap partai politik. Pengetahuan yang
memadai tentang tentang persfektif teoritik tentang kelahiran partai
politik akan membantu mahasiswa memahami dan menganalisasi faktor
penyebab muncul dan bubarnya partai-partai politik sepanjang sejarah
Indonesia pada masa orde lama, orde baru dan orde reformasi dan
kelahiran berbagai partai politik di negara lainnya. Selain itu dalam
Bab II ini juga akan dibahas konsep teoritik tipologi partai politik serta
bagaimana tipologi partai-partai politik yang ada di Indonesia.
Setelah mempelajari bab II ini secara umum mahasiswa di-
harapkan memahami persektif teoritik tentang kelahiran partai politik
dan berbagai tipologi partai politik. Secara khusus mahasiswa di-
harapkan dapat :
1. Mengetahui berbagai persfektif teoritik yang mampu menjelas-
kan kelahiran partai politik di Indonesia khususnya.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 8


2. Mampu menganalisa fenomena kelahiran partai politik
berdasarkan persfektif teoritik yang ada.
3. Mengetahui dan mengetahui tipologi partai politik yang dibagi
berdasarkan kriteria tertentu.
4. Mampu menjelaskan tipologi partai-partai politik yang ada di
Indonesia.

B. Persfektif Teoritik Lahirnya Partai Politik


Menurut Ramlan Surbakti, setidaknya ada 3 teori yang mampu
menjelaskan asal usul Partai Politik, yaitu : 1) teori kelembagaan yang
merujuk pada kemunculan partai politik di intra parlemen; 2) teori
situasi historik yang menganggap kemunculan partai politik sebagai
upaya upaya sistim politik menghadapi krisis perubahan secara luas
di masyarakat; 3) teori Pembangunan yang menghubungkan kelahiran
partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.
Teori kelembagaan melihat bahwa partai politik pada awalnya
dibentuk oleh kalangan legislatif, yang selanjutnya lembaga atau orga-
nisasi partai politik diperluas ke tengah-tengah masyarakat disebabkan
adanya kebutuhan para anggota parlemen untuk mengadakan kontak
dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik intra
parlemen terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul akan
lembaga atau partai politik lain yang dibentuk oleh masyarakat diluar
parlemen sebagai lembaga baru untuk menyalurkan aspirasi dan ke-
pentingan mereka. Pendirian lembaga partai politik baru ini disebabkan
ketidakpercayaan sebagian masyarakat dan para elitnya terhadap
partai politik bentukan anggota parlemen yang dinilai gagal atau tidak
mampu menyalurkan aspirasi politik mereka.
Di sisi lain teori situasi historis melihat kemunculan partai politik
disebabkan terjadinya krisis di tengah masyarakat. Hal ini sebabkan
oleh sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan mas-
yarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi

9 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Perubahan yang
terjadi antara lain : pertambahan penduduk karena perbaikan fasilitas
kesehatan, perluasan pendidikan, perubahan pola pertanian dan industri,
partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan
aspirasi dan harapan-harapan baru, dan munculnya gerakan-gerakan
populis. Perubahan-perubahan tersebut memunculkan tiga macam
krisis, yakni: krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.Artinya, perubahan-
perubahan ini membuat masyarakat mulai mempertanyakan prinsip-
prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah
yang bisa berujung pada krisis dalam identitas yang menyatukan mas-
yarakat sebagai suatu bangsa. Di saat yang sama muncul tuntutan
masyarakat yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik.
Untuk mengatasi krisis tersebutlah partai politik dibentuk sebagai sarana
yang legal untuk berkuasa dan menyalurkan aspirasi politik.
Selanjutnya teori modernisasi menganggap bahwa partai politik
memang merupakan kebutuhan masyarakat modern atau partai politik
merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi. Modernisasi
sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa
media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birok-
ratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi
profesi, dan peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi
lingkungan. Disebab berbagai kemajuan tersebut, masing-masing ke-
lompok di dalam masyarakat yang modern berupaya membentuk
organisasi yang dirasa mampu untuk melindungi kepentingannya.
Organisasi tersebut adalah partai politik yang akan melindungi ke-
pentingan konstituen dalam pembuatan peraturan perundangan dengan
menempatkan wakilnya di parlemen.
Sedangkan menurut Lipset & Rokan, partai politik lahir dari
beragamnya kepentingan yg saling bertentangan antara kepentingan
baru muncul versus kepentingan-kepentingan yang terancam dengan
perubahan. Penyebab kelahiran partai politik dapat dilacak dengan

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 10


melihat pertentangan sosial yang dominan terjadi pada awal pem-
bentukan sebuah partai politik. Misalnya sejauhmana konstelasi per-
tentangan organisasi-organiasi massa yang ikutserta dalam pemilu.
Konflik-konflik kemasyarakatan yang menonjol juga dapat mempe-
ngaruhi terbentuknya partai politik dan sistem kepartaian. Di bawah
ini Lipset dan Rokan menjelaskan tentang kemunculan partai politik
berdasarkan pertentangan, saat-saat kritis, dan isu yang bertentangan
di tengah masyarakat :
Tabel 1 : Kemunculan Partai Politik dan Pertentangan Dalam
Masyarakat
Pertentangan Saat-saat Kritis Isu-Isu Penggolongan Partai

Pusat—Pinggiran Reformasi Tandingan Agama nasional vs agama supranasional; Partai berbasis kesukuan
abad 16 ke 17 bahasa nasonal vs latin dan kebahasaan.

Negara vs Gereja Revolusi nasional tahun Kontrol sekuler vs keagamaan atas Partai-partai keagamaan
1789 dan sesudahnya pendidikan massa

Pertanian vs Revolusi industri abad Tingkat tarif produk2 petani; kontrol vs Partai2 agrarian;
Industri 19 kebebasan usaha industrial konservativ vs Liberal

Majikan vs Buruh Revolusi Rusia, 1917- Integrarasi politik nasional vs komitmen Partai2 sosialis dan
1991 terhadap gerakan revolusioner internasional komunis.

Materialis vs Pasca Revolusi kebudayaan, Kualitas lingkungan vs pertumbuhan Partai2 hijau/ ekologi
Materialis 1968 dan sesudahnya ekonomi

Kemudian Angelo Penebianco mengemukakan tiga faktor utama


yang menentukan terbentuknya partai politik, yakni: 1) Pengaruh elit
politik ditingkat lokal dan nasional; a) territorial penetration, elit
lokal dan regional berusaha membentukan organisasi lokal dan regional
dengan tujuan membentuk partai; b) territorial diffusion, partai politik
dibentuk sejumlah elit nasional yang tergabung dalam kelompok
independen. c) gabungan dari keduanya; 2) ada organisasi ekternal
yang mensponsori terbentuknya partai politik; 3) ada tidaknya pengaruh
pemimpin kharismatik dalam pembentukan partai partai politik.
Kemudian Firmanzah juga mengemukakan beberapa penyebab
lahirnya partai politik, yaitu:

11 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


1. Fenomena pasca kolonialisme. Sebuah negara yang baru mer-
deka membutuhkan instusi politik mengelola kekuasaan. Insitusi
yang dianggap tepat adalah partai politik, oleh karena itu partai
politik didirikan untuk menfasilitasi dan menyalurkan kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat melalui institusi yang legal.
Disebabkan banyaknya kepentingan dan kelompok-kelompok
yang ingin menentukan kebijakan, maka di negara itu akan
terbentuk banyak partai politik;
2. Buah sistem politik (strukturalisme). Lahir dan musnahnya partai
politik disebabkan adanya perubahan sistem politik disebuah
negara. Pada saat sebuah negara menerapkan sistem politik
demokrasi yang member ruang munculnya partai-partai politik,
maka akan banyaklah partai politik yang lahir di negara itu.
Sebaliknya jika sebuah negara menerapkan sistem politik otoriter
atau totaliter yang tidak memberi ruang munculnya partai-partai
politik, maka sebagian besar partai politik akan musnah dan
partai politi baru sangat sulit untuk muncul.
3. Aspirasi Kelompok Masyarakat. Partai politik lahir sebagai
bentuk organisasi atas dasar aspirasi masyarakat yang bertujuan
melindungi kepentingan kelompoknya dari ancaman kelompok
lain dalam pengambilan kebijakan secara nasional. Masyarakat
menyadari bahwa kepentingan mereka dapat dilindungi dalam
pembuatan kebijakan di parlemen, jika mereka mampu menem-
patkan wakilnya di lembaga tersebut. Salah satunya lembaga
resmi yang bisa menempatkan wakil di parlemen adalah partai
politik, oleh sebab itu partai politik dibentuk oleh berbagai
kelompok dalam masyarakat.
4. Pecahan. Partai politik juga bisa lahir disebabkan adanya konflik
internal dalam sebuah partai politik. Elit dan massa yang kecewa
dalam sebuah partai politik akan membentuk partai politik baru.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 12


C. Tipologi Partai Politik
Menurut Ramlan Surbakti, Partai politik dapat diklasifikasikan
berdasarkan kriteria tertentu, yaitu: berdasarkan asas dan orientasi,
komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan tujuan. Berdasarkan
asas dan orientasinya partai politik dapat dikelompokkan: 1) partai
politik pragmatis. Kegiatan partai dan program partai politik ini tidak
terikat pada ideologi yang kaku, misalnya partai demokrat dan partai
republik di Amerika Serikat; 2) Partai politik doktriner. Program dan
kegiatan partai politik ini bersifat konkret sebagai penjabaran dari
ideology, contohnya partai komunis dan partai sosialis; 3) Partai politik
kepentingan. Partai politik ini dibentuk berdasarkan kepentingan tertentu,
misalnya partai politik untuk memperjuangkan etnis atau agama.
Partai politik juga dapat dibedakan berdasarkan komposisi dan
jumlah anggotanya, yaitu: 1) Partai massa (Partai lindungan—patro-
nage). Partai politik ini mengandalkan keunggulan jumlah anggota,
memobilisasi massa sebanyak-banyaknya mengembangkan diri,
bertindak sebagai pelindung berbagai kelompok dalam masyarakat.
Misalnya UMNO di Malaysia; 2) Partai kader. Partai politik ini
mengandalkan kualitas anggota, keketatan organisasi dan disiplin
anggota sebagai kekuatan utama, misalnya partai komunis.
Selanjutnya berdasarkan basis sosialnya, partai politik dapat
dikelompokkan menjadi : a) Partai politik yang beranggotan lapisan-
lapisan sosial dalam masyarakat, misalnya partai politik yang secara
khusus mengandalkan basis massa dari kelas tertentu, misalnya atas,
menengah dan bawah; b) Partai yang berasal dari kelompok kepen-
tingan tertentu, misalnya partai politik yang bertujuan memperjuangkan
kepentingan buruh, petani ataupun pengusaha; c) Partai yang ang-
gotanya dan konstituennya berasal dari pemeluk-pemeluk agama
tertentu, misal partai politik Islam, kristen dll; d) Partai politik yang
anggotanya berasal dari kebudayaan tertentu. Misalnya suku tertentu,
bahasa tertentu dll.

13 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Berdasarkan tujuannya partai politik dapat digolongkan: a) Partai
Perwakilan kelompok. Partai Politik ini bertujuan menghimpunkelompok-
kelompok untuk memenangkan Pemilu; b) partai pembinaan nasional.
Partai politik ini dirikan untuk tujuan membina persatuan nasional
menindas kepentingan sempit, misalnya PartaiAksi Singapura. c) Partai
mobilisasi. Partai politik ini bertujuan memobilisasi massa untuk men-
capai tujuan partai, peran-peran kelompok diabaikan, misalnya partai
komunis.

D. Rangkuman
a. Ada beberapa ahli yang mengemukakan secara teoritik penyebab
lahirnya partai politik antara lain Ramlan Surbakti, Lipset &
Rokkan, Angelo Penebianco, Lipset & Rokkan dan Firmanzah.
Ramlan Surbakti mengemukakan teori kelembagaan, teori situasi
historis dan teori modernisasi. Lipset & Rokan menyatakan
partai politik lahir disebabkan adanya pertentangan yag tidak
dapat diselesaikan ditengah masyarakat. Angelo Penebianco
menyatakan partai politik lahir disebabkan adanya prakarsa elit
lokal maupun nasional, dorongan organisasi eksternal negara dan
kehadiran tokoh kharismatik. Firmanzah menyatakan partai
politik lahir sudah merupakan gejala umum di negara pasca kolo-
nial, buah sistem politik, disebabkan adanya aspirasi masyarakat
dan disebabkan konflik antar elit partai yang memunculkan partai
baru yang merupakan pecahan partai yang sebelumnya.
b. Secara umum partai politik dapat dikelompokkan berdasarkan
asas dan orientasinya komposisi dan fungsi anggotanya, basis
sosial pendukung utamannya dan serta tujuan utama didirikannya
sebuah partaipolitik.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 14


E. Soal Latihan
1. Jelaskan teori penyebab kelahiran partai politik menurut Ramlan
Surbakti!
2. Jelaskanteoripenyebabkelahiranpartaipolitik menurut Penebianco!
3. Jelaskanteoripenyebabkelahiranpartaipolitik menurut Firmanzah!
4. Jelaskan jenis partai politik berdasarkan komposisi dan jumlah
anggotanya!

Daftar Pustaka
Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Klingeman et al (2000). Partai, Kebijakan dan Demokrasi. Yogyakarta:
Jentera.
Roni, Heriyandi. Demokratisasi Internal Partai Golkar Pasca Orde
Baru (1998-2004), Disertasi, Universitas Indonesia, 2006.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik.

15 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Bab 3
Fungsi Partai Politik

A. Pendahuluan
Hadirnya partai-partai politik di sebuah negara pada dasarnya
disertai sebuah harapan yakni partai-partai politik tersebut dapat
menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang menunjang keberhasilan sebuah
negara. Namun pada kenyataannya partai politik menjalankan fungsi
yang berbeda diantara negara demokrasi maju, negara otoriter dan
totaliter dan negara berkembang yang pernah dijajah oleh bangsa barat.
Selain itu, jika kita memakai konsep fungsi partai politik di negara
demokrasi maju untuk meneropong pelaksanaan fungsi partai politik
di negara dunia ketiga, maka kita akan menemukan bahwa partai politik
dinegara itu gagal menjalankan fungsinya. Namun demikian sebagai
salah satu negara dunia ketiga sudah selayaknya lah partai-partai politik
di Indonesia menjalankan fungsi sebagaimana layaknya partai politik
di negara maju, agar negara kita juga bisa beranjak menuju kemajuan.
Setelah mempelajari bab 3 ini secara umum mahasiswa diharap-
kan memahami fungsi-fungsi utama yang harus dijalankan oleh partai
politik pada sebuah negara. Sedangkan secara khusus mahasiswa
diharapkan dapat :

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 16


1. Mengetahui fungsi partai politik di negara demokrasi, negara
otoriter/ totaliter dan fungsi partai politik di negara dunia ketiga.
2. Mampu membandingkan fungsi partai politik di negara demo-
krasi, negara otoriter/ totaliter dan fungsi partai politik di negara
berkembang.
3. Mengetahui bagaimana lemahnya fungsi partai politik dan kader
partai politik di negara berkembang.
4. Mampu menganalisa pelaksanaan fungsi partai politik di
Indonesia berdasarkan teori-teori yang ada.

B. Fungsi Partai Politik


1. Fungsi Partai Politik di Negara Demokrasi
Menurut Kousoulas, partai politik di negara demokrasi setidaknya
mempunyai ciri dan fungsi sebagai berikut : 1) Memiliki program berupa
solusi masalah yang dijalankan pada saat berkuasa; 2) Memiliki
organisasi untuk mengartikulasikan kepentingan dan melakukan
rekrutmen politik; 3) Berpartisipasi dalam proses politik, paling tidak
menjadi sponsor kandidat meraih jabatan politik dan pemerintahan;
4) Memakai cara kompetisi untuk meraih kekuasaan dan merebut
dukungan masyarakat. Di sisi lain Sigmund Neumann berpendapat
bahwa fungsi partai politik di negara demokrasi antara lain :1) Sarana
pengatur kehendak masyarakat yang sangat beragam; 2) Mendidik
masyarakat agar bertanggungjawab secara politik; 3) Penghubung
antara pemerintah dan kepentingan masyarakat; 4) Memilih para
pemimpin.
Fungsi partai politik di negara demokrasi menurut Gabriel A.
Almond adalah : 1) Sosialisasi politik, yaitu proses pembentukan sikap
dan orientasi politik para anggota masyarakat; 2) Partisipasi politik,
yaitu proses mobilisasi warga negara ke dalam kehidupan dan kegiatan
politik yang merupakan fungsi khas dari partai politik. Partisipasi partai

17 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


politik merupakan kegiatan warga negara biasa untuk mempengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dalam ikut serta
menentukan pemimpin pemerintah; 3) Rekrutmen politik, yaitu seleksi
dan pemilihan dalam rangka pengangkatan seseorang atau sekelompok
orang untuk melakukan sejumlah peranan dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintahan pada khususnya; 4) Komunikasi politik,
yaitu proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah
kepada masyarakat dan sebaliknya; 5) Pemadu kepentingan, yaitu
menampung dan memadukan berbagai kepentingan masyarakat yang
berbeda-beda dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan itu, Morlino juga mengemukakan pendapatnya
bahwa fungsi partai politik di negara demokrasi yaitu : 1) Alat penarik
dukungan massa dalam pemilu; 2) Sarana Rekruitmen orang-orang
untuk menduduki pos-pos jabatan penting di pemerintahan nasional,
parlemen maupun lokal; 3) Pembuat formulasi pilihan politik alternatif
bagi publik (Agregasi Kepentingan); 4) Sabuk pengaman transimisi
bagi tuntutan-tuntutan sosial; 5) Menjadi Delegasi atau wakil dari
masyarakat sipil. Sedangkan menurut Firmanzah fungsi partai politik
adalah :1) Rekrutmen dan Seleksi Pemimpin; 2) Pembuatan Program
dan Opini Publik; 3) Kontrol terhadap pemerintah; 4) Integrasi Sosial
dalam ideologi Politik; 5) Edukasi Politik.

2. Fungsi Partai Politik di Negara Otoriter dan Totaliter dan


Negara Berkembang.
Menurut Sigmun Neumann setidaknya ada dua fungsi partai
politik di negara otoriter atau totaliter, yaitu :
a. Partai berperan dalam mengendalikan segala aspek kehidupan
masyarakat secara monopolistik. Partai komunis misalnya akan
menjalankan peran utama dalam mengarahkan masyarakat agar
sama-sama berusaha mewujudkan masyarakat komunis. Agar
cita-cita tersebut dapat diwujudkan maka keberadaan partai

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 18


politik yang berbeda ideologi, maupun ideologi lain yang ada di
tengah masyarakat akan ditekan melalui perantara partai tunggal.
b. Memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara
hidup yang sejalan dengan kepentingan partai. Perbedaan pen-
dapat dan ideologi di tengah masyarakat tidak akan dipelihara,
melainkan akan dihilangkan dengan cara mengarahkan mas-
yarakat dalam sebuah ideologi komunis dan fungsi ini dijalankan
oleh partaikomunis.

3. Fungsi Partai Politik di Negara Berkembang


Menurut Miriam Budiardjo hanya ada satu fungsi partai politik
yang berjalan efektif di negara berkembang, yakni partai politik ber-
fungsi sebagai sarana integrasi nasional. Partai politik di negara ber-
kembang pada titik tertentu mampu mempersatukan masyarakat yang
berbeda sehingga dapat diajak bekerjasama untuk kepentingan tertentu.
Lebih jauh Budiardjo menjelaskan bahwa fungsi lain sebagai mana
fungsi partai politik di negara demokrasi maju belum berhasil dijalankan
oleh partai politik di negara berkembang disebabkan lebarnya jarak
antara “pemerintah” dan “diperintah”. Kemudian Budiardjo merinci
fungsi-fungsi yang belum berhasil dijalankan oleh partai politik di negara
berkembang: 1) Menjadi alat mengorganisir kekuasaan politik; 2)
Mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah; 3) Menghubungkan
masyarakat umum dengan proses politik; 4) Merumuskan dan menya-
lurkan aspirasi rakyat; 5) Mengatur konflik kepentingan.
Kenneth Wollack (2002) membenarkan bahwa memang telah
terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik di negara
berkembang yang ditandai dengan : 1) Partai terlalu lemah, personalistis,
korup dan kurang memperjuangkan aspirasi masyarakat; 2) Masya-
rakat frustasi dengan partai politik, sebab partai korup dan menyimpang
dari kebutuhan masyarakat; 3) Masyarakat ragu menjadi anggota
partai; 4) Dukungan terhadap partai melemah, sedangkan dukungan

19 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


untuk calon independen menguat dan gerakan anti partai menguat.
Selanjutnya menurut Aurel Croissant, kekecewaan masyarakat juga
terjadi terhadap wakil partai di parlemen di negara berkembang, misal-
nya di Philipina, Indonesia, Thailand, Kamboja dan Korea Selatan.
Hal ini yang disebabkan oleh : 1) Parlemen—lemah dalam mewakili,
kurang tanggap, dan bersifat inclusive; 2) Ada jarak yang lebar antara
keinginan pemilih dengan wakil partai di parlemen; 3) Wakil partai di
parlemen tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif.

C. Rangkuman
1. Partai politik mempunyai peran berbeda di negara demokrasi
maju, negara otoriter/totaliter maupun negara berkembang. Partai
politik menjalankan berbagai fungsi penting di negara demokrasi
antara lain sarana sosialisasi politik, rekrutmen politik, edukasi
politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi
politik, penghubungan antara masyarakat dan pemerintah,
mengontrol aktivitas pemerintah, integrasi sosial dan menjadi
alat efektif untuk menarik massa dalam pemilu.
2. Partai politik di negara komunis berfungsi sebagai alat utama
untuk mengarahkan masyarakat kepada tujuan mewujudkan
masyarakat komunis, partai politik bukan sebagai pemadu ke-
pentingan, melainkan sebagai alat pemersatu kepentingan dengan
cara menghilangkan kepentingan yang tidak sejalan dengan
kepentingan partai.
3. Fungsi Partai politik di negara maju belum berhasil dijalankan
oleh partai politik di negara berkembang, bahkan imej partai
politik di masyarakat cenderung negatif. Hal ini disebabkan
perilaku partai politik dan kader partai politik di parlemen yang
korup, tidak mendengarkan aspirasi masyarakat, menyimpang
dari kebutuhan masyarakat dan selalu memelihara jarak yang
lebar dengan kepentingan masyarakat.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 20


D. Soal Latihan
1. Jelaskan fungsi Partai Politik di negara demokrasi maju menurut
Konsoulas!
2. Jelaskan fungsi partai politik di negara totaliter komunis menurut
Sigmun Neumann!
3. Jelaskan bentuk krisis partai politik di negara berkembang
menurut Kenneth Wollack!
4. Jelaskan bagaimana perilaku kader partai politik di parlemen
menurut Aurel Croisant!

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Kartawidjaja, PR & Kusumah MW (2003). Kisah Mini Sistem
Kepartaian. ———: Closs.
Klingeman et al (2000). Partai, Kebijakan dan Demokrasi.
Yogyakarta: Jentera.
Roni, Heriyandi. Demokratisasi Internal Partai Golkar Pasca Orde
Baru (1998-2004 ), Disertasi, Universitas Indonesia, 2006.

21 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Bab 4
Sistem Kepartaian dan Model Sistem
Kepartaian di Asia Tenggara

A. Pendahuluan
Pelaksanaan pemilu di setiap negara demokrasi biasanya selalu
diikuti oleh sejumlah partai politik. Adapun jumlah partai politik yang
selalu mengikuti pemilu di sebuah negara ada kalanya jumlahnya selalu
stabil sedang di negara yang lain sering pula terlihat jumlah partai politik
yang mengikuti pemilu selalu berubah-ubah. Kestabilan jumlah partai
politik yang hadir di setiap negara menunjukkan kestabilan sistem
kepartaian di negara itu. Selain itu, sistem kepartaian merupakan cermin
homogenitas atau heterogenitas masyarakat sebuah negara, oleh karena
itu pada negara yang masyarakatnya heterogen akan muncul sistem
kepartaian multi partai, sedangkan dalam negara yang masyarakatnya
homogen cenderung muncul sistem kepartaian dua partai.Adapun model
sistem kepartaian yang dipraktekkan di Indonesia, dari masa orde lama,
orde baru dan reformasi, Indonesia juga memiliki perbedaan. Dalam
rangka memudahkan kita memahami model sistem kepartaian di Indo-
nesia, maka kita perlu mempelajari model-model sistem kepartaian yang
dipraktekkan di negara-negara di asia tenggara yang memang memiliki
model sistem kepartaian yang mirip dengan Indonesia.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 22


Setelah mempelajari bab 4 ini, secara umum mahasiswa diharap-
kan memahami apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian, model-
model sistem kepartaian, dan model sistem kepartaian yang dipraktek-
kan negara-negaraAsia Tenggara. Sedangkan secara khusus mahasiswa
diharapkan dapat :
1. Mengetahui definisi sistem kepartaian dan model-model sistem
kepartaian yang dikemukakan para ahli.
2. Mampu menjelaskan secara teoritik berbagai model sistem
kepartaian yang dikemukakan para ahli.
3. Mengetahui dan memahami factor penyebab terjadinya sistem
kepartaian terten di negara Asia Tenggara.
4. Mampu menjelaskan dan menganalisa model-model sistem
kepartaian yang pernah berlaku di sepanjang sejaran negara
Indonesia.

B. Sistem Kepartaian dan Model Sistem Kepartaian


Menurut Dieter Nohlen dan Elmar Wiesendhal, sistem kepartaian
dipahami sebagai keseluruhan struktur susunan partai-partai politik di
satu negara. Indikator melihat sistem kepartaian adalah : 1) Jumlah
partai yang ada; 2) Derajat fragmentasi atau pengelompokan partai-
partai politik yang ada; 3) Hubungan ideologis atau derajat polarisasi;
4) Pola interaksi antar partai politik berupa koalisi maupun oposisi; 5)
Hubungan partai dengan masyarakat; 6) Posisi partai politik terhadap
sistem politik yang ada, apakah sebagai pendukung atau tidak; 7)
Derajat kelembagaan sistem kepartaian atau stabilnya kehadiran partai
politik dalam setiap pemilu di sebuah negara.
Lebih jauh Mair (1996) mengemukakan model-model sistem
kepartaian yang diungkapkan para ahli, berdasarkan kriteria tertentu
sebagai mana dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

23 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Tabel 2 : Model-Model Sistem Kepartaian
Penemu Prinsip-Kriteria Klasfikasi Tipe Sistem Kepartaian yang Teridentifikasi
Duverger (1954) Jumlah Partai 1. Sistem dua partai
2. Sistem multi partai.
Dhal (1966) Tingkat kompetisi dalam 1. Kompetisi kuat
beroposisi 2. Kooperatif—kompetisi
3. Koalisi—kompetisi
4. Koalisi kuat
Blondel (1968) Jumlah dan ukuran relatif partai 1. Sistem dua partai.
politik 2. Sistem dua partai dan beberapa partai
kecil.
3. Sistem multi partai dengan satu partai
dominan.
4. Sistem multi partai tanpa partai
dominan

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa Duverger (1954)


menjelaskan tipe sistem kepartaian berdasarkan kriteria jumlah partai
politik di sebuah negara, sehingga ia menemukan dua tipe sistem
kepartaian yakni sistem dua partai dan sistem multi partai. Kemudian
Blondel menjelaskan sistem kepartaian dengan kriteria jumlah partai
politik dan ukuran relatifnya dalam sebuah negara, sehingga ia me-
ngemukakan empat tipe sistem kepartaian, yakni sistem dua partai,
sistem dua partai dan beberapa partai kecil, sistem multi partai dengan
satu partai dominan dan sistem multipartai tanpa partai dominan.
Berbeda dengan Duverger dan Blondel, Dahl membedakan sistem
kerpartaian berdasarkan tingkat kompetisi dalam beroposisi, sehingga
ia mengemukakan sistem kepartaian dengan kompetisi kuat, koperatif-
kompetisi, koalisi-kompetisi dan koalisi kuat.

C. Sistem Kepartaian di Asia Tenggara


Berdasarkan data FES (2002), maka model sistem kepartaian
dian sistem politik di beberapa negara asia tenggara dapat dilihat pada
tabel 3 berikut ini:

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 24


Tabel 3 : Sistem Kepartaian dan Sistem Politik Beberapa
Negara Asia Tenggara
No Nama Negara Sistem Kepartaian Siatem Politik
1 Kamboja Multi Partai Non Demokrasi
2 Malaysia Multi partai Semi demokrasi
3 Singapura Multi Partai Semi demokrasi
4 Philipina Multi Partai Demokrasi
5 Thailand Multi partai Demokrasi

Data di tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa semua negara


tersebut walaupun memiliki model sistem politik yang berbeda namun
memiliki model sistem kepartaian yang sama, yakni multi partai.
Munculnya sistem kepartaian di negara-negara Asia tenggara tidak
bisa dilepaskan dari heterogenitas masyarakat yang tinggi dalam sebuah
negara. Semakin heterogen sebuah masyarakat, semakin besar peluang
lahirnya sistem kepartaian multi partai di negara tersebut. Malaysia
misalnya di huni oleh tiga etnis besar yakni Melayu, China dan India
yang masing-masing bersaing untuk berkuasa di bidang politik, sehingga
memicu tiga etnis tersebut untuk mendirikan partai politik untuk
memperjuangkan kepentingan politik etnisnya dalam pembuatan
kebijakan pemerintahan nasional maupun lokal.
Berdasarkan tabel 3 di atas juga dapat dilihat bahwa ada tiga
negara memiliki sistem politik yang kurang demokratis, yakni Singa-
pura, Malaysia dan Kamboja, serta ada dua negara memiliki sistem
politik yang demokrasi yakni Philipina dan Thailand. Menurut Alan
Ware ada bebebrapa ciri sistem kepartaian di negara non demokrasi,
yakni :1) Kompetisi antar partai dalam pemilu berupa kompetisi semu;
2) Sebagian besar partai menggunakan teknik mobilisasi dalam meraih
dukungan; 3) Adakalanya partai bergabung dengan organisasi lain,
misalnya militer; 4) terdapat partai dominan dapat membatasi aktivitas
partai lainnya; 5) sistem kepartaian biasanya didasarkan ideologi.
Sejalan itu, Almond (1996) juga mengemukakan ciri sistem kepartaian
non kompetitif (non demokrasi/ kompetisi semu), yakni: 1) Tidak ada

25 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


kompetisi antar partai yang berarti dalam pemilu; 2) Koorporasi partai
politik—ada satu partai yang terlalu mendominasi partai lainnya; 3)
rezim militer yang kadang kala bekerjasama dengan partai dominan.
Berdasarkan literatur setidaknya ada dua bentuk sistem kepar-
taian yang biasanya khas di negara dunia ketiga :
1. Multi Partai tidak Stabil. Menurut Giovanni Sartori, dalam sistem
multi partai tidak stabil, partai politik lebih merupakan faksi di
tengah masyarakat, partai politik tidak memandang dirinya
bagian dari sistem yang disepakati bersama, tetapi cenderung
bertindak sendiri berdasarkan ideologi yang sempit.
2. Multi partai dengan satu Partai Dominan. Menurut Konsoulas,
partai politik dominan dalam sistem politik ini mempunyai peran,
yakni : 1) Alat efektif untuk melakukan sosialiasi politik men-
dukung pemerintahan; 2) Alat utama pendukung integrasi nasio-
nal; 3) alat pendukung modernisasi ekonomi; 4) Meligitimasi
pemerintahan berkuasa; 5) Menekan partai yang menjadi sai-
ngan, agar tetap menjadi partai dominan dalam sistem politik.

D. Aplikasi Sistem Kepartaian di Asia Tenggara


1. Kamboja.
Sistem politik di Kamboja dinilai tidak demokrasi, disebabkan
kuatnya intervensi militer dibidang politik. Menurut Kessie Neou di
Kamboja tahun 1993 terjadi koalisi partai politik yang diwarnai
intervensi militer terhadap partai politik. Ada tiga partai politik di
Kamboja, yakni CPP (Cambodian People Party), Funcipec ( Front
Uni National Four un Canbodge Independent, Neutre, Pecifique
et Cooperatif) dan SRP ( Sam Rainsy Party). Sistem pemilu yang
dipakai adalah sistem pemilu proporsional terbuka dengan multi
member di setiap daerah pemilihan, yang selalu membuka munculnya
sistem kepartaian multi partai. Partai-partai politik yang ada tidak
mampu bekerja sama dalam sebuah koalisi yang stabil. Di tahun 1993,

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 26


terjadi koalisi pemerintahan antara partai Funcinpec (45%) dan CPP
(38%). Walaupun, CPP pimpinan Hunsen bukan partai pemenang
pemilu, namun dalam menjalankan pemerintahan CPP lebih berpe-
ngaruh dan mendapat dukungan dari pihak militer dibandingkan Funcipec.
Ketika terjadi konflik antara Funcipec dan CPP, militer mendukung
CPP dan memaksa Funcipec keluar dari pemerintahan dan menjadi
partai oposisi. Kemudian pada Pemilu 1998, CPP keluar sebagai
pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 41%, Funcipec
sebanyak 37% dan SRP sebesar 14%. Disebabkan tidak ada partai
mayoritas, CPP dan Funcipec kembali berkoalisi dalam pemerintahan.

2. Malaysia
Sistem politik di Malaysia adalah semu demokrasi yang
diantaranya ditandai tidak adanya kompetisi yang jujur dan adil dalam
pemilu. Menurut Lim Hong Hai (2002), sistem kepartaian di Malaysia
adalah sistem multi partai dan sampai Pemilu 1999, ada dua koalisi
partai politik, yakni koalisi partai memerintah yang dinamakan Barisan
Nasional (UMNO ,MCA dan beberapa partai kecil) dan koalisi partai
oposisi yang terdiri dari PAS, DAP, dan beberapa partai kecil lainnya.
Koalisi Partai pemerintah selalu berusaha melakukan tindakan non
demokratis agar partai oposisi tidak berkembang dengan cara :1)
Membuat aturan sistem pemilu Plurality Single Member District
(FPTP)—menguntungkan partai besar (berkuasa); 2) Mempengaruhi
agar lembaga penyelenggara pemilu agar tidak memproses protes
kelompok oposisi; 3) Melakukan kampanye negatif—fitnah terhadap
partai koalisi; 4) Ada tuduhan Kelompok oposisi bahwa partai
berkuasa merekayasa jumlah pemilih, serta melakukan berbagai
kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Walaupun demikian, partai
oposisi tetap berpartisipasi dalam pemilu.

27 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


3. Singapura
Sistem politik di Singapura juga semu demokrasi dengan ditandai
adanya praktek-praktek politik yang non demokratis yang dilakukan
oleh satu partai dominan bekerjasama dengan pemerintah. Menurut
Yeo Lay Hwee, sistem kepartaian di Singapura adalah sistem multi
partai dengan satu partai dominan yakni Partai Aksi (PAP) . Dalam
setiap pemilu PAP selalu mayoritas ( > 50%) mengalahkan partai SDP,
SPP, NSP dan lain-lain. Singapura memakai sistem pemilu Plurality-
FPTP, yang tentunya akan menguntungkan partai politik yang dominan.
Ada beberapa faktor yang membuat PAP selalu mendapat kemenangan
dalam Pemilu di Singapura, yakni : 1) Mampu memediasi perbedaan
ras dan kepentingan; 2) Selama PAP memerintah ekonomi maju pesat
dan pelayanan dan kehidupan sosial makin baik; 3) Pimpinan PAP
tidak korup dan melakukan pelayanan publik dengan baik; 4) Ke-
kuatan paksaan koersif terhadap oposisi tidak diperlihatkan; 5) Inter-
vensi dan penangkapan oposisi oleh pihak keamanan Singapura; 6)
Pengawasan pemerintahan PAP terhadap media massa; 7) Pemberaian
rumah dan Apartemen bagi pemilih PAP oleh pemerintah; 8) Peme-
rintahan PAP, Mengawasi diskusi politik tentang partai politik; 9)
Kooptasi semua organisasi dan kelompok kepentingan oleh peme-
rintahan PAP; 10) Memberikan nomor seri pada kertas suara, sehingga
para pemilih partai oposisi diketahui oleh pemerintah.

4. Philipina
Sistem politik di Philipa lebih demokratis dengan sistem ke-
partaian multi partai dan terjadi kompetisi antar partai politik yang
cukup berarti dalam pemilu. Menurut Julio Teehankee (2002) di sistem
kepartaian multipartai yg kompetitif berlangsung di Philipina, termasuk
pada Pemilu legislatif tahun 2001. Sebagai hasil pemilu tahun 2001
maka terbentuk terbentuk dua koalisi besar, yakni koalisi partai meme-
rintah yang terdiri dari partai Lakas NUCD-UMPD, LP, Reforma

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 28


LM dan lain-lain, sedangkan koalisi partai oposisi terdiri dari partai
LDP dan LAMMP. Persaingan antar partai politik dalam pemilu tetap
memungkin partai-partai politik di Philipina untuk berkoalisi. Walaupun
menggunakan sistem pemilu FPTP, yang sebenarnya menguntungkan
partai besar namun partai-partai kecil tetap mendapatkan suara, sebab
mereka mengambil penguasa-penguasa lokal yang berpengaruh untuk
menjadi calon legislatifnya. Pemanfaatan penguasa lokal sebagai calon
legislatif oleh partai-partai politik semakin memperkuat politik dinasty
yang telah terjadi di Philipa selama ini.

5. Thailand.
Sistem politik di Thailand cukup demokratis, namum menghasil-
kan sistem multi partai yang tidak stabil.Menurut Orathai Kockpol
pemerintahan di Thailand disusun berdasarkan koalisi partai-partai
tidak stabil yang ditandai dengan terjadinya 2 kali pergantian Perdana
Menteri dan 3 kali reshufle kabinet sejak tahun 1995 sampai dengan
tahun 2001. Misalnya Perdana Menteri Taksin Shinawatra dari thai
rak thai sering terlihat tidak mau berkompromi dengan koalisinya di
parlemen, akibatnya partai-partai koalisi menarik dukungan sehingga
menyebabkan kabinet menjadi jatuh. Selain itu, kekuatan masyarakat
sipil sangat kuat di Thailand bahkan kekuatan ini tidak jarang mampu
mengalahkan peran pemerintah dan partai politik.

E. Rangkuman
1. Sistem kepartaian didefinisikan sebagai keluruhan struktur partai
politik yang ada di sebuah negara. Klasifikasi sistem kepartaian
secara umum dibedakan berdasarkan jumlah partai politik dan
ukuran relatifnya pada sebuah negara. Jenis sistem kepartaian
antara lain : dua partai, dua partai dengan beberapa partai kecil,
multi partai dengan satu partai dominan dan multi partai tanpa
partai dominan.

29 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


2. Secara umum di negara-negara asia tenggara, muncul sistem
kepartaian multi partai tanpa partai dominan seperti di Kamboja,
Malaysia, Philipina, Thailand dan multi partai dengan satu partai
dominan di Singapura.

F. Soal Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian!
2. Jelaskan tipe sistem kepartaian yang di kemukakan Blondel!
3. Jelaskan dua model sistem kepartaian yang biasanya muncul di
negara dunia ketiga, termasuk di negara-negara Asia tenggara!
4. Jelaskan faktor yang menyebabkan PAP selalu menjadi partai
dominan di Singapura!

Daftar Pustaka
Almond, Gabriel dan Powell, Bingham Jr. 1996. Comparative
Politics Today : A World View, Harper Collins College Publisher.
Kartawidjaja, PR & Kusumah MW (2003). Kisah Mini Sistem
Kepartaian. ———: Closs
Stiftung, FE (2002). Electoral Politics in Southeast an East Asia.
Singapore: South East Printing Pte Ltd.
Taylor, RH (1996). The politics of elections in Southeast Asia. USA
: Woodrow Wilson Center and Cambridge.
Ware, Alan (1996). Political Parties and party Sistem. Britain :
Oxford University Press.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 30


Bab 5
Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Pra Kemerdekaan dan Orde Lama

A. Pendahuluan
Peran partai politik dan pimpinan partai politik di awal kemer-
dekaan sangat penting, bahkan peran partai politik semakin starategis
setelah sistem pemerintahan berubah dari presidensiil ke parlementer
yang dikenal dengan era demokrasi parlementer. Pada masa itu, partai-
partai politik lah yang membentuk kabinet dan menentukan jalannya
pemerintahan. Namun disebabkan peran yang besar, tetapi belum diikuti
oleh kedewasaan berpolitik, membuat koalisi partai politik di kabinet
tidak berhasil menjalankan pemerintahan secara efektif. Adanya
kebebasan mendirikan partai politik, menyebabkan terbentuknya
sistem kepartaian multi partai tanpa partai dominan di era demokrasi
parlementer.
Secara umum setelah mempelajari bab 5 ini mahasiswa diharap-
kan mampu memahami sejarah munculnya partai politik dan dinamika
partai politik di era orde lama di Indonesia. Secara khusus mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Mengetahui dinamika berubahnya organisasi pra kemerdekaan
menjadi partai politik setelah Indonesia merdeka.

31 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


2. Mengetahui faktor pendukung hadirnya sistem kepartaian multi
partai di era orde lama.
3. Mengetahui perilaku partai politik di era orde lama.
4. Mengetahui dinamika partai politik yang terjadi dari demokrasi
parlementer ke demokrasi terpimpin.

B. Cikal Bakal Partai Politik di Era Pra Kemerdekaan


Pada masa penjajahan Belanda sebenarnya sudah ada organisasi
yang menempatkan wakilnya di parwakilan (parlemen), namun penem-
patan wakil di parlemen tersebut tidak melalui pemilihan umum, yang
memang pada masa penjajahan Belanda tidak pernah dilaksanakan.
Selain ini badan perwakilan yang terbentuk juga tidak dilengkapi fungsi
elementer parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan,
sehingga perannya badan ini tidak terlalu menonjol. Adapun lembaga
perwakilan di masa Belanda ini dinamakan Volksraad dan didalam
badan tersebut perwakilan organisasi pribumi dibolehkan secara terbatas.
Artinya jumlah wakil kaum penjajah (Belanda) selalu mayoritas
dibandingkan wakil kaum pribumi. Pada tahun 1918, Volksraad terdiri
dari 38 orang anggota dan 1 orang ketua, dari 38 orang anggota
Volksraad, 15 orang diantaranya adalah wakil pribumi, yakni Budi
Utomo, Sarekat Islam dan beberapa kalangan lainnya. Tahun 1931,
muncul tuntutan dari kaum pribumi agar wakil kaum pribumi di tambah
di Volksraad, merespon tuntutan tersebut Belanda mengubah kom-
posisi Volksraad, dengan menambah anggota Volksraad menjadi 60
orang ditambah 1 orang ketua. Selanjutnya 30 orang anggota Volksraad
diambil dari kaum pribumi.
Selain Budi Utomo dan Sarekat Islam yang menempatkan wakil-
nya di Volksraad, ada juga organisasi yang didirikan atas dasarkan
ideologi yang setelah Indonesia merdeka resmi di akui sebagai partai
politik. Organisasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 32


Tabel 4 : Organisasi Cikal Bakal Partai Politik Di Indonesia
Setelah Kemerdekaan
Organisasi/ Partai Tahun Berdiri Ideologi
Indische partij 1912 Kebangsaan
VABB 1911 Pro Belanda
NIVB 1916 Pro Pribumi
CEP 1917 Kristen Protestan
IKP 1918 Katolik
ISDP 1917 Sosial demokrat
ISDV 1919 Komunis
PKI 1920 Komunis
PARI 1927 Komunis
PNI 1927 Nasionalis
Partindo 1931 Nasionalis
PNI baru 1931 Nasionalis
Masyumi 1943 Islam

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa organisasi yang menjadi


cikal bakal partai politik di Indonesia mulai didirikan pada tahun 1912
dan organisasi tersebut telah memiliki ideology tertentu yang nantinya
menjadi dasar perjuangan partai itu. Namun partai politik modern dan
yang benar-benar bersaing sebagai partai politik pada pemilu 1955,
baru mulai berdiri sejak tahun 1920-an, ketika Partai Komunis
Indonesia (PKI) didirikan, kemudian berdiri PARI di tahun 1927 dan
diikuti oleh organisasi/ partai lainnya. Selanjutnya pada 1939 terjadi
kerjasama partai politik yang ideologi atau aliran politiknya sama,
misalnya berdiri GAPI yang merupakan gabungan partai-partai
beraliran nasional dan MIAI (Majelisul Islamil A’laa Indonesia)
membentuk KRI (Komite Rakyat Indonesia) yang berusaha menjadi
payung bagi partai-partai Islam.

C. Partai Politik di Era Demokrasi Parlementer


Partai politik lahir di Indoensia pada dasarnya sebagai alat integ-
rasi masyarakat untuk memperkuat perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Partai politik lahir atas Ide Sjahrir yang mengusulkan
pendirian partai politik dilegalkan dan NKRI sebagai alat perjuangan
untuk menggerakan revolusi dengan tepat dan teratur, pimpinan harus

33 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


merupakan balatentara yang berbentengkan idiologi dan pengetahuan
yang tersusun rapi dalam suatu partai revolusioner. Disebabkan
kebutuhan mendapatkan dukungan dan pengakuan sebagai sebuah
negara yang merdeka dari negara pemenang perang Dunia II dan
menghilangkan kesan Indonesia sebagai negara boneka Jepang, maka
BPKNIP mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk sistem
kepartaian multi partai dengan memberikan kebebasan yang luas untuk
mendirikan partai-partai politik dan mengubah sistem pemerintahan
menjadi sistem parlementer layaknya negara pemenang dunia II.
Usul BPKNIP tersebut setujui oleh pemerintah, dengan menge-
luarkan maklumat pemerintah no. X 1945 tentang kebebasan men-
dirikan partai politik yang berbunyi : pemerintah menyukai timbulnya
partai-partai politik karena dengan adanya partai politik itulah segala
aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin secara teratur.
Diharapkan bahwa partai-partai telah tersusun sebelum dilangsung-
kannya pemilihan umum tahun 1946. Keluarnya maklumat ini menjadi
payung hukum bagi lahirnya banyak partai politik di Indonesia, sehingga
Indonesia menjadi sebuah negara dengan sistem kepartaian multi partai.
Menurut Arbi Sanit, tujuan BPKNIP menuntut pemerintah supaya
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk men-
dirikan partai-partai politik dengan harapan partai-partai politik tersebut
memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai tindaklanjut usul BPKNIP, pemerintah mengeluarkan
dekrit pemerintah tanggal 14 Nov 1945 yang mengamanatkan pengu-
bahan sistem pemerintahan dari presidensiil ke parlementer yang
ditandai dengan menteri bertanggungjawab kepada KNIP sebagai
wakil rakyat. Semua ini untuk menunjukkan di mata sekutu bahwa
Indonesia benar-benar terbebas dari pengaruh Jepang. Untuk menun-
jukkan keseriusan membangun kesan tersebut, maka Sjahrir yang
dikenal dengan tokoh non kolaboratif dengan penjajah ditunjuk sebagai
perdana menteri yang pertama. Kemudian Sjahrir membentuk kabinet
yang di isi oleh tokoh-tokoh partai sosialis dan tokoh non partai.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 34


kebijakan Sjahrir, yang memilih menteri kabinet dipilih bukan atas
pertimbangan kekuatan partai politik yang ada, melainkan atas kede-
katan personal dan ideologis membuat lemahnya dukungan kalangan
partai politik di KNIP terhadap kabinet Sjahrir. Partai politik yang
besar saat ini yakni PNI (Sarmidi mangunsarkoro), Masyumi (Sukiman
Wirjosanjdojo), Partai sosialis (Sjahrir) dan PKI tidak menyukai kebi-
jakan sjarir yang tidak mempertimbangkan mereka dalam pemben-
tukan kabinet, sehigga kabinet Sjahrir jatuh dan digantikan kabinet
Amir Sjarifudin tahun 1947.
Perilaku tokoh-tokoh partai politik yang saling bersaing di era
demokrasi parlementer, membuat kabinet jatuh bangun sehingga
pemerintahan tidak berjalan efektif. Kabinet di isi oleh gabungan partai-
partai politik yang tidak mau berkoalisi secara stabil. Berikut ini
digambarkan pergantian kabinet di era demokrasi parlementer :
Tabel 5 : Pergantian Kabinet di Era Demokrasi Parlemeter
Tahun 1949-1959
No Nama kabinet Perdana Menteri Partai Pendukung Masa kerja
1 RIS Hatta PNI-Masjumi 1949-1950
2 Natsir Natsir Masjumi-PIR 1950-1951
3 Sukiman Sukiman Masjumi-PNI 1951-1952
4 Wilopo Wilopo PNI-Masjumi 1952-1953
5 Ali sastroamidjojo I Ali sastroamidjojo PNI, NU, PIR 1953-1955
6 Burhanuddin Harahap Burhanuddin Harahap Masjumi, NU, PSII 1955-1956
7 Ali sastroamidjojo II Ali sastroamidjojo PNI, Masjumi, NU 1956-1957
8 Djuanda Djuanda PNI 1957-1959

Dalam tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa kabinet di era


demokrasi parlementer rata-rata hanya berumur 1 tahun, hal ini
menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif dan keadaan
ekonomi dalam negeri menjadi memburuk.
Berikut ini di uraikan beberapa pendapat ahli tentang kisruhnya
peran partai politik dan kabinet di era demokrasi parlementer. Menurut
Miriam Budiardjo, penyebab krisis dalam kabinet era demokrasi

35 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


parlementer antara lain adalah :
1. Partai-partai yang bersaing tidak ada yang mendapatkan suara
mayoritas di parlemen, sehingga untuk membentuk kabinet,
partai-partai harus berkoalisi dg partai lain membentuk kabinet.
2. Tidak ada loyalitas dalam koalisi, setiap berbeda pandangan
dengan kinerja kabinet disikapi partai-partai koalisi dengan
langsung menarik dukungan, sehingga kabinet jatuh.
3. Sikap partai yang tidak konsisten, ketika sebuah partai menjadi
partai oposisi, partai tersebut tidak menarik menteri di kabinet
dengan alasan kadernya menjadi menteri disebabkan kedekatan
pribadi, bukan disebabkan pengaruh partainya.
4. Loyalitas anggota terhadap partai tipis, ketika anggota berpe-
ngaruh tidak mendapatkan jabatan di kabinet, anggota partai
tersebut membuat partai baru dan hal ini mempertajam frag-
mentasi partai.
Kemudian Lucian Pye juga mengemukakan beberapa penyakit
partai politik di masa demokrasi parlementer, yakni: 1) Orientasi partai
politik pada ideologi bukan program; 2) partai lebih mengutamakan
kepentingan kelompok dan memprovokasi rakyat untuk mendukung
melindungi kepentingan tersebut; 3) Pemimpin partai politik diangkat
dipusat, sehingga mereka tidak merasa bertanggungjawab kepada
pemilih. Sejalan dengan itu, Giovanni Sartori berpendapat bahwa sistem
multi partai tidak stabil disebabkan oleh partai politik lebih merupakan
faksi ditengah masyarakat, partai politik tidak memandang dirinya
bagian dari sistem yang disepakati bersama, tetapi cenderung bertindak
sendiri berdasarkan ideologi yang sempit.

D. Partai Politik di Era Demokrasi Terpimpin


Ide demokrasi terpimpin dicetuskan oleh presiden Soekarno
karena kecewa melihat sikap kader partai politik di parlemen yang
sering membuat kabinet jatuh bangun, pemerintahan tidak efektif,

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 36


keadaan ekonomi memburuk. Kekecewaan priseden dimulai di tahun
1956, ketika PKI sebagai salah satu partai besar pemenang pemilu
tidak diikutsertakan dalam kabinet. Kemudian pada tanggal 28 Okt
1956, Presiden Soekarno berpidator yang berjudul mengubur partai-
partai dan ia menawarkan konsep demokrasi terpimpin (geleide demo-
cratie). Atas usul Presiden soekarno ini PKI, Murba, TNI AD dan
PNI menyatakan dukungannya, sedangkan NU, PSII, Parkindo, IPKI
bersikap menolak berhati-hati, sebaliknya Masyumi, PSI, P. Katolik,
M. Hatta menolak tegas usulan tersebut. Namun presiden soekarno
tetap melanjutkan konsep demokrasi terpimpin yang kemudian efektif
melalui dekrit presiden 5 Juli 1959.
Pada dasarnya konsep demokrasi terpimpin merupakan usaha
presiden soekarno untuk menghilangkan peran partai politik di parlemen
maupun di kabinet. Usaha mengkonkritkan usul demokrasi terpimpin
pada 21 Feb 1957 dimulai dengan usul membentuk kabinet gotong
royong yang berisi wakil seluruh partai politik di parlemen dan
membentuk dewan nasional yang mewakili semua wakil golongan
fungsional. Pada tanggal, 9 April 1957 presiden membentuk kabinet
Juanda, dengan memasukkan tokoh-tokoh non partai di tambah tokoh
partai politik PNI dan NU). Usaha menghilangkan peran partai di
kabinet dilanjutkan pada bulan juli 1959 dengan membentuk kabinet
kerja yang diisi oleh pengikut Soekarno (non partai) dan TNI AD.
Usaha menghilangkan peran partai politik di parlemen mendapatkan
momen ketika pemberontakan di daerah meluas, DPR hasil Pemilu 1955
lumpuh sehingga negara dalam keadaan darurat, maka pada tanggal
14-15 Agustus 1958, presiden Soekarno membentuk DPR baru yang
sebagian besar berisi golongan fungsional dan membuat UU kepartaian
baru membolehkan partisipasi golongan fungsional.Akibat dua kebijakan
tersebut peran partai politik di parlemen sudah jauh berkurang.
Selain itu, presiden soekarno juga berusaha mengurangi jumlah
partai politik dengan hanya mengakui10 Partai dari 26 partai peserta
Pemilu 1955, yakni: PNI, NU, PKI, Parkindo, P. Katolik, PSII, Perti,

37 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Murba, IPKI dan Parkindo yang berhak atas 47,4% anggota DPR-
GR, sedangkan 52,6% anggota DPR-GR diambil darigolongan fungsional.
Kemudian mengeluarkan Perpres No. 7/1959 yang isinya bertujuan
untuk menyederhanakan partai politik, sedangkan Masyumi dan PSI
dibubarkan sebab dianggap terlibat PRRI Semesta. Presiden Soekarno—
berhasil mematahlan kendali partai politik di kabinet dan Parlemen.
Presiden Soekarno berhasil mematahlan kendali partai politik di
kabinet dan Parlemen namun beliau tidak berhasil mengubur partai-
partai politik sebab presiden butuh dukungan partai melalui massanya
untuk menghadapi hubungannya yang sering tegang dengan TNI AD.
PKI sebagai sebuah partai yang militan dibiarkan berkembang sebagai
penyeimbang TNI AD sehingga pada tahun 1965 PKI menunjukkan
diri sebagai partai dominan di parlemen, kabinet, massa bahkan dalam
TNI.

E. Rangkuman
1. Sebelum kemerdekaan sudah ada organisasi yang mirip partai
politik dengan menempatkan wakilnya di Volkraad (badan Per-
wakilan) zaman Belanda, diantaranya Budi Utomo dan Sarekat
Islam. Selanjutnya di tahun 1920-an, muncul organisasi-organisasi
yang menjadi cikal bakal partai politik di masa Indonesia
merdeka, misalnya PKI, PNI dll.
2. Sistem kepartaian di era demokrasi parlementer adalah sistem
multi partai tidak stabil yang ditandai jatuh bangunnya kabinet
disebabkan perilaku elit partai politik yang terlalu berorientasi
kepentingan ideologi dan kepentingan kelompok.
3. Di masa demokrasi terpimpin, presiden soekarno berusaha
mengurangi peran partai politik di parlemen, mengurangi peran
partai politik di kabinet dan berusaha menguragi jumlah partai
politik.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 38


F. Soal Latihan
1. Jelaskan dasar munculnya partai politik dan sistem kepartaian
di awalkemerdekaan!
2. Jelaskan apa penyebab sistem kepartaian tidak stabil di era
demokrasi parlementer menurut Miriam Budiardjo!
3. Jelaskan usaha-usaha yang dilakukan oleh presiden Soekarno
untuk mengurangi peran partai politik di kabinet maupun di
parlemen!
4. Jelaskan faktor yang menyebabkan presiden Soekarno tetap
membiarkan PKI berkembang sampai tahun 1965!

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Feith Herbert (1999). Pemilihan Umum 1955. Jakarta: KPG.
Hamid, AF (2008). Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi
Politik dalam Negara Kebangsaan. Jakarta (Kemitraan).
Karim, M.R et. al (1983). Perjalanan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: CV. Rajawali.
Jurnal Ilmu Politik Volume 13 tahun 1993, AIPI dan LIPI, Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.

39 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Bab 6
Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Orde Baru dan Reformasi

A. Pendahuluan
Berlakunya sistem politik otoriter dimasa orde baru secara langsung
mempengaruhi dinamika partai politik yang ada pada masa itu. Di
masa orde baru, penguasa melakukan berbagai upaya non demokratis
agar partai politik yang bukan pendukung pemerintah tidak ber-
kembang, bahkan menjadi bonsai. Di era orde baru muncul sistem
kepartaian multi partai dengan satu partai dominan, yakni golongan
karya. Sebaliknya di era reformasi berlaku sistem politik yang lebih
demokratis, sehingga memunculkan sistem kepartaian multi partai tanpa
partai dominan mirip sistem kepartaian pada pemilu 1955. Dinamika
partai politik di masa ini menarik untuk dibahas, adanya perbedaan
sistem politik yang bertolak belakang di dua era ini.
Setelah mempelajari bab 6 ini secara umum mahasiswa diharap-
kan dapat memahami dinamika partai politik dan sistem kepartaian
yang terbentuk pada masa orde baru dan orde reformasi. Sedangkan
secara khusus mahasiswa diharapkan dapat:
1. Mengetahui upaya-upaya penyederhanaan partai politik yang
dilakukan oleh pemerintah orde baru, sehingga muncul sistem
kepartaian multi partai dengan satu partai dominan.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 40


2. Mengetahui factor pendukung munculnya sistem kepartaian
multi partai tanpa partai politik dominan di era reformasi.
3. Mengetahui metode penyederhanaan partai politik yang
dilakukan di era reformasi.

B. Partai Politik di Era Orde Baru


Era orde baru ditandai dengan mulai berkuasanya Soeharto di
tahun 1965 sampai dengan tahun 1998. Kehidupan partai politik di
masa orde baru ditandai dengan berbagai usaha penguasa untuk me-
ngurangi jumlah dan peran partai politik di parlemen, di kabinet dan
dalam aktivitas akar rumput. Kisah pengurangan jumlah partai politik
dimulai ketika soeharto membekukan PKI dan Partindo yang diduga
kuat terlibat dalam gerakan 30 September 1965 berdasarkan surat
perintah sebelas maret dari presiden Soekarno yang sampai saat ini
masih kontroversi apa isi perintah yang sebenarnya ada dalam surat
tersebut.
Kemudian usaha mengurangi jumlah partai politik terus diupaya-
kan oleh penguasa sebelum pemilu 1971. Usaha tersebut antara lain
adalah mendesak PNI yang dianggap dekat Soekarno untuk mem-
bekukan diri di tahun 1967. Kemudian penguasa menolak rehabilitasi
Partai Masyumi di tahun 1968. Selanjutnya Parmusi yang dianggap
warisan Masyumi ditetapkan pimpinannya oleh pemerintah orde baru
tahun 1970. Keinginan Hatta dan aktivis HMI untuk mendirikan Partai
baru PDII ditolak pendirian status hukumnya oleh pemerintah orde
baru. Rencana kongres umat Islam tahun 1969 untuk membangkitkan
kembali Partai Masyumi dilarang dan banyak anggota Masyumi dibuat
tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Selain itu penguasa orde baru juga ingin mempunyai “partai politik”
sendiri yang dibesarkan melalui cara-cara yang tidak fair. Kendaraan
tersebut adalah golangan karya, yang dijadikan “partai” pendukung
penguasa dengan tujuan memperoleh dukungan massa dalam pemilu.

41 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Untuk membesarkan golongan karya, penguasa orde baru memberi-
kan fasilitas yang luar biasa termasuk dukungan peraturan perundangan
dan didukung oleh militer untuk menindas partai-partai politik yang
menjadi pesaing politik Golongan Karya agar kalah dalam Pemilu.
Pegawai negeri yang selama ini menjadi pendukung PNI dilarang menjadi
anggota partai politik berdasarkan Peraturan Menteri No. 12 Tahun
1969. Kemudian militer menekan basis-basis PKI, dan Masyumi di
desa-desa untuk berpaling mendukung Golkar.
Selain itu penguasa orde baru melalui Ali Murtopo mengusulkan
RUU pemilu tahun 1967 kepada parlemen yang intinya menguntungkan
Golongan Karya dan ABRI, yakni pemakaian sistem pemilihan distrik,
ABRI mendapatkan kursi di DPR tanpa ikut Pemilu dan menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan ormas. Namun usul
Ali Murtopo tersebut mendapat tentangan keras dari partai politik, namun
tetap diperoleh kesepakatan pada tahun 1967 yakni penggunaan sistem
pemilu proporsional dan presiden berhak mengangkat 100 kursi Parle-
men dengan komposisi 75ABRI dan 25 nonABRI. Kemudian Soeharto
diangkat jadi presiden tanggal 27 Maret 1968 dan Pemilu ditunda
menjadi tahun1971.
Pada Pemilu tahun 1971 Pemilu 3 juli 1971 : Golkar (62,82%),
NU (18,67%), Parmusi (7,36%), PNI (6,93%) dan 6 partai lainnya
dibawah 5%. Kemudian sesuai kesepakatan 100 kursi parlemen
diserahkan kepada 75 kursi untuk ABRI, dan 25 kursi kalangan yang
lainnya sesuai keinginan penguasa orde baru. Kemenangan Golongan
karya ini ditambah 100 kursi parlemen memudahkan Soeharto kembali
berkuasa dan usaha-usaha mengurangi jumlah partai politik dilanjutkan
dengan agenda fusi partai politik di tahun 1975. Partai politik yang
ada “dipaksa” bergabung ke dalam 3 kelompok dan memakai azas
tunggal pancasila berdasarkan UU No.3 tahun 1975. Dampak dari
Undang-Undang tersebut Indonesia hanya memiliki 3 partai politik
yakni :

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 42


1. Golongan Nasionalis terdiri dari Partai Katolik, Parkindo, PNI,
IPKI dan Murba Bersatu dalam Partai Demokrasi Indonesia
(PDI)
2. Golongan Spritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti
bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
3. Golongan Karya.
Kebijakan mengharuskan fusi partai dan pemakaian azas tunggal
Pancasila ini menyulitkan partai PDI dan PPP dan menguntungkan
partai Golkar. Basis fanatis islam kehilangan minat memilih PPP, sebab
PPP azasnya sudah berubah menjadi pancasila, demikan juga dengan
basis massa fanatik nasionalis kehilangan minat untuk memilih PDI,
sebab PDI azasnya pun sudah pancasila juga. Sedangkan Golkar
merupakan pihak diuntungkan, dengan keluarnya basis massa fanatic
masing-masing partai tersebut, semakin memudahkan Golkar meme-
nangkan Pemilu. Menurut Deliar Noer, pemakaian asas tunggal
Pancasila menimbulkan masalah, yakni :1) Menafikan adanya
perbedaan paham dalam masyarakat; 2) Menghalangi orang yang satu
paham berkelompok memperjuangkan pahamnya; 3) Menafikan
hubungan antara agama dan politik—sekulerisasi; 4) Mengandung
kecenderungan kearah partai tunggal; 5) Menghalangi berkembangnya
paham-paham yang bersumber agama dalam kegiatan politik.
Setelah pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 Golkar selalu
mendapatkan suara di atas 50% di setiap pemilu, sedangkan PPP dan
PDI tidak banyak memperoleh suara secara nasional maupun lokal.
Artinya sistem kepartaian kita di masa orde baru adalah sistem kepar-
taian multi parati dengan satu partai dominan, yakni Golkar. Menurut
Mochtar Mas’oed ada 6 Strategi yang dilakukan oleh penguasa orde
baru untuk mengendalikan partai politik saingan Golongan Karya,
yakni: 1) adanya mekanisme recall anggota parlemen oleh ketua partai
atas permintaan pemerintah; 2) Seleksi pimpinan partai harus mendapat
clearance (persetujuan) dari pemerintah; 3) Intervensi dalam kongres

43 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


partai, agar calon yang tidak disetujui pemerintah tidak dapat dipilih;
4) Pegawai negeri dicegah menjadi anggota PPP dan PDI, tetapi
dianjurkan memilih Golkar; 5) Mencegah partai mengorganisasikan
massa sampai ke tingkat desa; 6) Melakukan penelitian khusus ter-
hadap Calon legislatif dan menyingkirkan Calon Legislatif yang dianggap
bertentangan denganpemerintah.
Partai politik di era orde baru tidak dapat mengembangkan
dirinya secara optimal disebabkan berbagai rekayasa oleh penguasa.
Ada pun kondisi PDI dimasa Orde baru menurut Abdul Majid antara
lain: 1) Tidak mendapat kesempatan untuk mencerdaskan dan
meningkatkan kesadaran politik dan kesadaran ideologi rakyat; 2)
Kehilangan otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri; 3)
Kehilangan kemerdekaan memilih pemimpin sendiri; 4) Tidak mampu
melakukan pengawasan secara teliti dan objektif terhadap pelaksana
pemerintahan; 5) Mengalami hambatan dan sumbatan dalam melak-
sanakan dan mewujudkan kedaulatan anggota dengan sewajarnya
dalam tubuh sendiri. Disebabkan berbagai rekayasa penguasa orde
baru dan kroni-kroninya, maka Golongan Karya selalu menang mutlak
dalam setiap pemilu.

C. Partai Politik di Era Reformasi


Di era reformasi terdapat kebebasan mendirikan partai politik,
akibatnya ratusan partai politik berdiri untuk menghadapi pemilu 1999,
namun setelah dilakukan verifikasi oleh panitia penyelenggara pemilu
nasional yang berhak menjadi peserta pemilu 1999 hanya 48 partai
politik. Hasil pemilu 1999 menunjukkan tidak adanya partai mayoritas
dan kembalinya hubungan ideologis antara massa pemilih dengan partai
politik reingkarnasi partai politik tahun 1955. W. Liddle menjelaskan
bahwa basis massa Partai pemenang Pemilu 1999 antara lain PDIP
mendapatkan 35% suara secara nasional berasal dari suara basis PNI;
PKB mendapatkan basis massa NU; PAN mendapatkan basis

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 44


modernis Muhammadiyah; PBB mendapatkan basis massa masyumi;
PPP mendapatkan basis massa umat Islam; sedangkan Golkar
mendapatkan suara dari pemilihnya yang loyal. Kehadiran partai politik
yang demikian banyak dan tidak ada partai yang mayoritas, menunjuk-
kan sistem kepartaian di masa reformasi adalah multi partai tanpa partai
mayoritas.
Dalam persaingan untuk merebut kekuasaan sebagai presiden
dan ketua MPR, parati politik terbagi kedalam tiga kekuatan politik
utama, yaitu: 1) Kelompok Megawati (PDIP, PKP, PBTI, PDKB,
PNI-M, PNI F-M = 168); 2) Kelompok Habibie (Golkar, TNI, PDI,
IPKI, PDR, PP = 163); 2) Poros Tengah (PPP, PKB, PAN, PBB,
PK, PKU, PSII, PNU = 169). Persaingan dalam merebut jabatan
presiden dan ketua MPR dimenangkan oleh poros tengah yang mampu
melobi kelompok Habibie. Ketua MPR dijabat oleh Amien Rais,
Presiden dijabat oleh Gusdur yang keduanya berasal dari kelompok
Poros Tengah.
Adapun usaha mengurangi partai politik di era reformasi dilakukan
secara halus, yakni dengan menetapkan ambang batas perolehan suara
partai secara nasional (elektoral threshold) sebesar 2% sebagaimana
tertuang dalam UU no. 3 tahun 1999 tentang Pemilu. Partai politik
yang memperoleh suara dibawah 2% dinyatakan tidak lolos elektoral
threshold dan diharuskan berganti nama jika mengikuti pemilu 2004.
Pemilu 2004 dilaksanakan setelah amandemen UUD 1945 yang
di dalamnya memberikan peran penting bagi partai politik yakni
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil secara langsung.
Pemilu 2004 dilaksanakan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002
tentang Pemilu dan Partai Politik, yang diikuti 24 partai politik yakni 6
partai yang lolos elektoral threshold Pemilu 1999 yakni PDIP, P.
Golkar, PPP, PAN, PKB, PBB ditambah dengan peserta baru yakni
P. Demokrat, PBR, PKS dll. Elektoral threshold Pemilu 2004
ditetapkan sebesar 3%, akibatnya hanya 7 partai yang lolos yakni

45 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


PDIP, P. Golkar, P. Demokrat, PPP, PKB, PAN dan PKS. Bagi partai
politik yang tidak lolos electoral threshold diharuskan mengganti nama
untuk menghadapi Pemilu 2009, namun hukuman tersebut tidak sempat
dijalankan sebab menjelang pemilu dilaksanakan UU Pemilu diganti
dengan UU No.10 Tahun 2008, yang tidak mengharuskan adanya
pergantian nama.
Pada Pemilu Presiden secara langsung tahun 2004, partai politik
mengajukan calon-calon untuk diusulkan menjadi presiden dan wakil
presiden periode 2004-2009 yang dapat dirinci sebagai berikut: 1)
SBY-Kalla, didukung oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI; 2) Mega-
Hasyim, didukung oleh PDIP dan PDS; 3) Wiranto—Gus Sholah,
diusung oleh partai Golkar dan PKB; 4) Amien—Siswono, diusung
oleh PAN; 5) Hamzah—Agum, diusung oleh PPP. Disebabkan tidak
adanya pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%+1,
maka pemilihan presiden dilanjutkan ke putaran kedua, yang diikuti
oleh dua pasangan calon, yakni pasangan SBY-Kalla yang didukung
oleh Partai Demokrat, PBB , PKPI—PAN dan PKS melawan
pasangan Mega-Hasyim yang didukung oleh PDIP ,PDS, P. Golkar,
PPP dan PKB. Pemilu 2004 dimenangkan oleh pasangan SBY-Kalla,
pasangan ini tetap melibatkan partai-partai politik yang bukan
pendukungnya dalam pemilihan presiden dalam kabinet mereka.
Selanjutnya pada tahun 2009, penyederhanaan partai politik
menggunakan sistem parlementary threshold 2,5%. Sesuai pasal 202
ayat 1 UU No.10 Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai politik yang
mendapat suara kecil 2,5%, tidak berhak mendapatkan kursi di
parlemen, dengan demikian suaranya hangus. Kemudian dalam Pasal
202 ayat 2 dijelaskan bahwa konsep parlementary threshold tidak
berlaku pada penentuan kursi DPRD provinsi & kabupaten/ kota.
Adapun partai politik yang lolos Parlementary Threshold pada pemilu
1999 adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PKS, PAN,
PKB, P. Gerindra dan P. Hanura.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 46


D. Rangkuman
1. Sistem kepartaian di Indonesia pada masa orde baru adalah
multipartai dengan satu partai dominan yakni golongan karya.
Penguasa orde baru melakukan berbagai usaha yang tidak
demokratsi untuk selalu membuat Golongan Karya selalu unggul
dan PDI serta PPP tetap menjadi partai bonsai.
2. Usaha penyederhanaan partai politik di era orde baru dilakukan
secara paksaan dengan menfusikan partai politik ke dalam dua
golongan yakni golongan nasionalis dan golongan agama.
3. Di sebabkan adanya kebebasan mendirikan partai politik, maka
pada masa reformasi muncul sistem kepartaian multi partai tanpa
partai dominan.
4. Usaha penyederhanaan partai politik dilakukan lewat cara yang
lebih lunak, yakni dengan memberlakukan electoral threshold
pada Pemilu 1999 & Pemilu 2004, sedangkan pada Pemilu
2009 diberlakukan parlementary threshold.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan teknik yang digunakan pemerintah orde baru untuk
mengendalikan partai politik!
2. Jelaskan keadaan PDI dimasa orde baru menurut Abdul Madjid!
3. Jelaskan perbedaan model sistem kepartaian yang berlaku di
era orde baru dan reformasi!
4. Jelaskan metode penyederhanaan partai politik yang diterapkan
pada masa reformasi!

Daftar Pustaka
Hamid, AF (2008). Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi
Politik dalam Negara Kebangsaan. Jakarta (Kemitraan).

47 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Karim, M.R et. al (1983). Perjalanan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: CV. Rajawali.
Sanit, Arbi (2007). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suharsono (1999). Cermerlangnya Poros Tengah. Jakarta: Perenial
Press.
Jurnal Ilmu Politik Volume 13 tahun 1993, AIPI dan LIPI, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 48


Bab 7
Sistem Pemilihan Umum Majoritarian

A. Pendahuluan
Sistem pemilu majoritarian biasa digunakan untuk memilih
anggota legislatif maupun memilih pimpinan eksekutif diberbagai negara.
Sistem pemilu ini memiliki cukup banyak variasi, yang beberapa di-
antaranya dipakai di dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Pemilihan Presiden dan Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota
di Indonesia. Pengetahuan yang memadai tentang sistem Pemilu majo-
ritarian menambah wawasan sekaligus membuat kita mampu men-
jelaskan bagaimana mekanisme Pemilihan Presiden dan Pemilihan
Gubernur, Bupati/Walikota di Indonesia sebagaimana yang telah di-
amanatkan dalam aturan perundangan.
Setelah mempelajari bab 7 ini, secara umum mahasiswa diharap-
kan dapat memahami dan menjelaskan model-model sistem Pemilu
majoritarian. Secara khusus mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan secara detail varian-varian sistem pemilihan
majoritarian.
2. Mengetahui sistem Pemilu majoritarian yang biasa di gunakan
pada pemilu legislatif.

49 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


3. Mengetahui sistem pemilu majoritarian yang biasa digunakan
untuk memilih pimpinan eksekutif.

B. Model Sistem Pemilihan Majoritarian


Menurut Norris (2004) system pemilihan majoritarian memakai
prinsip yang dipakai “ winner take all”, individu atau partai pemenang
akan mengambil alih dukungan partai yang kalah. Maksudnya barang
siapa yang mendapat suara mayoritas dalam sebuah pemilihan maka
ditetapkan sebagai pemenang kompetisi tersebut. Tujuan pemakaian
system pemilu majoritarian adalah memunculkan sebuah partai mayo-
ritas untuk memerintah dan bekerja secara efektif di parlemen. Selain
itu, juga bertujuan mengkonsentrasikan kekuasaan pada sebuah partai,
dan bukan menyediakan perwakilan semua golongan minoritas.
Sistem pemilihan majoritarian mempunyai dua varian, yakni
varian plurality yang terdiri dari FPTP, SNTV, BV serta varian majority
yang terdiri dari runoff dan AV. Varian sistem pemilihan majoritarian
dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:

Bagan Sistem Pemilu Majoritarian


MAJORITARIAN

MAJORITY PLURALITY

RUNOFF AV FPTP SNTV BV

Adapun penjelasan varian-varian sistem pemilihan plurality seba-


gaimana yang di gambarkan pada bagan tersebut diuraikan sebagai
berikut:

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 50


1. First-Pass-The-Post (FPTP).
Sistem Pemilu ini biasa digunakan dalam pemilihan untuk
setiap distrik satu orang wakil (single member plurality election),
pemilih hanya mempunyai satu suara untuk memilih satu orang
calon. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak diantara rival-
rivalnya dinyatakan sebagai pemenang pemilihan itu. Dalam sistem
ini pemenang tidak ditentukan dengan prinsip harus mendapatkan
suara mayoritas absolut (50% + 1), tetapi barangsiapa yang
mendapatkan suara terbanayak tidak harus mencapai mayoritas
absolut langsung ditetapkan sebagai pemenang. Di AS, system ini
digunakan untuk memilih beberapa wakil yang masing-masing
mempunyai perbedaan jabatan yang dituju dalam satu distrik.
System ini dipakai di 54 negara, yakni Inggris, India dll.
2. SNTV (Single Non Tranferable Vote).
Dalam system pemilu ini setiap pemilih punya satu suara dan
hanya memilih satu orang calon (kandidat). Dalam distrik tersebut
terdapat beberapa kursi (multi member district), dan pemilih
hanya diperkenankan memilih satu orang calon yang ada di distrik
tersebut. Masing-masing kandidat akan bersaing baik secara intern
partai maupun dengan kandidat dari partai lainnya. Kandidat yang
memperoleh suara terbanyak sesuai jumlah kursi yang dibutuhkan
dinyatakan sebagai pemenang. Sistem ini dipakai di Jepang untuk
memilih sebagian anggota legislatifnya dan untuk memilih anggota
dewan perwakilan rakyat daerah di Indonesia.
3. Bloc Vote.
Dalam systempemilu ini, setiap pemilih diperbolehkan memilih
calon sebanyak jumlah kursi yang tersedia. Jika kursi tersedia 4,
maka seorang pemilih boleh memilih 4 calon tanpa mempedulikan
partai. Satu daerah pemilihan lebih dari satu kursi (multi member
district), jumlah kursi setiap daerah pemilihan bisa dua, tiga dll.
Kandidat peraih suara terbanyak sesuai jumlah kursi dinyatakan

51 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


sebagai pemenang. System pemilu ini dipakai di 9 negara, misalnya:
Laos, Maldives dll.

Selanjutnya Norris (2004) menjelaskan Varian Majority Election,


yakni:
1. Second Ballot Election— “runoff” Election.
Dalam system pemilihan ini, setiap pemilih punya satu suara,
dan hanya boleh memilih untuk satu kandidat atau pasangan
kandidat. Kandidat hanya akan dinyatakan menang, jika men-
dapatkan suara mayoritas absolute (50%+1). Pemilihan dapat
dilakukan dalam sekali putaran, namun tidak menutup kemungkinan
dilakukan pemilihan dalam dua putaran. Jika tidak ada kandidat
yang menang 50% + 1 pada Pemilu putaran pertama, maka
diadakan pemilihan selanjutnya dengan pesertanya adalah dua
kandidat yang memperoleh suara terbanyak (terbanyak 1 dan
Terbanyak 2). Selanjutnya kandidat yang memperoleh suara 50%
+ 1 lah yang selanjutnya dinyatakan sebagai pemenang. Sistem
pemilu ini dipakai di 24 negara antara lain di Indonesia, Kongo,
Iran, Kuba dll.
2. Alternatif Vote (AV).
Sistem pemilu ini dilakukan untuk memilih satu orang wakil
di setiap distrik (Single Member District). Setiap pemilih boleh
memilih lebih dari satu calon yang dikehendaki, dengan menandai
prioritas satu, prioritas kedua dan seterusnya. Kandidat terpilih
adalah kandidat yang paling banyak mendapatkan prioritas
pertama sebanyak 50% + 1. Jika kandidat tidak ada yang men-
capai mayoritas 50% +1, maka kandidat terpilih adalah kandidat
yang mendapat prioritas pertama dan kedua dari pemilih. System
pemilu ini dipakai di Australia dan di negara Fiji.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 52


C. Sistem Pemilihan Presiden
Sistem pemilihan majoritarian biasanya juga digunakan untuk
memilih presiden di beberapa negara. Reynold & Reilly (2001), merinci
sistem pemilihan presiden di beberapa negara, yakni:
1. FPTP, dipakaidi Venezuela tahun 1993, sehingga Rafael Caldera
yang mendapatkan suara tertinggi yakni 30,5% ditetapkan se-
bagai pemenang. Pada tahun 1990-an, sistem ini dipakai untuk
memilih presiden Fidel Ramos dengan suara terbanyak 25%.
2. Sistem dua putaran:
a. Dua calon terkuat (majority-runoff).Dalam sistem
ini kandidat dinyatakan jika mendapatkan suara
mayoritas mutlak (minimal 50%+1), jika tidak ada
yang mendapatkan suara mayoritas mutlak pada pu-
taran pertama, maka kandidat yang memperoleh suara
terbanyak 1 dan terbanyak 2 kembali bertarung pada
putaran kedua dan calon yang mendapat suara
moyoritas mutlaklah yang ditetapkan sebagai pemenang.
Misalnya system pemilihan presiden di Indonesia.
b. Antara lebih dari dua calon (majority-plurality).
Kandidat dinyatakan menang jika mendapatkan suara
terbanyak, tidak harus mayoritas absolut, misalnya
pemilihan presiden di Argentina yang menetapkan
kandidat pemenang jika yang bersangkutan memperoleh
suara lebih dari 45%), sedangkan di Kostarika syarat
presiden dinyatakan menang jika mendapatkan suara
besar dari 40%. Di beberapa negara, dipakai persyaratan
penyebaran suara, misalnya di Negeria, pemenang
diharuskan dapat 1/3 suara dari 2/3 provinsi.
3. Preferential Voting (AV). Kandidat yang dinyatakan peme-
nang adalah kandidat yang mendapatkan prioritas pertama
secara mutlak (minimal 50% + 1). Jika tidak ada calon menang

53 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


mutlak, semua calon selain dua calon yang memperoleh alter-
natif 1 terbanyak dicoret dan suaranya dipindahkan ke dua
calon yang memperoleh alternatif 1 terbanyak. Pemindahan
suara itu dengan melihat preferensi pemilih terhadap dua calon
tersebut. Kandidat yang lebih banyak mendapatkan prioritas
1 dan 2 ditetapkan sebagai pemenang.

D. Rangkuman
1. Sistem pemilu majoritarian memakai prinsip yang menang
mengambil alih semua jatah kursi. Sistem ini menguntungkan
partai mayoritas dan bertujuan membentuk pemerintahan yang
efektif.
2. Sistem pemilu majoritarian terdiri dari dua varian yakni plurality
dan majority. Varian majority terdiri dari runoff dan AV, sedang-
kan varian plurality terdiri dari FPTP, SNTV dan BV.
3. Sistem pemilu majoritarian biasa juga dipakai untuk memilih
presiden di berbagai negara, misalnya runoff, SNTV, FPTP dan
majority-plurality.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan prinsip utama system pemilu majoritarian!
2. Jelaskan prinsip sistem pemilu AV!
3. Jelaskan prinsip sistem pemilu BV!
4. Jelaskan prinsip sistem pemilu FPTP!

Daftar Pustaka
ACE Project, 1998. Sistem Pemilu. Kerjasama IDEA, UN dan IFES
Asfar, Muhammad dkk (2002). Model-model Sistem Pemilihan di
Indonesia. Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 54


LeDuc, Lawrence, et al (1996). Comparing Democraties Election
and Voting in Global Persfektif. California: Sage Publication,
Inc.
Norris, Pippa (2004). Electoral Engineering: Voting Rules and
political Behavior. New York: Cambridge university press.

55 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Bab 8
Sistem Pemilu
Proporsional & Kombinasi

A. Pendahuluan
Sistem pemilu proporsional dengan beberapa variasinya telah
biasa digunakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat di
Indonesia. Sistem pemilu ini masih memberi ruang bertahannya partai
politik dengan kategori menengah dan partai kecil. Sistem pemilu ini,
masih dipertahankan di Indonesia mengingat heterogonitasnya
masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Tetap berlakunya sistem
pemilu proporsional ini membuat sistem kepartaian Indonesia dengan
multi partai tanpa partai dominan. Sedangkan sistem pemilu kombinasi
juga dipakai di Indonesia yakni untuk memilih anggota DPR secara
proporsional dan memilih anggota DPD dengan sistem pemilu SNTV
(majoritarian). Mengingat eksisnya sistem pemilu proporsional di
Indonesia, maka pengetahuan yang memadai tentang sistem pemilu
proporsional perlu didapatkan.
Setelah membaca bab 8 ini, secara umum mahasiswa diharapkan
dapat mengetahui varian-varian sistem pemilu proporsional dan sistem
pemilu kombinasi. Sedangkan secara khusus mahasiswa diharapkan
dapat:

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 56


1. Memahami pemakaian formula yang digunakan untuk me-
nentukan partai politik mana yang berhak mendapatkan kursi
di derah pemilihan tersebut.
2. Mampu menjelaskan berbagai varian sistem Pemilu proporsional.
3. Mampu menjelaskan berbagai varian sistem pemilu kombinasi.

B. Sistem Pemilu Proporsional


Menurut Norris (2004) ada dua formula yang dipakai dalam
penentuan kursi dalam sistem pemilu proporsional, yaitu menggunakan
bilangan pembagi (the highest averages) atau sisa suara suara
terbesar atau quota ( the largest remainders). Variasi metode bilangan
pembagi (the highest averages), memakai dua jenis formula yakni :
1. d’Hondt formula
Dalam formula ini, kursi ditentukan dengan beberapa kali
perhitungan dengan perhitungan pertama, kedua dan selanjutnya.
Setiap perhitungan dilakukan dengan membagi perolehan suara
tertinggi dengan ( 1, 2, 3, 4 dst). Kemudian Partai atau kandidat
yang mendapatkan kursi ialah partai yang suara di atas pembagi
terakhir sesuai jumlah kursi. formula d’Hondt menguntungkan
partai besar.
2. Sainte-Lague formula
Dalam formula ini, kursi ditentukan dengan beberapa kali
perhitungan pertama dan seterusnya dengan bilangan pembagi
suara (1,4 ; 3; 5; 9…). Partai atau kandidat yang mendapatkan
suara di atas jumlah bilangan pembagi suara dinyatakan sebagai
kandidatterpilih.FormulaSainte-Laguemenguntungkanpartaikecil.

Kemudian penentuan kursi yang didapatkan partai politik dengan


metode sisa suara terbesar ( the largest remainders) diuraikan sebagai
berikut:

57 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


1. Kuota Hare
Bilangan Pembagi pemilih (BPP), yang ditentukan dengan prinsip
kuota hare dilakukan dengan membagi jumlah total suara dengan
jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan. Perolehan suara
partai politik dibagi dengan BPP menunjukkan jumlah kursi yang
didapatkan partai di daerah pemilihan tersebut. Adapun nilai
yang didapatkan partai setelah dibagi BPP dengan misalnya (1,
89), hal ini berarti partai tersebut mendapatkan 1 kursi dan sisa
suara 0,89. Kemudian partai politik yang memiliki sisa suara
tertinggi berhak mendapatkan kursi sesuai alokasi suara di daerah
pemilihan. Kuota hare pada dasarnya menguntungkan partai-
partai kecil.
2. Kuota Droop:
Bilangan pembagi Pemilih (BPP), yang ditentukan dengan kuota
droop ditentukan dengan membagi jumlah total suara dengan
jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan + 1. Perolehan
suara partai di bagi dengan BPP menunjukkan jumlah kursi yang
berhak dimiliki partai tersebut. Nilai yang didapatkan partai
setelah dibagi dengan BPP misalnya ( 1, 89), berarti men-
dapatkan 1 kursi dan sisa suara 0,89. Partai yang memiliki sisa
suara tertinggi berhak mendapatkan kursi sesuai alokasi suara
di daerah pemilihan. Kuota droop menguntungkan partai-partai
besar.

Selanjutnya Norris (2004) menjelaskan varian sistem pemilu


proportional yakni:
1. Party List Sistem (Pr-List).
Dalam sistem Pemilu proporsional terdaftar ini, biasanya jumlah
kursi di setiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk.
Adapun partai yang mendapatkan kursi ditentukan berdasarkan kuota
ataupun metode bilangan pembagi (BPP) dengan memakai kuota hare,

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 58


kuota droop, d’hondt ataupun sainte-lague. Pemilih hanya boleh memilih
satu kandidat atau partai atau memakai prinsip one man one vote.
Varian sistem pemilu ini ada 2, yakni:
a. Sistem daftar tertutup. Dalam sistem ini pemilih hanya dapat
memilih partai atau mencontreng tanda gambar partai, sedang-
kan siapa yang duduk atau terpilih menjadi anggota legislatif
ditetapkan sepihak oleh partai politik. Sistem pemilu ini dipakai
di Portugal, Israel dan lain-lain.
b. Sistem daftar terbuka. Dalam sistem ini pemilih dapat memilih
partai yang disukai dan diperkenankan memilih kandidat yang
disukainya namun dalam partai tersebut. Artinya pemilih dapat
memilih kandidat dalam sebuah partai yang disukainya. Sistem
pemilu ini dipakai di Finlandia, Belanda, Norwegia dan lain-lain.

2. Single Transferable Votes (STV).


Dalam sistem Pemilu ini, biasanya jumlah kursi di setiap daerah
pemilihan juga ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk. Penentuan
kandidat di partai yang mendapatkan kursi ditentukan berdasarkan
kuota droop. Kemudian pemilih hanya boleh memilih satu kandidat
atau partai (memakai prinsip one man one vote). Kandidat yang
mendapatkan suara melebihi kuota yang ditentukan langsung terpilih.
Kemudian, jika tidak ada kandidat yang memperoleh suara melebihi
kuota, maka penentuan kandidat yang berhak mendapatkan kursi
dilakukan cara melakukan transfer antar kandidat dalam partai tersebut
berdasarkan prioritas partai (misalnya nomor urut). Sistem pemilu ini
pernah di pakai pada Pemilu legislative tahun 2004 di Indonesia, dimana
jika tidak ada kandidat yang mendapatkan suara melebihi BPP, maka
suara kandidat di dalam partai tersebut ditransfer ke nomor urut 1.
Kemudian sistem pemilu ini juga di pakai di dua negara yaitu Irlandia
dan Malta.

59 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


C. Sistem Pemilu Kombinasi Majoritarian dan Proportional
Menurut Norris (2004) ada dua varian sistem pemilu kombinasi
majoritarian dan proportional, yakni:
1. Combined-Dependent Sistem (—lebih dekat ke proporsional)
Sistem Pemilu ini biasanya digunakan untuk memilih anggota
lembaga legislatif yang dua kamar. Untuk mengisi dua kamar
tersebut, digunakan sistem pemilu yang berbeda antara kamar
yang satu dengan kamar yang lainnya, misalnya kamar yang
pertama diisi oleh anggota yang dipilih dengan sistem pemilu
majoritarian, sedangkan kamar yang kedua dipilih dengan sistem
pemilu majoritarian. Oleh sebab itu dalam sistem pemilu ini
pemilih diberikan kesempatan kepada pemilih untuk mengguna-
kan dua kertas suara, satu kertas suara untuk memilih satu
kandidat dengan sistem majoritarian dan satu kertas suara lagi
untuk memilih kelompok wakil secara proporsional. Sistem
pemilu majoritarian yang digunakan biasanya plurality dengan
single member (FPTP) untuk kamar yang pertama di
kombinasikan dengan sitem pemilu Proporsional terdaptar pada
lembaga kedua. Dalam sistem pemilu kombinasi dependen ini,
disediakan kompensasi (hadiah kursi) dari lembaga yang dipilih
melalui sistem Pemilu proporsional untuk mengurangi kesenjangan
perolehan kursi partai tersebut dilembaga yang dipilih dengan
sistem pemilu majoritarian. Dalam sistem ini dikenal pemakaian
ambang batas perolehan suara partai politik (electoral threshold),
partai yang tidak lolos electoral threshold suaranya dihilangkan.
Dipakai di 8 negara antara lain di Jerman, Selandia baru.
2. Combined-Independent Sistem (lebih dekat ke majoritarian)
Sistem pemilu ini juga biasanya digunakan untuk memilih anggota
lembaga legislatif yang dua kamar. Untuk mengisi dua kamar
tersebut, digunakan sistem pemilu yang berbeda antara kamar
yang satu dengan kamar yang lainnya, misalnya kamar yang

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 60


pertama diisi oleh anggota yang dipilih dengan sistem pemilu
majoritarian, sedangkan kamar yang kedua dipilih dengan sistem
pemilu majoritarian. Oleh sebab itu dalam sistem pemilu ini
pemilih diberikan kesempatan kepada pemilih untuk mengguna-
kan dua kertas suara, satu kertas suara untuk memilih satu
kandidat dengan sistem majoritarian dan satu kertas suara lagi
untuk memilih kelompok wakil secara proporsional. Namun
pengalokasian kursi dan penentuan pemenang menggunakan
sistem majoritarian (single ataupun multi member ) dengan
alokasi kursi yang lebih banyak atau kadangkala sama banyak-
nya dengan alokasi kursi yang pemenangnya ditentukan secara
proporsional. Dalam sistem ini tidak dikenal kompensasi kursi
seperti sistem Pemilu kombinasi dependen. Dalam sistem ini
dikenal pemakaian ambang batas perolehan suara partai politik
(electoral threshold), partai yang tidak lolos electoral threshold
suaranya dihilangkan. Dipakai di 21 negara antara lain Taiwan
dan Ukraina.

D. Rangkuman
1. Sistem pemilu proporsional bertujuan menghasilkan perwakilan
yang berimbang dengan member peluang bagi partai menengah
dan partai kecil mendapatkan kursi parlemen.
2. Dalam sistem pemilu proporsional, jumlah kursi parlemen yang
berhak didapatkan oleh masing-masing partai politik diban-
dingkan dengan bilangan pembagi pemilih (BPP). Ada beberapa
rumus yang biasanya dipakai dalam menentukan BPP yaitu kuota
hare, kuota droop, d’hondt ataupun sainte-lague.
3. Jenis sistem pemilu proporsional adalah single tranferable vote,
proporsional daftar terbuka dan proporsional daftar tertutup.
4. Di beberapa negara yang memiliki lembaga legislatif dua kamar,
di kenal sistem pemilu kombinasi proporsional dan majoritarian

61 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


yang digunakan untuk mengisi dua kamar di lembaga legislatifnya.
Sistem pemilu kombinasi ini jenisnya dua, yakni sistem pemilu
kombinasi dependen dan sistem pemilu kombinasi independen.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan tujuan pemakaian sistem pemilu proporsional!
2. Jelaskan metode yang digunakan untuk menentukan partai yang
berhak mendapatkan kursi pada sistem pemilu proporsional!
3. Jelaskan aturan yang dipakai dalam sistem pemilu kombinasi
dependen!
4. Jelaskan aturan yang dipakai dalam sistem pemilu kombinasi
independen!

Daftar Pustaka
Asfar, Muhammad dkk (2002). Model-model Sistem Pemilihan di
Indonesia. Surabaya : Pusat Studi Demokrasi dan HAM.
LeDuc, Lawrence, et al (1996). Comparing Democraties Election and
Voting in Global Persfektif. California: Sage Publication, Inc.
Norris, Pippa (2004). Electoral Engineering: Voting Rules and
Political Behavior. New York: Cambridge University Press.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 62


Bab 9
Seleksi Kandidat
Pemegang Jabatan Politik

A. Pendahuluan
Seorang kandidat yang dijual oleh partai politik sebagai calon
pemegang jabatan di legislatif maupun eksekutif biasanya melalui proses
seleksi internal di dalam partai politik. Hanya kandidat yang lolos seleksi
internal partailah yang berhak menjadi calon dan bersaing mempe-
rebutkan jabatan di legislatif maupun eksekutif melalui pemilihan oleh
masyarakat umum (Pemilu). Seleksi kandidat ini sering juga dikenal
dengan istilah rekrutmen politik dan pada prakteknya metode rekrutmen
politik yang digunakan masing-masing partai politik sangat bervariasi.
Oleh karena di Indonesia terdiri dari banyak partai politik yang berbeda
ideologi dan kepentingan tentunya metode seleksi satu partai politik
dengan partai politik lainnya tentu akan berbeda pula.
Setelah membaca bab 9 ini, secara umum mahasiswa diharapkan
dapat:
1. Menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seleksi
kandidat oleh partai politik di berbagai negara.

63 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


2. Menjelaskan faktor-faktor utama yang dipertimbangkan partai
politik dalam menentukan calon legislatifnya.
3. Menjelaskan metode seleksi kandidat calon presiden.

B. Model Seleksi Kandidat Legislatif


Norris (1996), menjelaskan bahwa istilah rekrutmen politik
merujuk pada proses seleksi kandidat oleh internal partai politik dan
pemilihan kandidat melalui Pemilu. Mengenai seleksi kandidat, De Luca
(2002) berpendapat bahwa metode seleksi kandidat akan menentukan
kualitas kandidat yang akan terpilih dan bagaimana kandidat-kandidat
itu menjalankan tugasnya. Kemudian Hazan (2002) menjelaskan
bahwa seleksi kandidat yang dilakukan secara terbuka dan melibatkan
banyak orang yang ikut serta dalam pemilihan tersebut dinilai lebih
demokratis dibandingkan seleksi kandidat yang dilakukan secara
tertutup atau hanya melibatkan segelintir orang. Sejalan dengan itu,
Carey & Polga Hevimovich (2004) menyatakan bahwa orang yang
terpilih secara demokratis oleh pemilih sebagai kandidat bisa mengklaim
dirinya lebih legitimate dibandingkan kandidat yang ditentukan hanya
oleh para pimpinan partai.
Kemudian, Pippa Norris (1997) mengemukakan bahwa setidak-
nya ada 4 hal yang mempengaruhi pelaksanaan rekrutmen calon legislatif
di berbagai Negara, yaitu :
1. Sistem politik (political system) suatu negara, khususnya aturan
hukum, sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang menggambar-
kan peluang kandidat dalam ruang pasar politik di negara itu.
2. Proses rekrutmen (recruitment process) di internal partai, ter-
utama sekali tingkat demokratitasi di internal partai dalam
pembuatan dan pelaksanaan aturan seleksi kandidat legislatif.
3. Kandidat yang menawarkan diri untuk mengikuti pemilihan

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 64


(supply), berhubungan dengan tingkat motivasi dan modal politik
yang mereka miliki.
4. Permintaan kelompok penentu kebijakan partai (demands of
gatekeepers)—misalnya pemilih, anggota partai, donatur partai
dan pimpinan partai yang berhak menyeleksi dan menentukan
hasil seleksi para calon legislatif.

Kemudian Norris (2004) juga menjelaskan beberapa faktor yang


mempengaruhi Model seleksi kandidat legislative sebuah negara, yaitu:
1. Budayapolitik&modernisasisosial yangterjadipadasebuahnegara.
2. Sejauhmana membuminya sikap egalitarian dan perubahan ke-
biasaan tradisional
3. Aturan Pemilu yang dipakai dinegara tersebut apakah majori-
tarian, kombinasi atau proporsional, pemakian kuota gender
dan jumlah kursi legislatif yang tersedia.
4. Prosedur seleksi kandidat secara internal oleh partai politik itu
sendiri yang mempertimbangkan kuota gender dan aturan partai
5. Permintaan kriteria tertentu yang diinginkan oleh para penyeleksi
internal partai.
6. Kondisi kandidat yang menawarkan diri yang dianggap meme-
nuhi syarat.

Menurut Matland, pencalonan kandidat oleh partai didasarkan


oleh aturan partai dan norma partai. Berbeda partai, berbeda pula aturan
dan norma yang dianutnya. Hal ini menyebabkan calon legislatif yang
menjadi kontestan pemilihan umum memiliki karakter pribadi dan latar
belakang yang berbeda. Sejalan dengan itu, De luca menjelaskan bahwa
ada dua model rekrutmen legislatif yaitu seleksi yang diatur atau
ditentukan langsung oleh elit partai dan model pemilihan pendahuluan

65 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


(konvensi partai).Adapun hal penting yang dipertimbangan partai untuk
memilih kandidat menurut Matland adalah keyakinan bahwa kandidat
tersebut mampu memaksimalkan suara partai. Artinya kandidat yang
mempunyai basis pendukung yang luas di tengah masyarakat lebih
berpeluang untuk dicalonkan sebagai calon legislatif oleh sebuah partai
politik tertentu. Kemudian, Gallager menjelaskan bahwa salah satu
nilai penting yang dipertimbangkan partai partai politik dalam
menetapkan kandidatnya adalah bagaimana track record kandidat di
internal partai dan di mata konstituen pemilih.
Leijenaar &Niemoller (1997) mengemukakan beberapa faktor
yang dipertimbangkan oleh Partai politik di Belanda dalam menentukan
calon legislatif nya, yakni:
1. Karakteristik kemampuan (Acquired Characteristics) meliputi:
pembicara yang baik (orator), punya keahlian khusus, memiliki
semangat dan antusiasme tinggi serta mempunyai pengetahuan
yang dalam terhadap isu-isu politik.
2. Karakteristik yang melekat (inherited characteristic) meliputi
: jenis kelamin, usia, etnis dan penampilan.
3. Tingkat orientasi lokal ( local orientation ) meliputi : komitmen
pada daerah pemilihan, popularitas di tingkat lokal, dukungan
massa partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
4. Agama, norma dan nilai (religion, norms, values) meliputi ke-
taatan beragama dan kestabilan dalam kehidupan rumah tangga.
5. Pengalaman politik (political experience) meliputi pengalaman
politik dan pengalaman sebagai pekerja partai.

C. Model Seleksi Calon Presiden


Menurut Camilla Gjerde setidaknya ada 4 metode seleksi kan-
didat presiden baik melalui selesksi yang bersifat inklusif maupun
eksklusif, yakni :

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 66


1. Elit Partai : Seleksi dilakukan secara tertutup (ekslusif) oleh elit
partai dengan cara mengatur kandidat yang akan jadi (pengaturan
elit partai)—nominasi biasanya satu orang tanpa saingan.
2. Konvensi partai : Seleksi kandidat dilakukan lebih terbuka dan
transparan, tetapi yang dilibatkan untuk menyeleksi kandidat
hanyalah anggota partai atau sejumlah seratus atau ribuan pengurus
partai.
3. Pemilihan Pendahuluan : Pemilihan kandidat yang melibatkan
seluruh pemilih (terbuka) atau hanya anggota partai dan simpa-
tisan partai (semi terbuka).
4. Calon Independen—Seleksi dilakukan dengan mengumpulkan
sejumlah tanda tangan sebagai bukti dukungan pemilih.

Kemudian Rahat & Hazan (2001) membuat modelMetode Seleksi


Kandidat Presiden di berbagai negara, yaitu :
Pemilihan Pendahuluan Partai Konvensi Partai Diatur Elit

Melibatkan Seluruh pemilih Melibatkan Delegasi partai Melibatkan Hanya Pimpinan partai

anggota partai

Inklusif (terbuka) Ekslusif (tertutup)

D. Rangkuman
1. Setiap yang ingin ditetapkan menjadi calon pemegang jabatan
legislatif maupun legislatif oleh partai politik di negara demokrasi,
biasanya akan melewati proses seleksi dalam internal internal
partai politik.
2. Faktor-faktor yang membuat seseorang bisa ditetapkan menjadi
calon pemegang jabatan politik oleh partai politik antara lain
adalah norma-norma dan budaya politik yang berlaku dalam

67 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


sistem politik di sebuah negara, aturan pemilu, aturan partai dan
sejauhmana orang yang menawarkan diri untuk menjadi calon
dari partaitersebut.
3. Partai politik merupakan pihak yang paling dominan menentukan
calon pemegang jabatan politik dari partainya dibandingkan
faktor lainnya.
4. Karakteristik yang biasa dipertimbangkan partai politik dalam
menentukan calon dari partainya antara lain adalah kemampuan,
pengalaman politik, tingkat orientasi lokal karakteristik pribadi,
norma, agama dan nilai yang dianut oleh peserta seleksi.
5. Metode seleksi calon pemegang jabatan eksekutif dilakukan
dengan mekanisme antara lain: ditentukan oleh segelintir elit
partai, konvensi Partai, pemilihan pendahuluan oleh pendukung
partai dan melalui jalur independen.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan faktor-faktor umum yang mempengaruhi pelaksanaan
seleksi anggota legislatif diberbagai negara!
2. Jelaskan kriteria utama yang digunakan oleh partai politik dalam
menetapkan calon legislatifnya!
3. Jelaskan jenis metode seleksi yang digunakan partai politik dalam
menentukan calon presiden dari partainya!
4. Jelaskan metode penentuan calon presiden yang tidak melibatkan
partai politik!

Daftar Pustaka
Camilla Gjerde “Presidential Recruitment: Selection of presidential
candidate in Africa, Asia and latin America.
LeDuc, Lawrence, et al (1996). Comparing Democraties Election
and Voting in Global Persfektif. California: Sage Publication, Inc.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 68


Norris, Pippa (ed), 1997. Passage to Power : Legislative Recruitment
in Advanced Democracies. Cambridge : Cambridge University
Press
Pippa Norris (2004) “Building Political Parties: Reforming legal
regulations and internal rules. Report commisioned international
IDEA.
Ricard E. Matland (1999). Legislative Recruitment : A General Model
and Discussion of Issues of Spesial Relevan for Women.

69 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


Bab 10
Kampanye Pemilu

A. Pendahuluan
Setelah para kandidat calon legislatif maupun calon pemegang
jabatan eksekutif ditetapkan oleh masing-masing partai politik, maka
masing calon dan partai politiknya akan melaksanakan proses kam-
panye Pemilu sebagai usaha memaksimal perolehan suara pemilih.
Calon yang mampu memanfaatkan momen kampanye dengan baik,
mempunyai peluang menang lebih besar dibandingkan calon yang tidak
mampu memanfaatkan momen kampanye dengan baik. Di Indonesia
dewasa ini sudah sangat semarak, dan melibatkan berbagai media,
baik baliho, spanduk, stiker termasuk media cetak dan elektronik bah-
kan melalui media internet.
Setelah membaca bab 10, secara umum mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan definisi dan tujuan kampanye.
2. Menjelaskan bentuk-bentuk pesan kampanye.
3. Menjelaskan jenis media kampanye.
4. Menjelaskan hal-hal yang dilarang dilakukan dalam kampanye.
5. Menggambarkan metode positioning politik.

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 70


B. Definisi dan Tujuan Kampanye
Menurut Farrel, kampanye Pemilu merupakan sebuah proses
yang dilakukan oleh partai politik, kandidat atau kelompok kepentingan
khusus untuk memaksimalkan perolehan suara dalam Pemilu. Kemudian
Wilson berpendapat bahwa kampanye sebenarnya ditujukan untuk
mempengaruhi pikiran pemilih yang belum menetapkan pilihannya.
Dalam UU No. 8/ 2012 pasal 1 disebutkan bahwa kampanye Pemilu
adalah kegiatan peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan
menawarkan visi, misi dan program peserta pemilu. Kampanye Pemilu
harus dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan
bagian dari pendidikan politik masyarakat.
Blodgett & Lofy (2008) merinci beberapa strategi memenangkan
Pemilu Melalui proses pelaksanaan kampanye antara lain:
1. Hadirkan kandidat & manajer kampanye yang kualitasnya bagus.
2. Buat rencanakampanye dangambarkan proyeksikeberhasilannya.
3. Buat pesan politik dan sampaikan pada audience yang dituju.
4. Identifikasi basis massa, pemilih mengambang dan basis massa
lawan.
5. Kirimkan surat/ email pada pemilih pada pemilih yang spesifik.
6. Dapatkan pemilih melalui penyebaran iklan kampanye.
7. Jalin kerjasama dengan berbagai media massa untuk meng-
komunikasi pesan kampanye kepada khalayak.
8. Gunakan uang/ dana kampanye secara efektif.
9. Pahami kelebihan & kekurangan sendiri termasuk kelebihan &
kekurangan lawan.
10. Gunakan kemajuan teknologi untuk memaksimalkan kampanye.

Sejalan dengan itu Trammell (2007) mengemukakan beberapa


bentuk khusus pesan yang disampaikan pada saat berkampanye, yakni:

71 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


1. Menyerang track record kinerja kompetitor.
2. Janji kandidat menyuarakan aspirasi rakyat.
3. Menyerang sifat pribadi lawan.
4. Mengajak pemilih berpartisipasi.
5. Memberikan harapan yang lebih baik kedepan.
6. Menggunakan data statistik –potensi kemenangan.
7. Menampilkan kemampuan berpolitik.
8. Menampilkan dukungan kandidat terhadap ideologi partai.
9. Menampilkan keahlian & pengalaman kerja yang dimiliki.

Selanjutnya pesan-pesan kampanye biasanya di sampaikan lewat


media massa baik cetak maupun eletroknik. Media sebagai sarana
penyampai informasi pesan kampanye dari waktu kewaktu terus ber-
kembang. Norris (2003), menggambarkan perkembangan model
kampanye partai politik melalui media sebagai berikut:
Daerah Sasaran Model Kampanye & Jenis Media
Kampanye Pre Modern Modern Post Modern
Nasional Koran nasional dan Radio/ TV nasional, Website Partai,
konferensi Partai Koran nasional dan internet intra partai,
konferensi Partai Radio/ TV nasional,
Koran nasional dan
konferensi Partai
Regional Koran regional, Rapat Radio/ TV regional, Diskusi lewat radio,
Cabang Partai & rapat Koran regional, Rapat Radio/ TV regional,
umum tingkat lokal Cabang Partai & rapat Koran regional, Rapat
umum tingkat lokal Cabang Partai & rapat
umum tingkat lokal
Lokal Telepon & diskusi Telepon, diskusi Email, diskusi lewat
personal personal, koran lokal internet, Telepon,
& radio lokal diskusi personal,
koran lokal & radio
lokal

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada masa pra


modern, media kampanye yang dimanfaatkan masih terfokus pada
pemanfaatan media cetak berupa koran dan teknik bertemu langsung
dengan pengurus partai maupun konstituen. Selanjutnya pada zaman

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 72


modern, media kampanye yang digunakan adalah media elektronik
seperti TV dan radio, sedangkan di era post modern media kampanye
yang digunakan berupa pemanfaatan fasilitas internet, email dan lain-
lain.
Dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 82 disebutkan metode kampanye
yang diperbolehkan antara lain :
1. Pertemuan terbatas.
2. Pertemuan tatap muka.
3. Penyebaran bahan kampanye kepada umum.
4. Pemasangan alat peraga ditempat umum.
5. Iklan di media massa cetak dan media massa elektronik.
6. Rapat umum.
7. Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye Pemilu
dan ketentuan peraturan perundangan undangan.

Kemudian dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan


Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 86 disebutkan
beberapa kegiatan yang dilarang dilakukan dalam kampanye, yaitu :
1. Mempersoalkan Pancasila, UUD 1945 & NKRI.
2. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI.
3. Menghina seseorang-SARA peserta lain.
4. Menghasut & mengadu domba Masyarakat.
5. Mengganggu ketertiban umum.
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan.
7. Merusak/ menghilangkan alat peraga peserta pemilu.

73 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum


8. Menggunakan fasilitas pemerintah, pendidikan dan tempat ibadah.
9. Membawa atribut atau tanda gambar selain peserta lain.
10.Menjanjikan/ memberikan uang atau materi lain kepada peserta
kampanye.

C. Rangkuman
1. Kampanye adalah sebuah proses yang digunakan oleh kandidat
atau partai politik untuk menyakinkan pemilih agar memperoleh
suara maksimal dalam Pemilu.
2. Momen kampanye yang terbatas perlu dimanfaatkan oleh
kandidat dan partai politik dengan membuat strategi kampanye
berikut strategi khusus dalam menyampaikan pesan kampanye.
3. Media kampanye yang digunakan oleh kandidat dan partai
politik dari masa ke masa terus berkembang, mulai dari peng-
gunaan media cetak dan tatap muka secara langsung, kemudian
menggunakan media elektronik berupa televisi dan radio, serta
terus berkembang dengan memanfaatkan fasilitas internet.
4. Tata cara kampanye Pemilu legislatif tahun 2014 yang akan
datang di Indonesia, termuat dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

D. Soal Latihan
1. Jelaskan definisi kampanye menurut para ahli!
2. Jelaskan bentuk-bentuk media kampanye post modern!
3. Jelaskan bentuk-bentuk kampanye yang dizinkan oleh UU No
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah!

Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 74


4. Jelaskan bentuk-bentuk kegiatan kampanye yang dilarang oleh
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah!

Daftar Pustaka
Blodgett, Jeff & Lofy, Bill (2008). Winning Your Election the
Wallstone Way: Comprehensive Guide To Candidates and
Campaign Workers. Minneapolis: The University Minnesota.
Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Gronke, Paul (2004). The Electrorate, The Campaign, and The
Office: A Unified Approach to Senate and House Election.
USA : University of Machigan Press.
LeDuc, Lawrence et al (1996). Comparing Democracies : Election
an Voting in Global Perspective. Thousand Oaks : SAGE
Publications.
Norris, Pippa (2003). A Virtuous Circle: Political Communication in
Post Industrial Societies. Cambridge: Cambridge UniversityPress.
Trammell, KDS (2007). “Candidat Campaign Blogs: Directly Reaching
Out to The Youth Vote. http: ABS. Sagepub.Com.
Undang Undang No 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

75 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum

Anda mungkin juga menyukai