Anda di halaman 1dari 78

PARTAI POLITIK DAN KAJIAN DEMOKRASI

Oleh :

MUHAMMAD ABDURROHIM
2120404038

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah


Partai Politik Dan Kajian Demokrasi

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur atas rahmat dan


hidayah-Nya kepada Allah SWT atas tugas akhir kami yang berjudul “Studi Partai
Politik dan Demokrasi”. pembaca dan penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada
Dr ANDI CANDRA JAYA S.Ag.M.Hum yang telah menjadi Dosen Kajian Partai
Politik dan Demokrasi. Yang menugaskan penugasan ini agar dapat menambah ilmu
dan wawasan di bidang kajian partai politik dan demokrasi. Kami juga berterima kasih
kepada semua pihak yang telah berbagi ilmunya sehingga kami dapat menyelesaikan
proyek akhir ini. Kami menyadari bahwa proyek akhir kami jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
makalah ini.

Palembang, 13 November 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………………………………….
BAB 1…………………………………………………….
PARTAI POLITIK…………………………………………………….
A. PARTAI POLITIK…………………………………………………….
B. MAKNA PARTAI POLITIK…………………………………………..
C.FUNGSI PARTAI POLITIK………………………………………….
D. TIPOLOGI PARTAI…………………………………………………….
E. SISTEM KEPARTAIAN
BAB II
SISTEM PEMILIHAN…………………………………………………….
A. PENGERTIAN PEMILU………………………………………………
B. SISTEM PEMILU…………………………………………………….
C. Kelebihan Sistem Distrik……………………………………………
BAB III……………………………………………………………………
DEMOKRASI
A. HAKIKAT DEMOKRASI……………………………………………….
B. DEMOKRATISASI…………………………………………………….
C. DEMOKRASI DI
INDONESIA…………………………………………………….
D. SISTEM POLITIK
DEMOKRASI…………………………………………………….
BAB IV
WARGA NEGARA DAN
KEWARGANEGARAAN……………………………………………………

3
A. PENGERTIAN NEGARA DAN
KEWARGANEGARAAN……………………………………………
B. KEDUDUKAN
WARGANEGARA…………………………………………………….

C. KEWARGANEGARAAN
INDONESIA……………………………………………
D. . HAX DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
INDONESIA…………………………………………………….
BAB V
KONSEP SOSIOLOGI
POLITIK…………………………………………………….
A. KONSEP SOSIOLOGI…………………………………………………….
B. KONSEP POLITIK…………………………………………………….
C. PANDANGAN UMUM TENTANG SOSIOLOGI
POLITIK…………………………………………………….
BAB VI
NEGARA DAN
KONSTITUSI…………………………………………………….
A. KONSTITUSIONALISME…………………………………………………….
B. KONSTITUSI NEGARA…………………………………………………….
C. SISTEM
KETATANEGARA…………………………………………………….
BAB VII
PENATAAN ORGANISASI…………………………………………………….
A. ORGANISASI KEBUTUHAN
PENATAAN……………………………………………………………………….
B. ORGANISASI SETJEN
BAWASLU…………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….

4
BAB 1
PARTAI POLITIK

A. Partai Politik
Partai politik pertama kali lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan
anggapan yang meluas bahwa rakyat adalah faktor yang perlu diperhatikan dan
dimasukkan dalam proses politik, partai politik secara spontan muncul dan
berkembang sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di
pihak lain. Pada awal perkembangannya, yaitu di negara-negara Barat seperti
Inggris dan Perancis pada akhir abad ke-18, kegiatan politik berpusat pada
kelompok-kelompok politik di parlemen. Kegiatan tersebut awalnya elit dan
aristokrat, membela kepentingan kaum bangsawan melawan tuntutan raja.
Ketika hak pilih meluas, aktivitas politik juga berkembang di luar parlemen,
dengan komisi pemilu dibentuk untuk mengatur suara pendukung mereka,
menjelang periode pemilihan umum.
Di Indonesia, munculnya partai politik tidak terlepas dari terciptanya
suasana kebebasan yang luas di masyarakat pasca runtuhnya pemerintah
kolonial Belanda. Kebebasan ini memberikan ruang dan kesempatan bagi
masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai politik. Padahal,
pelopor kebangkitan partai politik sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Partai politik yang lahir pada masa penjajahan tidak lepas dari peran gerakan
yang tidak hanya bertujuan untuk memperoleh kebebasan yang lebih luas dari
penjajah tetapi juga menuntut kemerdekaan. Hal ini terlihat dari lahirnya partai-
partai politik sebelum kemerdekaan. Cikal bakal terbentuknya partai politik di
Indonesia adalah lahirnya Budi Utomo, sebuah perkumpulan orang-orang
terpelajar. Perkumpulan ini berbentuk perkumpulan studi, perkumpulan sosial
ekonomi dan organisasi pendidikan. Setelah Budi Utomo lahir, muncullah
dua organisasi yang disebut-sebut sebagai partai politik pertama di
Indonesia, yaitu Sarekat Islam dan Indiche Partij. Munculnya kedua
organisasi tersebut. merupakan ancaman bagi Budi Utomo, karena
banyak anggotanya yang pindah kedua organisasi tersebut. Semenjak
itulah Budi Utomo mulai mengarah kepada kegiatan politik. Menyusul di
belakang.

(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 1 & Hal 2)


Demikianlah asal mula terbentuknya partai politik di Indonesia.
Partai-partai pelopor tersebut mewakili beragam ideologi yang mendasari
dibentuknya partai politik seperti nasionalis, keagamaan, dan komunis.
Masing-masing ideologi hingga saat ini di Indonesia menjadi landasan

5
bagi partai-partai politik kecuali ideologi komunis yang berakhir
bersamaan dengan akhir masa Orde Lama.
Seiring berjalannya waktu, partai politik terus mengalami
perkembangan. Perkembangan partai politik tersebut disebabkan oleh
perkembangan demokrasi di berbagai negara di dunia. Menurut Puhle,
faktor-faktor penting yang memengaruhi evolusi partai politik adalah:
(1) the electoral dimension
(2) the interest of the party constituency
(3) party organization
(4) the party sistem
(5) policy formulation (program dan ideologi)
(6) policy implementation
Evolusi atau perkembangan partai politik tersebut bisa dari segi ideologi,
keanggotaan, orientasi, dan program kerja partai. Perubahan yang terjadi
pada partai politik ini menimbulkan lahirnya berbagai macam model atau
tipologi partai politik. Mengenai hal ini, penulis akan membahasnya secara
khusus pada subjudul Tipologi Partai Politik.
1. Teori Kebangsaan
Menurut teori ini, partai politik pertama kali dibentuk pada lembaga
legislatif dan eksekutif karena adanya kebutuhan anggota legislatif (yang
ditentukan dengan pengangkatan) untuk berhubungan dengan
masyarakat dan mendapakan dukungan masyarakat.Dan mendapatkan
dukungan dari masyarakat. Formasi partai semacam itu sering disebut
sebagai partai intraparlementer.
Setelah parpol-parpol intraparlemen terbentuk dan menunaikan
tugasnya, muncul parpol-parpol lain yang didirikan oleh kelompok
masyarakat lain karena merasa parpol-parpol lama tidak mampu
beradaptasi dan memperjuangkan kepentingannya. Partai yang dibentuk
disebut partai di luar parlemen.Lahirnya partai politik dapat kita pahami
pertama kali dengan memahami kronologi kisah lahirnya gagasan
pembentukan partai politik yang dimulai pada abad ke-18.
(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 4 & Hal 5)
Pembentukan internal partai di parlemen kemudian didasarkan pada
kebutuhan untuk mempertimbangkan kepentingan masing-masing daerah.
Pada 1789 perwakilan provinsi dari Negara-negara Umum bertemu di
Versailles. Sekelompok legislator dari daerah yang sama berkumpul untuk

6
memperjuangkan kepentingan daerahnya masing-masing. Kegiatan ini
pertama kali dilakukan oleh perwakilan Breton.
Setelah partai politik yang diinisiatif oleh pemerintah tersebut terbentuk
dan menjalankan fungsinya, barulah mulai muncul partai politik lain yang
dibentuk oleh masyarakat dengan skala yang lebih kecil. Munculnya partai
politik dari luar parlemen ini disebut Ekstra-Parlemen. Sebagai contoh
pada negara yang dijajah, masyarakat membentuk partai politik untuk
memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya. Sedangkan pada negara
maju, kelompok masyarakat yang minoritas membentuk partainya sendiri
untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya yang tidak terwakili
dalam sistem kepartaian yang ada. Contohnya serikat buruh di Inggris dan
Australia membentuk Partai Buruh, kelompok keagamaan di Belanda
membentuk Partai Kristen Historis, dan sebagainya.
2. Teori Situasi Historik
Menurut teori situasi sejarah, partai politik muncul ketika sistem politik
mengalami masa transisi akibat perubahan masyarakat, misalnya dari
masyarakat tradisional dengan struktur yang sederhana menuju
masyarakat yang lebih modern dan lebih kompleks. Teori ini menyimpang
dari kebutuhan untuk beradaptasi dengan semakin kompleksnya struktur
masyarakat. Penambahan tersebut antara lain pertumbuhan penduduk
karena peningkatan kesehatan, pendidikan tinggi, mobilitas tenaga kerja
(penduduk), perubahan pola pertanian dan industri, keterlibatan media,
urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan aspirasi
baru, serta munculnya gerakan populis. Perubahan tersebut
menyebabkan munculnya tiga jenis krisis, yaitu: (1) krisis legitimasi, (2)
krisis integrasi, dan (3) krisis partisipasi.
3. Teori Pembangunan
Modernisasi sosial ekonomi ditandai dengan peningkatan pembangunan
di bidang sosial dan ekonomi, seperti . perkembangan teknologi
komunikasi, peningkatan kualitas pendidikan, industrialisasi, pembentukan
berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan segala
tindakan yang menimbulkan kebutuhan untuk pembentukan organisasi
politik yang dapat menyalurkan aspirasinya. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa menurut teori pembangunan, partai politik merupakan konsekuensi
logis dari modernisasi sosial ekonomi.(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 5
& Hal 6)

B. Makna Partai Politik

7
Pada hakikatnya partai politik merupakan manifestasi dari
Kebebasan masyarakat membentuk kelompok sesuai dengan
kepentingannya. Hampir semua negara di dunia ini sepakat bahwa
demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat adalah sebuah sistem
yang dapat diterima agar kedaulatan rakyat benar-benar terwujud.
Partai politik akan tumbuh dan berkembang seiring dengan
semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat dalam berpolitik
sehingga kehadiran suatu partai politik diharapkan mampu untuk
mengakomodasi kepentingan mereka. Sesungguhnya, partai politik
memiliki makna yang luas. Partai politik berjalan, maka alangkah lebih
baiknya jika kita memahami berbagai pengertian partai, politik, dan partai
politik yang dikemukakan oleh para ahli.
1. Pengertian Partai
Dari segi etimologis, Maurice Duverger mengatakan bahwa kata party
berasal dari kata latin pars yang berarti “bagian”. Dengan pengertian ini
kita dapat memahami bahwa karena merupakan bagian maka
konsekuensinya pasti bagian lain. Memenuhi pemahaman ini idealnya
tidak mungkin dilakukan di negara satu partai.
Selain itu, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa party juga berasal dari
bahasa Inggris yang berarti bagian atau kelompok. Kata partai mengacu
pada kelompok kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu
seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan
pengelompokan.Sementara itu, partai adalah partai politik dalam arti yang
lebih sempit, yaitu organisasi kemasyarakatan yang bergerak secara
politik.
2. Pengertian Politik
Politik adalah semua pekerjaan dan tindakan untuk membangun dan
melaksanakan masyarakat yang ideal atau lebih baik. Pada saat yang
sama, buku The Politics karya Aristoteles Chilam mengungkapkan bahwa
manusia adalah hewan politik. Intinya aktivitas politik tidak diciptakan oleh
orang, melainkan melekat pada diri setiap orang.
Menurut Ibnu Kencana Syafii, dari segi bahasa, kata politik merupakan
Bahasa Arab dari kata Siyasyah yang kemudian diterjemahkan menjadi
siasat, atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Politics.'s Menurut Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, siasat itu sendiri berarti muslihat, taktik,
tindakan yang licin, akal, kebijakan."
.(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 9 & Hal 10)
3. Pengertian Partai Politik

8
Partai politik merupakan bagian dari infrastruktur politik negara.
Untuk memahami hal tersebut, sejumlah ahli telah angkat bicara tentang
pengertian partai politik. Berikut adalah pengertian partai politik yang
dikemukakan oleh para ahli :
A. Miriam Budiarjo Menyebutkan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
B. Sigmund Neumann Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis
politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta
merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan
atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda).
C. Carl J. Friedrich Partai Politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
kekuasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan memberikan kemanfaatanya.
D. R.H Soltau Sekelompok warga kurang lebih terorganisir, yang
bertindak sebagai unit politik dengan menggunakan hak suara mereka,
bertujuan untuk mengontrol pemerintah dan melaksanakan kebijakan
umum mereka).
Dari sekian banyak konsep partai politik dari para ahli tersebut, kita
bisa melihat bahwa setidak-tidaknya pada partai politik terdapat unsur (1)
Organisasi politik resmi, (2) Aktivis politik, (3) Aktivitas politik, (4) Tujuan
politik.
Selain itu, berdasarkan pengertian partai politik dari para ahli
tersebut Hafied juga suatu pemahaman bahwa politik mempunyai tiga
prinsip dasar, yaitu:
A. Partai sebagai koalisi, yakni membentuk koalisi dari berbagai
kepentingan untuk membangun kekuatan mayoritas. Partai yang dibentuk
atas dasar koalisi di dalamnya terdapat faksi-faksi.
B. Partai sebagai organisasi, untuk menjadi sebuah institusi yang eksis,
dinamis, dan berkelanjutan partai politik harus dikelola. Partai harus dibina
dan dibesarkan sehingga mampu menarik dan menjadi wadah
perjuangan, sekaligus representasi dari sejumlah orang atau kelompok.
C. Partai sebagai pembuat kebijakan (policy making). Partai politik
juga berbeda dengan kelompok sosial lainnya dalam hal pengambilan
kebijakan.
.(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 11 – Hal 15)

9
C. Fungsi Partai Politik
Fungsi utama partai politik adalah mencari, memperoleh, dan
mempertahankan kekuasaan. Partai politik memperoleh kekuasaan
dengan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Untuk menjalankan fungsi
tersebut, partai politik melakukan tiga hal yang biasa dilakukan partai
politik, yaitu menyeleksi calon, setelah calonnya terpilih, kemudian
melakukan kampanye pemerintahan (legislatif atau eksekutif).
Secara garis besar,Firmanzah menyebutkan bahwa peran dan
fungsi partai politik dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi internal dan fungsi
eksternal. Dalam fungsi internal, partai politik berperan dalam pembinaan,
pendidikan, pembekalan, dan pengkaderan bagi anggota partai politik
demi langgengnya ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian
partai politik tersebut.
1. Rekrutment Politik
Menurut Gabriel Almond, proses rekrutmen merupakan
kesempatan bagi masyarakat untuk memilih kegiatan politik dan jabatan
pemerintahan melalui penampilan media, dengan menjadi anggota
organisasi, dengan mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, dalam
pendidikan, pelatihan dan pembinaan. Sementara itu, Jack C. Plano
mendefinisikan proses rekrutmen sebagai pemilihan orang-orang untuk
mengambil peran dalam sistem sosial. Sementara itu, rekrutmen politik
mengacu pada pendudukan jabatan resmi dan legal, serta peran informal.
Pada umumnya proses rekrutmen politik dapat dilakukan dengan
beberapa cara atau sifat, yaitu:
A. Sistem Rekrutmen Politik Terbuka Sistem rekrutmen terbuka
mengandung makna bahwa semua warga negara yang memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan serta mempunyai bakat, tanpa kecuali mempunyai
kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politik maupun jabatan
pemerintahan.

B. Sistem Rekrutmen Politik Tertutup Sebaliknya, sistem rekrutmen


tertutup hanya memberikan kesempatan kepada orang-orang tertentu
seperti kawan-kawan akrab, pengusaha, atau individu-individu yang
mempunyai persamaan agama, daerah, etnis, bahkan keluarga dari pihak
penguasa.

.(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 17 – Hal 19)

10
2. Sosialisasi Politik
Secara harfiah, sosialisasi berarti upaya memasyarakatkan sesuatu
sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat. Melalui
sosialisasi politik ini partai politik berusaha untuk menanamkan ideologi
partai kepada masyarakat. Proses sosialisasi tersebut dilaksanakan baik
secara sengaja dengan cara formal ataupun nonformal, maupun dengan
cara tidak disengaja yaitu melalui hubungan bermasyarakat sehari-hari.
Dalam sosialisasi politik terdapat dua metode penyampaian pesan,
yaitu:
a. Melalui Pendidikan Politik Pendidikan politik ialah suatu proses yang
mengajarkan kepada masyarakat mengenai nilai-nilai, norma-norma, serta
simbol-simbol politik melalui media berupa sekolah, pemerintah, dan juga
partai politik.
b. Melalui Indoktrinasi Politik Indoktrinasi politik ialah proses yang
dilakukan secara sepihak oleh penguasa untuk menanamkan nilai, norma,
dan simbol yang dianggap baik oleh pihak penguasa tersebut kepada
masyarakat.
3. Komunikasi Politik
Secara harfiah, Komunikasi berarti:
a. Pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau
lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami: hubungan; kontak;
Perhubungan.
b. Sedangkan jika dihubungkan dengan politik, komunikasi politik adalah
proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada
masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah."
Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa di dalam suatu proses
komunikasi politik, partai politik berfungsi dalam menjembatani komunikasi
antara pemerintah dengan masyarakat.
4. Pengendali Politik
Di dalam sebuah negara yang demokratis, munculnya konflik
merupakan suatu hal yang tidak bisa dielakkan. Konflik jangan dianggap
sebagai penghalang dalam mencapai suatu tujuan akan tetapi hendaknya
konflik dipahami sebagai jalan untuk mencapai kebaikan bersama.
Kebaikan bersama akan tercapai apabila partai politik mampu
menyelesaikan permasalahan yang muncul melalui cara-cara yang
dialogis. .(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 20 – Hal 25)

11
D. Tipologi Partai Politik
Tipologi partai politik berkembang seiring dengan perkembangan
demokrasi dan kedewasaan masyarakat dalam berpolitik. faktor-faktor
yang memengaruhi perkembangan model partai politik tersebut adalah:"
1. The electoral dimension
2. The interests of the party constituency
3. Party organization
4. The party system
5. Policy formation (program dan ideologi)
6. Policy implementation
Tipologi partai politik dibedakan berdasarkan beberapa klasifikasi,
antara lain: (1) berdasarkan asas dan orientasinya, (2) berdasarkan
komposisi dan fungsi anggotanya, dan (3) berdasarkan kemungkinan
untuk memenangkan pemilu.
1. Asas dan Orientasi
Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik dibedakan atas tiga
jenis, yaitu partai politik pragmatis, partai politik doktriner, dan partai politik
kepentingan."
A. Partai Politik Pragmatis Partai politik pragmatis adalah suatu partai
yang mempunyai program dan kegiatan yang tidak terikat kaku pada
suatu doktrin dan ideologi tertentu.
B. Partai Politik Doktriner Partai politik doktriner ialah partai yang
memiliki program dan kegiatan konkret yang berdasarkan pada suatu
ideologi tertentu. Pergantian kepemimpinan pada partai ini tidak
berpengaruh terhadap program dasar partai yang telah dirancang
sebelumnya.
C. Partai Politik Kepentingan Partai politik kepentingan adalah partai
politik yang dibentuk atas dasar kepentingan tertentu.
2. Berdasarkan Komposisi dan Fungsi Anggotanya
Berdasarkan komposisi dan fungsi anggotanya ini, partai politik
dibedakan menjadi partai massa/lindungan dan partai kader serta partai
catch-all.

12
.(Dr.Muhadam Labolo, M.si. Hal 26 – Hal 28)
a. Partai Massa/Lindungan Partai massa atau partai lindungan
(patronage) adalah partai yang mengutamakan dan mengandalkan jumlah
anggotanya. mengembangkan diri sebagai pelindung bagi berbagai
kelompok dalam masyarakat agar elektabilitas partai pada pemilihan
umum dapat meningkat.
b. Partai Kader Partai kader adalah partai yang tidak menekankan
kepada banyaknya jumlah anggotanya melainkan terfokus kepada
pembentukan loyalitas dan disiplin anggotanya sehingga tercipta sebuah
partai yang solid. Partai ini mengasumsikan bahwa dengan jumlah yang
sedikit maka tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya dapat dicapai.
Kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya dukungan dari suatu rakyat
kelas bawah.
c. Partai Catch-All Sepintas partai jenis ini serupa dengan partai massa.
Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas
sosial tertentu, Partai Catch-All menyatakan bahwa partainya mewakili
kepentingan bangsa secara keseluruhan.
3. Berdasarkan Kemungkinan Memenangkan Pemilu
Berdasarkan klasifikasi ini, partai politik dibedakan menjadi 2 (dua).yaitu:
a. Partai Mayoritas Partai mayoritas adalah partai yang secara rasional
memiliki prospek untuk memenangkan pemilihan umum.
b. Partai Minoritas Partai minoritas partai politik yang tidak memiliki
potensi untuk memperoleh suara yang signifikan.

E. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian merupakan pola perilaku dan interaksi di antara
sejumlah partai politik dalam suatu sinem politik Di kalangan para ahli
Terdapat perbedaan dalam menggolongkan sistem kepartaian yang ada
Maurice Duverger menggolongkan sistem kepartaian berdasarkan
jumlahpartai, sedangkan Giovani Sartori menggolongkannya berdasarkan
jarak ideologi antarpartai yang ada
1. Sistem Kepartaian Berdasarkan Jumlah Partai Politik
Maurice Duverger menggolongkan sistem kepsartaian menjadi tiga yaitu
1) sistem partai tunggal
2) sistem dwipartai, dan
3) sistem multi partai

13
a. Sistem Partai Tunggal
Sistem partai runggal ini mengandung dua pengertian, pertama di dalam
suatu negara memang benar-benar terdapat satu buah partai Keshia pada
negara tersebut terdapat beberapa partai namun hanya satu para yang
dominan, sementara partai yang lain hanya sebagai pelengkap saja

Terkait dengan penggunaan istilah sistem partai tunggal, sebagian


pengamat berpendapat bahwa penggunaan istilah tersebut tidak repar
karena penggunaan kara sistem pada istilah sistem partai tunggal
menunjukkan keadaan yang menyangkal diri sendiri (contradictio in
termini sebab berdasarkan pengertiannya suatu sistem selalu
mengandung lebih dari satu bagian (par) Walaupun demikian, istilah ini
telah terlanjur disebarkan dan dipakai baik untuk partu yang benar-benar
merupakan satu satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai
yang mempunyai hedudukan dominan di antara beberapa partai lain.
b. Sistem Dwipartai
Menurut istilah dalam ilmu politik, sistem dwipartai biasanya diartikan
sebagai dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil
memenangkan dua teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan
dengan demikian mempunyai kedudukan dominan." Negara-negara yang
memakai sistem ini adalah Inggris, Amerika Serika, Kanada, Filipina, dan
Selandia Baru Maurice Duverger mengatakan bahwa sistem ini adalah
khas Anglo Saxon Pada sistem dwipartai ini hanya terdapar dua partai
politik, yaitu partai yang berkuasa dan partai oposisi. Dengan demikian,
jelaslah letak tanggung jawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum.

14
BAB II
SISTEM PEMILIHAN

A. Pengertian Pemilu
Ada beberapa definisi mengenai pemilu di antaranya adala menurut
Nohlen sebagaimana dikutip oleh J.Piliang (2006 298 Pemilihan umum
adalah "satu-satunya metode demokratik untu memilih wakil rakyat
Sedangkan R William Liddle () menyatakan

"Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering dianggap sebagai


penghubung antara prinsip kedaulatanrakyar dan praktik pemerintahan
oleh sejumlah elitpolitik Setiap warga negara yang telah dianggap dewas
dan memenuhi persyaratan menurut undang-undang.dapat memilih wakil-
wakil mereka diparlemen,termasukpara pimpinan pemerintahan
Keputusan bahwa hasil pemilihan itu mencerminkan kehendak rakyat
diberikanoleh seperangkat jaminan yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pemilihan umum
Sedangkan Aurel Croissant dkk (203 2-3) menjelaskan In Pemilu adalah
kondisi yang diperlukan bagi demokras Taps Pemilia saja tidak menjamin
demokrasi, karena demok memerlukan lebih dari sekadar pemilu Namun
demik perwakilan sangat tergantung pada pemilu. Pemilu bukan ham
mencerminkan kehendak rakyat dan mengintegras ww gara dalam proses
politik saja, melainkan jug megaman dan mengatal kekuasaan
pemeriahan Sa penting untuk mencapai sasaran sasaran ini ialah pemilu
Giovanni Sartori (1976: 33) menyatakan "Sistem pemilihan adalah bagian
yang paling esensial dari kerja sistem politik. Sistem pemilihan umum
bukan hanya instrumen politik yung paling mudah dimanipulasi; ia juga
membentuk sistem partasan dan memengaruhi spektrum representasi

15
Prof.Dr. H. Hatamar Rasyid, M.A Hal 160

B. Sistem Pemilu

Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah Tranomission of Belt"


sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat Nisa bergeser menjadi
kekuasaan negara yang kemudian berubah bentuk menjadi wewenang
pemerintah untuk melaksanakan pemerimahan dan memimpin rakyat.
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta
memungkinkan warga egara memilih/mencoblos para wakil rakyat di
antara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan
prosedur mengubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen.
Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak
dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang ama (Piliang,
2006: 299).

Menurut Miriam Budiardjo (1972 177) pada dasarnya sistem pemilihan


umum secara mendasar terdapat dua prinsip pokok, Falta

A Single Member Costituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil;


biasanya disebut sistem distrik) b Multi-Member Constituency (satu
daerah pemilihan memilih beberapa wakil biasanya dinamakan
Proportional Representation Atau Sistem Perwakilan Berimbang).Di dalam
sistem distrik sebuah daerah kecil menentukan atu wakil tunggal
berdasarkan suara terbanyak sistem distrik nik karakteristik, antara lain:

16
A. For past the post sistem yang menerapkan single memberdan
pemilihan yang berpusat pada calon, pemenang adalah calon yang
mendapatkan suara terbanyak.

B. The two round sistem sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai
dasar untuk menentukan pemenang pemilu ini dijalankan untuk
memeroleh pemenang yang mendapatkan suara mayoritas

C. The alternative vote sama dengan first past the past bestanys adalah
para pemilih diberikan otoritas untuk menemuka preverensinya melalui
penentuan ranking terhadap calor calon yang ada.

D. Block vote para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon


yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dan calon-
calon yang ada.

C.Kelebihan Sistem Distrik

a. Sistem ini mendorong terjadinya integrasi antar partai, karena kursi


kekuasaan yang diperebutkan hanya satu

b. Perpecahan partai dan pembentukan partai baru dapat dihamba,


bahkan dapat mendorong penyederhanaan partai secara alami

c. Distrik merupakan daerah kecil, karena itu wakil terpilih dapat dikenali
dengan baik oleh komunitasnya, dan hubunga dengan pemilihnya menjadi
lebih akrab

d. Bagi para besar, lebih mudah untuk mendapatkan kedudukan mayoritas


di parlemen.

e. Jumlah portai vang terbatas membuat stabilitas politik mudah diciptakan


(Miriam Budiardjo, 1972, 178)

17
Selain memiliki kelebihan dalam pelaksanaan sistem Distrik miliki
Kelemahan sebagai berikut: Ada kesenjangan persentase suara yang
diperten deng umlah kurai di para, hal ini menyebabkan patal berleb

Para kecil dan moitas merugikan ini membat banyak suara terbang Stem
bu kurang mewakili kepentingan masyarakat hogen dan pluralis

4 Wakil rakyat terpilih cenderung memerhatikan kepentingan daerahnya


daripada kepentingan nasional (TAPia, 2006 313-320)

Menurut Miriam Budiardin (1972 177) sistem distrik merupakan sistem


pemilihan yang paling tua dan didasarkan kesatuan geografia: Setiap
kesatuan geografi memunyai a wakit dalam dewan perwakilan rakyat
Untuk keperluan It negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah
wakit kyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jomlah distrik
Calon

yang dalam satu listrik memeroleh suara yang terbanyak menang,


sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam
distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun
kecil selisih kekalahanya Jadi tidak ada sistem menghitung stara lebih
seperti yang dikenal dalam sistem perwakulan berimbang Misalnya, dalam
distrik dengan jumlah suara 100.000 ada dua calon, yakni A dan B Calon
A memeroleh 60.000 dan 8 40.000 mara maka calo A meroleh
kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dar Calon B diangep
hilang. Sinem penulthan in dipakai di Inggris

Kanada, Aerika dan fodia Sedangkan dalam Perwakilan Berimbung sistem


ini dimakandian wok menghilangkan beberapa kelemahan dari Sistem dir
com pemilhan ini disebut juga sebagai si when a Constituency, dengan
menggunakan

Ada kesenjangan persentase suara yang diperoleh dengan Jumlah kursi


di partai, hal ini menyebabkan partai besar lebih berkuasa Partai kecil dan
minoritas merugi karena sistem ini membuar banyak suara terbuang.

18
Sistem ini kurang mewakili kepentingan masyarakat heterogen dan
pluralis.

Wakil rakyat terpilih cenderung memerhatikan kepentingan daerahnya


daripada kepentingan nasional (TA Pito, 2006 313-320).

Menurut Miriam Budiardjo (1972. 177) sistem distrik merupakan sistem


pemilihan yang paling rua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap
kesatuan geografis memunyai saru wakil dalam dewan perwakilan rakyat
Untuk keperluan negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah
wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik
Calon yang dalam satu distrik memeroleh suara yang terbanyak menang,
sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam
distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun
kecil selisih Jadi udak ada sistem menghitung suara lebih seperti yang
dikenal dalam sistem perwakilan berimbang. Misalnya, dalam distrik
dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B. Calon A
memeroleh 60.000 dan B 40.000 suara, maka calon A memeroleh
kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari caton B dianggap
hilang. Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat
dan India.

Sedangkan dalam sistem Perwakilan Berimbang, sistem im dimaksudkan


untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik Sistem
pemilihan ini disebut juga sebagai sistem Pemilihan Mulher Constituency,
dengan menggunakan

distrik-distrik wakil mejemuk, jumlah wakil yang terpilih ya suatu distrik


ditentukan oleh persentase suara sah yang dire oleh partai atau kandidat
peserta pemilu dalam distrik terse Sistem pemilihan proporsional adalah
sistem pemilihan umum dibagikan kepada partai-partai golongan-
golongan politik yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan
imbangan suati yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan

19
Untuk kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan misalnya 1: 400 000
yang berarti sejumlah 400.000 pemilih memunyai wakil di parlemen
Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan setiap suara
dihitung dalam arti baha suara yang diperoleh dalam satu daerah dapat
ditambahkan dengan suara yang diperoleh dari daerah lainnya atau suara
yang lebih dari satu daerah dapat ditambahkan kepada suara vang
diperoleh pada daerah pemilihan lainnya, sehingga besar kemungkinan
setiap organisasi peserta pemilu memeroleh kurs wakil di parlemen pusat
(TA Pito, dkk 2006 335)

Karena luasnya wilayah suatu negara atau banyaknya jumlah penduduk


yang turut dalam suatu pemilihan dewasa ini dalam sistem proporsional
sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan) di mana
wilayah negara dibagi aras daerah pemilihan Tetapi sama dengan aslinya
dengan memperhitungkan wilayah, jumlah penduduk dan faktor-faktor
politik lainnya, kursi yang tersedia di parlemen pusat yang akan
diperebutkan dalam satu daerah pemilihan umum harus lebih dahulu
dibagikan ke daerah-daerah pemilihan umum tetapi jumlah kursi vang
diperebutkan itu tidak boleh satu untuk daerah pemilihan, harus lebih dari
satu sesuai dengan namanya multi member constitam Pemenang dari
satu daerah pemilihan harus lebih dari satu ora (TA.Pto, 2006: 334)
Sistem proporsional banyak diterapkan oleh negara multipartai, seperti
Italia, Indonesia. Swedia, dan Belanda Sem proporsional ini memiliki
beberapa kelebihan antara Dipandang lebih mewakili suara rakyat sebab
perolehan suara partai sama dengan persentase kursinya di parlemen

Seap suara dihitung & tidak ada yang terbuang hingga partai kecil &
minoritas memiliki kesempatan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen.
Hal ini sangat mewakili masyarakat majemuk (pluralis).

Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah sebagai berikut Sistem


proporsional tidak begitu mendukung integrasi partal politik Jumlah partai

20
yang terus bertambah menghalangi integrasi partai Wakil rakyat kurang
dekat dengan pemilihnya,

tapi lebih dekat dengan partainya. Hal ini memberikan andadukan kuat
pada pimpinan partai untuk menentukan wakila di parlemen. Banyaknya
partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bag suatu partai untuk
menjadi para mayoritas Perbedaan utama antara sistem proporsional &
distrik ada bahwa cara penghitungan suara dapat memunculkan
perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-
masing partai polizik

3. Pemilu dalam Sistem Politik islam

Islam secara doktrinal memang tidak menjelaskan secar langsung sistem


perekrutan melalu sebuah pemilihan m serhadap calon pipin dan
perwakilan rakyat sebagaiman dalam teurasti potik modem. Namun aka
ditelasi dalam sejarah peractaban dan pelik alam sejak masa Naby
Muhamma hipgoa ahad modern dan modern hingga kontemporer
Alabaksa politik yang menggambarkan made

pemilihan (umum) menurut Islam tersebut. Di antara peristiw peristiwa


yang menggambarkan adanya pemilihan saat itu adalah sebagai berikut

Bai'at al-Nuqaba' (wakil-wakil suku), yaitu ketika kaum Anshor memba'at


(memilih secara langsung) kepada Nabi Muhammad Saw. di Aqabah.
Nabi Muhammad Saw bersabda pada saat itu: "pilihlah untukku dari kalian
dua belas (12) orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang
dibutuhkan oleh kaum mereka" (At-Thabarani, tt: 174-189)

b. Ba'at (janji setia) secara umum yang terjadi pada masing masing dari
khalifah Rasyidin yang terpilih. Mereka dipilih oleh wakil-wakil dari umat
karena ketokohan mereka dan im mirip dengan sistem representatif pada
pemilihan pemimpin di era modern. Mereka dipilih oleh perwakilan umat
yang terpilih yang bertugas memilih pemimpin (memilih khali yaitu oleh

21
ahlul halli wa al-Aqdi (mereka yang memiliki otoritas dan kapabelitas)
(Samuddin, 2013 303-305)

Sistem pemilihan umum di dunia Islam baru menemukan pola yang lebih
modern setelah berbagai negara Islam bersentuh langsung maupun tidak
langsung dengan sistem demokrasi yang awalnya telah didengungkan
oleh Napoleon Bonaparte di Mesir Pada awal abad ke 20 semakin
banyaknya negara Islam yang awalnya berbentuk kerajaan Islam, atau
dinasti Islam setelah memerdekakan diri dari cengkraman kolonialis
Eropa, negara negara Islam itu banyak yang memilih menjadi sistem
negara masinitial (national state) dan perlahan-lahan sistem pemilihan
model demokrasi merambah dunia Islam, termasuk sistem pemilihan
umum

Prof.Dr. H. Hatamar Rasyid, M.A Hal 166

D. Sistem Partai Politik di Indonesia

Menurut Ramlan Subekti (1992 45), Sistem Kepartalan a pola perilaku dan
interaksi di antara partai politik dalam sistem politik Adapun menurut
Austin Rannes (1990 2). Sistem Kepartaian adalah pemahaman terhadap
karakteristik um konflik parrai dalam lingkungan di mana mereka berkiprah
ang dapat digolongkan menurut beberapa keria Rwanda Imawan (2004
21)

Sistem keparraian adalah pela interaksi partai politik dalam satu sistem
politik yang menentukan format dan mekanisme kerja satu sistem
pemeriahan Hague and Harrop (2004 63) menyatakan bahwa Sistem
Kepartaian merupa interaksi antara partai politik yang perolehan suaranya
signifi

Sistem kepartaian Indonesia menganut sistem mu parta Aturan ini tersirat


dalam pasal 6A (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dan wakil
presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik. Frasa

22
gabungan pana politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atau
lebah ve bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan preside
dan wakil presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulka partai-
partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia har diikuti oleh
minimal 3 partai politik atau lebih

Budiardjo (1971: 167) dengan mengutip dari Mauri Duverger (1967 207)
menjelaskan bahwa sistem partai poliuk terdiri dari tiga sistem, yaitu
sistem partai tunggal (one pam stem), sistem dwi partai (two party sistem)
dan sistem hanyal parial (multi-party sistem). Dalam perkembangan
sejarah sistem kepartian di Indonesia telah mengalami baik secara forma
maupun substansial-perubahan sistem kepartaian karena adanya tarik
menarik kepentingan antarg olongan,ideologi d kekuatan politik sejak awal
kemerdekaan, orde lama hingga baru bahkan era reformasi

Berbagai perubahan dalam undang-undang tentang polink dan partai


politik membuktikan begitu dinamisnya perkembanga sistem kepartatan di
Indonesia. Sejak era kemerdekaan, sebetulma Indonesia telah memenuhi
amanat pasal pada undang-undang tersebut Melalui Keputusan Wakil
Presiden No X 1949 pemilihan umum pertama 1955 diikuti oleh 29 partai
politik da peserta independen

Fada masa pemerintahan orde baru, Presiden Soehar mandang terlalu


banyaknya partai politik menyebabka k terganggu, maka Presiden
Soeharto pada waktu agenda untuk menyederhanakan jumlah peserta
[17.47, ]

pemilit Pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai peliti da 1974 peserta pemilu
tinggal tigs partai politik Soeharto merestrukturisasi partai politik menjadi
Golkar, PPP PDI) yang merupakan hasil penggabungan berapa partai.
Walaupun jika dilihat secara jumlah n menganut sistem multi partai,
namun banyak ahli politik enyatakan pendapat sistem kepartaian saat itu
merupakan em kepartaian tunggal Ini dikarenakan meskipun jumlah anal

23
politik masa orde baru memenuhi syarat sistem kepartan multi partai
namun dari segi kemampuan kompetisi ketiga partai ebut tidak seimbang.

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberalisasi di segala spek


kehidupan berbangsa dan bernegara Politik Indonesia raiakan dampak
serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk
merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai
politik. Banyak sekali parpol yang erdiri di era awal reformasi Pada pemilu
1999 partai politik yang olos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48
partai Jumlah ni tentu sangat jauh berbeda dengan era orba

Pada 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 Parpol saja. Ini
disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electoral Threshold)
sesuai UU No 3/1999 tentang Pemilu yang mengatur bahwa partai politik
yang berhak mengikuti pemilu selanjutnya adalah parpal yang meraih
sekurang kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR Partai politik yang tidak
mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara
bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru Persentase
threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electoral
Threshold 2009 menjadi 3 setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%
Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batan bisk juga dinaikan lagi
atau diturunkan

Partai Politik dalam Islam

Secara formal tidak ada keterangan yang bersifat akadem tentang kapan
munculnya partai politik dalam Islam tentan jika merujuk kepada masa
kenabian Muhammad SAW. Kon laiam tentang partai politik (al-hizb al-
Siyasi) berdasarkan u istilah yang digunakan oleh Al-Qur'an maupun As-
sunah ada menggunakan kata al-hizb (kelompok, al-thoifah (bagian
kelompok al-quum (kelompok berdasarkan ideologi dan teologi agama), t
yang menunjuk kepada makna "partai" adalah al hizh Allah S berfirman

24
"Dan barang siapa menjadikan Allah dan Rasul-Nya dar orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, mak sesungguhnya hizh (penolong
agama) Allah itulah yang pat menang (QS Al-Maidah 56)

Hizh yang digunakan pada ayat ini bermakna penolong ag Allah) Orang-
orang beriman adalah hizbullah (kelompok pen agama Allah). Al-Hizb
adalah kelompok, organisasi atau kump orang yang berjuang dan
berorientasi dengan syariat Allah di itulah yang disebut "partai" (dalam
Islam) (Samuddin 2013 21 Berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik ra la
berkau Kasulullah saw bersabda

Akan datang pada kalian kaum-kaum yang hati me lebih lembut daripada
(hati) kalian Maka datanglah oran orang dari kabilah Asy'ari dan di antara
mereka adi A Musa al-Asy'ari Tatkala telah dekat kota Madinah merasa

BAB III
DEMOKRASI

A. HAKIKAT DEMOKRASI
Kata demokrasi dapat ditinjau dari dua pengertian, yakni pengertian
secara bahasa atau etimologis dan pengertian secara istilah atau ter
minologis
1. Pengertian Etimologis Demokrasi
Dari sudut bahasa (etimologis), demokrasi berasal dari bahasa Yanaru
yaitu demas yang berarti rakyat dan crates atau ratein yang berarti
pemerintahan atau kekuasaan Jadi, secara bahasa demos crafein atau
demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat
Merujuk pada pengertian etimologis ini, perihal demokrasi adalah perihal
penyelenggaraan kekuasaan dalam sejarah kehidup an politik manusia.
Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara- selanjutnya disebut kedaulatan
berada di tangan rakyat negara yang bersangkutan Gagasan demikian

25
merupakan inti dari teor kedaulatan rakyat yang sekaligus menjadi latar
belakang lahimva demokrasi
Penyelenggaraan demokrasi atau kedaulatan rakyat bermula dari Yunan
kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke-15M-abad
ke-6 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi
langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan se cara langsung oleh seluruh
rakyat atau warga negara. Hal ini dapat dilakukan karena Yunani pada
waktu itu berupa negara kota (polis) yang penduduknya terbatas pada
sebuah kota dan daerah sekitar nya yang berpenduduk sekitar 300 000
orang Tambahan pula mesk pun ada keterlibatan seluruh warga, namun
masih ada pembatasan
Misalnya para anak wanita, dan budak tidak berhak berpartisipasi dalam
pemerintahan.

Jika kita tinjau keadaan di Yunani pada saat itu maka nampak bahwa
"rakyat ikut secara langsung karena keikutsertaannya yang secara
langsung itu maka pemerintahan pada waktu itu merupakan pemerintahan
dengan demokrasi secara langsung

Dikarenakan adanya perkembangan zaman dan juga jumlah penduduk


yang terus bertambah maka keadaan seperti yang di- contohkan dalam
demokrasi secara langsung yang diterapkan se perti di atas mulai sulit
dilaksanakan karena beberapa alasan berikut
Tidak ada tempat yang menampung seluruh warga yang jumlah nya
cukup banyak Untuk melaksanakan musyawarah dengan baik dengan
jumlahyang banyak sulit dilakukan Hasil persetujuan secara bulat mufakat
sulit tercapai karena sulit nya memungut suara dari peserta yang hadir
d. Masalah yang dihadapi negara semakin kompleks sehingga
membutuhkan orang-orang yang secara khusus berkecimpungdalam
penyelesaian masalah tersebut. Maka untuk menghindari kesulitan seperti
di atas dan agar rakyat tetap memegang kedaulatan tertinggi maka
dibentuklah badan perwakilan rakyat Badan inilah yang menjalankan
demokrasi Akan tetapi, pada prinsipnya rakyat tetap merupakan
pemegang kekuasa an tertinggi. Maka mulailah dikenal "Demokrasi Tidak
Langsung atau "Demokrasi Perwakilan"

26
ladi, ada dua macam demokrasi atas dasar penyaluran kehendak rakyat a
Demokrasi langsung paham demokrasi yang mengikutserta-
kan setiap warga negaranya dalam permusyawaratan untuk menentukan
kebijaksanaan umum dan undang-undang b Demokrasi tidak langsung
paham demokrasi yang dilaksana kan melalui sistem perwakilan
Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan biasanya
dilaksanakan melalui pemilihan Umum
Dr. Winarno, Spd.,M.Si Hal 98

B. DEMOKRATISASI
Disamping kata demokrasi, kita mengenal istilah demokratisasi
Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip
demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya ada- lah
terbentuknya kehidupan politik yang bercinkan demokrasi Demokratisasi
merujuk pada proses perubahan menuju pada sistem pemerintahan yang
lebih demokratis
Demokratisasi melalui beberapa tahapan, yaitu:
Tahapan pertama adalah pergantian dari penguasa nondemo- krasi ke
penguasa demokrasi.
2 Tahapan kedua adalah pembentukan lembaga-lembaga dan
tertib politik demokrasi Tahapan ketiga adalah konsolidasi demokrasi
Tahapan keempat adalah praktik demokrasi sebagai budaya
politik bernegara
Dalam rumusan yang hampir sama, Samuel Huntington (2001),
menyatakan bahwa proses demokratisasi melalui 3 tahapan, yaitu
pengakhiran rezim nondemokrasi, pengukuhan rezim demokratis, dan
pengkonsolidasian sistem yang demokratis
Demokratisasi juga berarti proses menegakkan nilai-nilai demo krasi
sehingga sistem politik demokratis dapat terbentuk secara bertahap. Nilai-
nilai demokrasi dianggap baik dan positif bagi se tiap warga Oleh karena
itu, setiap warga menginginkan tegaknya demokrasi di negara. Nilai atau
kulto demokrasi penting untuk tegaknya demokrasi di suatu negara
2. Lembaga (Struktur) Demokrasi
Disamping adanya nilai-nilai demokrasi, untuk terwujudnya sistem politik
demokrasi dibutuhkan lembaga-lembaga demokrasi yang

27
menopang sistem politik tersebut Menurut Mirriam Budiardjo (1977)
bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggara kan
lembaga-lembaga, antara lain
a.pemerintahan yang bertanggung jawab,
b. suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan dan
kepentingan dalam masyarakat yang dipilih melalui pemilihan umum yang
bebas dan rahasia
c.Dewan ini melakukan peng- awasan terhadap pemerintah suatu
organisasi politik yang mencakup lebih dari satu partai (sistem dwipartai
atau multipartai) Partai menyelenggarakan hubungan yang kontinu
dengan masyarakat.
d. pers dan media massa yang bebas untuk memyatakan pendapat. dan e
sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak asasi manusia dan
mempertahankan keadilan
Dengan demikian untuk berhasilnya demokrasi suatu negara
terdapat dua hal penting, yaitu: a tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai
demokrasi yang men- jadi sikap dan pola hidup masyarakat dan
penyelenggara negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (kultur
demokrasi). dan

b. terbentuk dan berjalannya lembaga-lembaga demokrasi dalam


sistem politik dan pemerintahan (struktur demokrasi). Dua hal
penting itu (kultur dan struktur) saling berkaitan dan menentukan. Nilai-
nilai demokrasi yang telah tumbuh dalam ke- hidupan masyarakat harus
disalurkan ke dalam lembaga-lembaga demokrasi agar terwujud sistem
pemerintahan yang demokratis. Adanya lembaga-lembaga demokrasi juga
didasari oleh nilai demo- krasi. Suatu negara yang telah memiliki lembaga-
lembaga demo- krasi, tetapi masyarakatnya masih jauh dari sikap dan
sifat demo- kratis maka lembaga-lembaga itu tidak mampu berjalan
dengan haik
Pengalaman demokratisasi di negara-negara Barat menunjuk- bahwa
pembentukan lembaga demokrasi didahului dengan berkembangnya nilai-
nilai demokrasi di masyarakatnya. Melalui
[19.28, 29/11/2022] Shadow🫥: proses yang berlangsung lama masyarakat
Barat dengan didasari nilai demokrasi kemudian membangun lembaga-
lembaga demokras dalam penyelenggaraan pemerintahan Jadi suatu
negara dikatakan negara demokrasi apabila memenuhi dua kriteria, yaitu

28
a. masyarakat demokratis yang berwujud pada adanya budaya (kultur)
demokrasi, dan b. pemerintahan der skrasi yang berwujud pada adanya
institusi (struktur) demokrasi
Demokrasi tidak hanya memerlukan institusi, hukum aturan, ataupun
lembaga-lembaga negara lainya. Demokrasi sejati memerlu kan sikap dan
perilaku hidup demokratis masyarakatnya Demo- krasi ternyata
memerlukan syarat hidupnya, yaitu warga negara yang memiliki dan
menegakkan nilai-nilai demokrasi Demokrasi paling tidak mencakup dua
hal struktur dan kultur (Zamroni. 2011). Negara demokrasi tanpa adanya
sikap hidup dan budaya demokrasi hanya akan menghasilkan kekacauan
dan anarki. Mohammad Hatta (1966) juga pernah mengemukakan bahwa
demokrasi memerlukan syarat-syarat hidupnya, yakni rasa tanggung
jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Tanggung jawab
dan toleransi merupakan nilai demokrasi yang akan mendukung sistem
politik demokrasi
3. Ciri Demokratisasi
Demokratisasi sebagai proses menuju demokrasi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut
a Berlangsung secara evolusioner
Demokratisasi berlangsung dalam waktu yang lama Berjalan secara
perlahan, bertahap, dan bagian demi bagian Mengem bangkan nilai
demokrasi dan membentuk lembaga lembaga demokrasi tidak dapat
dilakukan dengan cepat

b. Proses perubahan secara persuasif bukan koersif Demokratisasi


dilakukan bukan dengan paksaan, kekerasan, atau tekanan. Proses
menuju demokrasi dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan
setiap warga negara Perbedaan
pandangan diselesaikan dengan baik tanpa kekerasan Sikap pemaksaan,
pembak ran, dan perusakan bukanlah cara-cara yang demokratis
Proses yang tidak pernah selesai
Demokratisasi merupakan proses yang berlangsung terus menerus
Demokrasi adalah sesuatu yang ideal tapi tidak dapat dicapai. Tidak ada
negara yang sepenuhnya negara demokrasi, tetapi negara sedapat
mungkin mendekati kriteria demokrasi Bahkan suatu negara demokrasi
dapat jatuh dalam sistem oto nitarian

29
Dr.Wirarno S.Pd.,Msi Hal 110

C. DEMOKRASI DI INDONESIA
1. Demokrasi Desa
Apakah bangsa Indonesia sejak dulu telah melaksanakan demokrasi?
Bangsa Indonesia sejak dahulu sesungguhnya telah mempraktikkan ide
tentang demokrasi meskipun masih sederhana dan bukan dalam tingkat
kenegaraan. Menurut Mohammad Hatta (1953), Indonesia sejak dahulu
sesungguhnya telah mempraktikkan ide tentang demo krasi, meskipun
masih sederhana dan bukan dalam tingkat kenegara an. Desa-desa di
Indonesia sudah menjalankan demokrasi, misalnya dengan pemilihan
pemimpin dan adanya budaya bermusyawarah dengan istilah rembug
desa di Jawa, musyawarah nagari di Minang kabau, sakche desa di Bali,
begundem di masyarakat Sasak, dan se bagainya Indonesia masa lalu
adalah demokrasi di tingkat bawah, tetapi feodalisme di tingkat atas,
demikian pendapat Moh Hatta Demokrasi desa itulah yang disebut
demokrasi asli
Demokrasi desa memiliki 5 unsur atau anasir, yaitu:
A rapat.
B mufakat,
C gotong royong
D hak mengadakan protes bersama dan
E hak menyingkir dari kekuasaan raja absolut
Demokrasi desa tidak bisa dijadikan pola demokrasi untuk Indonesia
modem. Akan tetapi, kelima unsur demokrasi desa tersebut
dikembangkan menjadi konsep demokrasi Indonesia yang modern
Demokrasi Indonesia modern menurut Moh. Hatta harus meliputi 3 hal,
yaitu
A. demokrasi di bidang politik,
B. demokrasi di bidang ekonomi, dan
C. demokrasi di bidang sosial
Menurutnya pula, demokrasi Indonesia tidak berbeda dengan demokrasi
di Barat dalam bidang politik. Hanya saja demokrasi di Indonesia perlu
mencakup demokrasi ekonomi dan sosial, sesuatu yang tidak terdapat

30
dalam masyarakat Barat Demokrasi Indonesia harus meliputi demokrasi
ekonomi yang tidak bersifat individua lisme, tetapi kolektivitas
Ir. Soekarno dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 juga mengatakan
bahwa demokrasi Barat hanya mengenal demokrasi politik. tidak ada
keadilan sosial, tidak ada ekonomi demokrasi Oleh karena itu, untuk
mencari demokrasi hendaknya bukan demo- krasi Barat, tetapi politiek
economische democratic yang mampu men datangkan kesejahteraan
sosial Bung Karno selanjutnya mengusul kan dasar sosio demokrasi yang
isinya terdiri atas permusyawaratan dan kesejahteraan Pada akhirnya
dasar negara Pancasila mencantum- kan gagasan-gagasan demokrasi itu
dalam sila keempat dan sila
kelima Pancasila
2. Demokrasi Pancasila
Bersumber pada ideologinya, demokrasi yang berkembang di Indonesia
adalah demokrasi Pancasila. Nilai-nilai dari setiap sila pada Pancasila
sesuai dengan ajaran demokrasi, bukan ajaran otori tarian atau totalitarian
Jadi, Pancasila sangat cocok untuk menjadi dasar dan mendukung
demokrasi di Indonesia. Nilai-nilai luhur Pancasila yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 sesuai de ngan pilar-pilar demokrasi modern.
Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila tersebut adalah
sebagai berikut.
a Kedaulatan rakyat
Hal ini didasarkan pada bunyi pembukaan UUD 1945 ale V yaitu yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat..." Kedaulatan rakyat ada lah esensi
dari demokrasi

b Republik
Hal ini didasarkan pada pembukaan UUD 1945 alenia IV yang berbunyi...
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia Republik
berarti res publica yang artinya negara untuk kepentingan umum.
Negara berdasar atas hukum
Hal ini didasarkan pada kalimat Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ke tertiban dunia yang berdasarkan

31
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial Negara hukum
Indonesia meng- anut hukum arti arti luas atau materiil. d Pemerintahan
yang konstitusional
Berdasar pada kalimat" maka disusunlah Kemerdekaan Ke- bangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia UUD
negara Indonesia 1945 adalah kon- stitusi negara
Sistem perwakilan
Berdasarkan pada sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
f. Prinsip musyawarah
Berdasarkan pada sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan vang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusya waratan/Perwakilan
E Prinsip ketulianan
Demokrasi di Indonesia harus dapat dipertanggungjawabkan ke bawah,
yaitu rakyat dan ke atas, yaitu Tuhan. Demokrasi Pancasila dapat
diartikan secara luas maupun sempil sebagai berikut.
a Secara luas demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam bidang politik, ekonomi, dan
sosial
b. Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam musyawaratan
perwakilan perunsur utama dari demokrasi Indonesia yang berdasarkan
Pancasila adalah prinsip "musyawarah". Prinsip ini bersumber dan sila
keempat Pancasila, yang intinya adalah "win-win solution". Artinya dengan
prinsip musyawarah tersebut diharapkan memuas kan semua pihak yang
berbeda pendapat. Dalam hal ini, konsep demokrasi musyawarah versi
Indonesia merupakan salah satu bentuk dari teori demokrasi konsensus
(Munir Fuady, 2010).
3. Perkembangan Demokrasi Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dan
setua dengan usia Republik Indonesia itu sendiri Lahirnya konsep
demokrasi dalam sejarah modern Indonesia dapat ditelusuri pada sidang
sidang BPUPKI antara bulan Mei Hingga Juli 1945. Meskipun pemikiran
mengenai demokrasi telah ada pada para pemimpin bangsa sebelumnya,
namun pada momen tersebut pemikiran mengenai demokrasi semakin
mengkristal dan menjadi wacana publik dan politis. Ada kesamaan
pandangan dan konsensus politik dari para peserta sidang BPUPKI

32
bahwa ke- negaraan Indonesia harus berdasar kerakyatan/kedaulatan
rakyat atau demokrasi Cita-cita atau ide demokrasi ada pada para The
founding fathers bangsa (Suseno, 1997)
Akan tetapi, terdapat dua persepsi yang berbeda mengenai bagaimana
seharusnya cita-cita demokratis itu diterapkan dalam pemerintahan
negara Pada momen sidang itu diperdebatkan apa- kah hak-hak
demokratis warga negara perlu diberi jaminan dalam undang undang
dasar atau tidak Pandangan pertama diwakili oleh Soepomo dan
Soekarno yang secara gigih menentang dimasuk kan hak-hak tersebut
dalam konstitusi Pandangan kedua diwakili Meh Harta dan Muh. Yamin
yang memandang perlunya percantum an hak-hak warga dalam undang
undang dasar
Paradigma kenegaraan Soepomo yang disampaikan tanggal 31 Mei 1945
terkenal dengan ide integralistik bangsa Indonesia. Me- nurut Soepomo
politik pembangunan negara harus sesuai dengan struktur sosial
masyarakat Indonesia. Bentuk negara harus meng- ungkap semangat
kebatinan bangsa Indonesia, yaitu hasrat rakyat akan persatuan (Franz
Magnis Suseno, 1997). Negara merupakan kesatuan integral dengan
masyarakatnya. Individu dan golongan dalam masyarakat menyatu dan
mengabdi pada negara. Negara bersifat mengayomi segenap kepentingan
masyarakat. Tidak perlu dipertentangkan antara negara dengan
masyarakat. Tidak perlu adanya jaminan hak-hak rakyat oleh negara
karena secara otomatis telah terjamin dalam negara yang integral.
Dengan paham ini di- tolak alam pikiran individualisme. Individualisme
adalah asing. oleh karena itu bangsa Indonesia harus menolak seluruh
sistem demokrasi Barat sebagai tempat asal individualisme termasuk pen
cantuman hak-hak warga negara dalam konstitusi.
Pandangan Moh. Hatta mengenai demokrasi dapat kita telusuri pada
tulisannya pada tahun 1932 dengan judul Demokrasi Kita: Moh. Hatta
setuju dengan demokrasi yang dikatakannya dengan istilah kerakyatan.
Moh. Hatta menganggap dan percaya bahwa demokrasi/kerakyatan dan
kebangsaan sangat cocok untuk keperlu an pergerakan Indoensia dimasa
datang (Hatta, 1953). Kerakyatan itu sama dengan kedaulatan rakyat,
namun berbeda dengan ke- daulatan individu negara-negara Barat.
Menurutnya demokrasi di negara Barat hanya terbatas pada bidang
politik, sedang kedaulatan rakyat Indonesia juga memuat bidang sosial
dan ekonomi Masya- rakat Indonesia tidak bersifat individual, tetapi
kolektivitas/rasa bersama dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi.
Dengan pandang- an iru, Moh. Hatta mengusulkan agar hak hak warga
negara termuat dalam undang-undang dasar karena ini merupakan
perwujudan dari demokrasi politik. Dengan dicantumkannya hak-hak

33
tersebut maka akan terhindar dari timbulnya negara kekuasaan. Jangan
sampai negara yang kita bentuk menjadi negara kekuasaan, demikian
per- nyataan Moh Hatta. Di samping itu, Moh. Hatta juga mengusulkan
perlunya pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat agar tidak timbul
"kadaver" disiplin.
Kompromi antara dua pendapat tersebut akhirnya tercermin pada Pasal
28 UUD 1945 yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang Rumusan Pasal 28
UUD 1945 ini hingga sekarang masih tetap berlaku dan tidak mengalami
perubahan
Membicarakan pelaksanaan demokrasi tidak lepas dari perio disasi
demokrasi yang pernah ada dan berlaku di sejarah Indonesia Miriam
Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dipandang dari sudut perkembangan
sejarah, demokrasi Indonesia hingga masa Orde Baru dapat dibagi dalam
4 (empat) masa, yaitu
a Masa Republik Indonesia 1 (1945-1959) yang dinamakan masa
demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-
partai dan karena itu dinaniakan Demokrasi Parle- menter,
Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin
yang banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusional yang
secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek
demokrasi rakyat
Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi Pancasila
yang merupakan demokrasi konstitusional yang me nonjolkan sistem
presidensial, d. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa
reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai
koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa republik
Indonesia III Afan Gaffar (1999) membagi alur periodisasi demokrasi
Indonesia Terdiri atas
a. periode masa revolusi kemerdekaan,
b. periode masa demokrasi parlementer (representative democracy).
c periode masa demokrasi terpimpin (guided democracy), dan
d periode pemerintahan Orde Baru (Pancasila democracy) Untuk bahasan
dalam buku ini maka pelaksanaan demokrasi di Indonesia akan dibagi ke
dalam beberapa periode sebagai berikut

34
D. SISTEM POLITIK DEMOKRASI

1. Landasan Sistem Politik Demokrasi di Indonesia


Berdasarkan pada pembagian sistem politik maka ada dua pem bedaan,
yaitu sistem politik demokrasi dan sistem politik nondemo- krasi (Samuel
Huntington, 2001) Sistem politik demokrasi didasarkan pada nilai, prinsip,
prosedur, dan kelembagaan yang demokratis Sistem politik demokrasi
diyakini mampu menjamin hak kebebasan warga negara, membatasi
kekuasaan pemerintahan, dan memberi kan keadilan. Banyak negara
menghendaki sistem politiknya ada- lah sistem politik demokrasi
Indonesia sejak awal berdiri sudah menjadikan demokrasi se- bagai
pilihan sistem politiknya. Cita-cita demokrasi sudah menjadi cita-cita para
pendiri negara (Frans Magnis Suseno, 1997). Akan tetapi, sejak awal pula
perkembangan demokrasi di Indonesia meng alami masa pasang surut
demokrasi sesuai dengan konteks zamannya. Landasan negara Indonesia
sebagai negara demokrasi terdapat dalam:
a. Pembukaan UUD 1945 pada alinea 4 yaitu maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara RI
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara RI yang berke daulatan
rakyat...".
b. Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan di
tangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan UUD. Selanjutnya
dimanakah kita memiliki gambaran lengkap mengenai sistem politik
demokrasi Indonesia? Isi dan mekanisme sistem politik demokrasi
Indonesia dirumuskan pada bagian pasal-pasal UUD 1945. Hal demikian
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 bahwa
kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan UUD. Dari
pasal ini jelas bahwa isi demokrasi Indonesia baik itu demokrasi politik,
ekonomi, dan sosial dijabarkan pada ketentuan-ketentuan dalam UUD
1945.

2. Sendi-Sendi Pokok Sistem Politik Demokrasi Indonesia Adapun sendi-


sendi pokok daripada sistem politik demokrasi di Indonesia adalah
sebagai berikut.
a. Ide kedaulatan rakyat Bahwa yang berdaulat di negara demokrasi
adalah rakyat Ide ini (teori kedaulatan rakyat) menjadi gagasan pokok dari
demo krasi Tercermin pada Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi

35
"kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan menurut ketentuan UUD"
b. Negara berdasar atas hukum Negara demokrasi juga merupakan
negara hukum. Negara hukum Indonesia menganut hukum dalam arti
materiil (luas) untuk mencapai tujuan nasional. Tercermin pada Pasal 1
Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah negara
hukum. Ide kedaulatan hukum menghasilkan nomokrasi. Ber- dasar butir
pertama dan kedua, Indonesia adalah negara demo- krasi sekaligus
negara nomokrasi
c. Bentuk republik Negara dibentuk untuk memperjuangkan realisasi
kepentingan umum (republika) Negara Indonesia berbentuk republik yang
memperjuangkan kepentingan umum. Tercermin pada Pasal 1 Ayat 1
UUD 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik"
d Pemerintahan berdasar konstitusi Penyelenggaraan pemerintahan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan berlandaskan
pada konstitusi alau undang-undang dasar yang demokratis. Tercermin
pada Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 bahwa "Presiden Republik Indonesia me
megang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar
e. Pemerintahan yang bertanggung jawab Perintah selaku penyelenggara
negara merupakan pemerin tah yang bertanggung jawab atas segala
tindakannya. Berdasar demokrasi Pancasila maka pemerintah
bertanggung jawab ke bawah, yaitu kepada rakyat dan ke atas, yaitu
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
f. Sistem perwakilan Pada dasarnya pemerintah menjalankan amanat
rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. Demokrasi yang
dijalankan adalah
demokrasi perwakilan atau tidak langsung, Para wald rakyat dipilih melalui
pemilu
g. Sistem pemerintahan presidensial
Presiden adalah penyelenggara negara tertinggi Presiden adalah kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan
3. Mekanisme dalam Sistem Politik Demokrasi Indonesia
Pokok-pokok sistem politik Indonesia adalah sebagai berikut
a. Merupakan bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas.
Di samping adanya pemerintah pusat, terdapat pemerintah daerah yang
memiliki hak otonom.

36
b. Bentuk pemerintahan republik, sedangkan sistem pemerintah an
presidensial
c. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahun
Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan 5 tahun.
d. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab
kepada presiden. Presiden tidak bertanggung jawab ke- pada MPR
maupun DPR. Di samping kabinet, presiden dibantu oleh suatu dewan
pertimbangan
e. Parlemen terdiri dari dua kamar (bikameral), yaitu Dewan Per- wakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Para anggota DPR
dan DPD merupakan anggota MPR (Majelis Perwakilan Rakyat). DPR
terdiri atas para wakil yang dipilih rakyat melalui pemilu dengan sistem
proporsional terbuka Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing
propinsi yang dipilih rakyat dengan sistem distrik berwakil banyak. Selain
lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota yang anggotanya juga dipilih melalui pemilu DPR
memiliki kekuasaan legislasi, anggaran, dan mengawasi jalannya
pemerintahan.
f. Pemilu-diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden,
anggota DPR, DPD, anggota DPRD Propinsi, anggota DPRD
Kabupaten/Kota, dan kepala daerah
g. Sistem multipartai. Banyak sekali partai politik yang bermunculan di
Indonesia terlebih setelah berakhir Orde Baru. Pemilu 1999 diikuti 48
partai politik, pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik, dan Pemilu 2009
diikuti oleh 34 partai politik
h. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan peng- adilan negeri

BAB IV

WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN

A. PENGERTIAN WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN


1. Warga Negara

37
Kita sering mendengar kata-kata, seperti warga desa, warga kota, warga
masyarakat, warga bangsa, dan warga dunia. Warga mengan- dung arti
peserta atau anggota dari suatu organisasi perkumpulan. Jadi warga
negara secara sederhana diartikan sebagai anggota dari suatu negara.
Istilah warga negara merupakan terjemahan kata citizen (Inggris) Kata
citizen secara etimologis berasal masa Romawi yang pada waktu itu
berbahasa Latin, yaitu kata "civis" atau "civitas" yang ber arti anggota atau
warga dari city-state. Selanjutnya kata ini dalam bahasa Perancis
diistilahkan "citoyen" yang bermakna warga dalam "cate" (kota) yang
memiliki hak-hak terbatas Citoyen atau citizen de- ngan demikian
bermakna warga atau penghuni kota.
Dalam Merriam-Webster Online Dictionary, dinyatakan definisi citizen,
sebagai berikut.
1 an inhabitant of a city or town, especially one entitled to the rights and
prugileges of a freeman
2a a member of a state, b: a native or naturalized person who owes
allegiance to a government and is entitled to protection from it
3: a civilian as distinguished from a specialized servant of the state
Istilah citizen berkembang di Inggris pada abad pertengahan, namun
menjelang akhir abad ke-19, kata tersebut saling bertukar pakai dengan
kata denizen. Kedua istilah tersebut secara umum menunjuk warga atau
penduduk kota sedang orang-orang yang berada di luar disebutnya
"subject". Pada awalnya subject adalah nonwarga kota yang terdiri atas,
wanita, anak-anak, budak, dan penduduk asing.
Berdasar uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa citizen ada- lah warga
dari suatu komunitas yang dilekati dengan sejumlah keistimewaan,
memiliki kedudukan yang sederajat, memiliki loya litas, berpartisipasi, dan
mendapat perlindungan dari komunitasnya. Seorang citizen dapat
dibedakan dengan mereka yang bukan citizen.
Oleh karena itu, pada dasarnya istilah citizen lebih tepat sebagai warga,
tidak hanya melulu warga sebuah negara, tetapi lebih luas pada
komunitas lain di samping negara. Meskipun demikian, dalam
perkembangan sekarang dimana negara merupakan komunitas politik
yang dianggap paling absah maka citizen merujuk pada warga dari
sebuah negara atau disingkat warga negara. Istilah warga negara (bhs.
Indonesia) kiranya telah menjadi konsep yang lazim sebagai terjemahan
dari kata citizen.

38
Pada masa lalu dipakai istilah kawula negara (misalnya, zaman Hindia
Belanda) yang menunjukkan hubungan yang tidak sederajat dengan
negara. Istilah kawula negara memberi kesan warga hanya sebagai objek
atau milik negara. Sekarang ini, istilah warga negara menggantikan
kawula negara lazim digunakan untuk menunjukkan hubungan yang
sederajat antara warga dengan negaranya.
Di samping warga negara, perlu dijelaskan pula istilah rakyat dan
penduduk. Rakyat lebih merupakan konsep politis dan me- nunjuk pada
orang-orang yang berada di bawah satu pemerintahan dan tunduk pada
pemerintahan itu. Istilah rakyat umumnya di- Jawankan dengan penguasa.
Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah
negara dalam kurun waktu tertentu. Orang yang berada di suatu wilayah
negara dapat dibeda- kan menjadi penduduk dan non-penduduk.
Sedangkan penduduk negara dapat dibedakan menjadi warga negara dan
orang asing atau bukan warga hegara
2. Kewarganegaraan
Cogan & Derricott (1998) mendefinisikan kewarganegaraan sebagai "a set
of characteristics of being a citizen" Kewarganegaraan menunjuk pada
seperangkat karakteristik dari seorang warga Karakteristik atau atribut
kewarganegaraan (attribute of citizenship) itu meliputi (a) sense of identify
(perasaan akan identitas), (b) the enjoyment of cer tain rights (pemilikan
hak-hak tertentu), (c) the fulfilment of corres ponding obligations
(pemenuhan kewajiban kewajiban yang sesuai). (d) a degre of interest
and involvement in public affair (tingkat ketertari- kan dan keterlibatan
dalam masalah publik), dan (e) an acceptance of basic social values
(penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar)
Memiliki kewarganegaraan berarti seseorang itu memiliki iden titas atau
status dalam lingkup nasional, misalnya ia warga negara indonesia, ia
berkewarganegaraan Australia, dan sebagainya. Me miliki
kewarganegaraan berarti didapatkannya sejumlah hak dan kewajiban
yang berlaku secara timbal balik dengan negara. la berhak dan kewajiban
terhadap negara sebaliknya negara memiliki hak dan kewajian atas orang
itu. Terkait dengan hak dan kewajiban maka kewarganegaraan seseorang
menjadikan ia turut terlibat atau berpartisipasi dalam kehidupan
negaranya. Kewarganegaraan sese orang juga menjadikan orang tersebut
berinteraksi dengan orang lain sebagai warga negara sehingga tumbuh
penerimaaan atas nilai nilai sosial bersama yang ada di negara tersebut.
Di Indonesia, misal nya nilai-nilai kegotong royongan, nilai-nilai religius,
atau nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai
bersama.

39
Oleh karena itu, nilai sosial bersama yang diterima ini bisa jadi ber- beda
dengan warga negara di negara lain.
Pendapat lain menyatakan kewarganegaraan adalah bentuk identitas
yang memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilikan, hak
dan kewajiban sosial dalam komunitas politik (negara). Hubungan antara
rakyat dan negara berdasarkan asas resiprokalitas hak dan kewajiban
(Kalidjernih, 2007). Dalam kamus Maya Wikipedia dikatakan
kewarganegaraan merupakan keanggota an dalam komunitas politik
(yang dalam sejarah perkembangannya diawali pada negara kota, namun
sekarang ini telah berkembang pada keanggotaan suatu negara) yang
membawa implikasi pada kepemilikan hak untuk berpartisipasi dalam
politik
Berdasar pendapat-pendapat di atas, kewarganegaraan menunjuk pada
bentuk hubungan antara warga dengan komunitasnya sendiri, dalam hal
ini negara, yang melahirkan berbagai akibat antara lain: memunculkan
identitas baru sebagai warga negara,
a. memunculkan identitas baru sebagai warga negara
b. menghasilkan rasa kepemilikan terhadap komunitas baru (negara)
termasuk kepemilikan akan nilai-nilai bersama komunitas.
c. memunculkan aneka peran, partisipasi dan bentuk-bentuk ke-terlibatan
lain pada komunitas negara, dan
d. timbulnya hak dan kewajiban antara keduanya secara timbal balik.
Menurut hukum Indonesia, yakni dalam Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, arti
kewarganegaraan adalah segala hal ikhwal yang berhubungan dengan
warga negara. Hal ikhwal hubungan antara warga negara dengan negara
tersebut pada dasarnya menghasilkan bentuk- bentuk hubungan
sebagaimana di atas.
Jika selama ini dipahami bahwa bentuk-bentuk hubungan ter- sebut hanya
melahirkan hak kewajiban timbal maka sesungguhnya lebih dari itu.
Seperti telah dikemukakan di atas, kewarganegaraan memunculkan
sejumlah karakteristik, atri- but, atau elemen, yakni adanya identitas, hak,
kewajiban, partisipasi, dan penerimaan terhadap nilai bersama (Cogan &
Derricot, 1998) Hak dan kewajiban lebih merupakan akibat dari
kewarganegaraan sebagai status hukum (legal formal), padahal
kewarganegaraan bukan hanya sebatas legal. Kewarganegaraan dapat
dipahami dalam tiga status. Pertama, status legal, yakni memiliki hak dan
perlindungan dari negara. Kedua, status sebagai agen politikal yang

40
melahirkan aneka partisipasi dalam berbagai pranata politik. Ketiga, status
ke anggotaan itu sendiri yang menghadirkan identitas (Kalidjernih, 2010).
Dewasa ini kewarganegaraan sebagai status hukum (legal) tampaknya
lebih mengemuka, sejalan dengan menguatnya entitas negara sebagai
organisasi legal.
Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis
1) Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan ada- nya ikatan
hukum antara orang-orang dengan negara atau kewarganegaraan
sebagai status legal. Dengan adanya ikatan hukum itu menimbulkan
akibat-akibat hukum ter- tentu. Bahwa orang tersebut berada di bawah
kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan hukum
seperti akte kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegara- an, dan
lain-lain.
2) Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai de ngan ikatan
hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan,
ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan
ini lahir dari penghayatan orang yang bersangkutan. Orang yang me miliki
ikatan demikian merupakan kewarganegaraan dalam arti sosiologis
Dari sudut kewarganegaraan sosiologis, seseorang dapat di- pandang
negara sebagai warga negaranya sebab ikatan emo- sional, tingkah laku,
dan penghayatan hidup yang dilakukan me- nunjukkan bahwa orang
tersebut sudah seharusnya menjadi anggota negara itu. Akan tetapi, dari
sudut kewarganegaraan yuridis orang tersebut tidak memenuhi sebab
tidak memiliki bukti ikatan hukum dengan negara Jadi, dari sisi
kewarganegaraan sosiologis ada hal yang belum terpenuhi yaitu
persyaratan yuridis yang merupakan ikatan formal orang tersebut dengan
negara. Di sisi lain, terdapat orang yang memiliki kewarganegaraan dalam
arti yuridis, namun tidak memiliki kewarganegaraan dalam sosiologis. Ia
memiliki tanda ikatan hukum dengan negara, te tapi ikatan emosial dan
penghayatan hidupnya sebagai warga negara tidak ada Jadi ada kalanya
terdapat seorang warga negara hanya secara yuridis saja, sedangkan
secara sosiologis belum me menuhi. Adalah sangat ideal apabila seorang
warga negara meme nuhi persyaratan yuridis dan sosiologis sebagai
anggota dari negara
b.Kewarganegaraan dalam arti formal dan material
1) Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada tempat
kewarganegaraan dalam sistematika hukum. Masalah ke- warganegaraan
atau hal ikhwal mengenai warga negara berada pada hukum publik. Hal

41
ini karena kaidah-kaidah mengenai negara dan warga negara semata-
mata bersifat publik.
2) Kewarganegaraan dalam arti materil menunjuk pada akibat dari status
kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan ke- wajiban serta partisipasi
warga negara Kedudukan sese- orang sebagai warga negara akan
berbeda dengan keduduk an seseorang sebagai orang asing.
Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki
pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan.
Orang yang sudah memiliki kewarganegaraan tidak jatuh pada kekuasaan
atau kewenangan negara lain. Negara lain tidak berhak memperlakukan
kaidah-kaidah hukum pada orang yang bukan warga negaranya.

B. KEDUDUKAN WARGA NEGARA


NEGARA Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa
warga negara adalah anggota dari negara. Warga negara sebagai
pendukung negara dan memilika arti penting bagi negara. Sebagai
anggota dari negara maka warga negara memiliki hubungan atau ikatan
dengan negara
Hubungan antara warga negara dengan negara terwujud dalam identitas,
partisipasi, dan aneka bentuk hak dan kewajiban antara keduanya. Warga
negara memiliki hak dan kewajiban terhadap negara dan begitu juga
sebaliknya. Dengan diistilahkan sebagai warga negara maka ia memiliki
hubungan timbal balik yang sederajat dengan negaranya (hubungan
resiprokalitas)
Hubungan dan kedudukan warga negara ini bersifat khusus sebab hanya
mereka yang menjadi warga negaralah yang memiliki hubungan timbal
balik dengan negaranya. Orang-orang yang tinggal di wilayah negara,
tetapi bukan warga negara dari negara itu tidak memiliki hubungan timbal
balik dengan negara tersebut.
1. Penentuan Warga Negara
Siapa saja yang dapat menjadi warga negara dari suatu negara? Se tiap
negara berdaulat berwenang menentukan siapa-siapa yang men jadi
warga negaranya Negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan
kewarganegaraan. Negara lain juga tidak berhak me nentukan atau turut
campur dalam penentuan kewarganegaraan suatu negara.
Meskipun demikian, dalam menentukan kewarganegaraan se seorang,
negara tidak boleh melanggar "general principles" atau asas- asas umum

42
hukum internasional tentang kewarganegaraan. Asas asas tersebut
adalah:
a. suatu negara tidak boleh memasukkan orang-orang yang sama sekali
"tidak ada hubungan sedikit pun" dengan negara yang bersangkutan
sebagai warga negaranya. Misalnya, Indonesia bebas menentukan siapa
yang akan menjadi warga negara, tapi Indonesia tidak dapat menyatakan
bahwa semua orang yang ada di kutub selatan adalah juga warga
negaranya, dan
b. suatu negara tidak boleh menentukan kewarganegaraan ber- dasarkan
unsur-unsur primordial yang dirasakan bertentangan dengan prinsip-
prinsip hukum umum (general principles) tadi. Misalnya, Indonesia tidak
dapat menyatakan bahwa yang dapat menjadi warga negara Indonesia
adalah orang yang beragama Islam saja atau orang dari suku Jawa saja.
2. Warga Negara Indonesia
Negara Indonesia telah menentukan siapa-siapa yang menjadi warga
negara. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 26 UUD 1945 sebagai
berikut.
a. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang
sebagai warga negara.
b. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia.
c.Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-
undang

Berdasar hal di atas, kita mengetahui bahwa orang yang dapatmenjadi


warga negara Indonesia antara lain:
a orang-orang bangsa Indonesia asli, dan
b orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang
menjadi warga negara.
Berdasar pada Pasal 26 Ayat 2 UUD 1945 bahwa penduduk negara
Indonesia terdiri atas dua, yaitu warga negara dan orang asing. Ketentuan
ini merupakan hal baru dan sebagai hasil aman demen atas UUD 1945.
Sebelumnya penduduk Indonesia berdasar Indische Staatsregeling 1927
pasal 163 penduduk dibagi 3, yaitu
a Golongan Eropa, terdiri atas:

43
1) Bangsa Belanda,
2) Bukan bangsa Belanda, tetapi dari Eropa, dan
3) Orang bangsa lain yang hukum keluarganya sama dengan golongan
Eropa.
b. Golongan Timur Asing, terdiri atas:
1) Golongan Tionghoa, dan
2) Golongan Timur Asing bukan Cina
c. Golongan Bumiputra atau Pribumi, terbagi
1) Orang Indonesia asli dan keturunannya, dan
2) orang lain yang menyesuaikan diri dengan pertama.
Dengan adanya ketentuan baru mengenai penduduk Indonesia,
diharapkan tidak ada lagi pembedaan dan penamaan penduduk Indonesia
atas golongan pribumi dan keturunan yang dapat me- micu konflik antar
penduduk Indonesia.
Orang-orang bangsa lain adalah orang-orang peranakan, seperti
peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab yang bertempat tinggal di
Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tumpah darahnya dan ber sikap
setia kepada negara Republik Indonesia. Orang-orang ini dapat
menjadi warga negara Indonesia dengan cara naturalisasi atau pe
warganegaraan Hal-hal yang mengenai warga negara dan penduduk
diatur dengan undang-undang. Adapun undang-undang yang mengatur
tentang warga negara adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
3. Ketentuan Undang-Undang Mengenai Warga Negara Indonesia
Perihal warga negara Indonesia diatur oleh undang-undang Sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, undang-undang yang
mengatur perihal kewarganegaraan adalah sebagai berikut
a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan
Penduduk Negara
b. Undang-Undang No. 6 Tahun 1947 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara
c.Undang Undang No 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk
Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan KeNegara Indonesia.

44
d. Undang Undang No. 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu
Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan
Negara Indonesia.
e.Undang Undang No. 62 Tahun 1958 tentang KewarganegaraanRepublik
Indonesia.
F.Undang-Undang No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18
Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
g. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
Sampai saat ini undang-undang yang berlaku adalah Undang- Undang 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Adapun
peraturan pelaksanaan guna mendukung undang-undang ini antara lain,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2
Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembuta an,
dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia

C. KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan
Indonesia atau undang-undang sebagai pelaksanaan dari Pasal 26 UUD
1945 yang erlaku sekarang ini adalah Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diundang kan
pada 1 Agutus 2006. Undang-undang ini menggantikan undang undang
kewarganegaraan lama,
yaitu Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia Pokok materi yang diatur dalam undang-undang ini
adalah:
1. siapa yang menjadi warga negara Indonesia,
2 syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia,
3. kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia,
4. syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik
Indonesia, dan
5. ketentuan pidana.
Apabila membaca isi pasal undang-undang kewarganegaraan Indonesia
tersebut dapat dikatakan isinya lebih memuat kewarga negaraan dalam
arti formal, yakni tempat hukum kewarganegaraan sebagai masalah

45
publik, misalnya masalah cara memperoleh ke- warganegaraan.
Sementara kewarganegaraan dalam arti material, yakni akibat dari bentuk
hubungan, seperti hak dan kewajiban warga negara tidak dimuat
Pemuatan kewarganegaraan dalam arti material seperti peran serta, hak,
dan kewajiban warga negara lebih banyak termuatkan dalam pelbagai
undang-undang di berbagai bidang. Dalam Undang- Undang Sistem
Pendidikan Nasional misalnya, kita akan mendapati adanya peran serta,
hak, dan kewajiban masyarakat dalam pendidik an Kiranya dalam undang-
undang yang lain, kita juga akan men- jumpai hal-hal tersebut.
Sehubungan dengan itu, dapat disimpuikan bahwa Undang-Undang No.
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia sebatas memuat
perihal isi formal kewarganegaraan, sedangkan isi materi dari
kewarganegaraan termuat dalam undang-undang yang lain mengatur
pelbagai bidang kehidupan warga indonesia.
1. Tentang Warga Negara Indonesia
Berikut ini beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 12
Tahu 2006 tersebut tentang siapa yang menjadi warga negara Indonesia,
dinyatakan bahwa warga negara Indonesia adalah:
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan
negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga
Negara Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
C.anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
e. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai ke- warganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak mem- berikan kewargaanegaraan
kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari se- telah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga
negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia;

46
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesta
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan se- belum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun dan/atau belum kawin;
i.anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara. Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui,
k.kanak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l.anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan
dari negara tempat anak tersebut dilahirkan mem- berikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan per- mohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau me- nyatakan janji setia;
n. anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah,
belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara
sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai
Warga Negara Indonesia; dan
o. anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun
diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan
penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia,
2. Tentang Pewarganegaraan
Pewarganegaraan secara luas dapat diartikan sebagai cara atau upaya
orang dalam memperoleh status sebagai warga negara suatu negara.
Pewarganegaraan dikenal dengan istilah naturalisasi. Se- tiap negara
memiliki ketentuan tentang cara-cara bagaimana orang dapat menjadi
warga negara di negara tersebut. Negara Indonesia juga memiliki
ketentuan mengenai cara memperoleh kewarga- negaraan Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Sedangkan pewarganegaraan secara sempit merupakan salah satu cara
memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Menurut undang-undang, yang
dimaksud pewarganegaraan adalah adalah tata cara bagi orang asing

47
untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui
permohonan.
Tentang tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, menurut
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, antara lain:
a.Melalui permohonan, yaitu tata cara bagi orang asing untuk mem-
peroleh kewarganegaraan republik Indonesia. Permohonan
pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut.
1) Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
2) Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-
turut atau paling singkat 10 (se- puluh) tahun tidak berturut-turut.
3) Sehat jasmani dan rohani.
4) Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
6) Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda.
7) Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap.
8) Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
b. Melalui pernyataan, yaitu warga negara asing yang kawin secara sah
dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga
negara di hadapan pejabat ber- wenang. Pernyataan sebagaimana
dimaksud dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal
di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut,
kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibat kan
berkewarganegaraan ganda.
c. Melalui pemberian kewarganegaraan. Orang asing yang telah berjasa
kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan
negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden
setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.

48
Contoh, orang asing yang telah berjasa dalam bidang olah raga di suatu
negara maka diberi kewarganegaraan negara tersebut yang menjadikan ia
warga negara istimewa.
d. Melalui pernyataan untuk memilih kewarganegaraan. Ketentu- an ini
berlaku bagi anak yang sudah berumur 18 tahun atau telah kawin atau
anak yang memenuhi kriteria di bawah ini.
1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar per- kawinan yang
sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui
secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui
sebagai Warga Negara Indonesia.
2) Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun
diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan
penetapan pengadilan tetap diakui se- bagai Warga Negara Indonesia.
Anak tersebut memiliki kewarganegaraan ganda. Akan tetapi, setelah
berumur 18 tahun atau kawin, ia harus memilih kewarganegaraan. Apa-
kah ia memilih berkewarganegaraan asing ataukah berke- warganegaraan
Indonesia.
3. Tentang Kehilangan Kewarganegaraan
Dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia hilang karena:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu,
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas per-
mohonannya sendin, yang bersangkutan sudah berusia 18 (de- lapan
belas) tahun, bertempat tinggal di luar negeri, dan de- ngan dinyatakan
hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan,
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden,
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam
dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia,
f.secara sukarela mengangkat sumpah atau menyalakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut,
g. tidak diwajibkan, tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.

49
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing
atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarga negaraan yang
masih berlaku dari negara lain atas namanya,
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia. selama 5
(lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa
alasan yang sah dan dengan sengaja tidak me nyatakan keinginannya
untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5
(lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang
bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga
Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan
Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada
yang bersangkutan, sepanjang yang ber- sangkutan tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan,
j.perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki- laki warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya, kewarga negaraan totri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut,
k.laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perem- puan
warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal istrinya, kewarga negaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Atau jika ingin
tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat
pernyataan menge nai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan
Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan
atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibat- kan
kewarganegaraan ganda. Surat pernyataan dapat diajukan oleh
perempuan setelah tiga (3) tahun sejak tanggal perkawinan- nya
berlangsung, dan
l. setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyata kan palsu atau
dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh
instansi yang berwenang dinyatakan batal kewarganegaraannya. Menteri
mengumumkan nama orang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia

D. HAX DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA


1. Wujud Hubungan Warga Negara dengan Negara

50
Wujud hubungan antara warga negara dengan negara pada umum- nya
berupa peran (role), hak, dan kewajiban. Peran pada dasamya adalah
tugas apa yang dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki dalam hal ini
sebagai warga negara. Istilah peran dapat dipersama kan dengan
partisipasi warga negara, sebagai salah satu atribut ke- warganegaraan.
Secara teoritis, status warga negara meliputi status pasif, aktif, negatif,
dan positif. Peran warga negara juga meliputi peran yang pasif, aktif,
negatif, dan positif (Cholisin, 2000).
Peran pasif adalah kepatuhan warga negara terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau kebijakan politik yang ada. Peran
aktif merupakan aktivitas warga negara untuk terlibat (berpartisipasi) serta
ambil bagian dalam kehidupan bernegara, ter- utama dalam memengaruhi
keputusan publik. Peran positif me rupakan aktivitas warga negara untuk
meminta pelayanan dari negara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran
negatif merupa kan aktivitas warga negara untuk menolak campur tangan
negara dalam persoalan pribadi warga.
Di Indonesia, bentuk hubungan antara warga negara denga negara
secara legal telah diatur dalam UUD 1945. Hubungan antara warga
negara dengan negara Indonesia tersebut digambarkan de ngan baik
dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban. Baik itu hak dan
kewajiban warga negara terhadap negara maupun hak dan kewajiban
negara terhadap warganya. Ketentuan selanjutnya me- ngenai hak dan
kewajiban warga negara di berbagai bidang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dasar. Akan tetapi,
disamping pengaturan tentang hak dan kewajib- an warga negara, sebuah
undang-undang kadang pula memuat bentuk-bentuk partisipasi warga
negara di bidang yang sesuai de- ngan isi undang-undang tersebut.
2. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
Hak dan kewajiban warga negara tercantum dalam pasal 27 sampai
dengan pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara
lain:
a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tercantum dalam
Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, yaitu: "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Pasal ini
menunjukkan asas keadilan sosial dan kerakyatan.
b. Hak membela negara, tercantum dalam Pasal 30 Ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara,"

51
c. Hak berpendapat, tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yaitu
"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran de- ngan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang."
d. Hak kemerdekaan memeluk agama, tercantum dalam Pasal 29 Ayat (1)
dan (2) UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk me meluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
e. Hak ikut serta dalam pertahanan negara, tercantum dalam Pasal 30
Ayat (1) UUD 1945. Yang menyatakan bahwa: "Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan ke amanan
negara."
f.Hak untuk mendapatkan pendidikan, tercantum dalam Pasal31 Ayat (1)
dan (2) UUD 1945 yang berbunyi:
(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
g. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasio- nal
Indonesia, tercantum dalam Pasal 32 UUD 1945. Ayat (1) berbunyi:
"Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam me melihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya."
h. Hak ekonomi atau hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial,
tercantum dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945 yang
berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, ber

52
kelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
kryeimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi masional

BAB V
KONSEP SOSIOLOGI POLITIK

A.KONSEP SOSIOLOGI
Istilah "sosiologi" ditemukan pada tahun 1839 oleh Auguste Comte (di
dalam bukunya Cours de philosophie Positive, jilid 4) untuk menunjukkan
ilmu tentang masyara- kat. Sebelum itu Comte pernah mempergunakan
istilah "fisika sosial" (social physics) dalam arti yang sama, akan tetapi
kemudian menggantikannya dengan "sosiologi," karena ahli matematika
Belgia Quetelet, telah mempergu- nakan istilah "fisika sosial" bagi studi
statistika tentang ge- jala moral (1836), yang dikatakan Comte sebagai
"suatu percobaan pemberian istilah yang jelek. Sejak masa Comte,
penggunaan kata "sosiologi" tidak banyak berubah. Ada kalangan yang
ingin membatasinya pada ilmu sosial pada umumnya, suatu ilmu sintesa
yang menggabungkan kesim- pulan-kesimpulan penelitian khusus yang
diadakan dalam
setiap disiplin sosial masing-masing. Konsep ini samasekali tidak dapat
diterima karena penelitian dan sintesa tidak da pat dipisahkan di dalam
bidang ilmiah, setiap kepingan pene litian terpaut pada hipotesa-hipotesa,
kepada teori-teori, kepada sintesa-sintesa awal yang bersifat sementara.
Akibat- nya, bagi kebanyakan ahli sosiologi, "sosiologi tetap me nunjuk
pada seluruh tubuh ilmu-ilmu sosial, dan kita akan mempergunakan istilah
tersebut di sini dalam artian ini. Sejalan dengan itu, setiap bidang ilmu
sosial tertentu bisa di- tunjukkan dengan menambahkan kata sifat
pengubah ke pada kata "sosiologi" sosiologi ekonomi, sosiologi aga ma,
sosiologi politik, sosiologi keluarga, dan seterusnya.
Perkembangan Sosiologi Ilmiah
Comte sangat menekankan makna ilmiah dari sosiologi. Bahkan lahirnya
disiplin tersebut terikat pada ide funda- mental bahwa seorang harus
mempergunakan metoda-me- toda pengamatan yang dipakai oleh ilmu-
ilmu alam untuk mempelajari gejala-gejala sosial. Emile Durkheim kelak
se tuju dengan mengatakan bahwa kita harus memperlakukan fakta-fakta
sosial "sebagaimana kita memperlakukan bends benda." Kemudian kita
akan melihat bahwa para ahli sosio- logi modern tidak seluruhnya
menganut pandangan ini.

53
Sikap positivis ini merupakan suatu revolusi intelektual yang murni.
Sampai dengan abad delapan belas, fakta-fak ta sosial dipelajari terutama
dari titik tilik filosofis dan etis. Ada usaha yang dibuat untuk memberikan
batasan bukan tentang apakah suatu masyarakat itu, akan tetapi apakah
seharusnya masyarakat itu di dalam kerangka keyakinan- keyakinan
metafisik dan agama terhadap hakekat manusia, tujuan hidup dan
semacamnya. Justru pengertian bahwa manusia dan masyarakat harus
dipelajari "seperti benda benda" secara ilmiah, kedengarannya bersifat
menghujah menodai sesuatu yang dianggap sakral atau suci.
Dalam tahap awal ini, metoda untuk menganalisa fakta-fakta sosial pada
hakekatnya deduktif, berdasarkan prin- sip-prinsip tertentu, obyek-obyek
kepercayaan tertentu. Tidak ada kemungkinan untuk membuktikan
premisa-pre- misa dasar secara eksperimental. Kesimpulan-kesimpulan
ditarik dari prinsip-prinsip ini melalui penalaran yang logis. Dengan
demikian hasilnya bersifat "normatif," mereka dipakai untuk memberikan
batasan hukum-hukum (atau "norma-norma") yang bisa memungkinkan
"suatu masya- rakat yang baik" berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip
metafisik dan moral yang diletakkan sebagai basis penalaran. Untuk
mengungkapkan hakekat yang benar dari manusia, benda-benda, dan
peristiwa-peristiwa, maka metoda ini bukannya didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan ten- tang kenyataan," akan tetapi didasarkan
pada "pertim- bangan nilai" yang dihadapi manusia, benda-benda, dan
peristiwa-peristiwa dengan sebuah batasan a priori tentang yang baik dan
jahat, benar dan salah, definisi-definisi yang dianggap absolut dan kudus.
Aturan-aturan tingkah laku atau "norma-norma" diambil dari pertimbangan
nilai ini.
Tentu saja sejak masa-masa dahulu, beberapa penulis berusaha untuk
mempelajari fakta-fakta sosial secara ilmiah. Aristoteles adalah perintis
dalam hal ini, dan kemudian, Machiavelli (The Prince, 1532) dan Jean
Bodin (The Repub- lic, 1577), akan tetapi karya-karya mereka adalah
pengecu- alian. Tambahan pula, sampai pada tingkat tertentu mereka
memantulkan kecenderungan umum bagi studi filosofis dan etis terhadap,
fakta-fakta sosial. Analisa-analisa ilmiah dibumbui oleh keputusan-
keputusan nilai. Orientasi umum penelitian tetap normatif.
Titik balik terjadi dengan Montesquieu; bukunya Spirit of Laws (1748)
adalah pembahasan atau karya per- tama di dalam sosiologi politik. "Di
sini kita laporkan apa yang ada dan bukannya apa yang seharusnya ada,"
demikian dimaklumkan tuan tanah dari La Brede ini yang mewariskan
dunia dengan definisi hukum yang baik dalam artian ilmiah sesungguhnya:
"hubungan-hubungan niscaya yang berasal

54
dari hakekat benda-benda." Namun, karya-karyanya juga dalam jangka
waktu yang lama tetap merupakan usaha yang terpencil. Kecuali sosiologi
ekonomi, baru pada abad kesem- bilan belas penelitian dalam ilmu sosial
membuat langkah- langkah menuju objektivitas. Bilamana Comte
pertama-tama berpikir untuk membaptiskan ilmu yang baru dengan nama
"fisika sosial," hal tersebut dilakukannya dengan maksud yang jelas untuk
mempergunakan suatu istilah yang menun jukkan pentingnya mengambil
alih metoda-metoda penga matan yang sama yang menjadi ciri ilmu-ilmu
alam dan fisika. Sikap dasar ini masih tetap berlaku untuk merumus kan
sosiologi pada masa kita. Ilmu-ilmu sosial adalah ilmu sejauh mereka
berusaha, sebagaimana ilmu-ilmu alam, untuk memberikan deskripsi dan
menjelaskan gejala-gejala yang sebenarnya dengan teknik-teknik
pengamatan dan meru- muskan "reality judgments" dan bukannya "value
judg ments." Namun, sementara itu konsep-konsep umum ten- tang ilmu
juga mengalami perubahan.

b. Konsep politik
Adalah lebih sulit memberikan definisi yang tepat bagi istilah
"politik" daripada istilah "sosiologi". Hal ini yang disebutkan terakhir relatif
sebuah kata baru yang mengan- dung arti teknis dan jarang dipergunakan
di dalam pembica- raan sehari-hari. Kata "politik", di pihak lain, adalah
sangat tua dan ada dalam kosakata setiap orang. Ia menembusi waktu
dan karena seringnya dipakai dia menjadi sangat samar-samar dan
umum.
di Perancis untuk menunjukkan cabang sosiologi yang khu sus, satu dari
ilmu-ilmu sosial. Istilah-istilah tersebut malah lebih biasa di negara-negara
Anglo-Saxon, terutama di Ame ka Serikat. Akan tetapi tidak ada
persetujuan di kalangan para ahli tentang batas-batas yang tepat bagi
bidang sosiolo- gi politik. Ada beberapa pertikaian tentang konsep-konsep
dari kata "politik" yang harus kita teliti secara terperinci
Sosiologi Politik, Ilmu Kekuasaan
Pertama-tama ada dua pertikaian arti sosiologi politik. Yang satu
menganggap sosiologi politik sebagai ilmu tentang negara, yang lain, ilmu
tentang kekuasaan. Konsep kedua yang lebih "operasional" di antara
keduanya, lebih dipergu nakan secara luas dari pada yang pertama, dan
akan kita pergunakan di sini.
Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu Negara
Konsep ini mempergunakan kata "politik" dalam ko notasinya yang biasa,
yaitu, yang berhubungan dengan nega ra. Kata "negara" diambil untuk
mengartikan kategori khu sus dari kelompok-kelompok manusia atau

55
masyarakat. Praktisnya ada dua arti: negara bangsa (nation-state),
menunjukkan masyarakat nasional, yaitu, komunitas yang muncul pada
akhir Zaman Tengah dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling
utuh berintegrasi. Negara Pe- merintah (government-state) menunjukkan
penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional ini. Mendefenisikan
sosiologi politik sebagai ilmu negara adalah menempatkan- nya dalam
klasifikasi dalam ilmu-ilmu sosial didasarkan yang pada hakekat dari
masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dengan demikian
berada dalam kategori yang berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi
kota, dan sosiologi etnik atau kelompok-kelompok minoritas.
Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu tentang Kekuasaan
Konsep yang dilukiskan di atas, yang sesuai denganarti yang biasa, pada
analisa terakhir, telah memperoleh penganut-penganut baru di kalangan
para ahli masa seka- rang. Hanya beberapa penulis penting ahli sosiologi
Jerman Jellinek, yang menulis sebelum perang Dunia Pertama, dan ahli
sejarah Perancis Marcel Prelot - meng hubungkan sosiologi politik dengan
ilmu tentang negara. Konsep mereka adalah konsep tua dari sosiologi
politik.
Konsep yang lebih modern menganggap bahwa sosio- logi politik adalah
ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam
semua masyarakat manusia, bukan saja di dalam masyarakat nasional.
Konsepsi ini berasal dari apa yang Leon Daguit namakan perbedaan
antara yang memerintah (gouvernants) dan yang diperintah (gouvernes)..
Dia percaya bahwa dalam setiap kelompok manusia, dari yang terkecil
sampai kepada yang terbesar, dari yang sifatnya cuma sekejap mata saja
sampai kepada yang paling stabil, ada orang yang memerintah dan
mereka yang mematuhinya, mereka yang memberikan perintah dan
mereka yang mentaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka
yang mematuhi keputusan tersebut. Pembe daan ini merupakan fakta
politik yang fundamental yang menuntut studi perbandingan di dalam
setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.

C.PANDANGAN UMUM TENTANG SOSIOLOGI POLITIK

Sejak manusia pertama kali berpikir tentang politik, mereka terombang


ambing di antara dua interpretasi yang saling bertentangan secara
diametrik. Bagi sebagian orang politik secara hakiki adalah pergolakan
pertempuran. Ke kuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan
individu individu yang memegangnya untuk mempertahankan domi

56
nasinya terhadap masyarakat dan untuk mengeksploitir nya; kelompok
dan individu lain menentang dominasi dan eksploitasinya dengan
berusaha melawan dan membinasa kannya. Tafsiran kedua menganggap
politik sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan.
Kekuasa- an melindungi kemakmuran umum dan kepentingan umum
(common good) dari tekanan dan tuntutan kelompok-ke- lompok
kepentingan yang khusus. Bagi yang pertama, po litik bertugas untuk
mempertahankan hak-hak istimewa suatu minoritas terhadap mayoritas.
Bagi yang kedua, dia adalah alat untuk mengintegrasikan setiap orang ke
dalam komunitas dan menciptakan "kota adil" yang Aristoteles.
dibicarakan
Penganutan kepada suatu pandangan atau yang lain sebagian ditentukan
oleh status sosial seseorang. Individu- individu dan kelas-kelas tertindas,
dan orang miskin, dan orang-orang malang, dan yang tidak puas setuju
bahwa kekuasaan menjamin ketertiban, akan tetapi hanyalah kari- katur
tentang ketertiban, yang menyembunyikan dominasi pemegang hak
istimewa yaang sedikit jumlahnya. Bagi orang-orang ini politik adalah
perjuangan/pergolakan in- dividu-individu dan kelompok-kelompok yang
aman, mak- mur, dan puas mendapatkan bahwa masyarakat harmonis
dan bahwa kekuasaan mempertahankan ketertiban sosial yang syah. Bagi
mereka, politik adalah integrasi. Bagi bang- sa-bangsa Barat, kelompok
kedua kurang atau lebih berhasil meyakinkan kelompok pertama bahwa
pergolakan politik adalah kotor, menjijikkan, dan tidak terhormat dan
bahwa mereka yang melibatkan dirinya di dalamnya hanyalah me- ngejar
kepentingan-kepentingan sendiri dengan metoda-me- toda yang
meragukan. Dengan melemahkan dan medemora lisir musuh-musuhnya
sedemikian rupa mereka menjamin keuntungan mereka sendiri. Setiap
"depolitisasi" menguntungkan orde yang mapan, status quo, dan
konservatisme,
Tentu saja, setiap sikap ini mewakili sebagian dari ke benaran. Bahkan
kaum konservatif yang paling optimis ti dak bisa mengingkari bahwa
kalaulah maksud politik adalah untuk mencapai integrasi, jarang hal
tersebut dapat dilaks kannya atas peri yang sangat memuaskan. Seperti
pelaku di dalam sandiwara Corneille, kaum konservatif menampilkan
politik sebagaimana seharusnya ada, sedangkan kaum penen- tangnya,
lebih menyerupai tokoh Racinia, menunjukkan politik sebagaimana
adanya. Akan tetapi mereka juga ham- pir tidak dapat mengingkari bahwa
gambarannya terlalu hitam. Penguasa-penguasa yang paling menindas
dan tidak adil melaksanakan beberapa fungsi bagi kepentingan semua
orang, sekurang-kurangnya dalam bidang teknis, meskipun hanya
mengatur lalulintas, menyediakan pelayanan pos, dan menjamin
pengangkutan sampah.

57
Akhirnya, adalah hakekat politik, artinya yang sesung guhnya, bahwa
politik senantiasa ambivalen. Dewa Janus yang bermuka dua adalah citra
yang benar dari kekuasaan dan mengungkapkan kebenaran politik yang
paling dalam. Negara dan atas cara yang lebih umum, kekuasaan insti
tusional dari masyarakat dalam setiap saat dan di setiap tempat adalah
alat dominasi sekelompok tertentu atas ke- lompok lain, dipergunakan
oleh yang disebut pertama deni keuntungan sendiri dan demi kerugian
bagi yang lain. Pada saat yang sama, dia juga alat menjamin ketertiban
sosial tertentu, sejenis integrasi dari semua orang di dalam komu- nitas
demi kepentingan umum. Perbandingan unsur yang satu atau yang lain
berfluktuasi sangat besar menurut waktu dan suasana dan dari satu
negeri kepada yang lain. Akan tetapi kedua unsur terus menerus berada
bersama.
Paham bahwa politik mencakup baik konflik antara individu-individu dan
kelompok untuk memperoleh kekua saan, yang dipergunakan oleh
pemenang bagi keuntungan nya sendiri atas kerugian dari yang
ditaklukkan, maupun usaha untuk menegakkan ketertiban sosial yang
berguna bagi semua orang merupakan dasar teori kita tentang so- siologi
politik. Dia akan menjadi garis penuntun melalui semua perkembangan
yang bakal menyusul. Tidak setiap orang menerima teori ini. Satu dari
kekurangan yang sung guh-sungguh di dalam sosiologi politik masa kini
adalah ketiadaan teori umum yang diterima oleh komunitas para sarjana,
atau teori apa pun yang bisa berlaku sebagai dasar bagi penelitiannya
masing-masing. Setiap sarjana berwajib untuk mengisi kesenjangan
tersebut dengan membangun sintesanya sendiri. Akan lebih baik jadinya
bilamana i.i dilakukan secara jujur, dengan mengakui bahwa seseorang
menawarkan ide-ide pribadi, daripada memberikan embel embel
obyektifitas dan generalitas kepada pendapat-penda- patnya yang tidak
sesuai dengan kenyataan.
Namun, teori di balik buku ini bertujuan menjadi suatu teori umum
bilamana bukan dalam arti jumlah ilmuwan politik yang berlumba-lumba
untuk mempertahankannya, sekurang-kurangnya dalam arti kerangka
masalah yang di- telitinya. Keasliannya terletak di dalam menyeberangi
ke- rangka khusus dari kedua kosmogoni politik yang besar dan saling
bertikai dalam zaman kita: Teori Barat dan teori Marxis masing-masingnya
dianggap sebagai sintesa persial dan relatif. Persis seperti seorang ahli
ekonomi yang baik mulai membangun "generalized economics" yang
menye- berangi sistem-sistem ekonomi yang berbeda-beda yang dipakai
pada saat sekarang, demikian pula kita mencoba di sini meletakkan dasar
bagi "generalized politics. "Kita tidak terlalu takabur untuk percaya bahwa
kita telah berhasil, akan tetapi kita berharap bahwa kita berada di jalan
yang benar.

58
Rencana umum sosiologi politik yang diberikan di sini, pada hakekatnya
berkisar pada tema dua wajah kekuasaan, yaitu baik sebagai penindas
maupun sebagai integrator. Dalam bagian I saya memberikan deskripsi

BAB IV
NEGARA DAN KONSTITUSI

Secara umum, negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan setelah abad Per- tengahan
yang ditandai dengan ide demokrasi dapat dikatakan tanpa konstitusi,
negara tidak mungkin terbentuk. Konstitusi merupakan hukum dasarnya
suatu negara. Dasar-dasar penyelenggaraan ber- negara didasarkan pada
konstitusi sebagai hukum dasar.
Penyelenggaraan bernegara Indonesia juga didasarkan pada suatu
konstitusi. Hal ini dapat dicermati dari kalimat dalam Pem- bukaan UUD
1945 alinea keempat sebagai berikut.
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasar- kan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada..."
Negara yang berlandaskan pada suatu konstitusi dinamakan negara
konstitusional (constitutional state). Constitutional state merupa kan salah
satu ciri negara demokrasi modern. Akan tetapi, untuk dapat dikatakan
secara ideal sebagai negara konstitusional maka konstitusi negara
tersebut harus memenuhi sifat atau ciri-ciri dari konstitusionalisme
(constitutionalism). Jadi, negara tersebut harus pula menganut gagasan
tentang konstitusionalisme. Konstitusiona- lisme sendiri merupakan suatu
ide, gagasan, atau paham.
Bahasan mengenai negara dan konstitusi pada bab ini akan dimulai
dengan gagasan tentang konstitusionalisme. Secara terinci pembahasan
bagian ini terdiri atas sub bahasan:
A. Konstitusionalisme
B. Konstitusi Negara

59
C UD 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia.
D. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

A. KONSTITUSIONALISME

1. Gagasan tentang Konstitusionalisme


Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang terdiri atas unsur rakyat
(penduduk), wilayah dan pemerintah. Pemerintah adalah satu unsur
negara. Pemerintahlah yang menyelenggarakan dan me- laksanakan
tugas-tugas demi terwujudnya tujuan bernegara.
Di negara demokrasi, pemerintah yang baik adalah pemerintah yang
menjamin sepenuhnya kepentingan rakyat, serta hak-hak dasar rakyat.
Disamping itu pemerintah dalam menjalankan kekuasaan- nya perlu
dibatasi agar kekuasaan itu tidak disalahgunakan, tidak sewenang-
wenang, serta benar-benar untuk kepentingan rakyat. Mengapa
kekuasaan perlu dibatasi? Kekuasaan perlu dibatasi karena kekuasaan itu
cenderung untuk disalahgunakan dan disewenang- wenangkan. Ingat
hukum besi kekuasaan dari Lord Acton yang mengatakan "power tends
corrupt and absolut power corrupts absolutely" (kekuasaan cenderung
untuk menjadi sewenang-wenang dan dalam kekuasaan yang mutlak
kesewenang-wenangan juga cenderung mutlak).
Upaya mewujudkan pemerintahan yang menjamin hak dasar rakyat serta
kekuasaan yang terbatas itu dituangkan dalam suatu aturan bernegara
yang umumnya disebut konstitusi (hukum dasar atau undang-undang
dasar negara). Konstitusi atau undang-undang dasar negara mengatur
dan menetapkan kekuasaan negara se demikian rupa sehingga
kekuasaan pemerintahan negara efektif untuk kepentingan rakyat, serta
tercegah dari penyalahgunaan he kuasaan. Konstitusi dianggap sebagai
jaminan yang paling efektif
bahwa kekuasaan pemerintahan tidak akan disalahgunakan dan hak-hak
warga negara tidak dilanggar.
Gagasan bahwa kekuasaan negara harus dibatasi, serta hak- hak dasar
rakyat dijamin dalam suatu konstitusi negara dinamakan
konstitusionalisme. Carl J. Friedrich berpendapat "konstitusiona- lisme
adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kum- pulan aktivitas
yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk pada
beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa

60
kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan
oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Pembatasan yang
dimaksud termaktub dalam kon- stitusi" (Taufiqurrohman Syahuri, 2004)

Oleh karena itu, suatu negara demokrasi harus memiliki dan berdasar
pada suatu konstitusi, apakah itu bersifat naskah (written constitution)
atau tidak bersifat naskah (unwritten constitution). Akan tetapi, tidak
semua negara yang berdasar pada konstitusi memiliki sifat
konstitusionalisme. Di dalam gagasan konstitusionalisme. undang-undang
dasar sebagai lembaga mempunyai fungsi khusus, yaitu menentukan dan
membatasi kekuasaan di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-hak
asasi warga negara (Miriam Budiardjo, 1977). Jadi, dapat disimpulkan di
dalam gagasan konstitusionalisme, isi daripada konstitusi negara
bercirikan dua hal pokok berikut ini
a. Konstitusi itu membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa agar
tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warganya.
b. Konstitusi itu menjamin hak hak dasar dan kebebasan warga negara
Konstitusi atau undang-undang dasar dianggap sebagai per wujudan dari
hukum tertinggi yang harus ditaati oleh negara dan pejabat-pejabat
negara sekalipun. Hal ini sesuai dengan dalil govern ment by law, not by
men" (pemerintahan berdasarkan hukum bukan oleh manusia).
Pada permulaan abad ke-19 dan awal abad ke-20 gagasan me- ngenai
konstitusionalisme (kekuasaan terbatas dan jaminan hak dasar warga
negara) mendapatkan perumusan secara vuridic Daniel S. Lev
memandang konstitusionalisme sebagai paham "negara
terbatas". Para ahli hukum Eropa Barat Kontinental, seperti Immanuel
Kant dan Frederich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat. Sedang kan
ahli Anglo-Saxon, seperti A. V. Dicey memakai istilah Rule of Lane. Di
Indonesia, istilah Rechtsstaal atau Rule of Law biasa diterjemah kan
dengan istilah "Negara Hukum" (Mahfud MD, 1993).
2. Negara Konstitusional
Setiap negara memiliki konstitusi sebagai hukum dasar. Namun tidak
setiap negara memiliki undang-undang dasar. Inggris tetap merupakan
negara konstitusional (constitutional state) meskipun tidak memiliki
undang-undang dasar. Konstitusi Inggris terdiri atas berbagai aturan
pokok yang timbul dan berkembang dalam sejarah bangsa tersebut.
Konstitusi tersebar adalam berbagai dokumen, seperti Magna Charta

61
(1215), Bill of Rights (1689), dan Parliament Act (1911). Konstitusi dalam
kaitan ini memiliki pengertian yang lebih luas dari undang-undang dasar.
Apakah negara yang mendasarkan diri pada suatu konstitusi layak disebut
sebagai negara konstitusional? Negara konstitusional tidak cukup hanya
memiliki konstitusi, tetapi juga negara tersebut harus menganut gagasan
tentang konstitusionalisme (constitutiona lism). Konstitusionalisme
merupakan gagasan bahwa konstitusi suatu negara harus mampu
memberi pembatasan kekuasaan peme rintahan, serta memberi
perlindungan dan jaminan pada hak-hak dasar warga negara. Suatu
negara yang memiliki konstitusi, tetapi isinya mengabaikan dua hal pokok
di atas maka ia bukan negara konstitusional
Negara konstitusional bukan sekedar konsep formal, tetapi juga memiliki
makna normatif. Di dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi tidak
hanya merupakan suatu dokumen yang menggambar- kan pembagian
dan tugas-tugas kekuasaan, tetapi juga menentukan dan membatasi
kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Sementara itu, di lam pihak,
konstitusi juga berisi jaminan akan hak-hak asasi dan hak dasar warga
negara. Negara yang menganut gagasan kons titusionalisme inilah yang
disebut negara konstitusional (constitutio nal state).
Adnan Buyung Nasution (1995) menyatakan negara konstitu sional
pertama-tama merupakan negara yang mengakui dan men- jamin hak-hak
warga negara, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara
hukum. Jaminan dan pembatasan yang dimaksud harus tertuang dalam
konstitusi. Jadi negara konstitu- tional bukanlah semata-mata negara yang
telah memiliki konstitusi Perlu dipertanyakan lagi apakah konstitusi negara
tersebut berisi pembatasan atas kekuasaan dan jaminan akan hak-hak
dasar warga negara.

B. KONSTITUSI NEGARA

1. Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari istilah bahasa Perancis "constituer" yang arti nya
membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan untuk
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu
negara. Konstitusi juga dapat berarti peraturan dasar (awal) menge nai
pembentukan negara. Istilah konstitusi bisa dipersamakan de ngan hukum
dasar atau undang-undang dasar. Kata konstitusi dalam kamus besar

62
bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: (1) segala ketentuan dan
aturan mengenai ketatanegaraan (2) undang undang dasar suatu negara.
Dalam kehidupan sehari-hari kita menerjemahkan kata Inggris constitution
(konstitusi) dengan undang-undang dasar Istilah undang- undang dasar
merupakan terjemahan istilah yang dalam Bahasa Belanda
"Grondwet".Dalam Bahasa Indonesia, grond berarti tanah dan wel
diterjemahkan sebagai undang-undang. Di negara-negara yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah
constitution yang artinya konstitusi. Pengertian konstitusi dalam praktik
dapat berarti lebih luas dari pada pengertian undang- undang dasar, tetapi
ada juga yang menyamakan dengan pengertian undang-undang dasar.
diri Konstitusi juga dapat diartikan sebagai hukum dasar Para pen- jelasan
UUD 1945 dikatakan "Undang undang dasar suatu negara negara kita
menggunakan istilah hukum dasar Dalam pen- ialah hanya sebagian
hukum dasar negara itu. Undang-undang dasar
ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya undang- undang
dasar tersebut berlaku juga hukum dasar yang tidak ter- tulis, yaitu aturan-
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
negara, meskipun tidak tertulis". Hukum dasar tidak tertulis disebut
Konvensi
Dalam naskah rancangan undang-undang dasar negara Indonesia yang
dihasilkan oleh BPUPKI sebelumnya juga menggunakan isti- lah hukum
dasar Barulah setelah disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945
diubah dengan istilah undang-undang dasar.
Terdapat beberapa definisi konstitusi dari para ahli, yaitu:
a Berikut ini tiga pengertian konstitusi menurut Herman Heller
1) Konstitusi dalam pengertian politik sosiologis. Konstitusi mencerminkan
kehidupan politik di dalam masyarakat se- bagai suatu kenyataan
2) Konstitusi merupakan satu kesatuan kaidah yang hidup dalam
masyarakat yang selanjutnya dijadikan suatu ke satuan kaidah hukum.
Konstitusi dalam hal ini sudah me ngandung pengertian yuridis
3) Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang
yang tinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Menurutnya pengertian konstitusi lebih luas dari undang-undang dasar

63
b. K. C. Whcare mengartikan konstitusi sebagai "keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan yang
membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerin tahan suatu
negara".
c. Prof. Prajudi Atmosudirdjo merumuskan konstitusi sebagai berikut.
1) Konstitusi suatu negara adalah hasil atau produk sejarah dan proses
perjuangan bangsa yang bersangkutan.
2) Konstitusi suatu negara adalah rumusan dari filsafat, cita-cita, dan
perjuangan bangsa Indonesia.
3) Komeritus asiah cermin dari jiwa, jalan pikiran, mentalitas. dan
kebudayaan suatu bangsa.
Konstitusi dapat diartikan secara luas dan sempit sebagai berikut
a. Konstitusi (hukum dasar) dalam arti luas meliputi hukum dasar tertulis
dan tidak tertulis
b. Konstitusi (hukum dasar) dalam arti sempit adalah hukum dasar tertulis,
yaitu undang-undang dasar Dalam pengertian ini, undang-undang dasar
merupakan konstitusi atau hukum dasar yang tertulis.
Di negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi
konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi has, yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga pe-
nyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat semena-mena Hak-hak warga.
negara akan lebih dilindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusio- nalisme.
Pada prinsipnya, tujuan konstitusi adalah untuk mem- batasi
kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak- hak yang
diperintah dan merumuskan pelaksanan kekuasaan yang berdaulat
2. Kedudukan Konstitusi
Konstitusi menempati kedudukan yang sangat penting dalam ke- hidupan
ketatanegaraan suatu negara karena konstitusi menjadi barometer
kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah
perjuangan para pendahulu. Selain itu, konstitusi juga merupakan ide-ide
dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan
kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara
yang mereka pimpin.
Konstitusi dan konstitusionalisme di zaman sekarang merupa kan
keniscayaan bagi setiap negara modern. Basis pokoknya adalah
kesepakatan umum atau konsensus di antara mayoritas rakyat me-
ngenai pranata yang ideal berkenaan dengan negara. Jadi, kata kuncinya

64
adalah konsensus atau kesepakatan dasar bangsa yang bersangkutan.
Jika kesepakatan itu runtuh maka runtuh pula legiti masi kekuasaan
negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya akan terjadi suatu perang
sipil (civil war) atau dapat juga suatu revolusi.

C. SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sebagai


berikut
1. Bentuk negara adalah kesatuan.
2. Bentuk pemerintahan adalah republik
3. Sistem pemerintahan adalah presidensial Sistem politik adalah
demokrasi atau kedaulatan rakyat.
1. Bentuk Negara Kesatuan
Indonesia menetapkan bentuk susunan negara adalah kesatuan bukan
serikat atau federal. Dasar penetapan ini tertuang dalam Pasal 1 Ayat
UUD 1945 yang menyatakan "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik".
Secara teori, ada dua klasifikasi bentuk negara, yaitu bentuk negara
serikat atau federal dan bentuk negara kesatuan. Negara federal adalah
negara yang bersusunan jamak. Negara federal ada- lah negara yang
didalamnya masih terdapat negara yang disebut negara bagian. Jadi
terdapat dua susunan negara, yaitu negara serikat dan negara bagian.
Terdapat dua pemerintahan, yaitu peme- rintah federal dan pemerintah
negara bagian. Kekuasaan dalam negara federal ada dua, yaitu kekuasan
pemerintahan federal dan kekuasaan pemerintah negara bagian
Keduanya adalah sederajat satu sama lain.
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Suatu bentuk
negara yang tidak terdiri atas negara-negara bagian atau negara yang di
dalamnya tidak terdapat daerah yang bersifat negara.
Di dalam negara kesatuan, kekuasaan mengatur seluruh daerahnya ada
di tangan pemerintah pusat. Pemerintahan pusat inilah pada tingkat
terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala se suatu yang terjadi di
dalam negara,
Untuk itu, di dalam negara hanya terdapat seorang kepala negara, satu
Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku untuk seluruh warga
negaranya, satu kepala pemerintahan, dan satu parlemen (badan

65
perwakilan rakyat) Pemerintah dalam negara ke satuan memiliki
kekuasaan untuk mengatur seluruh urusan peme rintahan yang dalam
negara tersebut. Dalam praktiknya, kekuasaan untuk mengatur seluruh
urusan pemerintahan negara tersebut dapat dijalankan melalui dua cara,
yaitu dengan asas sentralisasi dan asas desentralisasi. Sentralisasi dari
kata Centrum yang artinya pusat atau memusat. Negara ke- satuan
dengar asas sentralisasi artinya kekuasaan pemerintahan itu dipusatkan
pada pemerintah pusat. Pemerintah pusat yang mengatur dan mengurus
segala urusan pemerintahan di seluruh wilayah negara itu Desentaralisasi
dari kata de dan centrum, de artinya lepas atau melepas Decentrum
artinya melepas atau men- jauh dari pusat. Negara kesatuan dengan asas
desentralisasi, berarti terdapatnya kekuasaan yang melepas atau menjauh
dari kekuasaan yang ada di pusat. Kekuasaan itu nantinya ada di daerah.
Negara kesatuan dengan asas desentralisasi menyerahkan se bagian
kekuasaannya kepada daerah-daerah yang ada di wilayah negara
tersebut. Daerah tersebut menjadi otonom dalam arti me miliki kekuasaan
dan wewenang sendiri untuk mengelola penyeleng garaan pemerintahan
di daerah itu.
Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas de
sentralisasi dalam penyelenggaraan kekuasaannya. Hal ini didasar- kan
pada Pasal 18 UUD 1945. Ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945 sebagai
berikut.
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyal pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota- anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang di- tentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat

66
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang

2. Bentuk Pemerintahan Republik

Indonesia menetapkan bentuk pemerintahannya adalah republik bukan


monarki atau kerajaan. Dasar penetapan ini tertuang dalam Pasal 1 Ayat
1 UUD 1945 yang menyatakan "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik". Berdasar pasal tersebut dapat diketahui bahwa
kesatuan adalah bentuk negara, sedangkan republik adalah bentuk
pemerintahan.
Secara teoretis, klasifikasi bentuk pemerintahan di era modern ada dua,
yaitu republik dan monarki (kerajaan). Klasifikasi ini mengikuti ajaran
Nicollo Machiavelli (1469-1527). Pembedaan ini didasarkan pada segi
cara penunjukan atau pengangkatan kepala negara. Bentuk pemerintahan
republik apabila cara pengangkatan kepala negara melalui pemilihan.
Bentuk pemerintahan kerajaan apabila cara pengangkatan kepala negara
melalui pewarisan secara turun temurun
Bentuk negara Indonesia pernah mengalami perubahan men- jadi negara
serikat. Hal ini terjadi antara Desember 1919 sampai Agustus 1950.
Sedangkan untuk bentuk pemerintahan, Indonesia belum pernah berubah
menjadi negara kerajaan atau monarki Sekarang ini bangsa Indonesia
telah sepakat bahwa perihal bentuk negara kesatuan dan bentuk
pemerintahan republik tidak akan ada perubahan. Hal ini ditunjukkan pada
Pasal 37 Ayat 5 UUD 1945 yang menyatakan "Khusus mengenai bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan".

3. Sistem Pemerintahan Presidensial

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, Indonesia


menganut sistem pemerintahan presidensial. Secara teoretis, sistem
pemerintahan dibagi dalam dua klasifikasi besar, yaitu sistem peme
rintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.

67
Klasifikasi sistem pemerintahan parlementer dan presidensial didasarkan
pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legis- Lauf. Sistem
pemerintahan disebut parlementer apabila badan ekse kutif sebagai
pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari
badan legislatif Sistem pemerintahan disebut presi densial apabila badan
eksekutif berada di luar pengawasan lang. sung badan legislatif. Adapun
ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer adalah se- bagai berikut
a Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang
anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan per- wakilan dan
lembaga legislatif.
b. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang
memenangkan pemilihan umum Partai politik yang menang dalam
pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayo ritas dan memiliki
kekuasaan besar di parlemen
c. Pemerintah atau kabinet terdiri atas para menteri dan perdana menteri
sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk
melaksanakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan
eksekutif berada pada perdana menter sebagai kepala pemerintahan.
Anggota kabinet umumnya ber asal dari parlemen.
d. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat ber- tahan
sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parle men. Hal ini
berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika
mayoritas anggota parlemen me nyampaikan mosi tidak percaya kepada
kabinet.
e Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala
negara adalah presiden dalam bentuk pemerintahan republik atau
raja/sultan dalam bentuk pemerintahan monarki Kepala negara tidak
memiliki kekuasaan pemerintahan. la hanya berperan sebagai simbol
kedaulatan dan keutuhan negara.
f. Sebagai imbangan, parlemen dapat menjatuhkan kabinet. Kepala
negara dapat membubarkan parlemen. Dengan demikian, pre- siden/raja
atas saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya,
diadakan pemilihan umumn lagi untuk membentuk parlemen baru.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif
memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak
berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara ter- pisah.

68
Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial adalah se- bagai berikut.
a. Penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden

adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan Pre- siden tidak
dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau oleh suatu
dewan/majelis. b. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden Kabinet
ber- tanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab
kepada parlemen/legislatif.

BAB VII
PENATAAN ORGANISASI
A.Organisasi dan Kebutuhan Penataan
Organisasi adalah tubuh bagi sebuah sistem. Dalam pandangan umum,
organisasi dimaknai sebagai sekumpulan orang-orang yang disusun
dalam kelompok-kelompok yang bekerja sama untuk tercapai tujuan
bersama, Jadi, organisasi adalah sistem kerja sama antara dua orang
atau lebih. Organisasi juga dimaknai sebagai bentuk kerja sama untuk
pencapaian tujuan bersama Organisasi juga dipandang sebagai struktur
pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok
orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertemu untuk
bersama-sama mencapai tujuan tertentu.
Beragam definisi dibuat untuk memaknai organisasi Menurut Stoner,
organisasi adalah suatu pola hubungan orang-orang di bawah
pengarahan manajer (pimpinan) untuk mengejar tujuan bersama Lain lagi
James D. Mooney yang melihat organisasi sebagai bentuk setiap
perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama Definisi lain
dibangun oleh Chester 1. Bernard yang memandang organisasi sebagai
sistem akuvitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
Tidak ketinggalan, Davis (1951), yang termuat dalam Lubis dan Huseini
(2009: 5), mengatakan bahwa organisasi adalah: "Suatu kesatuan sosial
dari sekelompok individu (orang), yang saling berinteraksi menurut pola
yang terstruktur dengan cara tertentu, sehingga setiap anggota organisasi
mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, dan sebagai suatu
kesatuan yang mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas
yang jelas, sehingga organisasi dapat dipisahkan secara tegas dari
lingkungannya"

69
Sementara itu, jika merujuk kepada Robbins (1990: 4-5), organisasi
adalah sebagai berikut:
1 Kesatuan sosial berarti bahwa unit itu terdiri atas orang atau kelompok
orang yang berinteraksi satu sama lain. Dikoordinasikan dengan sadar
mengandung pengertian adanya manajemen Pola interaksi tidak begitu
saja timbul, melainkan telah dipikirkan terlebih dahulu. Pola interaksi para
anggota diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan
keberlebihan (redundancy), namun juga memastikan bahwa tugas-tugas
yang kritis telah diselesaikan
2. Adanya batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yakni adanya dan yang
batasan yang nyata agar dapat dibedakan antara anggota dan bukan
anggota, siapa yang menjadi bagian bagian dan sebuah organisasi.
Batasan cenderung dicapai melalui perjanjian yang eksplisit maupun
implisit antara para anggota dengan organisasinya, sekalipun batasan itu
dapat berubah dalam kurun waktu tertentu dan tidak selalu jelas bukan
3. Adanya keterikatan yang terus-menerus, bukan berarti keanggotaan
seumur hidup, melainkan adanya perubahan yang konstan dalam
keanggotaan.
4. Organisasi ada untuk mencapai tujuan. Tujuan biasanya tidak dapat
dicapai oleh individu-individu yang bekerja sendiri, atau jika mungkin
dicapai maka hal tersebut akan lebih efisien diusahakan secara bersama-
sama.
Organisasi dapat dibagi ke dalam dua tipe besar, yakni organisasi publik
dan organisasi nonpublik/privat/bisnis. Secara umum, organisasi publik
adalah upe organisasi yang bertujuan untuk menghasilkan pelayanan
kepada masyarakat, tanpa membedakan status dan kedudukannya
Sementara organisasi bisnis adalah organisasi yang ditujukan untuk
menyediakan barang dan jasa kepada konsumen yang dibedakan dari
kemampuannya membayar (ability to pay) barang dan jasa tersebut
sesuai dengan hukum pasar
Mengutip Kusdi (2009: 43-58), organisasi publik dan organisasi bisnis
dapat dibedakan melalui beberapa faktor, yakni: (1) tujuan, antara laba
dan nonlaba, (2) produk yang dihasilkan, antara goods dan private goods,
(3) cara pengambilan keputusan, antara proses demokratis/birokratis
dengan proses strategi bisnis, dan (4) ukuran kinerja, antara social welfare
dan efisiensi. Menurut Senior dan Fleming public (2006 378), organisasi
publik cenderung lebih kompleks karena "have multiple authoritative
decision makers and multilevel accountability and reporting relationships.
also 'supervised by many interest groups, I media and so on.

70
Efektivitas organisasi juga sangat mungkin menjadi tidak optimal
manakala gagal mengatasi masalah-masalah pokok yang harus dihadapi
seiring dengan adanya perubahan organisasi itu sendiri. Mengutip Thoha
(186-188), masalah-masalah pokok tersebut, di antaranya,adalah
1 Masalah integrasi yang meliputi isu mengenai insentif, penghargaan
(rewards), dan motivasi dari setiap individu dengan bagaimana usaha
organisasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Masalah integrasi adalah persoalan mengenai rasio antara kebutuhan
kebutuhan individu dengan tuntutan tuntutan organisasi yang dapat
menciptakan transaksi yang membawa kepuasan di antara keduanya
2Masalah pengaruh sosial (social influence) yang hakikatnya adalah
masalah kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu didistribusikan Cara
kepemimpinan yang memusatkan kekuasaan pada seorang manajer atau
administrator sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan-perubahan
zaman. Distribusi kekuasaan perlu dipertimbangkan secara serius untuk
mewujudkan apresiasi terhadap peranan individu sebagai manusia
3. Masalah kolaborasi yang tumbuh dalam rangka mengatasi konflik dan
stereotyping, dan kekuatan kekuatan sentrifugal yang dapat memecah-
belah kesatuan komunitas. Masalah kolaborasi adalah bagaimana
mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mengendalikan konflik yang
semakin sulit dihindari oleh sebuah organisasi
4 Masalah adaptasi yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak menentu
(turbulent). Dalam kondisi dinamika dan ketidaktentuan serta adanya
saling ketergantungan di antara gejala-gejala dalam masyarakat, usaha-
usaha adaptasi terhadap lingkungan yang serba tidak pasti merupakan
suatu masalah tersendiri dan rumit yang setiap saat dihadapi oleh
organisasi modern sekarang ini.
5. Masalah revitalisasi yang meliputi semua mekanisme sosial yang dapat
dan melahirkan kembali, dan dapat melangsungkan proses putaran
mekanisme sosial dalam yang organisasi Unsur-unsur revitalisasi meliputi,
antara lain, kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan
untuk menetapkan, menyimpan, dan menyusur pengetahuan yang
relevan, kemampuan untuk belajar bagaimana belajar, yakni kemampuan
untuk mengembangkan metodologi menyempurnakan proses belajar,
kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan mekanisme umpan-
balik dalam yang pelaksanaan kerja, serta kemampuan untuk
mengembangkan suatu proses orientasi sehingga mampu menjadi diri
analitis, serta kemampuan untuk mengarahkan tujuan hidup. Ringkasnya,
masalah revitalisasi sama halnya dengan masalah memperbarui diri
kembali (self-renewal) dalam menghadapi masalah organisasi dan

71
masyarakat yang selalu berkembang dan berubah. Tanpa adanya
metodologi yang terencana dan pengarahan yang eksplisit, organisasi
tidak akan mampu menyadari potensi dirinya
Saat menghadapi tekanan lingkungan dan atau tuntutan perubahan,
organisasi meresponsnya dengan perubahan yang dicirikan dengan
pelbagai upaya penyesuaian desain organisasi. Perubahan dilakukan
bukan sekadar untuk bertahan di masa mendatang, namun juga bagian
dari tantangan pengembangan organisasi. Perubahan itu bisa terjadi
secara terencana maupun tidak. Mengutip Mintzberg mengenai level
perubahan organisasi, sebagaimana dikenal sebagai "Kubus Mintzberg",
perubahan terbagi menjadi dimensi strategi dan dimensi organisasi.
Perubahan dimensi strategi menyangkut perubahan cara bertindak, yang
levelnya adalah visi, posisi, program, dan produk. Sementara perubahan
pada dimensi organisasi berarti menyangkut perubahan pelaku atau
susunan pelaku, yang levelnya adalah kultur, struktur, sistem, dan
personel.
Menurut Kotter (1997), organisasi pada abad ke-21 memiliki sejumlah
karakteristik, seperti lebih berorientasi keluar, memberdayakan, cepat
dalam pengambilan keputusan, terbuka dan jujur, serta lebih berani dalam
mengambil risiko. Namun, perubahan yang terjadi pada organisasi publik
cenderung lebih besar tantangannya ketimbang yang dihadapi nonpublik
(privat). Menurut Robbins (1990), dalam kacamata kekuasaan dan politik,
perubahan organisasi lebih merupakan proses teaktif. Perubahan tersebut
bukan proses perencanaan yang disusun dalam rangka meningkatkan
kinerja atau memperbaiki efektivitas organisasi. Akan tetapi, perubahan itu
lahir dari upaya-upaya politik yang bertujuan mengubah "status quo",
dengan cara menekan faktor- faktor kekuasaan dan "koalisi kepentingan
yang kemungkinan tidak mengharapkan adanya perubahan dalam
organisasi
Salah satu model perubahan yang bisa dilakukan sebuah organisasi,
mengutip Bolman dan Deal (2003), adalah dengan melakukan "kerangka-
ulang" organisasi (reframing organization) Kerangka (frame) tersebut
ibarat jendela yang memungkinkan orang melihat area yang lebih luas,
sekaligus sebagai alat pemandu. Kerangka itu bisa diperinci ke dalam
elemen struktur, sumber daya manusia, politik, dan simbolik dalam
organisasi

72
B.Organisasi Setjen Bawaslu

Mengikut teon birokrasi Max Weber, di dalam bukunya The Protestant


Ethic and Spirit of Capitalism dan The Theory of Social and Economic
Organization, birokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan
pegawai pemerintah degan acuan legal dan rasional Secara legal, suatu
birokrasi dibentuk dengan meniscayakan adanya wewenang, seperangkat
aturan dan prosedur, serta adanya peranan yang dirumuskan secara jelas
Sedangkan secara rasional, suatu birokrasi dibentuk karena adanya
tujuan yang ingin dicapai.

Birokrasi, lanjut Weber, dapat dicirikan dengan adanya pembagian kerja,


hierarki wewenang program rasional, sistem prosedur, sistem aturan hak
kewajiban, hubungan antarpribadi yang bersifat impersonal
Dengan demikian, birokrasi memilika potensi daya dukung yang kuat bagi
jalannya sebuah pelayanan publik Seturut dengan kerangka teoretis
tersebut, ada maupun tidak adanya birokrasi pengawas Pemilu selalu
bergantung pada fungsi lembaga pengawas Pemilu itu sendiri. Pada
pelaksanaan Pemilu 1955, 1971, dan 1977, ketika belum ada lembaga
khusus yang melakukan pengawasan terhadap proses Pemilu, fungsi
kesekretariatan bertumpu pada fungsi yang melekat pada lembaga panitia
Pemilu
Pada Pemilu 1982, fungst kesekretariatan seluruhnya bertumpu kepada
lembaga kepanitiaan Pemilu yang bernama Lembaga Pemilihan Umum
(LPU), yang saat itu masih jadi bagian Depdagri (kini, Kemendagri).
Badan pengawas Pemilu bernama Panwaslak Pemilu yang baru dibentuk
pada Pemilu kali ini menjadi pendamping LPU, dan tidak mempunyai
kesekretariatan tersendiri.
Pada Pemilu 1999, fungsi dan mekanisme kerja pengawas Pemilu
diaktifkan dengan mengubah nama Panwaslak Pernilu menjadi Panwas
Pemilu Panwas Pemilu difungsikan sebagai pendamping KPU yang
bersifat ad hoc dan independen Pembentukan Panwas Pemilu itu sesuai
amanat yang tertuang di dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota Pada masa ini, Panwas Pemilu juga tidak mempunyai
kesekretariatan tersendiri karena kedudukannya sebagai pendamping
KPU

73
Dalam perkembangan berikutnya, UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu menetapkan lembaga pengawas Pemilu sebagai
lembaga permanen bernama Bawaslu Kewenangan utamanya adalah
untuk mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, menerima pengaduan,
serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran
pidana Pemilu, serta kode etik. Tidak saja di tingkat pusat, keberadaan
aparat Bawaslu juga ada di tingkat provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan,
dan di tingkat desa/kelurahan. Secara kelembagaan, keberadaan lembaga
pengawas Pemilu mulai provinsi sampai tingkat desa/kelurahan itu bersifat
sementara (ad hoc).
Untuk melancarkan tugas dan fungsi Bawaslu yang semakin kompleks itu,
maka sesuai dengan amanat UU Nomor 22 Tahun 2007
dibentuklah sekretariat tersendiri yang dinamakan Sekretariat Bawaslu
Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat, t berasal
dari kalangan PNS yang memenuhi persyaratan yang Secara struktural,
berdasarkan eselonisasi pada Sekretariat Bawaslu Kepala Sekretariat
Bawaslu adalah jabatan struktural II; Kepala Bagian adalah jabatan
struktural eselon II/a; serta Kepala Subbagian merupakan jabatan
struktural Va Kepala Sekretariat Bawaslu bertanggung jawab kepada
Bawaslu Kepala Sekretariat Bawaslu diangkat dan diberhentikan dengan
Keputusan Mendagri atas usul Bawaslu yang diambil berdasarkan
keputusan pleno. Sementara pegawai Sekretariat Bawasl berasal dari
PNS dan tenaga profesional yang status kepegawaiannya ditetapkan
berdasarkan perjanjian kerja (kontrak). Tenaga profesional terdiri atas tim
asistensi dan staf
Sekretariat Bawaslu terdiri atas sebanyak-banyaknya 4 bagian, dan
masing-masing bagian tersebut terdiri atas sebanyak-banyaknya 3
subbagian, sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 49 Tahun 2008. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan
Bawaslu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Bawaslu dan Sekretariat Panwaslu, dalam pelaksanaan
tugasnya Sekretariat Bawaslu dibantu oleh Bagian Perencanaan dan
Anggaran, Bagian Hukum, Humas, dan Partisipasi Masyarakat, Bagian
Tata Laksana Pengawasan Pemilihan Umum, dan Bagian Umum
Menjelang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu
2009, tantangan yang dihadapi Bawaslu dalam hal pengawasan dan
penegakan hukum semakin nyata. Namun, organisasi Sekretariat Bawaslu
dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan dan praktik di lapangan Sehingga
Peraturan Bawaslu Nomor 3 Tahun 2008 pun diganti dengan Peraturan
Bawaslu Nomor 14 Tahun 2009.

74
Dalam Peraturan Bawaslu Nomor 14 Tahun 2009, dilakukan reorganisasi
juga tata kerja Sekretariat Bawaslu dan Sekretariat Panwaslu Organisasi
Sekretanat Bawaslu lebih fokus menangani permasalahan pengawasan,
penanganan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa
Pemilu. Organisasi Sekretariat Bawaslu juga diubah, sehingga terdin atas
Bagian Perencanaan dan Anggaran (yang ditambah dengan fungu
kehumasan), Bagian Hukum dan Penanganan Pelanggaran Bagian Tata
Laksana Pengawasan Pemilihan Umum, dan Bagan Umum (yang
ditambah dengan fungsi keprotokolan) Penentuan nomenklatur organisasi
unit kerja di bawah Sekretariat diterjemahkan dari kebutuhan divisi
sebagai alat kelengkapan organisasi dalam pelaksanaan tugas. Hal ini
bukan merupakan standar nomenklatur sebagaimana terdapat pada unit
organisasi sekretariat di kementerian Contohnya, dalam organisasi
kesekretariatan atati kesetjenan kementerian, selalu terdapat nomenklatur
standar, yaitu biro/bagian perencanaan, keuangan, hukum, kepegawaian,
dan umum, atau sesuai kebutuhan beban kerja suatu organisasi
Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu memiliki kepanjangan tangan
langsung, namanya Tim Asistensi Tim Asistensi adalah tim profesional
yang bertugas melakukan kajian dan analisis permasalahan, salah
saturiya, di bidang pengawasan dan penegakan hukum. Tim Asistensi
dibentuk berdasarkan kebutuhan organisasi Bawaslu yang statusnya
secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Sekretariat, dan secara fungsional (substantif) bertanggung jawab
langsung kepada Bawaslu
Secara organisasi, Bawaslu mempunyai dua aktivitas utama (core
business), yang diperankan oleh Bagian Tata Laksana Pengawasan
Pemilu dan Bagian Hukum dan Penanganan Pelanggaran Keduanya
bertugas pada pengawasan Pemilu dan penegakan hukum. Sedangkan
dua bagian lain, yaitu Bagian Perencanaan dan Keuangan, serta Bagian
Umum adalah bagian pendukung yang menangani administrasi
pelaksanaan tugas terhadap dua bagian utama.
Dalam hubungan kerja, Sekretariat (Bagian Tata Laksana Pengawasan
Pemilu dan Bagian Hukum dan Penanganan Pelanggaran) selalu
berkoordinasi dengan Tim Asistensi (Tim Asistensi Pengawasan dan Tim
Asistensi Hukum) untuk mendiskusikan masalah pengawasan Pemilu dan
penegakan hukum, sebelum diputuskan dalam pleno Bawaslu untuk
dijadikan keputusan/tekomendasi Dengan pola sepeni itu, Tim Asistensi
adalah mitra kerja Sekretariat (Bagian), bukan bawahan dari Sekretariat
(Bagian).

75
Status Sekretariat Bawaslu kemudian berubah atau dinaikkan setelah
diberlakukan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
UU tersebut mengatur perubahan Sekretariat Bawaslu menjadi Setjen
Bawaslu. Salah satu perubahan mendasar dalam UU tersebut adalah
mengenai pertanggungjawaban Dalam UU Nomor 22 Tahun 2007
dinyatakan bahwa Kepala Sekretariat bertanggung jawab kepada
Bawaslu. Artinya, segala pekerjaan yang dilaksanakan oleh Sekretana
(dalam hal mi semua bagian ke bawah) harus dipertanggungjawabkan
kepada Bawaslu dalam forum pleno Bawaslu Ketentuan tersebut diubah di
dalam UU Nomor 15 Tahun 2011, di mana seorang Sekretaris Jenderal
(Selgen) Bawaslu hanya mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada
Ketua Bawaslu Artinya, segala pekerjaan yang dilaksanakan Kesetjenan
(biro-biro) dipertanggungjawabkan kepada Ketua Bawaslu oleh Sekretaris
Jenderal dalam kesempatan pertama, dan kemudian diputuskan oleh
Ketua Bawaslu dalam pleno sebagai forum tertinggi lembaga
Ketentuan baru tersebut mendorong Bawaslu menyusun Rancangan
Struktur Organisasi Sekretariat Jenderal Bawaslu dengan terlebih dahulu
menyusun Naskah Akademik Dokumen tersebut merupakan salah satu
syarat pengajuan naskah perubahan pembentukan suatu lembaga yang
didasarkan perubahan UU yang mengatur rugas dan kewenangan suatu
lembaga ke Kementerian Pendayagunaan Aparat Negara dan Reformasi
Birokrasi (PAN-RB)
Sebelum disusun Rancangan Peraturan Bawaslu tentang Organisasi
Sekretariat Jenderal Bawaslu sampai jajarannya ke bawah, terlebih
dahulu disusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Organisas Tugas,
Fungsi, Wewenang, dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Bawaslu,
Sekretariat Bawaslu Provinsi, Sekretariat Panwaslu Kabupaten/Kota, dan
Sekretariat Panwaslu Kecamatan. Materinya, selam berisi penjelasan
tugas, fungsi, wewenang dan tata kerja, juga berupan penentuan besar
bangun organisasi Sekretariat Jenderal Bawaslu Hal ini berlaku juga

76
Daftar Pustaka

Duverger Maurice, 2016. Sosiologi politik.


JakartaRajawali
Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham, 2017. Partai
politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Rasyid H. Hatamar, 2015. Pengantar ilmu politik.
Jakarta : Raja Grafindo
Ridho M. Zainor, 2019. Pengantar ilmu politik.
Malang : Intrans Publishing
Suswanto Gunawan, 2012. Mengawal penegak
demokrasi. Jakarta : Erlangga
Winarno, 2015. Paradigma baru pendidikan
kewarganegaraan. Jakarta : Bumi Aksara

77
BIOGRAFI

Muhammad Abdurrohim Lahir


dari orang tua JALALUDDIN DAN
RATNA SARI anak ketiga dari
empat bersaudara dilahirkan di
palembang pada tanggal 03
maret 2004.pendidikan Sekolah
Dasar(SD) 82
Palembang,Sekolah Menengah
Pertama (MTSN1
PALEMBANG) ,Sekolah
Menengah Atas (MAN
3)Palembang. Dan Menempuh
Universitas UIN Raden Fatah
Palembang Fakultas Adab dan
Humaniora.

78

Anda mungkin juga menyukai