Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH

PARTAI POLITIK DAN PEMILU

SISTEM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMERINTAHAN BEBERAPA


NEGARA DI BELAHAN BENUA AMERIKA, EROPA DAN ASIA

DISUSUN OLEH :

ELLEN LUTYA PUTRI NUGRAHANI

NIM. 2019010262003

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM


UNIVERSITAS JAYABAYA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................4
A. Partai Politik dan Sistem Pemerintahan....................................................................................4
B. Sejarah dan Sistem Partai Politik Eropa...................................................................................9
C. Sistem Partai Politik dan Demokrasi Benua Amerika............................................................10
D. Sistem Partai Politik dan Demokrasi Benua Asia..................................................................11
BAB III PENUTUP....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Partai politik atau selanjutnya kita sebut parpol adalah salah salah satu pilar demokrasi di
mana selalu dijadikan sebagai wadah perjuangan bagi masyarakat mewujudkan kehidupan politik
yang lebih baik. Parpol merupakan organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu
membentuk landasan masyarakat demokratis. Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi
dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian
yang diterapkan di suatu negara.
Dalam suatu sistem tertentu, partai dapat berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai
lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian
memberikan gambaran tentang bagaimana struktur persaingan di antara sesama partai politik
dalam upaya meraih kekuasaan di dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga
cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.1
Jika diandaikan bahwa proses dan alat kontrol masyarakat untuk mengikat keputusan kolektif
atas segenap permasalahan publik adalah demokrasi, maka seharusnya keterwakilan tersebut
menjadi satu prasayaratnya, namun hal ini hanya terjadi apabila mereka mengorganisir diri
mereka sendiri secara demokratis. Seperti yang diketahui pemilu merupakan salah satu contoh
mekanisme demokrasi yang diyakini dan banyak diharapkan berbagai pihak akan menjadi alat
untuk mengagregasikan kepentingan warganegara secara damai. Sejauh mana parpol sebagai
intitusi demokrasi mampu mengakomodasi harapan dan kepentingan warganegara secara nyata?
Karena menjadi penting sebagai lembaga representatif yang mewakili semua kepentingan
konstituennya.
Dikutip dari pernyataan Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely” (kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk berlaku korupsi, maka kekuasaan yang
absolute atau mutlak pasti akan melakukan korupsi). Negara manakah yang masih menggunakan
sistem pemeritahan secara langsung, sangat sulit untuk menemukannya. Hal ini diakibatkan
semakin bertambahnya jumlah penduduk dan juga semakin luas wilayah suatu negara,
menyebabkan sistem pemerintahan langsung dinilai kurang efektif.
Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena negara adalah
pelembagaan masyarakat politik (policy) yang paling besar dan memiliki kekuasaan yang
otoritatif. Bahkan dalam pandangan Max Weber, kekuasaan di dalam suatu negara itu mencakup
penggunaan paksaan yang absah di dalam suatu wilayah tertentu. Itulah sebabnya, ketika
ilmuwan politik melakukan studi tentang negara, secara otomatis mereka memperbincangkan
sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan yang ada di dalamnya, seperti tentang bagaimana

1
Sabastian Salang, Potret Partai Politik Di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah, Dan Sistem Kepartaian (Jakarta:
Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), Hlm. 3.

1
kekuasaan itu muncul, sumber-sumbernya, proses memperebutkan dan mempertahankannya,
dinamikanya berikut pengalokasian dan pendistribusiannya.2
Salah satu cara pendistribusian kekuasaan adalah melalui mekanisme pemancaran kekuasaan
yang menurut teori dasarnya dipancarkan dalam tiga bidang yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif.3
Berdasarkan sejarah dan perkembangan dunia parpol pertama-tama lahir di negara-negara
Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara
spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu sisi, dan pemerintah di sisi
yang lain.4 Maka dalam perkembangan selanjutnya partai politik dianggap sebagai menifestasi
dari suatu sistem politik yang demokratis serta mewakili aspirasi rakyat.
Sejarah perkembangan parpol di dunia menjadi patokan umum terbentuknya parpol di
Indonesia.5 Sistem kepartaian di Indonesia juga mengalami perubahan sesuai dengan setiap
pergantian tipe sistem politik. Tipikal sistem kepartaian apa yang berlaku di suatu negara, secara
sederhana dapat diukur melalui fenomena yaitu pemilihan umum. Dari sisi jumlah misalnya,
suatu negara disebut bersistem satu partai, dua partai, atau multipartai, dapat dilihat dari berapa
banyak partai yang ikut andil dalam pemilu.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara barat bersifat elitis dan
aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap
tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan
berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perlunya
dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat. Dengan demikian terjadi
pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya abad ke-19 dari barat banyak negara-negara di benua Eropa dan
Amerika yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi parlementer ataupun monarki
konstitusional dimana dalam sistem tersebut terdapat pemilihan secara umum bagi para calon-
calon pemimpin politik guna mengatur sistem pemerintahan kedepannya dan di abad ke-19 inilah
banyak individu-individu yang mencoba menyatukan pandangan serta gagasan atau ide dalam
sebuah kelompok yang terorganisir.6
Sistematika parpol dari barat ini mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu
di Asia dan Afrika. Parpol di negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi
2
Kacung Maridjan,Sistem Politik Di Indonesia,(Kencana Prenada Media:Jakarta,2010),Hlm.17.
3
Teori Dasar Pemancaran Kekuasaan Dikemukakan Oleh Jhon Locke Yang Kemudian Diperkuat Oleh Montesquieu
Dalam Bukunya L’Esprit Des Lois (1784). Uraian Lebih Lengkapnya Baca Yulia Neta Dan M.Iwan Satriawan,Ilmu
Negara (Dasar-Dasar Teori Bernegara),PKK-PUU FH.
4
Miriam Budiardjo,2012,Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia:Jakarta .Hlm.398.
5
Idzam Fautanu, Partai Politik Di Indonesia, (Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung
Djati:Bandung,2020), Hlm.4.
6
‘Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/17009/%5B7%5D%20-%20BAB%20II.Pdf?
Sequence=6&isAllowed=y’.

2
rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini
terjadi di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda). Sistem politik di Indonesia secara
bergantian mengalami sejumlah perubahan dari Demokrasi Liberal tahun 1950 hingga tahun
1955, Rezim Politik Otoritarian dari tahun 1959 hingga tahun 1965, Rezim Kediktatoran Militer
dari tahun 1966 hingga tahun 1971, Rezim Otoritarian Kontemporer dari tahun 1971 hingga
tahun 1998 dan kembali menjadi Demokrasi Liberal dari tahun 1998 hingga sekarang.
Praktik parpol pun menyebar ke seantero dunia baik dengan alasan praktik politik maupun
kebutuhan untuk menggalang kekuatan politik dalam rangka melawan kolonialisme barat. Kini
parpol sepertinya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik mayoritas negara di dunia.
Negara yang terkenal otoriter sekalipun memiliki sistem partai yang canggih meski hanya
memperbolehkan satu tipe partai. Dan dalam perkembanganya hingga saat ini partai politik
umumnya diterima sebagai suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan
demokrasi konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
Parpol diharapkan bisa melakukan banyak peran untuk negara. Peran parpol yang sering
disebutkan termasuk perawatan politisi untuk kontes pemilihan dan pembentukan pemerintah,
memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada publik, mengartikulasikan dan mewakili
kepentingan masyarakat, menggabungkan preferensi dan tuntutan kebijakan rakyat dari semua
lapisan masyarakat, dan mengembangkan platform kebijakan. Untuk memenangkan pemilih.
Menurut Gino Concetti dalam I partiti politici e l’ordine morale (1981), setiap parpol perlu
mengingat 6 (enam) peran utama dalam hidup berpolitik. Pertama, setiap parpol seharusnya
menjadi ekspresi dan artikulasi kepentingan rakyat melalui sistem kepartaian. Dalam konteks ini
parpol tampil sebagai pengantara. Kedua, parpol mentransformasi bahan baku politik menjadi
kebijakan dan keputusan dalam memajukan kepentingan umum. Ketiga, melalui proses
partisipasi, parpol seharusnya mengintegrasikan individu ke dalam suatu sistem politik.
Keempat, parpol berusaha mengajukan usul-usul kebijakan supaya mendapat dukungan seluas
mungkin. Parpol berani menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tidak loyal dengan visi-misi
parpol. Kelima, setiap parpol memiliki sistem kontrol internal dan terhadap pemerintah dalam
kegiatan harian. Keenam, parpol tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga harus
menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat.
Maka dari itu timbulah rumusan masalah “Bagaimana Partai Politik dan Sistem
Pemerintahan di beberapa negara pada belahan dunia Eropa, Amerika dan Asia mengakomodir
kepentingan konstituennya?”
Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui dan menganalisis sejarah dan cara kerja Partai
Politik dan Sistem Pemerintahan di beberapa negara pada belahan dunia Eropa, Amerika dan
Asia sehingga dapat membuka wawasan pemahaman kita.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Partai Politik dan Sistem Pemerintahan


Mempelajari asal-usul partai politik menjadi penting karena partai politik selain dia sebagai
agen demokrasi, yang penting untuk setiap sistem yang ingin mewakili dan melembagakan
aturan massa. Juga partai politik munculnya bukan dari negara, namun menurut Everett Carll
ladd,Jr partai politik adalah anak-anak egalitarianisme.Mereka tidak memiliki tempat dalam
masyarakat pra-egaliter, dan kehadiran mereka dalam bentuk yang menunjukkan kesamaan dasar
fungsi tidak dapat dihindari dalam setiap sistem egaliter.7
Partai politik adalah organisasi politik yang bergerak di dalam sistem politik. Partai politik
memiliki sejarah panjang dalam hal promosi ide-ide politik dari tingkat masyarakat ke tingkat
negara. Kemunculan parpol pertama kali disaat banyak negara-negara menggunakan bentuk
pemerintahan demokrasi serta didukung oleh perkembangan dengan proses pemerintahan sistem
parlementer dan metode pemilihan adalah cara dalam menentukan orang yang akan menduduki
kursi tertinggi didalam pemerintahan nanti.
Pada masa itu ideologi, dasar-dasar sosial, struktur, organisasi, partisipasi, strategi-
kesemuaan aspek-aspek tersebut selalu diperhitungkan dalam merancang analisa yang sempurna
tentang partai politik yang manapun juga. Menurut Duverger:1984, pada awal terbentuknya
sebuah partai politik juga telah terbagi menjadi dua golongan yaitu partai-partai elit atau partai-
partai tradisional (Partis de cadres) dan partai-partai massa (Partis de masses) sehingga banyak
sekali golongan serta tipe-tipe partai yang juga muncul dari dua golongan partai politik tersebut.
Peranan utama partai. Partai selalu membedakan diri mereka dari organisasi dan inisiatif
masyarakat sipil lain dengan cara yang sangat mendasar. Hanya partai yang berjuang untuk
mendapat kursi di parlemen dan dengan demikian dapat ambil bagian menjalankan kekuasaan
negara sesuai dengan porsi keberhasilan mereka dalam pemilu. Partai merupakan bagian dari
masyarakat dan bagian dari negara pada saat yang bersamaan.
Fungsi Partai Politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini dikaitkan
dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka bawakan. Partai politik
menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam kebijakan pemerintah. Fungsi partai
politik salah satunya adalah menurut David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di
Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik memiliki fungsi8 :
1. Agregasi kepentingan Fungsi ini adalah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan
serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada.
2. Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat Fungsi ini adalah posisi partai politik untuk
membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik di
7
William Crotty, Asal Usul Dan Evolusi Partai Di Amerika Serikat,Op.Cit,Hlm.38.
8
‘David McKay, American Politics and Society, 6th Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2005)’.

4
masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati
bersama.
3. Staffing government Fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orangorang
yang akan menjadi pejabat publik, baik pejabat publik yang baru maupun menggantikan
pejabat publik yang lama.
4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah Fungsi ini adalah posisi partai politik
mengkoordinasi lembaga pemerintah yang saling berbeda dalam tugas dan wewenangnya
untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
5. Mempromosikan stabilitas politik Fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk
mempromosikan stabilitas politik, dalam menemukan penyebab masalah dan
penyelesaiannya misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim
nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya.
Hal ini membuat mereka memiliki posisi penting secara politik di dalam hubungannya
dengan semua asosiasi politik lain. Karena posisi penting ini lah maka semua organisasi politik
lain tertarik untuk bekerjasama dengan sejumlah partai politik karena hanya dengan cara ini
mereka dapat mempromosikan sasaran politik mereka yang utama. Partai-partai juga harus
tertarik dengan masyarakat sipil yang aktif di tempat-tempat yang masyarakat sipilnya
mengklaim independensi dari partai politik. Ini harus dipertimbangkan karena masyarakat sipil
merupakan sumber energi yang paling penting untuk demokrasi dan lahan yang subur untuk
partai politik.
Sistem kepartaian dan partai politik merupakan 2 (dua) konsep yang berbeda. Sistem
kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang
spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di
satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga
kini adalah Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.
Berdasarkan penelitian oleh Scott Mainwarning,9 ada tiga bentuk sistem kepartaian yang
lebih umum disetiap pemerintahan yaitu:
(1) sistem partai dominan atau sistem partai tunggal, yaitu apabila hanya ada satu partai yang
diakui oleh pemrintah. Sistem ini biasanya dipraktekkan dalam negaranegara komunis
semacam RRC, Kuba. Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha untuk mendirikan partai
tunggal sesuai dengan pemikiran yang ada pada saat itu banyak dianut di negara-negara
yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi
“motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum
terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau
fasis.10
9
‘Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Journal of
Comparative Political Studies,Vol.26,No.2,1993,Hlm.204-2010’.
10
M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., Risalah Hukum Partai Politik Di Indonesia, Pusat Kajian Konstitusi Dan Peraturan
Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Februari 2015, Hlm.60.

5
(2) sistem dua partai atau dwi partai, yaitu apabila dalam suatu negara hanya ada dua partai
besar yang berhak bertarung dalam setiap pemilihan. Atau dalam kepustakaan ilmu
politik pengertian sistem dwi partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai di antara
beberapa partai yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum
secara bergiliran dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.Dewasa ini hany
ada beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai, yaitu Amerika Serikat
antara partai Republik dan Demokrat, Inggris,Filipina, Kanada dan Selandia Baru.
Sistem dwi partai ini pernah disebut sebagai a convenient system for contented people
(sebuah sistem yang tepat bagi orang yang puas dan memang kenyataannya ialah bahwa
sistem dwi partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat yaitu:
a. komposisi masyarakatnya bersifat homogeny;
b. adanya konsensus yang kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan
politik;
c. adanya kontinuitas sejarah.11

(3) sistem multi partai, yaitu apabila ada banyak partai dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Perbedaan yang tajam antara ras, suku, budaya dan agama cenderung mendorong
golongan-golongan ini untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam
satu wadah yang sempit saja. Fenomena ini biasa terjadi jika pluralitas budaya terjadi
sehingga sistem multi partai lebih cocok digunakan.Contoh Malaysia, Prancis dan
Indonesia dimana selalu terdiri dari banyak partai dalam pemilu semenjak reformasi
1998.
TABEL 1
Klasifikasi Sistem Kepartaian

Sumber. Mukhtie Fadjar


Berdasarkan tabel di atas Mukhtie Fadjar mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi 2
kriteria, yaitu:

11
Miriam Budiardjo,Op.Cit,Hlm.417.

6
1. Berdasarkan jumlah partai yang ada dalam suatu negara sehingga muncul:
a. Sistem partai tunggal (umumnya di Negara komunis);
b. Sistem dwi-partai, seperti di Amerika Serikat dll;
c. Sistem multi partai, seperti di Belanda, Indonesia dll.
2. Berdasarkan pada karakter partai, yakni:
a. Sistem kompetitif
b. Sistem agregatif
c. Sistem ideologis
d. Sistem pluralistik
e. Sistem monopolistik
f. Sistem hegemonik

Sistem kepartaian tidak dapat dilepaskan dari sistem pemerintahan. Pendekatan ini melihat
seberapa kompatibel sistem kepartaian yang dipilih dengan sistem pemerintahan yang ada di
suatu negara.
Sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi-fungsi
legislative, eksekutif, dan yudikatif yang saling berhubungan , bekerja sama dan mempengaruhi
satu sama lain12. Sedangkan menurut Jilmly sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu
sistem hubungan antara lembaga-lembaga negara.
Dalam perkembangannya sistem pemerintahan didunia hanya ada 2 (dua) yaitu sistem
pemerintahan parlementer, dimana sebagai kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri
sedangkan sebagai kepala negara adalah seorang presiden. Dan sistem pemerintahan presidensil
dimana presiden selain sebagai kepala negara juga bertindak sebagai kepala pemerintahan.
Sistem parlementer sendiri banyak digunakan atau dilaksanakan jika suatu negara dalam
sistem pemilunya menggunakan banyak partai politik (multi party). Hal ini disebabkan sulitnya
ditemukan atau didapatkan suara mayoritas dalam parlemen sehingga dibutuhkan koalisi-koalisi
diparlemen diantara partai politik. Koalisi ini bertujuan untuk membedakan antara partai oposisi
dan partai pendukung pemerintah (perdana menteri).
Sedangkan kombinasi antara presidensialime dan multipartisme di beberapa negara terbukti
berpotensi menimbulkan instabilitas bagi berjalannya pemerintahan. Dalam multi partai yang
terfragmentasi memang sulit melahirkan satu partai yang cukup kuat untuk membentuk satu
pemerintahan sendiri, sehingga pembentukan koalisi13 sulit dihindari. Selain itu di tengah
ketiadaan kekuatan partai mayoritas, kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu legislatif-
eksekutif menjadi terbuka.14
Sementara itu, kombinasi sistem presidensialisme dan multipartai bukan hanya merupakan
“kombinasi yang sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya kebuntuan politik
(deadlock) dalam hubungan eksekutif-legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas
demokrasi presidensial. Kemandekan diakibatkan oleh banyaknya jumlah partai di parlemen
12
Sulardi, Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Setara Press:Malang,2012), Hlm.46.
13
Efriza,Op.Cit,Hlm.314.
14
Scott Mainwaring Dalam Hanta Yudha,Presidensialisme Setengah Hati, (Gramedia:Jakarta,2010),Hlm.269.

7
ditambah dengan pemilu yang berbeda untuk memilih anggota parlemen dan presiden
menyebabkan terjadinya perbedaan partai yang menguasai parlemen dengan partai yang
memerintah. Peluang sebuah parpol untuk menjadi mayoritas di parlemen relatif kecil.15
Selama bertahun-tahun, sistem presidensial menunjukkan kurangnya insentif untuk koalisi
dan menyebut kejadian tersebut sebagai peristiwa langka. 16 Namun demikian, pandangan ini
mulai berubah. Sejak tahun 1980an, sebagian besar sistem pemerintahan presidensial di kawasan
Amerika Latin pada titik tertentu memiliki koalisi multipartai. Di Brasil, Cile, dan Uruguay,
koalisi multipartai di pemerintahan nampaknya menjadi kecenderungan umum.
Skema sistem presidensial, seperti diketahui, menempatkan presiden sebagai locus
kekuasaan, dalam arti untuk memerintah (govern) dan mengeksekusi kebijakan. Karena itu,
seorang presiden semestinya memperoleh derajat governability yang tinggi agar pemerintahan
yang dihasilkan pemilu bisa bekerja efektif. Jumlah partai yang banyak di parlemen, memang
boleh jadi mencerminkan representativeness yang tinggi. Namun, jumlah partai yang terlalu
banyak secara natural juga mengurangi derajat governability presiden dalam sistem presidensial.
Sebabnya sangat sederhana: too many players.
Dengan terciptanya sistem kepartaian yang lebih sederhana maka akan mendorong koalisi
partai politik yang lebih ramping, disiplin dan mengikat. Upaya untuk mendorong agar supaya
partai politik membangun koalisi yang disiplin dan mengikat.
Bila berbicara tentang sistem kepartaian, kita seringkali hanya memusatkan perhatian pada
jumlah partai yang ada dalam sebuah negara. Akan tetapi, itu sebenarnya bukan berarti kita
hanya membahas jumlah, melainkan juga sehat-tidaknya persaingan partai politik di suatu
negara. Bila mengacu ke jumlah, kita akan menemui satu, dua, atau sistem banyak partai yang
kita kenal. Namun, hal itu tidak cukup untuk menjadi satu-satunya ukuran ideal bahwa melihat
sistem kepartaian ialah dengan melihat jumlah partai yang ada di suatu negara.
Bisa jadi jumlah parpol banyak, tetapi tidak bisa berkompetisi dengan baik sehingga hanya
dua atau bahkan satu partai yang memegang peranan dalam pemerintahan suatu negara. Itu
berarti sistem yang demikian tidak bisa lantas disebut sistem banyak partai. Meskipun terdapat
lebih dari satu partai politik, partai-partai kecil tidak bisa memberikan pengaruh dalam proses
pembuatan kebijakan. Partai nonpemerintah hanya dianggap sebagai pelengkap persyaratan
prinsip demokrasi yang dianut. Ia hanya partai pinggiran, yaitu partai yang selalu berada di
wilayah pinggiran. Dalam ikut menentukan jalannya pemerintahan negara, hanya satu partai
yang memegang peranan secara dominan.
Idealnya, pada sebuah bangun kepartaian dari sisi kuantitas, tersedia partai yang memiliki
komitmen dan konsistensi kerakyatan. Artinya, berapa pun jumlah partai, itu tidak menjadi
masalah bila semuanya memang kebutuhan dari rakyat. Meski sedikit, itu akan menjadi
15
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, Dalam Moch. Nurhasim Dan Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Sistem Presidensial Dan
Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka Pelajar Dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009, Hlm. 35..
16
‘Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Journal of Comparative Political
Studies,Vol.26,No.2,1993,Hlm.204-2010’.

8
persoalan bila tak satu pun merupakan wahana bagi aspirasi ma syarakat. Dari sisi kualitas,
setiap partai memiliki kesempatan dan keinginan serta kemampuan untuk berkompetisi
melaksanakan fungsi secara optimal dalam sebuah mekanisme yang kondusif. Keberadaan partai
tidak semata-mata ditentukan rezim yang tengah berkuasa atau sebuah mekanisme administratif
yang diciptakan secara tidak adil dan demokratis oleh penguasa secara sepihak.

B. Sejarah dan Sistem Partai Politik Eropa


Seperti yang dijelaskan pada latar belakang diatas, partai politik modern pertama kali
dikembangkan di Eropa kemudian Amerika Serikat mengikuti cara tersebut dengan sedikit
perubahan yang sangat memberikan pengaruh kepada proses pembentukan partainya sendiri.
Partai politik modern tidak semuanya lahir pada saat yang sama. Beberapa lahir sesudah
Perang Dunia II seperti MRP di Perancis dan Partai Demokrat Kristen di Italia (UNR). Yang
lainnya muncul pada masa-masa antara 1919 dan 1939 yaitu partai-partai fasis dan partai-partai
komunis. Selanjutnya pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 tetapi sebelum tahun 1914,
termasuk hampir keseluruhan partai-partai sosialis. Tetapi masih ada yang lainnya lagi yang
dibentuk pada bagian pertama abad ke sembilanbelas termasuk sebagian besar partai-partai
liberal dan partai-empat partai konservatif.
Perkembangan yang progresif dari partai-partai Eropa pertama kali muncul disaat
pertentangan antara beberapa ideologi besar pada saat itu, yang mana adanya pertentangan antara
kaum konservatif dan kaum liberal serta kaum sosialis dan kapitalis. Dan dari situlah tercipta
partai-partai baru di Eropa seperti partai-partai baru komunis, partai fasis, dan partai kristen
demokrat.
Pertentangan antara konservatif dan liberal terjadi dikarenakan adanya konflik yang
didramitisir pada Revolusi Perancis tahun 1789, sesudah tahun 1848, konflik selanjutnya muncul
antara kaum sosialis dengan kaum kapitalis yang didasari oleh pertentangan awal namun seiring
berjalannya waktu pertentang baru tersebut telah mengantikan secara keseluruhan. Sebenarnya
pertentangan tersebut merupakan sebuah perjuangan ideologi yang pada akhirnya diekspresikan
kedalam partai-partai yang terorganisir.
Basis pertama terjadinya konflik antara konservatif dan liberal ada kaitannya dengan
transformasi fundamental dari masyarakat Eropa yang telah berlangsung sejak abad pertengahan.
Bermula pada abad ke sepuluh, telah terjadi proses kebangkitan industri dan perdagangan,
terutama di kota-kota. Jadi selain kaum bangsawan yang merupakan kelas dominan dalam
masyarakat feodal, lahirnya sebuah kelas baru yang disebut sebagai kelas borjuis, dan telah
menjadi kelas dominan dalam masyarakat perdangangan dan industri di Eropa saat itu.
Selanjutnya perkembangan partai-partai politik di Eropa pada abad kesembilanbelas tersebut
menuai beberapa halangan yang pada waktu itu menolak mengakui manfaat serta keberadaan
sebuah partai politik, seperti kalangan konservatif yang memandang kehadiran partai politik
hanya akan menganggu stabilitas struktur sosial belaka. Jika partai politik diterima sebagai unit
politik resmi maka tantangan yang akan muncul ialah keberlangsungan struktur sosial yang
bersifat hirarkis akan terancam. Sehingga bagi kalangan konservatif, adanya partai politik dinilai
dapat menjadi ancaman terhadap kemapanan kalangan konservatif yang telah ada sejak lama.

9
Dan dimasa kerajaan negara-negara Eropa pada saat itu hampir keseluruhan kalangan-
kalangan yang menentang keras adanya partai politik ialah kalangan yang tidak jauh dari
kerajaan. Pandangan klasik akan partai politik pada saat itu juga hanya dimengerti sebagai
kelemahan politik yang kurang mandiri. Maka jika ingin memahami partai politik haruslah
menggunakan perspektif pertumbuhan awal dari suatu sistem kepartaian. Karena pada awal
berdirinya partai politik hampir seluruh sistem partai yan digunakan baik di Eropa maupun di
Amerika memiliki kesamaan yang sangat signifikan (Cipto, 1996).
Mayoritas negara-negara yang menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal
menjaga stabilitas dan efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia,
Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan
sebagainya.17

C. Sistem Partai Politik dan Demokrasi Benua Amerika


Keberpihakan AS pada demokrasi tidak dapat dilepaskan dari munculnya keyakinan yang
besar dalam diri bangsa AS bahwa demokrasi merupakan prinsip dasar pembangunan watak
bangsa (Cipto, 2003 :6). Demokrasi telah menjadi American Ethos dan menjadi nilai-nilai
pengatur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang senantiasa ada dalam kehidupan
masyarakat AS selama ratusan tahun.Demokrasi telah menjadi tradisi yang kokoh sejak
diproklamasikannya Deklarasi Kemerdekaan AS 4 Juli 1776. Dalam bahasa Thomas Jefferson,
demokrasi telah terefleksi dalam life, freedom, and pursuit of happiness sebagai nilai-nilai yang
senantiasa mengilhami para imigran yang datang ke AS (Jatmika, 2000 :9). Demokrasi menjadi
tumpuan dalam mengangkat keagungan manusia yang hadir atas peran setiap individu dalam
pembentukan nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat.
Praktek demokrasi yang telah lama mengakar di tengah masyarakat AS tersebut, telah
dijelaskan oleh de Tocqueville dalam bukunya Democracy in America yang terbit tahun 1835.
Dijelaskan bahwa tidak hanya dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan saja terdapat praktek
demokrasi, namun telah mengkristal dala filosofi bangsa, agama, pluralism cultural, sampai pada
kehidupan keluarga sebagai unit terkecil kehidupan kelompok (de Tocqueville, 1961 : 2). Disini
demokrasi mendapatkan ruang dan gerak yang sangat luas.
Walau demikian, perkembangan kehidupan demokrasi di AS tidak selamanya menunjukkan
grafik yang terus stabil, tetapi juga mengalami pasang surut, hambatan, dan dianggap tidak taat
asas dalam melaksanakan demokrasi.Dipertahankannya sistem perbudakan yang berlangsung
lama dan baru dihapuskan tahun 1865. Adanya Civil Rights Movement pada tahun 1960-an yang
menggambarkan perjuangan hak-hak orang-orang kulit hitam AS, pengakuan hak pilih wanita
baru di tahun 1920, dan baru disahkannya undang-undang untuk melindungi hak-hak warga
negara minoritas di tahun 1954, serta kurang diberikannya persamaan hak dan keadilan kepada
penduduk asli AS (yang dikenal sebagai bangsa Indian), menunjukkan berfluktuasinya
perkembangan demokrasi di AS (Bradley dan Lubis, 1991 : XVII).

17
‘Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial Dan Persoalan Efektifitas Pemerintah”, Makalah, 2010, Hlm. 3.’

10
Terlepas dari semua cacat sejarah tersebut, dewasa ini AS dapat dianggap sebagai negara
dengan kualitas demokrasi terbesar di dunia.Hal tersebut kemudian menjadi salah satu faktor
yang membuat kuatnya posisi demokrasi sebagai isu penting dalam politik luar negeri AS saat
ini, disamping faktor-faktor lain seperti dinamika kesejarahan dalam mempraktekkan nilai-nilai
demokrasi selama ratusan tahun dan kemunculannya sebagai kekuatan unilateral pascaperang
dingin.

Mainwaring berpendapat bahwa hanya 4 (empat) negara penganut sistem presidensial yang
berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah
Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.

Kita dapat melihat kasus Cile dan Meksiko. Presiden Cile memiliki otoritas formal yang
jauh lebih besar daripada Presiden Meksiko. Namun, Parlemen Cile memiliki keanggotaan yang
sangat profesional dalam sistem komite yang kuat, sementara di Meksiko memiliki sistem
komite yang lebih lemah yang terdiri dari anggota yang tidak dapat dipilih kembali dengan masa
jabatan yang juga lebih pendek. Oleh karena itu dapat dikatakan walaupun memiliki format
kelembagaan serupa, Presiden Cile memiliki posisi negosiasi yang lebih kuat daripada Presiden
Meksiko, dan akibatnya partai-partai dalam kongres Chili lebih mungkin bergabung dengan
koalisi pemerintah. Akibatnya, jika kapasitas adalah ukuran relevansi institusional yang lebih
sesuai, maka Presiden cenderung membentuk koalisi pemerintah dengan kekuatan-kekuatan
dalam parlemen dengan keanggotaan yang lebih profesional. Permintaan masa jabatan dan
keterpilihan kembali adalah tindakan yang digunakan secara tradisional dalam literatur legislatif
untuk menangkap kapasitas kelembagaan dan profesionalisasi keanggotaan parlemen.

D. Sistem Partai Politik dan Demokrasi Benua Asia


Di Asia, efek sistem kepartaian dan pemilu terhadap perkembangan demokrasi juga beragam.
Tentu saja penilaian ini menyingkirkan negara dengan satu partai seperti China, Laos, Korea
Utara, dan Vietnam. Sedikit pengecualian diberikan kepada Myanmar dan Bhutan, yang hanya
memberikan satu gelombang pemilu untuk sistem multipartai.
Begitu pula perjalanan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode
perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu:18
a. Masa penjajahan Belanda
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu
Hindia Belanda).Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua
organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun
yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik,
ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasional
untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat ,
18
‘Https://Sejarahlengkap.Com/Organisasi/Sejarah-Partai-Politik’.

11
gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan lain. Pada tahun 1939 terdapat
beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni
Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto
dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite
Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan
gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islami) yang merupakan
gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis
Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.

b. Masa pendudukan Jepang


Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi
kebebasan untuk membentuk yaitu partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang
social kemasyarakatan.

c. Masa Merdeka (mulai 1945)


Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk
mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan
demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai. Pemilu 1955 memunculkan 4
partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Pada masa setelah kemerdekaan, Moh. Hatta selaku Wakil Presiden RI mengeluarkan
Maklumat No X tanggal 16 Oktober 1945. Hal ini menyebabkan banyak bermunculan partai
di Indonesia. Inilah multisistem partai pertama di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia.

 Masa Orde Lama


Masa parlementer marak terjadi di Indonesia pada tahun 1950-1959 yang merupakan
titik kejayaan partai politik di Indonesia. Muncul 4 partai besar yaitu Sejarah Partai PNI
(Partai Nasional Indonesia), NU, Masyumi, dan Sejarah PKI, tetapi kabinet berjalan tidak
mulus karena banyaknya partai politik pada masa parlementer. Kabinet yang sering
berganti-ganti dan pembangunan yang gagal menyebabkan dikeluarkannya dekrit
presiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan berakhirnya masa parlementer di Indonesia.
Dekrit Presiden ini menjadi jalan keluar dari kemelut Konstituante yang gagal mencapai
kata sepakat mengenai Dasar Negara.
Konstiuante merupakan hasil Pemilu 1955 yang melahirkan konfigurasi ideologis
antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dan Islam sebagai dasar negara.
Anggota Konstituante berjumlah 544 yang berasal dari 34 parpol. Pendukung Pancasila
berjumlah 274, Islam 230, dan pendukung gagasan ideologi sosial-ekonomi 10. Selain
sebagai respon atas kegagalan Konstituante, Dekrit ini juga mencerminkan kekecewaan

12
yang luas mengenai perilaku partai politik selama periode Demokrasi Liberal (1945-
1957). Setelah Dekrit, Presiden Soekarno mulai mengambil langkah penting kea rah
penataan partai politik hingga dikeluarkannya Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang syarat-
syarat dan penyederhanaan kepartaian.
Hal ini juga diikuti oleh dikeluarkannya Penpres No.13 yang mengatur pengakuan,
pengawasan, dan pembubaran beberapa partai. Karena keterlibatan sejumlah tokoh
utamanya dalam pembentukan PRRI/Permesta maka PSI dan Masyumi dibubarkan
melalui Kepres 128/61. Pengakuan diberikan kepada  partai politik yaitu PNI, NU, Partai
Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IP-KI, dan PKI. Parkindo dan Perti diakui melalui
Kepres 440/61. Melalui Kepres 129/61 partai PSSI Abikusno, Partai Rakyat Nasional
Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusomo tidak diakui.
Tanggal 14 April 1961 pemerintah mengeluarkan pengumuman yang hanya mengakui 10
parpol. Kesepuluh partai politik tersebut adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, Partai
Katolik, Perti, Murba, dan IPKI.
Hanya PKI yang secara efektif dapat menjalankan fungsinya sebagai parpol selama
periode ini karena digunakan Soerkarno sebagai kekuatan penyeimbang AD yang sudah
menjadi kekuatan politik yang utama. Berbagai permasalahan terjadi sehingga Soekarno
membubarkan parleman pada 5 Maret 1960 karena adanya penolakan parlemen atas
rencana anggaran yang diajukan pemerintah. Selanjutnya dibentuk DPR-GR pada Juli
1960 terlepas dari adanya penentangan sejumlah parpol dan tokoh yang mendirikan “liga
demokrasi”. Liga Demokrasi terdiri dari Partai Katolik, Masyumi, PSI, dan IPKI yang
mendapatkan dukungan TNI AD, Moh. Hatta, dan sejumlah tokoh PNI dan NU. DPR-GR
memiliki anggota sebanyak 263 orang, yaitu 132 berasal dari golongan fungsional (7
wakil AD, 7 wakil AU dan AL, 5 polisi dan selebihnya dari organisasi seperti Sobsi,
Gerwani, BTI, Sarpubri, Pemuda Rakyat, dan sebagainya).
Berakhirnya masa parlementer di Indonesia menandakan dimulainya sistem baru di
negara ini, yaitu masa demokrasi terpimpin. Masa ini adalah masa dimana presiden
sangat kuat yang terbukti dengan slogan NASAKOM-ya. Soekarno memperkuat tiga
partai yaitu NU, PNI, dan PKI sebagai inti dari slogan tersebut. PKI saat itu paling
menonjol karena menguasai mayoritas suara rakyat Indonesia. Namun setelah Peristiwa
G30S/PKI, PKI dicap sebagai partai terlarang karena mencoba mengambil alih
pemerintahan. Kudeta PKI diredam oleh Soeharto yang saat itu mendapat mandate
berupa Supersemar untuk menumpas PKI dan krooni-kroninya.

 Masa Orde Baru


Masa ini ditandai dengan Soeharto yang menggantikan Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia. Pada masa Orde Baru munculah organisasi non-partai yang bernama
Golongan Karya. Golkar mendapat suara terbanyak mengalahkan NU, Parmusi, dan PNI
pada Pemilu 1971.  Pada tahun 1973, Indonesia mulai menyederhanakan partai politik
13
menjadi tiga yakni dua partai politik dan satu golongan. Partai beraliran nasionalis dan
beberapa partai non-Islam yaitu PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik dijadikan
satu menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973.
Partai politik yang berideologi Islam yaitu NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI
digabungkan menjadi Partai Perstauan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Satu
golongan non-partai adalah Golkar yang merupakan penyokong Soeharto dalam
menguasai Indonesia. Dua partai politik dan golongan karya mengikuti sejarah Pemilu di
indonesia pada tahun 1977, 192, 1987, 1992, dan 1997. Rezim Orde Baru berakhir
dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 karena diduga
banyak melakukan Kolus, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
 Masa Reformasi
Setelah rezim Soeharto berhasil ditumbangkan, pemilu dengan sistem multi partai
kembali terjadi di Indonesia. Sejak tahun 2004 hingga saat ini peserta Pemilihan Umum
muncul tak terbendung. Fenomena ini adalah gambaran euphoria demokrasi Indonesia
yang dulu sangat dikekang, tetapi kemudian dilepaskan begitu saja.
Selain banyaknya jumlah partai politik peserta Pemilu, perubahan yang menonjol
adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintahan. Keberadaan partai politik
sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan semakin
mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Keberadaan hakikat
reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan, yaitu kekuatan-
kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik sebagai pilar
demokrasi.
Hal ini menyebabkan munculnya UU No. 2 Tahun 1999 yang selanjutnya
disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-
partai baru di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai yang muncul di era reformasi,
hanya ada 5 partai yang memperoleh suara signifikan yaitu Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai
Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Kehadiran banyak partai diharapakan menjadi wadah bagi masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam kemajuan NKRI. Pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 berisi
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Hal ini berarti bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut Kententuan UU No. 23. UU No. 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung disusun untuk menindaklanjuti Pasal 1
Ayat 2 Amandemen UUD 1945. Pada penjelasannya diuraikan bahwa salah satu wujud
dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih
anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden

14
yang seluruhnya dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara
hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dinyatakan dalam Pasal 6A
UUD 1945, yaitu “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik gabungan-gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan
Pemilihan Umum”. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan setiap 5 tahun
sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL (Langsung,
Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil) yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan
Umum yang nasional, tetap, dan mandiri.
Indonesia pernah mengalami tiga bentuk demokrasi yaitu demokrasi Parlementer tahun 1945
sampai 1959, demokrasi Terpimpin tahun 1959 sampai 1965 dan demokrasi Pancasila tahun
1965 sekarang. Demokrasi pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian
dan falsafah hidup bangsa Indonesia, hal ini tertuang dalam pembukaan undang-Undang Dasar
1945. Adapun asas dari demokrasi pancasila terdapat pada sila keempat yaitu “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, dan dasar demokrasi
pancasila adalah kedaulatan rakyat dalam artian rakyat yang menetukan bentuk dan isi
pemerintahan yang sesuai dengan hati nurani dan kepentingan rakyat banyak dalam rangka guna
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan warga negara Indonesia.
Rakyat merupakan subjek demokrasi dalam negara Indonesia yaitu rakyat secara
keseluruhan mempunyai hak ikut serta dalam menentukan kebijakan melalui lembaga perwakilan
guna dijalankan oleh lembaga eksekuif demi kesejahteraan rakyat itu sendiri sehingga kebijakan
tersebut bukan atas keinginan sang penguasa negara (berbentuk absolut). Kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah dengan lembaga perwakilan rakyat harus melalui musyawarah dan
mufakat sungguhpun akan timbul perbedaan-perbedaan pendapat namun dapat diselesaikan
melalui aturan main dalam alam demokrasi Pancasila.
Sistem politik di Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, artinya tak ada demokrasi tanpa partai politik. Oleh
sebab itu sangat diperlukan sekali sebuah peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan partai politik yang bertujuan agar mampu menjamin pertumbuhan partai politik yang
baik, sehat dan profesional.

Kelemahan yang dimiliki oleh lembaga partai politik di Indonesia disebabkan kurangnya
perhatian dalam pengkaderan terhadap anggota-anggota partai itu sendiri. Partai politik
cenderung membangun partai massa dalam meningkatkan aktivitasnya hanya menjelang
pemilihan umum dan menganut sistem keanggotaan yang amat longgar serta belum memiliki
sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai juga belum mengembangkan sistem
pengkaderan dalam menciptakan kepemimpinan yang kuat sesuai dengan keinginan masyarakat.
Kelemahan menonjol pada partai politik pada saat ini adalah kurangnya intensif dan efektif kerja

15
partai itu sendiri, hal ini bisa diperhatikan bahwa sepanjang tahun sebahagian besar kantor partai
hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti seperti tidak memiliki rencana kerja partai
yang bersifat jangka panjang, menengah dan pendek.
Indonesia yang menganut presidential hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara
penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat,
stabil, dan efektif perlu didukung oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan sistem
kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen,
yang pada gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah
partai yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai
politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di sisi lain,
ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi
terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Partai selalu membedakan diri mereka dari organisasi dan inisiatif masyarakat sipil lain
dengan cara yang sangat mendasar. Hanya partai yang berjuang untuk mendapat kursi di
parlemen dan dengan demikian dapat ambil bagian menjalankan kekuasaan negara sesuai dengan
porsi keberhasilan mereka dalam pemilu. Partai merupakan bagian dari masyarakat dan bagian
dari negara pada saat yang bersamaan. Hal ini membuat mereka memiliki posisi penting secara
politik di dalam hubungannya dengan semua asosiasi politik lain. Karena posisi penting ini lah
maka semua organisasi politik lain tertarik untuk bekerjasama dengan sejumlah partai politik
karena hanya dengan cara ini mereka dapat mempromosikan sasaran politik mereka yang utama.
Partai-partai juga harus tertarik dengan masyarakat sipil yang aktif di tempat-tempat yang
masyarakat sipilnya mengklaim independensi dari partai politik. Ini harus dipertimbangkan
karena masyarakat sipil merupakan sumber energi yang paling penting untuk demokrasi dan
lahan yang subur untuk partai politik.
Partai-partai hanya akan dapat meraih partisipasi demokratis, kontrol kekuasaan, dan
integrasi politik di masyarakat apabila mereka berfungsi secara demokratis di dalamnya.
Agar dapat berfungsi seperti ini, tidak hanya dibutuhkan lembaga yang baik tetapi juga
budaya politik demokratis yang sama di dalam hati dan pikiran warga negara Semua orang harus
mengakui legitimasi partai lain di dalam kegiatan praktis mereka serta membatasi konflik yang
terjadi agar tidak merugikan demokrasi itu sendiri. Demokrasi internal partai juga tidak dapat
dianggap dan dipraktekan sebagai suatu kelemahan, tetapi lebih sebagai kekuatan partai dalam
bertindak.

17
DAFTAR PUSTAKA

‘David McKay, American Politics and Society, 6th Edition, (Malden: Blackwell Publishing,
2005)’
Efriza,Op.Cit,Hlm.314
‘Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/17009/%5B7%5D%20-%20BAB
%20II.Pdf?Sequence=6&isAllowed=y’
‘Https://Sejarahlengkap.Com/Organisasi/Sejarah-Partai-Politik’
Idzam Fautanu, Partai Politik Di Indonesia, (Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung
Djati:Bandung,2020), Hlm.4
Kacung Maridjan,Sistem Politik Di Indonesia,(Kencana Prenada Media:Jakarta,2010),Hlm.17
M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., Risalah Hukum Partai Politik Di Indonesia, Pusat Kajian
Konstitusi Dan Peraturan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Februari 2015, Hlm.60
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, Dalam Moch. Nurhasim Dan Ikrar Nusa Bhakti
(Ed.), Sistem Presidensial Dan Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka Pelajar Dan
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009, Hlm. 35.
Miriam Budiardjo,2012,Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia:Jakarta .Hlm.398
Miriam Budiardjo,Op.Cit,Hlm.417
‘Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial Dan Persoalan Efektifitas Pemerintah”, Makalah,
2010, Hlm. 3.’
Sabastian Salang, Potret Partai Politik Di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah,
Dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober
2007), Hlm. 3.
‘Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination,
Journal of Comparative Political Studies,Vol.26,No.2,1993,Hlm.204-2010’
Scott Mainwaring Dalam Hanta Yudha,Presidensialisme Setengah Hati,
(Gramedia:Jakarta,2010),Hlm.269
Sulardi, Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Setara Press:Malang,2012), Hlm.46
Teori Dasar Pemancaran Kekuasaan Dikemukakan Oleh Jhon Locke Yang Kemudian Diperkuat
Oleh Montesquieu Dalam Bukunya L’Esprit Des Lois (1784). Uraian Lebih Lengkapnya
Baca Yulia Neta Dan M.Iwan Satriawan,Ilmu Negara (Dasar-Dasar Teori
Bernegara),PKK-PUU FH
William Crotty, Asal Usul Dan Evolusi Partai Di Amerika Serikat,Op.Cit,Hlm.38

18

Anda mungkin juga menyukai