DISUSUN OLEH :
NIM. 2019010262003
DAFTAR ISI....................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................4
A. Partai Politik dan Sistem Pemerintahan....................................................................................4
B. Sejarah dan Sistem Partai Politik Eropa...................................................................................9
C. Sistem Partai Politik dan Demokrasi Benua Amerika............................................................10
D. Sistem Partai Politik dan Demokrasi Benua Asia..................................................................11
BAB III PENUTUP....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partai politik atau selanjutnya kita sebut parpol adalah salah salah satu pilar demokrasi di
mana selalu dijadikan sebagai wadah perjuangan bagi masyarakat mewujudkan kehidupan politik
yang lebih baik. Parpol merupakan organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu
membentuk landasan masyarakat demokratis. Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi
dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian
yang diterapkan di suatu negara.
Dalam suatu sistem tertentu, partai dapat berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai
lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian
memberikan gambaran tentang bagaimana struktur persaingan di antara sesama partai politik
dalam upaya meraih kekuasaan di dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga
cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.1
Jika diandaikan bahwa proses dan alat kontrol masyarakat untuk mengikat keputusan kolektif
atas segenap permasalahan publik adalah demokrasi, maka seharusnya keterwakilan tersebut
menjadi satu prasayaratnya, namun hal ini hanya terjadi apabila mereka mengorganisir diri
mereka sendiri secara demokratis. Seperti yang diketahui pemilu merupakan salah satu contoh
mekanisme demokrasi yang diyakini dan banyak diharapkan berbagai pihak akan menjadi alat
untuk mengagregasikan kepentingan warganegara secara damai. Sejauh mana parpol sebagai
intitusi demokrasi mampu mengakomodasi harapan dan kepentingan warganegara secara nyata?
Karena menjadi penting sebagai lembaga representatif yang mewakili semua kepentingan
konstituennya.
Dikutip dari pernyataan Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely” (kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk berlaku korupsi, maka kekuasaan yang
absolute atau mutlak pasti akan melakukan korupsi). Negara manakah yang masih menggunakan
sistem pemeritahan secara langsung, sangat sulit untuk menemukannya. Hal ini diakibatkan
semakin bertambahnya jumlah penduduk dan juga semakin luas wilayah suatu negara,
menyebabkan sistem pemerintahan langsung dinilai kurang efektif.
Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena negara adalah
pelembagaan masyarakat politik (policy) yang paling besar dan memiliki kekuasaan yang
otoritatif. Bahkan dalam pandangan Max Weber, kekuasaan di dalam suatu negara itu mencakup
penggunaan paksaan yang absah di dalam suatu wilayah tertentu. Itulah sebabnya, ketika
ilmuwan politik melakukan studi tentang negara, secara otomatis mereka memperbincangkan
sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan yang ada di dalamnya, seperti tentang bagaimana
1
Sabastian Salang, Potret Partai Politik Di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah, Dan Sistem Kepartaian (Jakarta:
Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), Hlm. 3.
1
kekuasaan itu muncul, sumber-sumbernya, proses memperebutkan dan mempertahankannya,
dinamikanya berikut pengalokasian dan pendistribusiannya.2
Salah satu cara pendistribusian kekuasaan adalah melalui mekanisme pemancaran kekuasaan
yang menurut teori dasarnya dipancarkan dalam tiga bidang yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif.3
Berdasarkan sejarah dan perkembangan dunia parpol pertama-tama lahir di negara-negara
Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara
spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu sisi, dan pemerintah di sisi
yang lain.4 Maka dalam perkembangan selanjutnya partai politik dianggap sebagai menifestasi
dari suatu sistem politik yang demokratis serta mewakili aspirasi rakyat.
Sejarah perkembangan parpol di dunia menjadi patokan umum terbentuknya parpol di
Indonesia.5 Sistem kepartaian di Indonesia juga mengalami perubahan sesuai dengan setiap
pergantian tipe sistem politik. Tipikal sistem kepartaian apa yang berlaku di suatu negara, secara
sederhana dapat diukur melalui fenomena yaitu pemilihan umum. Dari sisi jumlah misalnya,
suatu negara disebut bersistem satu partai, dua partai, atau multipartai, dapat dilihat dari berapa
banyak partai yang ikut andil dalam pemilu.
Pada permulaannya peranan partai politik di negara-negara barat bersifat elitis dan
aristokratis, dalam arti terutama mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap
tuntutan raja, namun dalam perkembangannya kemudian peranan tersebut meluas dan
berkembang ke segenap lapisan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh perlunya
dukungan yang menyebar dan merata dari semua golongan masyarakat. Dengan demikian terjadi
pergeseran dari peranan yang bersifat elitis ke peranan yang meluas dan populis.
Perkembangan selanjutnya abad ke-19 dari barat banyak negara-negara di benua Eropa dan
Amerika yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi parlementer ataupun monarki
konstitusional dimana dalam sistem tersebut terdapat pemilihan secara umum bagi para calon-
calon pemimpin politik guna mengatur sistem pemerintahan kedepannya dan di abad ke-19 inilah
banyak individu-individu yang mencoba menyatukan pandangan serta gagasan atau ide dalam
sebuah kelompok yang terorganisir.6
Sistematika parpol dari barat ini mempengaruhi dan berkembang di negara-negara baru, yaitu
di Asia dan Afrika. Parpol di negara-negara jajahan sering berperan sebagai pemersatu aspirasi
2
Kacung Maridjan,Sistem Politik Di Indonesia,(Kencana Prenada Media:Jakarta,2010),Hlm.17.
3
Teori Dasar Pemancaran Kekuasaan Dikemukakan Oleh Jhon Locke Yang Kemudian Diperkuat Oleh Montesquieu
Dalam Bukunya L’Esprit Des Lois (1784). Uraian Lebih Lengkapnya Baca Yulia Neta Dan M.Iwan Satriawan,Ilmu
Negara (Dasar-Dasar Teori Bernegara),PKK-PUU FH.
4
Miriam Budiardjo,2012,Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia:Jakarta .Hlm.398.
5
Idzam Fautanu, Partai Politik Di Indonesia, (Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung
Djati:Bandung,2020), Hlm.4.
6
‘Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/17009/%5B7%5D%20-%20BAB%20II.Pdf?
Sequence=6&isAllowed=y’.
2
rakyat dan penggerak ke arah persatuan nasional yang bertujuan mencapai kemerdekaan. Hal ini
terjadi di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda). Sistem politik di Indonesia secara
bergantian mengalami sejumlah perubahan dari Demokrasi Liberal tahun 1950 hingga tahun
1955, Rezim Politik Otoritarian dari tahun 1959 hingga tahun 1965, Rezim Kediktatoran Militer
dari tahun 1966 hingga tahun 1971, Rezim Otoritarian Kontemporer dari tahun 1971 hingga
tahun 1998 dan kembali menjadi Demokrasi Liberal dari tahun 1998 hingga sekarang.
Praktik parpol pun menyebar ke seantero dunia baik dengan alasan praktik politik maupun
kebutuhan untuk menggalang kekuatan politik dalam rangka melawan kolonialisme barat. Kini
parpol sepertinya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik mayoritas negara di dunia.
Negara yang terkenal otoriter sekalipun memiliki sistem partai yang canggih meski hanya
memperbolehkan satu tipe partai. Dan dalam perkembanganya hingga saat ini partai politik
umumnya diterima sebagai suatu lembaga penting terutama di negara-negara yang berdasarkan
demokrasi konstitusional, yaitu sebagai kelengkapan sistem demokrasi suatu negara.
Parpol diharapkan bisa melakukan banyak peran untuk negara. Peran parpol yang sering
disebutkan termasuk perawatan politisi untuk kontes pemilihan dan pembentukan pemerintah,
memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada publik, mengartikulasikan dan mewakili
kepentingan masyarakat, menggabungkan preferensi dan tuntutan kebijakan rakyat dari semua
lapisan masyarakat, dan mengembangkan platform kebijakan. Untuk memenangkan pemilih.
Menurut Gino Concetti dalam I partiti politici e l’ordine morale (1981), setiap parpol perlu
mengingat 6 (enam) peran utama dalam hidup berpolitik. Pertama, setiap parpol seharusnya
menjadi ekspresi dan artikulasi kepentingan rakyat melalui sistem kepartaian. Dalam konteks ini
parpol tampil sebagai pengantara. Kedua, parpol mentransformasi bahan baku politik menjadi
kebijakan dan keputusan dalam memajukan kepentingan umum. Ketiga, melalui proses
partisipasi, parpol seharusnya mengintegrasikan individu ke dalam suatu sistem politik.
Keempat, parpol berusaha mengajukan usul-usul kebijakan supaya mendapat dukungan seluas
mungkin. Parpol berani menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tidak loyal dengan visi-misi
parpol. Kelima, setiap parpol memiliki sistem kontrol internal dan terhadap pemerintah dalam
kegiatan harian. Keenam, parpol tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga harus
menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat.
Maka dari itu timbulah rumusan masalah “Bagaimana Partai Politik dan Sistem
Pemerintahan di beberapa negara pada belahan dunia Eropa, Amerika dan Asia mengakomodir
kepentingan konstituennya?”
Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui dan menganalisis sejarah dan cara kerja Partai
Politik dan Sistem Pemerintahan di beberapa negara pada belahan dunia Eropa, Amerika dan
Asia sehingga dapat membuka wawasan pemahaman kita.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati
bersama.
3. Staffing government Fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orangorang
yang akan menjadi pejabat publik, baik pejabat publik yang baru maupun menggantikan
pejabat publik yang lama.
4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah Fungsi ini adalah posisi partai politik
mengkoordinasi lembaga pemerintah yang saling berbeda dalam tugas dan wewenangnya
untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
5. Mempromosikan stabilitas politik Fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk
mempromosikan stabilitas politik, dalam menemukan penyebab masalah dan
penyelesaiannya misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim
nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya.
Hal ini membuat mereka memiliki posisi penting secara politik di dalam hubungannya
dengan semua asosiasi politik lain. Karena posisi penting ini lah maka semua organisasi politik
lain tertarik untuk bekerjasama dengan sejumlah partai politik karena hanya dengan cara ini
mereka dapat mempromosikan sasaran politik mereka yang utama. Partai-partai juga harus
tertarik dengan masyarakat sipil yang aktif di tempat-tempat yang masyarakat sipilnya
mengklaim independensi dari partai politik. Ini harus dipertimbangkan karena masyarakat sipil
merupakan sumber energi yang paling penting untuk demokrasi dan lahan yang subur untuk
partai politik.
Sistem kepartaian dan partai politik merupakan 2 (dua) konsep yang berbeda. Sistem
kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang
spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di
satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga
kini adalah Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.
Berdasarkan penelitian oleh Scott Mainwarning,9 ada tiga bentuk sistem kepartaian yang
lebih umum disetiap pemerintahan yaitu:
(1) sistem partai dominan atau sistem partai tunggal, yaitu apabila hanya ada satu partai yang
diakui oleh pemrintah. Sistem ini biasanya dipraktekkan dalam negaranegara komunis
semacam RRC, Kuba. Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha untuk mendirikan partai
tunggal sesuai dengan pemikiran yang ada pada saat itu banyak dianut di negara-negara
yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi
“motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum
terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau
fasis.10
9
‘Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Journal of
Comparative Political Studies,Vol.26,No.2,1993,Hlm.204-2010’.
10
M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., Risalah Hukum Partai Politik Di Indonesia, Pusat Kajian Konstitusi Dan Peraturan
Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Februari 2015, Hlm.60.
5
(2) sistem dua partai atau dwi partai, yaitu apabila dalam suatu negara hanya ada dua partai
besar yang berhak bertarung dalam setiap pemilihan. Atau dalam kepustakaan ilmu
politik pengertian sistem dwi partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai di antara
beberapa partai yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum
secara bergiliran dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.Dewasa ini hany
ada beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai, yaitu Amerika Serikat
antara partai Republik dan Demokrat, Inggris,Filipina, Kanada dan Selandia Baru.
Sistem dwi partai ini pernah disebut sebagai a convenient system for contented people
(sebuah sistem yang tepat bagi orang yang puas dan memang kenyataannya ialah bahwa
sistem dwi partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat yaitu:
a. komposisi masyarakatnya bersifat homogeny;
b. adanya konsensus yang kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan
politik;
c. adanya kontinuitas sejarah.11
(3) sistem multi partai, yaitu apabila ada banyak partai dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Perbedaan yang tajam antara ras, suku, budaya dan agama cenderung mendorong
golongan-golongan ini untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam
satu wadah yang sempit saja. Fenomena ini biasa terjadi jika pluralitas budaya terjadi
sehingga sistem multi partai lebih cocok digunakan.Contoh Malaysia, Prancis dan
Indonesia dimana selalu terdiri dari banyak partai dalam pemilu semenjak reformasi
1998.
TABEL 1
Klasifikasi Sistem Kepartaian
11
Miriam Budiardjo,Op.Cit,Hlm.417.
6
1. Berdasarkan jumlah partai yang ada dalam suatu negara sehingga muncul:
a. Sistem partai tunggal (umumnya di Negara komunis);
b. Sistem dwi-partai, seperti di Amerika Serikat dll;
c. Sistem multi partai, seperti di Belanda, Indonesia dll.
2. Berdasarkan pada karakter partai, yakni:
a. Sistem kompetitif
b. Sistem agregatif
c. Sistem ideologis
d. Sistem pluralistik
e. Sistem monopolistik
f. Sistem hegemonik
Sistem kepartaian tidak dapat dilepaskan dari sistem pemerintahan. Pendekatan ini melihat
seberapa kompatibel sistem kepartaian yang dipilih dengan sistem pemerintahan yang ada di
suatu negara.
Sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi-fungsi
legislative, eksekutif, dan yudikatif yang saling berhubungan , bekerja sama dan mempengaruhi
satu sama lain12. Sedangkan menurut Jilmly sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu
sistem hubungan antara lembaga-lembaga negara.
Dalam perkembangannya sistem pemerintahan didunia hanya ada 2 (dua) yaitu sistem
pemerintahan parlementer, dimana sebagai kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri
sedangkan sebagai kepala negara adalah seorang presiden. Dan sistem pemerintahan presidensil
dimana presiden selain sebagai kepala negara juga bertindak sebagai kepala pemerintahan.
Sistem parlementer sendiri banyak digunakan atau dilaksanakan jika suatu negara dalam
sistem pemilunya menggunakan banyak partai politik (multi party). Hal ini disebabkan sulitnya
ditemukan atau didapatkan suara mayoritas dalam parlemen sehingga dibutuhkan koalisi-koalisi
diparlemen diantara partai politik. Koalisi ini bertujuan untuk membedakan antara partai oposisi
dan partai pendukung pemerintah (perdana menteri).
Sedangkan kombinasi antara presidensialime dan multipartisme di beberapa negara terbukti
berpotensi menimbulkan instabilitas bagi berjalannya pemerintahan. Dalam multi partai yang
terfragmentasi memang sulit melahirkan satu partai yang cukup kuat untuk membentuk satu
pemerintahan sendiri, sehingga pembentukan koalisi13 sulit dihindari. Selain itu di tengah
ketiadaan kekuatan partai mayoritas, kemungkinan bagi terjadinya jalan buntu legislatif-
eksekutif menjadi terbuka.14
Sementara itu, kombinasi sistem presidensialisme dan multipartai bukan hanya merupakan
“kombinasi yang sulit”, melainkan juga membuka peluang terjadinya kebuntuan politik
(deadlock) dalam hubungan eksekutif-legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas
demokrasi presidensial. Kemandekan diakibatkan oleh banyaknya jumlah partai di parlemen
12
Sulardi, Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Setara Press:Malang,2012), Hlm.46.
13
Efriza,Op.Cit,Hlm.314.
14
Scott Mainwaring Dalam Hanta Yudha,Presidensialisme Setengah Hati, (Gramedia:Jakarta,2010),Hlm.269.
7
ditambah dengan pemilu yang berbeda untuk memilih anggota parlemen dan presiden
menyebabkan terjadinya perbedaan partai yang menguasai parlemen dengan partai yang
memerintah. Peluang sebuah parpol untuk menjadi mayoritas di parlemen relatif kecil.15
Selama bertahun-tahun, sistem presidensial menunjukkan kurangnya insentif untuk koalisi
dan menyebut kejadian tersebut sebagai peristiwa langka. 16 Namun demikian, pandangan ini
mulai berubah. Sejak tahun 1980an, sebagian besar sistem pemerintahan presidensial di kawasan
Amerika Latin pada titik tertentu memiliki koalisi multipartai. Di Brasil, Cile, dan Uruguay,
koalisi multipartai di pemerintahan nampaknya menjadi kecenderungan umum.
Skema sistem presidensial, seperti diketahui, menempatkan presiden sebagai locus
kekuasaan, dalam arti untuk memerintah (govern) dan mengeksekusi kebijakan. Karena itu,
seorang presiden semestinya memperoleh derajat governability yang tinggi agar pemerintahan
yang dihasilkan pemilu bisa bekerja efektif. Jumlah partai yang banyak di parlemen, memang
boleh jadi mencerminkan representativeness yang tinggi. Namun, jumlah partai yang terlalu
banyak secara natural juga mengurangi derajat governability presiden dalam sistem presidensial.
Sebabnya sangat sederhana: too many players.
Dengan terciptanya sistem kepartaian yang lebih sederhana maka akan mendorong koalisi
partai politik yang lebih ramping, disiplin dan mengikat. Upaya untuk mendorong agar supaya
partai politik membangun koalisi yang disiplin dan mengikat.
Bila berbicara tentang sistem kepartaian, kita seringkali hanya memusatkan perhatian pada
jumlah partai yang ada dalam sebuah negara. Akan tetapi, itu sebenarnya bukan berarti kita
hanya membahas jumlah, melainkan juga sehat-tidaknya persaingan partai politik di suatu
negara. Bila mengacu ke jumlah, kita akan menemui satu, dua, atau sistem banyak partai yang
kita kenal. Namun, hal itu tidak cukup untuk menjadi satu-satunya ukuran ideal bahwa melihat
sistem kepartaian ialah dengan melihat jumlah partai yang ada di suatu negara.
Bisa jadi jumlah parpol banyak, tetapi tidak bisa berkompetisi dengan baik sehingga hanya
dua atau bahkan satu partai yang memegang peranan dalam pemerintahan suatu negara. Itu
berarti sistem yang demikian tidak bisa lantas disebut sistem banyak partai. Meskipun terdapat
lebih dari satu partai politik, partai-partai kecil tidak bisa memberikan pengaruh dalam proses
pembuatan kebijakan. Partai nonpemerintah hanya dianggap sebagai pelengkap persyaratan
prinsip demokrasi yang dianut. Ia hanya partai pinggiran, yaitu partai yang selalu berada di
wilayah pinggiran. Dalam ikut menentukan jalannya pemerintahan negara, hanya satu partai
yang memegang peranan secara dominan.
Idealnya, pada sebuah bangun kepartaian dari sisi kuantitas, tersedia partai yang memiliki
komitmen dan konsistensi kerakyatan. Artinya, berapa pun jumlah partai, itu tidak menjadi
masalah bila semuanya memang kebutuhan dari rakyat. Meski sedikit, itu akan menjadi
15
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, Dalam Moch. Nurhasim Dan Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Sistem Presidensial Dan
Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka Pelajar Dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009, Hlm. 35..
16
‘Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Journal of Comparative Political
Studies,Vol.26,No.2,1993,Hlm.204-2010’.
8
persoalan bila tak satu pun merupakan wahana bagi aspirasi ma syarakat. Dari sisi kualitas,
setiap partai memiliki kesempatan dan keinginan serta kemampuan untuk berkompetisi
melaksanakan fungsi secara optimal dalam sebuah mekanisme yang kondusif. Keberadaan partai
tidak semata-mata ditentukan rezim yang tengah berkuasa atau sebuah mekanisme administratif
yang diciptakan secara tidak adil dan demokratis oleh penguasa secara sepihak.
9
Dan dimasa kerajaan negara-negara Eropa pada saat itu hampir keseluruhan kalangan-
kalangan yang menentang keras adanya partai politik ialah kalangan yang tidak jauh dari
kerajaan. Pandangan klasik akan partai politik pada saat itu juga hanya dimengerti sebagai
kelemahan politik yang kurang mandiri. Maka jika ingin memahami partai politik haruslah
menggunakan perspektif pertumbuhan awal dari suatu sistem kepartaian. Karena pada awal
berdirinya partai politik hampir seluruh sistem partai yan digunakan baik di Eropa maupun di
Amerika memiliki kesamaan yang sangat signifikan (Cipto, 1996).
Mayoritas negara-negara yang menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal
menjaga stabilitas dan efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia,
Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan
sebagainya.17
17
‘Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial Dan Persoalan Efektifitas Pemerintah”, Makalah, 2010, Hlm. 3.’
10
Terlepas dari semua cacat sejarah tersebut, dewasa ini AS dapat dianggap sebagai negara
dengan kualitas demokrasi terbesar di dunia.Hal tersebut kemudian menjadi salah satu faktor
yang membuat kuatnya posisi demokrasi sebagai isu penting dalam politik luar negeri AS saat
ini, disamping faktor-faktor lain seperti dinamika kesejarahan dalam mempraktekkan nilai-nilai
demokrasi selama ratusan tahun dan kemunculannya sebagai kekuatan unilateral pascaperang
dingin.
Mainwaring berpendapat bahwa hanya 4 (empat) negara penganut sistem presidensial yang
berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah
Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.
Kita dapat melihat kasus Cile dan Meksiko. Presiden Cile memiliki otoritas formal yang
jauh lebih besar daripada Presiden Meksiko. Namun, Parlemen Cile memiliki keanggotaan yang
sangat profesional dalam sistem komite yang kuat, sementara di Meksiko memiliki sistem
komite yang lebih lemah yang terdiri dari anggota yang tidak dapat dipilih kembali dengan masa
jabatan yang juga lebih pendek. Oleh karena itu dapat dikatakan walaupun memiliki format
kelembagaan serupa, Presiden Cile memiliki posisi negosiasi yang lebih kuat daripada Presiden
Meksiko, dan akibatnya partai-partai dalam kongres Chili lebih mungkin bergabung dengan
koalisi pemerintah. Akibatnya, jika kapasitas adalah ukuran relevansi institusional yang lebih
sesuai, maka Presiden cenderung membentuk koalisi pemerintah dengan kekuatan-kekuatan
dalam parlemen dengan keanggotaan yang lebih profesional. Permintaan masa jabatan dan
keterpilihan kembali adalah tindakan yang digunakan secara tradisional dalam literatur legislatif
untuk menangkap kapasitas kelembagaan dan profesionalisasi keanggotaan parlemen.
11
gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan lain. Pada tahun 1939 terdapat
beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni
Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto
dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite
Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan
gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islami) yang merupakan
gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis
Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.
12
yang luas mengenai perilaku partai politik selama periode Demokrasi Liberal (1945-
1957). Setelah Dekrit, Presiden Soekarno mulai mengambil langkah penting kea rah
penataan partai politik hingga dikeluarkannya Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang syarat-
syarat dan penyederhanaan kepartaian.
Hal ini juga diikuti oleh dikeluarkannya Penpres No.13 yang mengatur pengakuan,
pengawasan, dan pembubaran beberapa partai. Karena keterlibatan sejumlah tokoh
utamanya dalam pembentukan PRRI/Permesta maka PSI dan Masyumi dibubarkan
melalui Kepres 128/61. Pengakuan diberikan kepada partai politik yaitu PNI, NU, Partai
Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IP-KI, dan PKI. Parkindo dan Perti diakui melalui
Kepres 440/61. Melalui Kepres 129/61 partai PSSI Abikusno, Partai Rakyat Nasional
Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusomo tidak diakui.
Tanggal 14 April 1961 pemerintah mengeluarkan pengumuman yang hanya mengakui 10
parpol. Kesepuluh partai politik tersebut adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, Partai
Katolik, Perti, Murba, dan IPKI.
Hanya PKI yang secara efektif dapat menjalankan fungsinya sebagai parpol selama
periode ini karena digunakan Soerkarno sebagai kekuatan penyeimbang AD yang sudah
menjadi kekuatan politik yang utama. Berbagai permasalahan terjadi sehingga Soekarno
membubarkan parleman pada 5 Maret 1960 karena adanya penolakan parlemen atas
rencana anggaran yang diajukan pemerintah. Selanjutnya dibentuk DPR-GR pada Juli
1960 terlepas dari adanya penentangan sejumlah parpol dan tokoh yang mendirikan “liga
demokrasi”. Liga Demokrasi terdiri dari Partai Katolik, Masyumi, PSI, dan IPKI yang
mendapatkan dukungan TNI AD, Moh. Hatta, dan sejumlah tokoh PNI dan NU. DPR-GR
memiliki anggota sebanyak 263 orang, yaitu 132 berasal dari golongan fungsional (7
wakil AD, 7 wakil AU dan AL, 5 polisi dan selebihnya dari organisasi seperti Sobsi,
Gerwani, BTI, Sarpubri, Pemuda Rakyat, dan sebagainya).
Berakhirnya masa parlementer di Indonesia menandakan dimulainya sistem baru di
negara ini, yaitu masa demokrasi terpimpin. Masa ini adalah masa dimana presiden
sangat kuat yang terbukti dengan slogan NASAKOM-ya. Soekarno memperkuat tiga
partai yaitu NU, PNI, dan PKI sebagai inti dari slogan tersebut. PKI saat itu paling
menonjol karena menguasai mayoritas suara rakyat Indonesia. Namun setelah Peristiwa
G30S/PKI, PKI dicap sebagai partai terlarang karena mencoba mengambil alih
pemerintahan. Kudeta PKI diredam oleh Soeharto yang saat itu mendapat mandate
berupa Supersemar untuk menumpas PKI dan krooni-kroninya.
14
yang seluruhnya dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara
hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dinyatakan dalam Pasal 6A
UUD 1945, yaitu “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik gabungan-gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan
Pemilihan Umum”. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan setiap 5 tahun
sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL (Langsung,
Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil) yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan
Umum yang nasional, tetap, dan mandiri.
Indonesia pernah mengalami tiga bentuk demokrasi yaitu demokrasi Parlementer tahun 1945
sampai 1959, demokrasi Terpimpin tahun 1959 sampai 1965 dan demokrasi Pancasila tahun
1965 sekarang. Demokrasi pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian
dan falsafah hidup bangsa Indonesia, hal ini tertuang dalam pembukaan undang-Undang Dasar
1945. Adapun asas dari demokrasi pancasila terdapat pada sila keempat yaitu “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, dan dasar demokrasi
pancasila adalah kedaulatan rakyat dalam artian rakyat yang menetukan bentuk dan isi
pemerintahan yang sesuai dengan hati nurani dan kepentingan rakyat banyak dalam rangka guna
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan warga negara Indonesia.
Rakyat merupakan subjek demokrasi dalam negara Indonesia yaitu rakyat secara
keseluruhan mempunyai hak ikut serta dalam menentukan kebijakan melalui lembaga perwakilan
guna dijalankan oleh lembaga eksekuif demi kesejahteraan rakyat itu sendiri sehingga kebijakan
tersebut bukan atas keinginan sang penguasa negara (berbentuk absolut). Kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah dengan lembaga perwakilan rakyat harus melalui musyawarah dan
mufakat sungguhpun akan timbul perbedaan-perbedaan pendapat namun dapat diselesaikan
melalui aturan main dalam alam demokrasi Pancasila.
Sistem politik di Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, artinya tak ada demokrasi tanpa partai politik. Oleh
sebab itu sangat diperlukan sekali sebuah peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan partai politik yang bertujuan agar mampu menjamin pertumbuhan partai politik yang
baik, sehat dan profesional.
Kelemahan yang dimiliki oleh lembaga partai politik di Indonesia disebabkan kurangnya
perhatian dalam pengkaderan terhadap anggota-anggota partai itu sendiri. Partai politik
cenderung membangun partai massa dalam meningkatkan aktivitasnya hanya menjelang
pemilihan umum dan menganut sistem keanggotaan yang amat longgar serta belum memiliki
sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai juga belum mengembangkan sistem
pengkaderan dalam menciptakan kepemimpinan yang kuat sesuai dengan keinginan masyarakat.
Kelemahan menonjol pada partai politik pada saat ini adalah kurangnya intensif dan efektif kerja
15
partai itu sendiri, hal ini bisa diperhatikan bahwa sepanjang tahun sebahagian besar kantor partai
hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti seperti tidak memiliki rencana kerja partai
yang bersifat jangka panjang, menengah dan pendek.
Indonesia yang menganut presidential hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara
penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat,
stabil, dan efektif perlu didukung oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan sistem
kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen,
yang pada gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah
partai yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai
politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di sisi lain,
ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi
terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Partai selalu membedakan diri mereka dari organisasi dan inisiatif masyarakat sipil lain
dengan cara yang sangat mendasar. Hanya partai yang berjuang untuk mendapat kursi di
parlemen dan dengan demikian dapat ambil bagian menjalankan kekuasaan negara sesuai dengan
porsi keberhasilan mereka dalam pemilu. Partai merupakan bagian dari masyarakat dan bagian
dari negara pada saat yang bersamaan. Hal ini membuat mereka memiliki posisi penting secara
politik di dalam hubungannya dengan semua asosiasi politik lain. Karena posisi penting ini lah
maka semua organisasi politik lain tertarik untuk bekerjasama dengan sejumlah partai politik
karena hanya dengan cara ini mereka dapat mempromosikan sasaran politik mereka yang utama.
Partai-partai juga harus tertarik dengan masyarakat sipil yang aktif di tempat-tempat yang
masyarakat sipilnya mengklaim independensi dari partai politik. Ini harus dipertimbangkan
karena masyarakat sipil merupakan sumber energi yang paling penting untuk demokrasi dan
lahan yang subur untuk partai politik.
Partai-partai hanya akan dapat meraih partisipasi demokratis, kontrol kekuasaan, dan
integrasi politik di masyarakat apabila mereka berfungsi secara demokratis di dalamnya.
Agar dapat berfungsi seperti ini, tidak hanya dibutuhkan lembaga yang baik tetapi juga
budaya politik demokratis yang sama di dalam hati dan pikiran warga negara Semua orang harus
mengakui legitimasi partai lain di dalam kegiatan praktis mereka serta membatasi konflik yang
terjadi agar tidak merugikan demokrasi itu sendiri. Demokrasi internal partai juga tidak dapat
dianggap dan dipraktekan sebagai suatu kelemahan, tetapi lebih sebagai kekuatan partai dalam
bertindak.
17
DAFTAR PUSTAKA
‘David McKay, American Politics and Society, 6th Edition, (Malden: Blackwell Publishing,
2005)’
Efriza,Op.Cit,Hlm.314
‘Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/17009/%5B7%5D%20-%20BAB
%20II.Pdf?Sequence=6&isAllowed=y’
‘Https://Sejarahlengkap.Com/Organisasi/Sejarah-Partai-Politik’
Idzam Fautanu, Partai Politik Di Indonesia, (Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung
Djati:Bandung,2020), Hlm.4
Kacung Maridjan,Sistem Politik Di Indonesia,(Kencana Prenada Media:Jakarta,2010),Hlm.17
M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., Risalah Hukum Partai Politik Di Indonesia, Pusat Kajian
Konstitusi Dan Peraturan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
Februari 2015, Hlm.60
Maswadi Rauf, “Evaluasi Sistem Presidensial”, Dalam Moch. Nurhasim Dan Ikrar Nusa Bhakti
(Ed.), Sistem Presidensial Dan Sosok Presiden Ideal, Jakarta: Pustaka Pelajar Dan
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-AIPI, 2009, Hlm. 35.
Miriam Budiardjo,2012,Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia:Jakarta .Hlm.398
Miriam Budiardjo,Op.Cit,Hlm.417
‘Partono, “Sistem Multi Partai, Presidensial Dan Persoalan Efektifitas Pemerintah”, Makalah,
2010, Hlm. 3.’
Sabastian Salang, Potret Partai Politik Di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah,
Dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober
2007), Hlm. 3.
‘Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination,
Journal of Comparative Political Studies,Vol.26,No.2,1993,Hlm.204-2010’
Scott Mainwaring Dalam Hanta Yudha,Presidensialisme Setengah Hati,
(Gramedia:Jakarta,2010),Hlm.269
Sulardi, Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Setara Press:Malang,2012), Hlm.46
Teori Dasar Pemancaran Kekuasaan Dikemukakan Oleh Jhon Locke Yang Kemudian Diperkuat
Oleh Montesquieu Dalam Bukunya L’Esprit Des Lois (1784). Uraian Lebih Lengkapnya
Baca Yulia Neta Dan M.Iwan Satriawan,Ilmu Negara (Dasar-Dasar Teori
Bernegara),PKK-PUU FH
William Crotty, Asal Usul Dan Evolusi Partai Di Amerika Serikat,Op.Cit,Hlm.38
18