.
Daftar Pustaka- 60o
Bab IlI
Fragmentasi dan Polarisasi Sistem Kepartaian
Era Retormasi-63
Pengantar- 63
Problem Kepartaian Era Reformasi-67
Sistem Kepartaian Era
Fragmentasi Partai dan
Reformasi- 70
Kepartaian Era Reformasi -
79
Polarisasi Sistem
Penutup-94
Daftar Pustaka- 98
Bab IV
Politik 101
Presidensialisme-Multipartai dan Kartelisasi
-
Pengantar- 101
Problematika Presidensialisme-Multipartai dan Politik
Kartel: Tinjauan Teoretis-103
Kartelisasi Partai Politik Era Reformasi?-112
Penutup-127
Daftar Pustaka- 128
Lampiran-130
Bab V
Partai Lokal dan Problematika Penataan Sistem Kepartaian 133
Pengantar-133
Kelahiran dan Keberadaan Partai Lokal di Aceh --134
Fragmentasi Ideologi Partai Lokal di Aceh-144
Relasi Politik Partai Lokal di Aceh-154
Partai Politik Lokal Aceh dalam Konteks Sistem
Kepartaian
Nasional-165
Daftar Pustaka-172
Lampiran-176
Bab VI
Partai Politik dan Sistem
dan Penataan ke Depan- 183
Kepartaian Era Reformasi Analisis
Pengantar-183
aharaar i
Pasang Surut Parpol dan Sistem Kepartaian- 185
Sistem Multipartai dan Presidensialisme- 190
Sistem Kepartaian: Problem Jumlah atau Ideologi?-193
Mencari Format Multipartai Sederhana-197
Indeks 206
Bab I
Partai dan Sistem Kepartaian Era
Reformasi: Catatan Awal
Oleh: Luky Sandra Amalia dan Wawan lchwanuddin
Pengantar
atuhnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998 melahirkan
berbagai perubahan politik. B.J. Habibie yang menggantikan
Soeharto 'dipaksa' untuk segera merealisasikan beberapa refor-
masi politik, salah satunya memberikan kebebasan bagi setiap
warga negara untuk membentuk partai politik. Kebijakan ini
mendorong lahirnya banyak parpol baru selain tiga parpol yang
telah ada sebelumnya--Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Golkar. Menjelang Pemilihan
Umum 1999 tercatat ada sekitar 184 parpol baru yang terbentuk, di
mana 148 parpol di antaranya terdaftar di Departemen Kehakiman.
Beberapa reformasi politik lain yang terjadi pada masa pemerintahan Habibie
adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang dipercepat (menjadi Juni 1999
dari jadwal semula' pada 2002), pembebasan narapidana politik, desentralisast
kekuasaan politik, dan liberalisasi undang-undang pers. Marco Bünte and Andreas
Ufen, "The New Order and Its Legacy", dalam Bünte and Andreas Ufen (eds.),
Democratization in Post-Suharto Indonesia, London and New York: Routledge, 2009,
hlm. 3.
Reformasi
Partai dan Sistem Kepartaian Era
yang disahkan
salu
Era Reformasi 3
Partai dan Sistem Kepartaian
Tabel 1.1.
ke Masa
Masa
dari
Kepartaian
Sistem
Parlementer
Multipartai
27 parpol
36 peserta tanpa pemenang
Demokrasi 1955
pemilu mayoritas dengan
Parlementer
(parpol dan tingkat kompetisi
perorangan) tinggi
Multipartai yang Presidensial
10 parpol otoriter
disederhanakan
Demokrasi
Terpimpin dari atas
Presidensial -
1999 48 parpol 6 parpol Multipartai
Reformasi
tanpa pemenang demokratis
mayoritass
hanya Parlai Daulat Aceh (PDA) yang berhasil mendapatkan satu kursi pada
tingkal provinsi (DPRA). Sisanya, gagal melewati batas minimal perolehan
suara
ima persen. Artinya, mereka tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya dengan
Saifuddin
menggunakan nama partai yang sama. Dikutip dari Mawardi Ismail,
Bantasyam, Ben Hilman, Benjamin Reilly, op.cit., hln1.4.
Lili Romli (ed.), Pelembugaan Partai Politik Pascu Orde Burnu Studi Kasus Partai
Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS, Jakarta: P2P-1IPI, 2008, hln. 2
Lili Romli, "Pandangan Urang Awak terhadap P'artai Politik: Kasus Sumatra
7
Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi
emy uejee) iseuiojay eu3 uejeveday
uwajsis uep leued-1 qeg 8
84 uy pdo
PMe Snse 007 XPHOd (pa) sueH uippnsueás wejep
ETeA aueuaj 1PxereáseyW Isdasiad,, 'qe3uaj
LLOZ Henuef 0l 'svduoy 'qrenuej US
«
'seduoy jedepuad Helef,
-JYTeye[ '6007 1isDH L6 wy 'oLOZ 'LdI1
"1Iuad usqung isuno4d adda pas:umqysuoy
mo88uy uvaungnH uDBunispuoIN "(pa) Juisia»j
eqeury erpues Aynj uep ruuoyuvpH1
uanynsuoy ueauap XPS|PULIOH ISEJPN wejpp
uaueg ddda, 'eyreury erpues
Aynilo
PIsaUopuI [PAIng eaequaj uexn>ei!p 8uek
1BAns dnioy jesues Suek
Sues
1Snnsu dessueip jodied rut jees 18erannq
p$ueq qiqa1Sejenxi»q
uiduruad ueyiiuejau uep xIeq qiqa Suek qpjod isipuon
uexeidiouau 'jexeIekseu Isendse ueßuen(iaduau jodied seqy[eny
DIeqIaduuau nun tooz niiu»j Suejafuau uenounuiaq sne) qISeu
n ees uek nieq (odred-[odred uendueuax depeyra) upreÁ Yep)
eSeau uapuodsai sei;uOÁeuI
emyeq uepynlunuau Eoo eped yujod
eued depeyio] Jexerekseuu ISdasiad .eu3ßuau IdIT-4zd uenjaued
RÁuTpuojsnapsu/ ueeosad /seyeßuau ndweu unpq unyei ederoqaq
Pwejas jodied emqeq ueyynlunuau nqasi) Jedepuadyelel |iseH
odred epeday ekeorad q1seu ueyeeÁuau Bueh uopuodsa1 uas:d
ob eAues 'n erejuawas (uasrad 6tS) uapuodsai ynedas uep
YIq[ ueyeJeÁUIp eáuyepijas UI[od IsenIdse injekuad eueies eßeqas
jodred depeyuaj ueekeoiadepnay "u! ISeDjouap puejn isnajisu
nes yees epeday jeyeIeÁseuu ueeÁeDJad»y jeyâun .sSnparou yekueq
Pönl iu jees uerel1aq Suek jodred yugod yuyeid 'qeyeIeÁSeuI epeday
ueynyejauu werep jodred .ssuny
depequa] q!Iqnd
DIod uexIp!puad
Sueiny yiqa Suek esnl eues 1s1odoud
uedetkuad wejep wexaia]
uapuodsau uos1ad 6'g9
Toded ellauy ueßuap send xepy ueyejesuau
e u e u p o r o t i a N u e n q j e d e p u a d y e l e l u e ß u a p u e y ß u i p u e q ! p i e y ô u u d u u
exõuy jeyeseásvur Xpjod
ounapua uI uapuodsas uesendyepnay
uexinjeáuauu jey wejep Purniw
SeIdse uey8uenliaduau uep
E e d el1aury ue3uap
uexeJeÁuauI seduuoy depu»d
xepp send
jeduua .uep eaty 'uoe qem "prul qqoun
1P! (uasad E'SL) uapuodsas
wejep 1odivd vlinm
depeiqu.) n
EGPqS Au1s8unj ueyuejefuau
jrdep u vfitu e t
p s !qnd ueiejuad uep Jnynip,
Puejos
O
ne em
Sis
2.
tidak akan memberikan kontribusi yang
penataan sistem kepartaian
optimal, misalnya melalui penyederhanaan jumlah partai, jika parpol
institusi.
tidak bertransformasi dari sekadar organisasi menjadi
tersebut
Dalam konteks perbandingan politik, kedua persoalan
telah mendorong lahirnya kajian di kalangan ilmuwan politik
in New
Vicky Randall dan Lars Svasand, "Party Institutionalisation
Lemocracies", Party Politics, Vol 8, No 1, 2002, hlm. 6-10.
di suatu
dijadikan tolok ukur keberhasilan demokratisasi nezar
da
melainkan partai politik harus mampu menjalankan fungsinya
demiian. part
berkompetisi dalam pemilihan umum." Dengan
adalah suatu kelompc
politik, menurut Giovanni Sartori (1967),
politik yang mengikuti pemilihan umun dan melalui pemiiu i
mampu menempatkan calon-calonnya untuk mendudui jabatan-
jabatan publik.
Menurut Miriam Budiardjo, partai politik memilik empa:
fungsi," pertama, sebagai sarana komunikasi politik artinya parei
politik merupakan sarana untuk mengagregasi dan mengartikulasikan
aspirasi dan kepentingan masyarakat, baik secara perseoranga
maupun kelompok, untuk kemudian diperjuangkan melalui wakirya
yang berada di lembaga legislatif kepada pemerintah terkait
dengan
kebijakan publik, dan sebaliknya, partai politik juga berfungsi untuk
mendeseminasikan kebijakan pemerintah kepada
masyarakat
Kedua, partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi
artinya partai politik berfungsi untuk poinik
mensosialisasikan sistem
politik maupun fenomena politik kepada
politik sebagai sarana rekrutmen politik,
masyarakat. Ketiga, parta
merekrut artinya partai politik dapa?
masyarakat sebanyak-banyaknya untuk
dan selanjutnya dapat diusung dalam dijadikan kader
pemilihan umum. Keempat.
1
Edison Muchlis M
(ed.),
Baru, Jakarta: LIPI Press, 2007, Pelembagan Partai Politk i Indonesia
hlm3. Pasc-E
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Iimu Politik,
Utama, 2008, him. 405. Jakarta: Gramedia Pusa
2 Tbid, hlm. 405-409.
.
N