Anda di halaman 1dari 25

.

.
Daftar Pustaka- 60o
Bab IlI
Fragmentasi dan Polarisasi Sistem Kepartaian
Era Retormasi-63
Pengantar- 63
Problem Kepartaian Era Reformasi-67
Sistem Kepartaian Era
Fragmentasi Partai dan
Reformasi- 70
Kepartaian Era Reformasi -

79
Polarisasi Sistem

Penutup-94
Daftar Pustaka- 98
Bab IV
Politik 101
Presidensialisme-Multipartai dan Kartelisasi
-

Pengantar- 101
Problematika Presidensialisme-Multipartai dan Politik
Kartel: Tinjauan Teoretis-103
Kartelisasi Partai Politik Era Reformasi?-112

Penutup-127
Daftar Pustaka- 128
Lampiran-130
Bab V
Partai Lokal dan Problematika Penataan Sistem Kepartaian 133
Pengantar-133
Kelahiran dan Keberadaan Partai Lokal di Aceh --134
Fragmentasi Ideologi Partai Lokal di Aceh-144
Relasi Politik Partai Lokal di Aceh-154
Partai Politik Lokal Aceh dalam Konteks Sistem
Kepartaian
Nasional-165
Daftar Pustaka-172
Lampiran-176
Bab VI
Partai Politik dan Sistem
dan Penataan ke Depan- 183
Kepartaian Era Reformasi Analisis
Pengantar-183
aharaar i
Pasang Surut Parpol dan Sistem Kepartaian- 185
Sistem Multipartai dan Presidensialisme- 190
Sistem Kepartaian: Problem Jumlah atau Ideologi?-193
Mencari Format Multipartai Sederhana-197
Indeks 206
Bab I
Partai dan Sistem Kepartaian Era
Reformasi: Catatan Awal
Oleh: Luky Sandra Amalia dan Wawan lchwanuddin

Pengantar
atuhnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998 melahirkan
berbagai perubahan politik. B.J. Habibie yang menggantikan
Soeharto 'dipaksa' untuk segera merealisasikan beberapa refor-
masi politik, salah satunya memberikan kebebasan bagi setiap
warga negara untuk membentuk partai politik. Kebijakan ini
mendorong lahirnya banyak parpol baru selain tiga parpol yang
telah ada sebelumnya--Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Golkar. Menjelang Pemilihan
Umum 1999 tercatat ada sekitar 184 parpol baru yang terbentuk, di
mana 148 parpol di antaranya terdaftar di Departemen Kehakiman.

Beberapa reformasi politik lain yang terjadi pada masa pemerintahan Habibie
adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang dipercepat (menjadi Juni 1999
dari jadwal semula' pada 2002), pembebasan narapidana politik, desentralisast
kekuasaan politik, dan liberalisasi undang-undang pers. Marco Bünte and Andreas
Ufen, "The New Order and Its Legacy", dalam Bünte and Andreas Ufen (eds.),
Democratization in Post-Suharto Indonesia, London and New York: Routledge, 2009,
hlm. 3.

Reformasi
Partai dan Sistem Kepartaian Era
yang disahkan
salu

tercatat 141 partai politik sebagai


seleksie
Dari angka
tersebut,
yang lolos dan
di antaranya
dan hanya 48 parpol
partai politik Pemilu 1999
sebagai peserta
memenuhi persyaratan
sebanyak 21 parpol berha
Pemilu 1999,
Dari 48 parpol peserta Perwakilan Rakyat (DPR).
Dari 21 nars.
arpol
memperoleh kursi
di Dewan
ketentu»an
yang mampu mencapai
e n a m parpol
tersebut hanya untuk secars
(electoral threshold) dua persen cara
ambang batas pemilu
berikutnya, sebagaimana diatr
otomatis dapat mengikuti pemilu
Pemilu. Keenam parpol tersebut
dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang
Partai Golkar
Indonesia Perjuangan (PDIP),
adalah Partai Demokrasi
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Bulan Bintang (PBB).
(PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan
Namun, pemilu ini tidak menghasilkan satu pun partai politik yang
berhasil menjadi kekuatan mayoritas di DPR.2 PDIP sebagai partai
dari 500 kursi DPR3
pemenang Pemilu 1999 hanya berhasil meraih 153
Imbasnya, tarik-menarik kepentingan dan berlarut-larutnya proses
pengambilan keputusan menjadi fenomena baru yang semakin akrab
ditemui di DPR. Akibatnya, harapan masyarakat atas terbukanya
ruang politik yang lebih demokratis bagi rakyat tampaknya cenderung
sulit dipenuhi.
Demikian halnya dengan
Pemilu 2004. Kendati banyak
parpol
yang tidak memperoleh suara signifikan, parpol-parpol baru terus
saja bermunculan. Parpol-parpol tersebut berasal dari, antara lain:
parpol yang tidak lolos ambang batas pemilu
(electoral threshold)
pada pemilu sebelumnya yang kemudian
yang muncul akibat konflik internal
berganti nama; parpol baru
atau
pendirian parpol yang sama sekali baru. perpecahan partai;
dan
Meskipun setelah melalui
Syamsuddin Haris,
dan Urgensi "Dilema Presidensialisme di
Penataan Kembali Relasi Indonesia Pasca-Orde Baru
Ikrar Nusa Bhakti
(ed.), Presiden-DPR",
Sistem Presidensial dan dalam Moch. Nurhasim
Pelajar dan Asosiasi Ilmu Sosok Presiden Ideal, dan
Sebastian Salang,
Politik
Indonesia-AIPI, 2009,
Jakarta: Pustaka
M. hlm. 101.
Kinerja DPR/DPRD Djadijono, I Made Leo Wiratma, TA.
Menghindari
Sahabat, 2009, hlm. 23. Jeratan Hukum Bagi Legowo, Pandum
Anggota Dewan, Jakarta: Foru
rum

2 Bab- Pamai dme


proses verifikasi jumlah partai peserta pemilu berkurang setengah
dari pemilu sebelumnya, dari 48 parpol peserta pemilu menjadi 24
parpol, tetap saja jumlah parpol masih terbilang banyak. Dari 24
parpol peserta pemilu, ada 16 partai yang berhasil masuk ke DPR.
Dari 16 parpol tersebut hanya tujuh parpol, yaitu Partai Golkar, PDIP,
PPP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN, PKB, dan Partai Demokrat
yang mampu mencapai ambang batas pemilu (electoral threshold)
tiga persen. Selain itu, sebagaimana halnya hasil Pemilu 1999, pada
Pemilu 2004 juga tidak ada parpol yang berhasil memperoleh kursi
mayoritas di DPR. Partai Golkar sebagai partai pemenang Pemilu
2004 hanya berhasil memperoleh 127 dari 550 kursi DPR.
Dalam Pemilu 2009 jumlah parpol kembali meningkat, mendekati
jumlah pada Pemilu 1999. Pada Pemilu 2009 ketentuan ambang batas
pemilu (electoral threshold) pada Pemilu 2004 tidak berlaku lagi
karena UU No. 1o Tahun 2o08 tentang Pemilu menyatakan bahwwa
partai politik yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2004 dapat
mengikuti Pemilu 2009. Dengan demikian, 16 parpol yang memiliki
kursi di DPR hasil Pemilu 2004 secara otomatis menjadi peserta
Pemilu 2009 tanpa melalui proses verifikasi ulang. Setelah dilakukan
terhadap parpol-parpol baru, pada 7 Juli 20o8 Komisi
proses verifikasi
Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan jumlah parpol peserta
Pemilu 2o09 sebanyak 34 parpol nasional dan enam parpol lokal di
Aceh.
Namun, ada empat parpol nasional yang mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk dapat menjadi
Putusan
pesertapemilu. Gugatan empat parpol yang didasarkan pada
Mahkamah Konstitusi tersebut dikabulkan sehingga jumlah parpol
Namun
nasional peserta pemilu bertambah menjadi 38 parpol.
tidak berhasil
demikian, mayoritas parpol peserta Pemilu 2009
memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5
persen sehingga hanya sembilan parpol yang berhasil masuk ke DPR.
Media
KPU Terima Salinan Putusan PTUN",
"Gugatan Empat Parpol:
Indonesia, 15 Agustus 2008.

Era Reformasi 3
Partai dan Sistem Kepartaian
Tabel 1.1.
ke Masa
Masa
dari
Kepartaian
Sistem

Sistem Kepartaian Sistem


Peserta
Jumlah
yang Digunakan Pemerintahan
Pemilu Parpol di
Masa Pemilu yang Diterapkan
Parlemen

Parlementer
Multipartai
27 parpol
36 peserta tanpa pemenang
Demokrasi 1955
pemilu mayoritas dengan
Parlementer
(parpol dan tingkat kompetisi
perorangan) tinggi
Multipartai yang Presidensial
10 parpol otoriter
disederhanakan
Demokrasi
Terpimpin dari atas

Multipartai, tidak Presidensial-


10 parpol 10 parpo otoriter
Orde Baru 1971 ada persaingan
(Demokrasi antarpartai
Pancasila) Presidensial -
Multipartai yang
1977- 3 parpol 3 parpol
dipaksakan, tidak otoriter
1997
ada persaingan
antarpartai*)

Presidensial -
1999 48 parpol 6 parpol Multipartai
Reformasi
tanpa pemenang demokratis
mayoritass

2004 24 parpol 16 parpol Multipartai Presidensial


tanpa pemenang demokratis
mayoritas
Presidensial -
2009 38 parpol 9 parpol Multipartai
nasional tanpa pemenang demokratis
dan 6 parpol mayoritas
lokal (khusus
di Aceh)

Sumber: Diolah penulis dari berbagai sumber, 2012.


)Ada juga yang mengatakan sistem kepartaian yang berlaku pada masa ini menjurus
ke sistem
partai tunggal karena Golkar merupakan partai hegemoni
status quo. yang berjuang demi

Sementara itu, keberadaan


partai politik lokal di Aceh dapat
dikatakan sebagai anomali dalam sistem
kepartaian di Indonesia.
Mawardi Ismail, Saifuddin Bantasyam, Ben Hilman,
Politik Lokal di Indonesia: Sebuah
Uji Coba di
Benjamin Reilly, "Partal
Indonesia Governance Research Aceh", Policy Briefs, Australia
and Government ANU Partnership Crawford
College of Asia and the Pasific TheSchool of EconomicS
University, 2009, hlm.3-7. Australian Nationa
Babi Partai dan Sistem Kepartaian Era
Reformasi: Catatan Awal
Pertama, UU No. Tahun 2o06 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
sebagai landasan pembentukan parpol lokal di Aceh membatasi
untuk pemilu legislatif di tingkat
Dartisipasi partai lokal hanya
kata lain, partai lokal tidak
provinsi dan kabupaten/kota. Dengan
nasional untuk memilih
diizinkan untuk mengikuti pemilu legislatif
Partai Aceh sebagai pemenang pemilu
anggota DPR-RI. Akibatnya,
lokal tidak memiliki wakil di DPR-RI sebab 13 anggota DPR yang
nasional.
berasal dari dapil Aceh berasal dari partai
Kedua, meskipun UUPA memuat aturan yang membolehkan
waktu bersamaan untuk
anggota partai politik lokal Aceh pada
bergabung dengan partai nasional, namun undang-undang masih
belum menegaskan apakah anggota partai politik nasional juga bisa
Tahun
bergabung dengan partai politik lokal. Undang-Undang No. 2

2008 tentang Partai Politik justru mengisyaratkan bahwa anggota

partai nasional tidak dapat untuk bergabung dengan partai lokal.


Pasal 16 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik menyatakan bahwa keanggotaan di partai politik bisa
dicabut jika seorang anggota meninggal dunia, mengajukan surat
pengunduran diri, menjadi anggota partai politik lain, dan melanggar
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai bersangkutan.
Akibatnya, mereka yang memutuskan untuk bergabung dengan
partai lokal, sebagian besar berhenti dari keanggotaan partai nasional
atau dipaksa untuk mengundurkan diri. Contohnya, Harmen
Nuriqmar, anggota dari Partai Bintang Reformasi (PBR) dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh (DPRA), diberhentikan oleh
pengurus pusat partainya setelah dia mendirikan Partai Daulat Aceh
(PDA) tahun 2007. Contoh lain, Abdullah Saleh, mantan anggota
PartaiPersatuan Pembangunan (PPP) mundur dari partai berlambang
Ka bah tersebut
dan juga dari keanggotaannya di DPRA setelah dia
bergabung dengan Partai Aceh.
Ketiga, keganjilan lain adalah kenyataan bahwa mitra koalisi
parpol lokal-nasional akan tetap bersaing dalam pemilu lokal,
cDagaimana yang terjadi di antara Partai Aceh dan Partai Demokrat.

Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi5


informal menjelang pemilu,
Partai
Meskipun telah membentuk aliansi
salingberkompetisi dalam penily
Aceh dan Partai Demokrat tetap
kabupaten/kota di Aceh. Hasilnya, Partaj
dan
pada tingkat provinsi
setelah Partai Aceh dengan
urutan ke dua
Demokrat menempati
pemilu legíslatif provinsi
perolehan suara 1o,84 persen (1o kursi) pada di Aceh
parpol lokal ini
disebutkan sebelumnya,
Sebagaimana
dari UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
amanat
merupakan mendaftarkan diri
Aceh. Pada awalnya, terdapat 14 parpol yang
Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagai partai lokal di Departemen
lokal yang dinyatakan
(Depkumham) tetapi hanya enam parpol
Pemilu 2009 oleh Komisi
memenuhi persyaratan untuk mengikuti

Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Keenam partai tersebut adalan


Partai Aceh (PA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Aceh Aman
Sejahtera (PAAS), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)
Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Bersatu Aceh (PBA).
Partai Aceh, parpol lokal yang didirikan oleh kalangan mantan
GAM, tampil dominan di pemilu lokal sampai pada tingkat yang belum
pernah dicapai oleh parpol manapun sejak Pemilu 1999. Partai Aceh
berhasil memperoleh 46,91 persen suara dan 33 kursi dari total 69 kursi
DPRD provinsi dan lebih dari sepertiga kursi di 23 DPRDkabupaten/
kota. Partai Aceh secara mutlak mendominasi
tujuh DPRD kabupaten
dan menjadi partai terbesar di tujuh DPRD
Sementara itu, perolehan kursi DPR didominasi oleh Partai
kabupaten/kota lainnya.
Demokrat
yang bermitra dengan Partai Aceh dengan
memperoleh tujuh
dari
tiga belas kursi DPR yang diperebutkan.7
6Sebenarnya kondisi ini
memungkinkan untuk dilakukan di Aceh dan
Pasal 28 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2001 Papua.
Papua memungkinkan bagi penduduk Provinsi tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
politik lokal. Namun, ketentuan dalam Papua untuk membentuk partai
aturan lebih lanjut undang-undang
tentang tata cara pembentukan
tersebut tidak memberikan
politik lokal. Sementara itu, ketentuan maupun pembubaran partai
yang cukup lengkap tentang partai lokal
terdapat pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
lanjut tentang partai politik lokal di Aceh diatur Aceh. Ketentuan lebih
20 tahun 2007
tentang Partai Politik Lokal dengan Peraturan Pemerintah No.
di Aceh.
Sedangkan, perolehan suara
partai-partai lokal
tingkat provinsi. Di antaralainnya
meraih 6,62 persen suara di secara total hanya
lima partai lokal tersebut,
6 Babi Partai
dan Sistem Kepartaian Era Reformasi: Catatan
Awal
Selain keberadaanparpollokaldi Aceh yangmerupakankeganjilan
sistem multipartai dalam
dalam sistem kepartaian, di balik penerapan
ada banyak persoalan muncul
tiga kali pemilu pascaOrde Baru juga
dalam kepartaian di Indonesia. Di antaranya, persoalan kinerja parpol
dan inkompatibilitas sistem multipartai dengan sistem pemerintahan
banyak disinggung dalam
presidensial merupakan persoalan yang
diskusi akademis.
Pertama, buruknya kinerja parpol. Sebagai salah satu pilar
demokrasi, parpol merupakan wadah perjuangan bagi masyarakat
untuk mewujudkan kehidupan politik yang lebih baik. Masyarakat

semestinya bisa menyalurkan aspirasi dan kepentingannya melalui


parpol. Namun kenyataannya, keberadaan parpol tidak berbanding
lurus dengan fungsi yang diembannya. Parpol yang hadir masih
dianggap sebagai masalah ketimbang solusi bagi demokratisasi di
Indonesia. Secara umum, parpol hanya bekerja ketika menjelang
pemilu saja sehingga hubungan antara masyarakat sebagai pemilih
dengan parpol menjadi lemah.3 Selain itu, parpol juga cenderung
untuk lebih mementingkan partai, kelompok, dan pribadi° Ketidak-

percayaan tersebut, sebagaimana hasil penelitian Pusat Penelitian


Politik-Lembaga lImu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) pada 2010,
timbul karena orientasi partai politik terhadap kepentingan rakyat
cenderung dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Bahkan, parpol seringkali lupa memenuhi janji-janji kampanyenya
kepada konstituen setelah memperoleh kekuasaan. Ketidakpercayaan
masyarakat ini tidak hanya ditujukan kepada parpol lama, melainkan

hanya Parlai Daulat Aceh (PDA) yang berhasil mendapatkan satu kursi pada
tingkal provinsi (DPRA). Sisanya, gagal melewati batas minimal perolehan
suara

ima persen. Artinya, mereka tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya dengan
Saifuddin
menggunakan nama partai yang sama. Dikutip dari Mawardi Ismail,
Bantasyam, Ben Hilman, Benjamin Reilly, op.cit., hln1.4.
Lili Romli (ed.), Pelembugaan Partai Politik Pascu Orde Burnu Studi Kasus Partai
Golkar, PKB, PBB, PBR, dan PDS, Jakarta: P2P-1IPI, 2008, hln. 2
Lili Romli, "Pandangan Urang Awak terhadap P'artai Politik: Kasus Sumatra

Barat", dalam Syamsuddin Haris (ed), op it., hlm. 80.

7
Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi
emy uejee) iseuiojay eu3 uejeveday
uwajsis uep leued-1 qeg 8
84 uy pdo
PMe Snse 007 XPHOd (pa) sueH uippnsueás wejep
ETeA aueuaj 1PxereáseyW Isdasiad,, 'qe3uaj
LLOZ Henuef 0l 'svduoy 'qrenuej US
«
'seduoy jedepuad Helef,
-JYTeye[ '6007 1isDH L6 wy 'oLOZ 'LdI1
"1Iuad usqung isuno4d adda pas:umqysuoy
mo88uy uvaungnH uDBunispuoIN "(pa) Juisia»j
eqeury erpues Aynj uep ruuoyuvpH1
uanynsuoy ueauap XPS|PULIOH ISEJPN wejpp
uaueg ddda, 'eyreury erpues
Aynilo
PIsaUopuI [PAIng eaequaj uexn>ei!p 8uek
1BAns dnioy jesues Suek
Sues
1Snnsu dessueip jodied rut jees 18erannq
p$ueq qiqa1Sejenxi»q
uiduruad ueyiiuejau uep xIeq qiqa Suek qpjod isipuon
uexeidiouau 'jexeIekseu Isendse ueßuen(iaduau jodied seqy[eny
DIeqIaduuau nun tooz niiu»j Suejafuau uenounuiaq sne) qISeu
n ees uek nieq (odred-[odred uendueuax depeyra) upreÁ Yep)
eSeau uapuodsai sei;uOÁeuI
emyeq uepynlunuau Eoo eped yujod
eued depeyio] Jexerekseuu ISdasiad .eu3ßuau IdIT-4zd uenjaued
RÁuTpuojsnapsu/ ueeosad /seyeßuau ndweu unpq unyei ederoqaq
Pwejas jodied emqeq ueyynlunuau nqasi) Jedepuadyelel |iseH
odred epeday ekeorad q1seu ueyeeÁuau Bueh uopuodsa1 uas:d
ob eAues 'n erejuawas (uasrad 6tS) uapuodsai ynedas uep
YIq[ ueyeJeÁUIp eáuyepijas UI[od IsenIdse injekuad eueies eßeqas
jodred depeyuaj ueekeoiadepnay "u! ISeDjouap puejn isnajisu
nes yees epeday jeyeIeÁseuu ueeÁeDJad»y jeyâun .sSnparou yekueq
Pönl iu jees uerel1aq Suek jodred yugod yuyeid 'qeyeIeÁSeuI epeday
ueynyejauu werep jodred .ssuny
depequa] q!Iqnd
DIod uexIp!puad
Sueiny yiqa Suek esnl eues 1s1odoud
uedetkuad wejep wexaia]
uapuodsau uos1ad 6'g9
Toded ellauy ueßuap send xepy ueyejesuau
e u e u p o r o t i a N u e n q j e d e p u a d y e l e l u e ß u a p u e y ß u i p u e q ! p i e y ô u u d u u
exõuy jeyeseásvur Xpjod
ounapua uI uapuodsas uesendyepnay
uexinjeáuauu jey wejep Purniw
SeIdse uey8uenliaduau uep
E e d el1aury ue3uap
uexeJeÁuauI seduuoy depu»d
xepp send
jeduua .uep eaty 'uoe qem "prul qqoun
1P! (uasad E'SL) uapuodsas
wejep 1odivd vlinm
depeiqu.) n
EGPqS Au1s8unj ueyuejefuau
jrdep u vfitu e t
p s !qnd ueiejuad uep Jnynip,
Puejos
O
ne em

Sis

2.
tidak akan memberikan kontribusi yang
penataan sistem kepartaian
optimal, misalnya melalui penyederhanaan jumlah partai, jika parpol
institusi.
tidak bertransformasi dari sekadar organisasi menjadi
tersebut
Dalam konteks perbandingan politik, kedua persoalan
telah mendorong lahirnya kajian di kalangan ilmuwan politik

mengenai pelembagaan sistem kepartaian dan pelembagaan partai.


dan Lars Svasand,
Meskipun demikian, mengutip Vicky Randall
kadang-kadang terdapat kebingungan konseptual ketika kedua konsep
ini dianggap sama dan bisa dipertukarkan atau salah satunya menjadi

bagian dari yang lain. Konsep pelembagaan partai politik (political


oleh konsep pelembagaan
party institutionalization) diinspirasi
dikemukakan Samuel
politik (political institutionalization) yang
Societies
Huntington dalam bukunya Political Order in Changing
dan Lars
(1968). Setelahnya, banyak sarjana lain, seperti Vicky Randall
Svasand yang mendiskusikan lebih lanjut dan menyusun kerangka
konseptual yang lebih komprehensif mengenai konsep pelembagaan
Sementara itu,
partai politik (political party institutionalization).8
konsep sistem kepartaian telah berkembang lebih dulu.
Buku ini memfokuskan kajian pada evaluasi sistem kepartaian era
reformasi, yaitu mengenai realitas sistemkepartaian yang berkembang
selama era reformasi; problematika sistem kepartaian yang ada;
faktor-faktor yang melatarbelakangi realitas dan problematika ter-
sebut. Meskipun demikian, analisis mengenai realitas partai sebagai
institusi individual tidak mungkin dihindari. Berdasarkan uraian
di atas, pertanyaan yang dijawab pada buku ini, yaitu: (1). Apa saja
problematika sistem kepartaian di Indonesia era reformasi? (2).
Faktor-faktor apa yang melatarbelakanginya? (3). Mengapa sistem
kepartaian yang ada belum berkontribusi terhadap pembentukan
pemerintahan yang efektif? (4). Bagaimana desain sistem kepartaian
dalam konteks menganyam kembali demokrasi Indonesia ke depan?

in New
Vicky Randall dan Lars Svasand, "Party Institutionalisation
Lemocracies", Party Politics, Vol 8, No 1, 2002, hlm. 6-10.

Partai dan Sistem Kepartaian Era


Reformasi 11
Sistem Kepartaian
Kajian Teoretis Partaidan

Partai Politik dan Fungsinya


salah satu pilar democa
politik sering disebut sebagai
Partai
pengakuan atasadan
Keberadaan partai politik merupakan
Namun de
kebebasan berserikat dan menyampaikan pandapat
kuantitatit saja tidek bi
kian, keberadaan partai politik secara

di suatu
dijadikan tolok ukur keberhasilan demokratisasi nezar

da
melainkan partai politik harus mampu menjalankan fungsinya
demiian. part
berkompetisi dalam pemilihan umum." Dengan
adalah suatu kelompc
politik, menurut Giovanni Sartori (1967),
politik yang mengikuti pemilihan umun dan melalui pemiiu i
mampu menempatkan calon-calonnya untuk mendudui jabatan-

jabatan publik.
Menurut Miriam Budiardjo, partai politik memilik empa:
fungsi," pertama, sebagai sarana komunikasi politik artinya parei
politik merupakan sarana untuk mengagregasi dan mengartikulasikan
aspirasi dan kepentingan masyarakat, baik secara perseoranga
maupun kelompok, untuk kemudian diperjuangkan melalui wakirya
yang berada di lembaga legislatif kepada pemerintah terkait
dengan
kebijakan publik, dan sebaliknya, partai politik juga berfungsi untuk
mendeseminasikan kebijakan pemerintah kepada
masyarakat
Kedua, partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi
artinya partai politik berfungsi untuk poinik
mensosialisasikan sistem
politik maupun fenomena politik kepada
politik sebagai sarana rekrutmen politik,
masyarakat. Ketiga, parta
merekrut artinya partai politik dapa?
masyarakat sebanyak-banyaknya untuk
dan selanjutnya dapat diusung dalam dijadikan kader
pemilihan umum. Keempat.
1
Edison Muchlis M
(ed.),
Baru, Jakarta: LIPI Press, 2007, Pelembagan Partai Politk i Indonesia
hlm3. Pasc-E
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Iimu Politik,
Utama, 2008, him. 405. Jakarta: Gramedia Pusa
2 Tbid, hlm. 405-409.

12Babi- Pamai dan Sistem Kepartaian Era


Reformasi: Catatan Awa
partai politik berfungsi sebagai sarana pengatur konflik, artinya partai
politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional
antara warga negara dengan pemerintah.
Menurut La Palombara dan Weiner, partai politik ideal adalah,
pertama, parpol yang memiliki basis massa memadai dan hubungan
atau jaringan luas di berbagai daerah atau dengan kata lain berakar
di masyarakat. Kedua, parpol tersebut melakukan kegiatan yang
berkesinambungan, baik untuk mengontrol kekuasaan, menyuarakan
aspirasi politik masyarakat, maupun dalam mengusulkan suatu
kebijakan. Kegiatan tersebut tidak terhenti meskipun pemilu berakhir
dan tidak terpengaruh oleh pergantian kepengurusan partai. Ketiga,
berupaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalan
pemerintahan sebagai bagian utama dari upaya mewujudkan tujuan
dan kepentingannya. Terakhir, partai politik tersebut ikut serta dalam
pemilu untuk menempatkan kader-kadernya dalam pemerintahan
dan jabatan publik.a
Kenyataannya, partai politik belum menjalankan fungsinya
dengan baik. Menurut Arbi Sanit, kegagalan partai politik untuk
memperbarui dan mendemokratisasikan diri sesuai dengan tuntunan
reformasi dapat dibagi ke dalam empat ruang lingkup kegagalan,
yaitu kegagalan organisasi dan institusi; kegagalan kepemimpinan;
kegagalan ideologi; dan kegagalan taktik dan strategi."
Kegagalan organisasi dan institusi tampaknya dialami oleh

hampir semua parpol. Kegagalan ini disebabkan tidak adanya tradisi


berorganisasi secara rasional, kolegial, demokratis, dan bertanggung
jawab di dalam partai sebab tidak jarang keputusan dan pilihan politik
ditentukan secara sepihak dan oligarkis oleh segelintir orang bahkan

seorang pemimpin partai saja. Contohnya, di Partai Demokrat semua


keputusan politik berpulang kepada keputusan SBY sebagai Ketua
Dewan Pembina.

2 Ramlan Surbakti, Memahami lmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm.114


115
2Syamsuddin Haris (ed.), op.cit, hlm. 178-180.
Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi 1 3
Pertama, sistem partai tunggal adalah sistem yang didominasi
oleh satu partai di parlemen. Bentuk sistem partai tunggal antara lain
partai tunggal totaliter, otoriter, dan dominan. Dalam sistem partai
tunggal totaliter terdapat satu partai yang menguasai pemerintahan
dan militer, bahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai
tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan
dinegara-negarakomunis dan fasis. Sementara itu, dalam sistem partai
tunggal otoriter sebenarnya terdapat lebih dari satu partai tetapi ada
satu partai besar yang digunakan oleh penguasa untuk memobilisasi
massa dan mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partai-partai
lain kurang dapat menampilkan diri karena ruang geraknya dibatasi
penguasa. Dengan kata lain, partai dikuasai oleh pemerintah dan
militer. Contoh partai tunggal otoriter adalah Partai Uni Nasional
Afrika Tanzania (UNAT) dan Partai Aksi Rakyat Singapura.
Lain halnya dengan sistem partai tunggal dominan. Dalam sistem
ini meskipun terdapat lebih dari satu partai tetapi hanya satu partai
saja yang dominan (secara terus-menerus berhasil mendapatkan
dukungan untuk berkuasa), sedangkan partai-partai lain tidak mampu
menyaingi partai yang dominan walaupun terdapat kesempatan
yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui pemilihan umum.
Contoh partai tunggal dominan adalah Partai Liberal Demokrat di
Jepang hingga tahun 2007.
Kedua, sistem dua partai, sesuai dengan namanya, merupakan
sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat dua partai utama
yang bersaing dalam pemilihan umum. Partai-partai kecil hanya
berpengaruh apabila dalam pemilu selisih perolehan suara kedua
partai besar sangat kecil. Dalam sistem ini terdapat pembagian
tugas yang jelas yakni partai yang memenangkan pemilu menjadi
partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah dalam pemilu
menjadi oposisi yang loyal terhadap kebijakan pemerintah. Pada
dasarnya, tidak banyak perbedaan mengenai asas dan tujuan politik
di antara kedua partai. Perbedaannya hanya pada titik berat dan cara
menyelesaikan persoalan. Sistem ini biasanya menggunakan sistem

Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi 5


J
baru.7
luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan
Dalam perkembangannya, sistem kepartaian berbasis jumlah
Sartori yang
partai terus mengalami modifikasi,8 di antaranya
berpendapat bahwa penghitungan jumlah partai tidak
semata-mata
harus didasarkan
pada perolehan kursi di parlemen, melainkan juga
tidak
pada potensi koalisi dan blackmail (parpol yang dianggap
bisa
layak untuk ikut dalam pemerintahan oleh parpol lain, tetapi
memengaruhi arah koalisi di parlemen). Pendapat lain mengenai
sistem kepartaian berbasis numerik ini dikemukakan oleh Markku
efektif
Laakso dan Rein Taagepera yang menggunakan rumus jumlah
partai (efective number party-ENP), sebagai berikut:
ENP 1/ (s)*
Jumlah efektif partai dihitung dengan cara jumlah total proporsi
kuadrat kursi yang dimiliki semua parpol dihitung dan dikurangkan
dimiliki i dan adalah
1.
S, adalah proporsi kursi parlemen yang partai
jumlah total proporsi kuadrat kursi yang dimiliki semua partai.
Sementara itu, menurut Riswanda Imawan, sebagaimana dikutip
oleh Sigit Pamungkas, setidaknya ada dua faktor yang menentukan
kinerja sebuah sistem kepartaian.9 Pertama, jumlah partai yang
ada. Kedua, independensi partai-partai yang ada. Jumlah partai
menentukan kompleksitas interaksi atau kompleksitas konflik yang
ada dalam masyarakat. Bila jumlah partai terlalu banyak, bisa jadi isu-
isu yang kurang penting atau kurang relevan dibicarakan pada tingkat
negara masuk dalammekanisme politikyang berlangsung.Sebaliknya,
jika jumlah partai terlalu sedikit sementara masyarakatnya plural,
maka bisa jadi akan terjadi simplifikasi terhadap aspirasi masyarakat
berkembang.
Realitas konfigurasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR
menyebabkan pihak eksekutif harus membangun koalisi dengan
Ibid., hlm. 420.
dari Sigit Pamungkas, Parlai Politik Teori dan Praktik di Indonesia,
Dikutip
Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011, hlm45-46.
Tbid, hlm.59-60.
Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi 1 7
ili.
D

.
N

Anda mungkin juga menyukai