Anda di halaman 1dari 7

Korporatokrasi Cita Rasa Baru Berdemokrasi

Igrisa Majid Said


(Mahasiwa Indonesia Jentera School of Law)

Salah satu agenda demokrasi adalah penyelenggaraan sistem kekuasaan yang terbuka
dan akuntabel. Namun, di balik penyelenggaraan kekuasaan kerap terjadi berbagai
praktik terselubung yang melibatkan para pemilik modal untuk menunjang kepentingan
tertentu. Indiktornya adalah adanya ketergantungan modal kampanye untuk
kebutuhan konsolidasi pemenangan kandidat di ajang kontestasi pemilihan kepala
daerah. Di sisi lain, ada mitra kebijakan yang menjadi sebab akibat. Pada tataran ini,
para pemilik modal menjadi dalang untuk mempengaruhi semua aspek kebijakan, dari
tahap perumusan, pengesahan hingga penerapan. Ada semacam strategi dan taktik
proxy di dalamnya.

Strtategi proxy seperti di atas, menurut penulis, adalah startegi untuk memperkuat
hegemonisasi di segala aspek kebijakan, terutama menyangkut kepentingan pemodal,
juga menguntungkan penguasa secara jangka panjang. Sebab, hegemoni dalam tataran
ini telah diagitasikan melalui cara korporatisme.

Oleh karena itu, - sebagaimana judul tulisan ini- terminologi korporatokrasi mungkin
belum terlalu familiar di khalayak publik. Berbeda dengan sistem demokrasi yang
memang sudah menjadi lahapan sehari-hari, bahkan dapat disaksikan langsung seluk-
beluk implementasinya dalam berwarganegara. Memang, korporatokrasi ini umumnya
muncul ketika demokrasi diterapkan di sebuah Negara, dan sistem kekuasaan yang
demokratis niscaya melindunginya.

Pada tahun 2017, John Perkins, seorang bandit ekonomi dunia mengembangkan istilah
‘’korporatokrasi’’ melalui bukunya berjudul The New Confenssions of an Economi Hit
Man, menjelaskan sistem yang dikendalikan penguasaan korporasi. Dalam
pengakuannya, ia mengatakan bahwa kini publik global sedang dalam sedang
dikerangkeng oleh gabungan kekuatan besar yang terdiri dari korporasi yang bertemali
dengan kekuatan politik untuk memakasa rakyat mengikuti kehendaknya.

Hampir senada dengan Perkins, Hanna Holleman dan R. Jamil Jonna, dua orang
mahasiswa doktor Universitas Oregon , dalam The War for Control of the Perihpery,
sedikit memunculkan penyakit korporatokrasi yang berbeda, yakni kurang lebih
menyebutkan bahwa dalam sistem korporatokrasi telah meniscayakan adanya unsur-
unsur penyogokan untuk kepentingan elektoral (Pemilu), ancaman, bahkan
penghilangan nyawa.

Hegemoni korporasi ditandai oleh peraturan perundang-undangan yang berlaangsung


pada rezim Soeharto hingga saat ini. Peraturan tersebut adalah UU No 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing, UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang
Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi I dan II. Kuatnya arus hegemoni
ini hingga mengantaran Indonesia memasuki tren baru yang diistilahkan jual murah,
jual cepat, dan jual habis untuk memperkaya korporasi.

Selanjutnya, ketika memasuki pasca reformasi, daerah-daerah di Indonesia masih


terwarisi oleh kebiasaan tersebut, yakni masih terjadi kerja sama antar pemerintah dan
pihak korporasi. Terutama mendekati masa pilkada dan tahun politik untuk
membiayai segala jenis kebutuhannya.

Oleh karena itu, fenomena korporatokrasi yang terbentang dalam jagad demokrasi
Indonesia saat ini, setidaknya dapat diukur dengan beberapa hal yang akan dibahas
selanjutnya, yakni pengelolaan sumber daya alam dengan dalih kesejahteraan dan
pembangunan, dan adanya penyakit terkutuk yang bernama korupsi di tingkat
pemerintah daerah.
Fakta Korupsi di Tubuh Pemerintah Daerah

Tak bisa disangkal bahwa sepanjang dekade tata kelola pemerintahan daerah di sektor
pengelolaan sumber daya alam pada era refromasi tergolong buruk. Kebijakan masih
memberi celah bagi korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam, ketimbang
upaya konstruktif untuk menemukan solusi yang baik demi kepentingan daerah secara
berkelanjutan.

Apalagi, kerap terjadi miss conception ketika menerjemahkan aturan yang berlaku.
Tentunya, hal ini berdampak pada penyalahgunaan kekuasan di tingkat daerah dan
mengakibatkan timbulnya beragam praktik korupsi. Di samping itu, penyalahgunaan
kekuasaan ini juga diperparah dengan motif pemberian fee yang cukup menggiurkan.

Hal-hal demikian dapat dikategorikan sebagai ketidakmampuan pemerintah daerah


memaksimalkan fungsi sebagai pemegang kekuasaan dengan baik. Ketidakmampuan
lainnya adalah kurangnya kreativitas lain untuk mencanangkan aneka program agar
bisa menambah pendapat asli daerah (PAD). Di samping itu, transapransi dan
akuntabilitas kebijakan pun masih terkesan tidak mempersempit peluang bagi hegemoni
korporasi.

Akibat dari semua ini, dapat kita lihat dalam pemberitaan mengenai daerah-daerah
yang mengalami defisit puluhan milliard rupiah untuk menutupi semua kebutuhannya,
sehingga mau dan tidak mau harus menggandeng pihak korporasi. Meskipun agak
berbeda karena lebih cenderung pada korporasi domestik, atau dengan kata lain pihak-
pihak swasta dalam negeri. Padahal, porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang dikucurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
terbilang cukup fantastis.

Faktanya, ada banyak rentetan kasus korupsi menyangkut izin sumber daya alam yang
melibatkan para kepala daerah dan pihak korporasi. Misalnya, pada tahun 2017 Bupati
Kertanegara Rita Widyasari ditahan oleh KPK, karena diduga menerima suap terkait
izin lokasi inti dan plasma perkebunan sawit dari Direktur Utama PT. Sawit Golden
Prima sebesar Rp 6 miliar.

Masih pada tahun yang sama, Walikota Kota Cilegon, Tubagus Iman Aryadi, menerima
suap izin amdal PT. Transmart sebesar 1,5 milliar. Bupati Subang Imas Aryumningsih,
terjerat kasus suap terkait perizinan pendirian pabrik PT. ASP dan PT. PBM. Setahun
berikutnya, kasus yang tidak kalah mencengangkan melibatkan Gubernur Sulawesi
Tenggara, Nur Alam yang diduga memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2.781.000.000
dan PT. Billy Indonesia Rp 1.593.604.454.137.

Memasuki tahun 2019, KPK berhasil mencium aroma korupsi di lingkaran pemerintah
Kabupaten Kotawaringin Timur, yang mana kerugian Negara mencapai 5, 8 trilliun.
Kerugian ini jelas cukup fantastis, Bupati akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Selain
Supian Hadi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menetapkan tersangka yang
melibatkan tiga perusahaan besar di antaranya PT. FMA (Fajar Mentaya Abadi), PT. BI
(Billy Indonesia), dan PT. AIM (Aries Iron Mining). Kerugian ini diduga hasil dari
produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan, serta kerugian kehutanan
akibat produksi dan kegiatan pertambangan.

Sementara itu, di Maluku Utara, terdapat 29 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
tumpang tindih. Disinyalir, ada desain yang melibatkan Gubernur dan pihak kelompok
kepentingan yang sistematis. Penulis sepakat dengan sebuah ungkapan yang
disampaikan oleh Laode M. Syarif (Komisioner KPK), bahwa korupsi di bidang Sumber
Daya Alam (SDA) bukan hanya persoalan hilangnya uang Negara, tetapi kegagalan
pengelolaan SDA untuk kemakmuran rakyat.

Dalih Kesejahteraan

Lagi-lagi alasan mengenai pengelolaan sumber daya alam adalah demi kesejahteraan
masyarakat. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 35 ayat 3 sangat gamblang
menyebutkan, ‘’Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’’ Wujud dari
kesejahteraan ini tidak lain adalah agar bisa terbukanya sektor lapangan kerja seluas-
luasnya.

Di tengah gelombang demokrasi modern ini pemerintah daerah mesti dapat


memastikan sektor industri bisa terhubungkan dengan baik sesuai cita-cita Negara.
Sementara masyarakat tidak begitu saja dijadikan bagian dari komponen
pembangunan, melainkan harus menjadi sasaran utama pembangunan untuk masa
depan daerah.

Potret daerah-daerah di Indonesia sekarang adalah wajah buruk Negara. Efisiensi


pengelolaan sumber daya alam bisa terbilang cukup buruk. Angka kemiskinan dan
pengangguran membludak. Kesenjangan terjadi di mana-mana. Klaim data pemerintah
tidak bisa dipercaya begitu saja, bahwa kemiskinan kini sudah mulai menurun.

Kalau mau jujur, kebijakan di sektor tersebut tidak telalu populis dalam diskursus politik
pemilihan kepala daerah. Agenda pengentasan kemiskinan tidak terlalu jelas arahnya.
Para calon kepala daerah yang berhasil terpilih tidak memiliki blue print yang jelas
mengenai kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, kemiskinan meningkat, dan
pengangguran bertambah.

Oleh karena itu, tidak mengurangi rasa hormat penulis terhadap kinerja pemerintah,
maka penulis bisa menyatakan bahwa ada dramaturgi pemerintah dan kelompok
kepentingan yang mementingkan kepentingan belaka. Bagaimana tidak? Tren
industrialisasi di sektor pengelolaan sumber daya alam tengah mengabaikan sejumput
rangkaian regulasi sebagai pedoman. Meskipun, ada banyak fakta yang janggal
mengenai regulasi itu sendiri di berbagai sisi. Padahal, kesejahteraan sendiri telah
menjadi tujuan utama bernegara yang telah disepakati bersama ketika republik ini
bermula.

Oleh karena itu sebagai warga Negara yang mendambakan kesejahteraan, pihak
korporasi harus berkontribusi dalam upaya mendorong perubahan dalam akselerasi
pertumbuhan ekonomi, berupaya dalam mengurangi tingkat siklikal pengangguran serta
menciptakan keadilan bagi tenaga kerja siap pakai.

Kekuasaan tanpa Ketergantungan

Benar kiranya, jika peran korporasi dan pemerintah tidak berasosiasi untuk
mengesampingkan batas etis demokrasi. Adanya kemampuan menciptakan iklim
demokrasi yang bebas dari intervensi. Jangan karena the cost of power yang
membumbung, maka ada ketergantungan baiay kontestasi dijadikan prasyrat utama,
sebab sudah ada regulasi yang mengatur. Jika demikian, syarat berdemokrasi haaya
dijadikan sebagai sistem dan prasyarat untuk merampok sumber daya alam.

Salah satu cara moderat dalam mengintervensi kekuasaan, menurut pandangan Yudi
Latif adalah menggunakan gaya baru yang estetik. Maksudnya adalah perampokan
sumber kekayaan alam melalui tahapan prosedur demokrasi. Jadi, ada cara yang yang
seolah-olah dibaca public bahwa gaya tersebut memang memenuhi esensi
berdemokrasi. Penulis buku Negara Paripurna ini membandingkan fase militeristik
zaman Orde Baru dan Pasca Reformasi dengan suguhan data yang berbeda. Ia
menyebutkan bahwa menjelang akhir Orde Baru hanya terdapat 900 Izin Pertambangan
(IUP), sedangkan reformasi setelah 16 tahun kemudian terdapat 11 ribu. Dalam analisis
penulis, berarti dua fase berbeda ini, sama-sama memberikan celah bagi korporasi. Ada
ungkapan menarik dari Fachri Ali, dalam suatu kesmpatan menyatakan, dulu ada
dwifungsi ABRI, sekarang ada dwifungsi pengusaha. Apalagi tren korporasi secara
factual sudah merasuki kekuatan partai politik, yang itu jelas menjadi syarat utama di
luar jalur indepneden pada setiap perhelatan pemilihn kepala daerah. Kita bisa lihat,
nyaris seluruh partai politik ketua umumnya adalah berlatar belakang pengusaha.

Kekuasaan Tanpa Dominasi Korporasi.

Matinya Demokrasi di Tangan Korporasi


Piranti demokrasi yang digadang-gadang akan mengikat kencang sistem bernegara dan
mampu menyelamatkan segala sumber daya, justru melonggarkan kaki tangn tirani
melibas habis kekuasaan.

Tidak salah jika Steven dan Daniel Zibalet menulikan buku berjudul How Democracies
Die bahwa malapetaka demokrasi berdampak luass terhadap sistem ketatanegaraan
kita. Kedua penulis ini juga mengutip Danielle Allen, bahwa Kenyataan sedrhananya,
dunia belum pernah membangun satu demokrasimul

Anda mungkin juga menyukai