Anda di halaman 1dari 5

Nama : Alifian Amani

Nim : 11211120000110
Kelas : Ilmu Politik 2B
Email : alifian.amani21@mhs.uinjkt.ac.id

Koalisi Partai Politik


Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang koalisi partai politik. Mungkin kita harus
mengerti dahulu apa yang dimaskud dengan koalisi dan bagaimana proses sebuah terjadinya
koalisi . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi adalah kerja sama antara beberapa
partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen.
Pada sistem multipartai, koalisi sangat dibutuhkan yang mana kondisi ini tidak dapat
dihindarkan. Pemerintahan koalisi merupakan pemerintah yang terbentuk dari bergabungnya dua
atau lebih partai politik untuk membuat pemerintahan sehingga berjuang pada pembagiaan
kekuasaan di kabinet (Simarmata 2014: 33).
1. Definisi Koalisi Partai Politik
Koalisi merupakan sebuah pengelompokan aktor – aktor politik pesaing untuk dibawa
bersama baik melalua persepsi ancaman bersama, atau pengakuan bahwa tujuan mereka dicapai
dengan berkerja secara terpisah (Sigit 2011: 77). Jadi, yang dimaksud dengan koalisi ialah
pengabungan atau bergabunya dua atau beberapa partai politik untuk mencapai tujuan tertentu.
Perolehan suara secara mayoritas oleh salah satu partai politik dalam pemilahan umum yang
tidak sampai pada angka lebih dari 50% lebih bagi salah satu partai menegaskan perlu adanya
sebuah koalisi untukada menjalankan pemerintahan (Haniah dan Suryani 2011: 175).
Konsep koalisi lazimnya menunjuk pada perseketuan dua partai atau lebih yang
didasarkan pada kepentingan politik dan platform haluan politik yang sama. Pemerintahan
koalisi lazimnya adalah pemerintahan gabungan partai – partai di dalam sistem parlementer yang
berbasis multipartai. Namun kosep koalisi pemerintahan yang didukung oleh lebih dari satu
partai di dalam konteks sistem presidensial (Syamsuddin 2016:3).
Dalam Perspektif teori pilihan rasional, ada dua pendekatan umum yang menjelaskan
mengapa partai – partai politik melakukan koalisi, yaitu office-seeking dan policy-seeking.
Riker berasumsi dalam teori office-seeking, bahwa koalisi partai politik didorong oleh
hasrat mendapat kekuasan bai di ranah eksekutif maupun legislatif, Sedangakn dalam teori
policy-seeking Axeloard memodifikasi asumsi Riker, partai politik memang memiliki tujuan
untuk memperoleh kekuasaan akan tetapi dalam derajat tertentu juga harus mempertimbangkan
tujuan yang lebih esensial yaitu terpercaya cita-cita yang lebih ideal dalam bentuk kebijaksanaan
(Sumadinanta 2016: 183-184).
2. Sumber Daya Koalisi
Studi paling klasik tentang koalisi menempatkan besaran kekuatan partai (size of party
power) sebagai sumberdaya penentu terbentuknya koalisi partai. Pada perspektif ini, distribusi
asimetrik sumberdaya diantara partai-partai akan melahirkan hasil yang berbeda. Jumlah partai
mempengaruhi tujuan koalisi dan masing-masing aktor koalisi memiliki tujuan khusus.
Theodore Caplow dalam “A Theory of Coalition in The Trial” membuat simulasi
kemungkinan koalisi dari tiga kekuatan (triad) yang berbeda. Kemungkinan koalisi dari triad
dibangun atas sejumlah asumsi berikut:
1. Anggota triad mungkin berbeda kekuatannya. Anggota yang lebih kuat dapat mengontrol
anggota yang lebih lemah dan akan berusaha melakukannya.
2. Setiap anggota triad mencari kontrol atas anggota yang lain. Kontrol atas dua yang lain lebih
disukai daripada mengontrol satu lainnya. Kontrol atas satu yang lain dipilih daripada tidak ada
yang dikontrol.
3. Kekuatan adalah bertambah. Kekuatan koalisi adalah setara dengan jumlah kekuatan dari dua
anggota.
4. Formasi koalisi berlangsung dalam situasi triadik, dengan demikian ada suatu kondisi pra-
koalisi di setiap triad. Setiap upaya yang dilakukan oleh anggota yang lebih kuat untuk memaksa
anggota yang lebih lemah kedalam penggabungan koalisi yang tidak menguntungkan akan
memprovokasi pembentukan koalisi yang menguntungkan untuk menentang paksaan.
Berdasarkan asumsi tersebut suatu triad akan melahirkan enam tipe koalisi.
1. Tipe 1: Ketiga anggota kekuatannya sama. (A=B=C)
2. Tipe 2: Salah satu anggota lebih kuat daripada dua lainnya. (A>B, B=C, A< [B+C])
3. Tipe 3: Dua anggota triad adalah sama dalam kekuatan. (A<B, B=C)
4. Tipe 4:Kekuatan salah satu anggota melebihi kekuatan gabungan dua anggota lainnya.
(A> [B+C])
5. Tipe 5: Tidak ada anggota triad dengan kekuatan sama atau setara tetapi gabungan dari
dua
(A> anggota lainnya dapat melebihi salah satu kekuatan anggota yang terbesar.
(B> (A>B>C, A< [B+C])
6. Tipe 6: Tidak ada anggota triad dengan kekuatan sama dan gabungan dari dua anggota
(A> lainnya tidak dapat melebihi kekuatan salah satu anggota yang terbesar.
(B> (A>B>C, A> [B+C])
Sementara itu Gamson menyebutkan empat argumen teoritikal bagi terbentuknya sebuah
koalisi. Secara umum argumen itu mengatakan bahwa terbentuknya koalisi tidak semata-mata
dibangun atas kalkulasi sumberdaya, tetapi ada dimensi-dimensi lain yang mendorong
terbentuknya koalisi. Ke empat argumen teoritik adalah sebagai berikut.
1. Teori Sumberdaya-Minimum (Minimum-Resource Theory). Teori ini menekankan
sumberdaya yang dibawa pemain koalisi. Diasumsikan pemain memaksimalkan pembagian
keuntungan berdasarkan norma persamaan, yaitu pembagian keuntungan sama dengan besaran
sumberdaya yang dibawa oleh pemain.
2. Teori Kekuatan Minimum (Minimum-Power Theory). Teori ini menekankan pada
perbandingan kekuatan relatif pemain daripada distribusi sumberdaya yang dimiliki.
3. Teori Anti Kompetisi (Anticompetitive Theory). Dinyatakan bahwa sikap tentang kompetisi
dan tawar menawar, perbedaan personalitas, dan faktor-faktor lainnya akan memimpin pemain-
pemain untuk membentuk koalisi yang lebih besar daripada koalisi ukuran minimum.
4. Sama sekali membingungkan / Pilihan Acak (Utter confusion / Random Choice). Pendekatan
ini mengasumsikan bahwa banyak situasi koalisi yang tidak kondusif untuk dianalisis dan
dihitung secara rasional (Sigit 2011: 78-81).
3. Motif Koalisi
Koalisi juga memiliki motif koalisi. Hinckley, melalui simulasi tiga aktor dengan
distribusi sumberdaya yang berbeda, menyebutkan tiga motif dalam sebuah koalisi.
Diasumsuikan aktoraktor koalisi adalah A, B, dan C, dengan sumberdaya yang dimiliki A lebih
besar daripada B, B lebih besar daripada C, tetapi penggaungan B dan C lebih besar daripada A
(A>B>C, A<B+C). Berdasarkan simulasi itu, tujuan dari koalisi diantara ketiga aktor itu
diantaranya adalah :
1. Mencari efesiensi (seek efficiency) biaya untuk keuntungan koalisi dengan bergabung dalam
koalisi kekuatan minimum (minimum winning coalition).
2. Menjadi pemegang kontrol (seek control) dalam koalisi dengan bekerjasama atau bergabung
dengan partner terlemah.
3. Mengamankan diri (seek security) dari beberapa situasi, yaitu berkoalisi dengan pemegang
sumberdaya terbesar (Sigit 2011: 84).
Menurut Hinckley yang dikutip kembali oleh Sigit Pamungkas (2011), B efisien
mengontrol C dan aman dengan memilih A tetapi tidak bisa memegang kontrol. Pemain A
efisien dengan C, aman dengan B, dan dapat mengontrol keduanya. Dapat diartikan pula A
mencari aman, B mencari penguasaan kontrol, dan C efisiensi, prediksi yang muncul koalisi
antara B dan C.
Sementara itu dalam sistem banyak partai yang tidak memerlukan koalisi jika salah satu
partai memiliki suara mayoritas yang mutlak. Meskipun demikian, ada beberapa kasus bahwa
partai pemenang memilih berkoalisi dengan partai lainnya untuk berbagi tanggung jawab
kekuasaan, sebab koalisi dalam sistem multi partai memperkuat posisi partai di parlemen.
Koalisi berfungsi memaksimalkan keuntungan, menginginkan satu hal, beberapa aktor
menganggap kemenangan lebih berarti dari pada yang lainnya dan ketika tidak menguntungkan
ia keluar.
Katz dan Mair yang dikutip kembali oleh Sumadinanta (2016: 184) mengajukan teori
tentang koalisi yaitu, bahwa semua partai besar memiliki kepentingan yang sama, yakni
memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka dan inilah yang kemudian dikenal dengan
sebutan partai kartel. Kartelisasi didefinisikan sebagai situasi dimana partai-partai politik secara
kolektif mengabaikan komitmen ideologis atau progmatis mereka demi kelangsungan hidup
mereka sebagai satu kelompok.
4. Formasi Politik
Selain motif, koalisi juga memiliki formasi dalam koalisi. Koalisi antar partai banyak
macam dan derajatnya, secara garis besar dapat dibedakan dengan koalisi jangka pendek atau
sementara dan koalisi permanen. Yang dimaksud dengan koalisi jangka pendek atau sementara
adalah koalisi tersebut bersifat tidak terorganisasi, contohnya adalah koalisi temporer yang
sederhana diambil berdasarkan kepentingan partai pada saat pemilu, untuk merongrong
pemerintah atau mendukungnya dari waktu ke waktu. Sedangkan koalisi permanen adalah koalisi
yang bersifat terorganisasi dan waktunya permanen tidak sementara dan biasanya lebih kuat
bagaikan partai super. Koalisi sementara yang berulang-ulang dalam beberapa periode
memungkinkan menjadi koalisi permanen (Sigit 2011: 85-86).
Menurut Lijphart, terdapat enam model koalisi, yaitu minimal winning coalition,
minimum size, bargaining proposition, minimal range, minimal connected winning, dan policy-
viable coalition (Sigit 2011: 87).
1. Minimal winning coalition, merupakan koalisi yang didasarkan pada maksimalisasi kekuasaan
dengan mengabaikan partai yang tidak perlu.
2. Minimum size, merupakan koalisi yang dibangun oleh partai besar dengan partai yang lebih
kecil untuk sekedar mencapai suara mayoritas.
3. Bargaining proposition coalition, merupakan koalisi dengan jumlah partai yang berkoalisi
paling sedikit.
4. Minimal range coalition, merupakan koalisi berdasarkan kedekatan pada kecenderungan
ideologis.
5. Minimal connected coalition, merupakan koalisi yang terjadi antara partai-partai yang
memiliki persambungan orientasi kebijakan.
6. Policy-viable coalition, merupakan koalisi yang terjadi di antara partai-partai yang secara
spesifik memang memiliki kepedulian yang sama berkaitan dengan kebijakan.
Koalisi juga dapat menghasilkan sinergi positif dan juga negatif. Dalam sinergi positif,
jika terdapat tiga partai yang akan berkoalisi dan apabila masing-masing partai membawa nilai
50, maka mereka akan menghasilkan nilai 150. Tetapi dalam sinergi negatifnya, jumlah nilai bisa
saja merosot apabila partai-partai koalisi tersebut memiliki nilai yang berbeda-beda dan terdapat
perbedaan yang sangat signifikan, hal ini disebabkan jika kekuatan satu partai berkurang setelah
kekuatan yang lain berkurang sehingga jumlah nilainya menjadi kecil (Denny 2006: 30-31)
Berhubungan dengan sinergi dari koalisi yang bersifat postif dan negatif, koalisi juga bisa
menjadi sebuah peringatan. Jika mesin politik bekerja dengan baik, koalisi besar mungkin sekali
memenuhi tujuannya, yaitu memenangkan dalam pemilihan umum ataupun mendapatkan
kekuasaan di sebuah parlemen. Jika ini terjadi, kemungkinan suatu pemerintahan yang kuat akan
terbentuk karena sebuah kepemimpinan pemimpin yang menang tersebut. Akan tetapi, belum
tentu pemerintahan yang kuat tersebut akan efektif dan efisiensi, sebaliknya bisa saja menjadi
suatu pemerintahan yang boros dan korup karena tidak ada saling kontrol di antara badan-badan
pemerintahan. (Endin 2005: 139-140).
Koalisi partai dalam pemilihan calon presiden dan kepala daerah bukanlah suatu hal yang
mustahil untuk dilakukan dan bahkan beberapa pihak menganggap hal tersebut hingga saat ini
masih diperlukan, mengingat kecilnya peluang seseorang presiden dan kepala daerah dari sebuah
partai mendapatkan suara mutlak dalam pemilu dan pilkada. Koalisi membantu mengurangi
ketidakpastian siapa yang akan menang dalam pemilihan presiden nanti, koalisi juga biasanya
dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa dukungan terhadap partai politik seiring terkait erat
dengan dukungan terhadap calon presiden dan kepada daerah dari partai bersangkutan (Yusa
2011: 1046).
Setelah reformasi, koalisi menjadi sebuah tren politik dalam pemerintahan di Indonesia.
Pemerintahan koalisi itu sendiri dapat dijelaskan dengan pemerintahan yang terbentuk dan
bergabungnya dua atau lebih partai politik untuk membentuk pemerintahan, sehingga berujung
pada pembagian kekuasaan di kabinet. Secara pragmatis, faktor yang mendorong partai politik
untuk berkoalisi dengan partai pemerintahan adalah kebutuhan akan publikasi atau citra politik
(Simarmata 2014: 32-33). Jadi pemerintah koalisi itu sebenarnya adalah salah satu tujuan dari
sebuah partai untuk melakukan koalisi, yaitu untuk mendapatkan kekuasaan di kabinet.

Daftar Pustaka

Denny. 2006. Membangun Demokrasi Sehari-hari . Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.

Djuyandi, Yusa. 2011. Koalisi Partai Politik Untuk Demokrasi Dalam Nuansa Pluralisme. Jurnal
Humaniora Vol. 2.

Hanafie, Haniah dan Suryani. 2011. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN JKT.
Haris, Syamsuddin. 2016. “Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia: Faktor –
Faktor Kerapuhan Koalisi Era Priseden Yudhoyono”.

Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for
Democracy and Welafrim.

Simarmata, Salvatore. 2014. Media dan Politik, SIkap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Soefihara, Endin AJ. 2005. Merebut Nurani Rakyat. Jakarta: Belantika.

Sumadinata, R. Widya Setiabudi. 2016. Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia.


Jurnal Wacana Politik Vol. 1.

Anda mungkin juga menyukai