Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN PENERAPAN SISTEM

DWI PARTAI DAN MULTI PARTAI DI INDONESIA

OLEH

KELOMPOK 2
Fadhli Ibrahim Siregar
171401006
Bagus Setiawan
171401012
Weliansyah Arundhani
171401018
Zidane Fathur Rahman Lubis
171401033
Charli
171401066
M. Aulia Ramadhan
171401099

JURUSAN ILMU KOMPUTER


FAKULTAS ILMU KOMPUTER – TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Partai politik merupakan sarana bagi warga Negara untuk turut serta atau
berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
pengkajian tentang partai politik memang merupakan suatu perkara yang senantiasa
harus diajukan, mengingat banyak sekali keprihatinan atas kondisi partai politik saat
ini, khususnya di Indonesia. Terdapat banyak kejadian-kejadian yang berupa
penyimpangan dan penipuan serta korupsi politik dalam praktik-praktik yang dilakukan
oleh elite politik terhadap partai.

Sebagai sebuah kendaraan politik, maka partai dipergunakan oleh individu-individu


untuk meraih kekuasaan. Memang benar, bahwa partai adalah mesin politik untuk dapat
berpartisipasi dan meraih kekuasaan dalam proses pengelolaan negara. Namun, ambisi
meraih kekuasaan yang berasal dari kader-kader tertentu dalam sebuah partai politik
telah mereduksi arti penting dari partai politik di Indonesia.

Sistem Kepartaian di Indonesia sendiri saat ini menganut sistem multipartai. Aturan
ini tersirat dalam pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil
presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa gabungan
partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atau lebih yang bergabung
untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakil presiden dan bersaing
dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di
Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.

Pada masa pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto memandang terlalu


banyaknya partai politik menyebabkan stabilitas politik terganggu, maka Presiden
Soeharto pada waktu itu memiliki agenda untuk menyederhanakan jumlah partai politik
peserta pemilu. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik dan pada tahun 1974
peserta pemilu tinggal dua partai politik saja dengan tambahan 1 dari Golongan.
Presiden Soeharto merestrukturisasi partai politik menjadi 2 partai dengan 1 golongan
(Golkar, PPP, PDI) yang merupakan hasil penggabungan beberapa partai.
Indonesia dalam perjalanan politiknya sudah mengalami kedua sistem tersebut.
Setiap sistem kepartaian tersebut tentunya akan memberikan dampak yang berbeda juga
bagi sistem perpolitikan yang ada di Indonesia. Dwi Partai mungkin akan lebih
menjanjikan untuk kestabilan politik di suatu negara, dimana tidak ada suara lain yang
ada disana, yang ada hanya yang berkuasa dan yang beroposisi. Sedangkan Multi Partai
akan lebih menjamin bahwa setiap individu di suatu negara bisa akan diwakili
pandangan ataupun suara politik nya dengan banyak nya jumlah partai politik yang
diakui di Indonesia. Namun dalam perjalanannya, tetap saja, dalam memberikan
dampak dan pengaruhnya, sistem yang berlaku juga tergantung pada bagaimana sistem
itu diterapkan, apakah sepenuhnya diterapkan atau hanya simbolisasi belaka saja?

B. Teori dan Konsep


1. Teori dan Konsep Dwi Partai

Sistem Dwi Partai biasa diartikan bahwa terdapat dua partai diantara beberapa partai,
yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara
bergiliran dan demikian memiliki kedudukan yang dominan. Dalam sistem ini partai
dibagi menjadi dua yakni, pertama, partai yang berkuasa (karena menang dalam
pemilihan umum) dan yang kedua, partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilu).

Dalam sistem ini partai yang kalah bertindak sebagai loyal opposition bagi pihak
yang menang. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai akan
berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang berada di tengah kedua partai
tersebut dan sering dinamakan pemilih terapung (floating voter) atau pemilih tengah
(median voter).

Negara-negara yang menganut sistem Dwi Partai diantaranya adalah Inggris dengan
Partai Buruh dan Partai Konservatif yang mendominasi di daratan Inggris, sementara
Partai Demokrat dan Partai Republik yang mendominasi di Amerika Serikat.
2. Teori dan Konsep Multi Partai

Suatu sistem dikatakan menganut multipartai, apabila di dalam wilayah Negara


tersebut terdapat lebih dari dua partai yang diakui secara konstitusional. Sistem multi
partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di
dunia modern saat ini. Kata kunci dari sistem multipartai tersebut adalah jumlah partai
politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan
melalui pemilu, lebih dari dua partai politik.

Dengan banyaknya jumlah partai yang ada, besar kemungkinan tidak ada partai
yang mendominasi sistem kepartaian di negara yang memberlakukan sistem partai
Multi Partai. Sehingga, umumnya sistem ini dianggap cara paling efektif dalam
merepresentasikan keinginan rakyat yang beranekaragam ras, agama, atau suku. Dan
lebih cocok dengan pluralitas budaya dan politik di banding Dwi Partai.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Data dan Fakta Kejadian


1. Dwi Partai
1. Penerapan Dwi Partai di beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat, dimana
terdapat 2 Partai yang mendominasi, memberikan kestabilan situasi politik yang
terdapat di negara-negara tersebut.
2. Kestabilan Politik membuka peluang kemajuan suatu bangsa, karena situasi
politik juga bisa memberi pengaruh ataupun menerima pengaruh dari situasi dari
ekonomi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan majunya beberapa negara seperti
Amerika Serikat ataupun Inggris dari sisi ekonomi.
3. Pada sebuah permasalahan, hanya akan terdapat 2 pandangan umum untuk
menyikapi permasalahan tersebut. Misalkan di Amerika Serikat, pandangan
Liberal dari Partai Demokrat, akan selalu berhadapan dengan pandangan
Konservatif / Fundamentalis dari Partai Republik. Atau di Inggris terdapat Partai
Konservatif yang pro dengan sistem monarki sementara partai buruh yang
menganggap sistem monarki harus dihapuskan.
4. Ketika terjadi kecacatan dalam penerapannya, entah itu timbul nya pemerintahan
yang absolut atau otoriter dari sebuah kepemimpinan maupun munculnya
golongan oposisi yang secara frontal menekan pemerintahan berkuasa (dapat
menimbulkan kudeta), akan menimbulkan ketidakstabilan yang mengancam
kedaulatan negara dalam skala yang masif dan jangka waktu yang panjang. Masa
pemerintahan 32 tahun Soeharto menjadi bukti nyata, bagaimana pemerintahan
otoriter pernah berkuasa di Indonesia.

2. Multi Partai
1. Dalam pembuatan kesepakatan mengenai Konstitusi/UU/ataupun aturan-aturan,
sangat sulit untuk mencapai kata sepakat, karena masing-masing partai politik
dengan jumlahnya yang banyak juga mewakili kepentingan partai nya masing-
masing. Pada tahun 1955 di Indonesia, ketika Konstituante dibentuk untuk tujuan
penyusunan UUD baru, yang ada malah suhu politik kian panas.
2. Tidak adanya suara mutlak atau tidak adanya suara mayoritas juga menimbulkan
permasalahan baru, yaitu pemerintahan yang berkuasa akan kesulitan dalam
menjalankan program pemerintahannya. Pemilu 1955 yang Liberal, karena
terlalu banyak partai sehingga tidak ada suara mayoritas mutlak sebagai
pegangan atau modal pemerintahan berkuasa untuk memantapkan programnya
secara penuh.
3. Rentan terhadap perpecahan. Ketika masing-masing partai menekankan
pandangannya masing-masing, besar kemungkinan akan terjadi perpecahan,
yang mungkin saja berujung pada berbagai kemungkinan, entah itu pemisahan
wilayah, atau bahkan perang saudara.

B. Pembahasan Penerapan Sistem Dwi Partai dan Multi Partai di Indonesia

Sistem Dwi Partai sejatinya menjanjikan sebuah sistem dimana negara dengan
pemerintah yang berkuasa dapat dengan tenang mengatur negara nya, dan dapat
berdampak positif pada banyak aspek didalam negara tersebut. Indonesia dalam
sejarahnya sudah menjalani masa dimana pemerintah yang berkuasa memiliki kekuatan
yang cukup untuk memastikan bahwa segala program yang dicanangkannya bisa
terwujud tanpa harus menghadapi penolakan dari banyak pihak, yang bisa
menggagalkan program tersebut. Namun tetap saja, terdapat celah dimana program
tersebut justru bukan malah untuk mensejahterakan bangsa dan negara, melainkan
untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok tertentu.

Sistem Multi Partai menganggap bahwa setiap suara haruslah diwakili bahkan yang
terkecil sekalipun, tujuannya adalah agar setiap warga negara merasa memiliki wakil
untuk membela setiap hak dan kepentingan masing-masing kelompok. Idealisme
dimana anggapan bahwa semua kepentingan bisa diwakili, adalah semu belaka. Banyak
kemungkinan terjadinya perdebatan antarkepentingan yang satu dengan yang lain.
C. Argumentasi

Dalam penerapannya kemungkinan besar terjadinya penyimpangan kekuasaan


adalah ketika munculnya sebuah kekuasaan yang ‘tidak memiliki’ pembatas
didalamnya yang bisa memberikan pengawasan terhadapan kekuasaan tersebut, hal
tersebut besar kemungkinan ditemukan pada sistem Dwi Partai.

Penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto selama 32 Tahun


ia memerintah berdampak pada indeks pembangunan di Indonesia yang cenderung
melambat pada masa Orde Baru. Tidak ada kebijakan yang memunculkan gairah untuk
memajukan bangsa dan negara. Negara pada masa itu hanyalah berusaha mengayomi
masyarakat dengan berbagai subsidi yang dilakukan. Hal ini membuat lambat laun,
Indonesia mengalami ketertinggalan dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan
Malaysia misalnya.

‘Dinasti Cendana’ milik Presiden Soeharto pada masa itu diperkaya dari periode ke
periode, korupsi masih sarat terjadi, politik uang dan kepentingan juga masih banyak
ditemukan. Sehingga mau tidak mau, ketika waktu berlalu kesenjangan sosial di
masyarakat mulai tampak.

Sementara untuk sistem Multi Partai, menyatakan bahwa tidak adanya kekuasaan
absolut ataupun dalam hal ini otoriter, membuat semua orang bisa ikut berpartisipasi
dalam mengawasi pemerintahan negara. Indonesia sebagai negara pluralisme akan lebih
baik jika sistem partainya memiliki masing-masing suara untuk diwakilkan dan
disampaikan kepada negara secara kolektif.

Kelemahan sistem Multi Partai, dengan berbagai perpecahan yang mungkin terjadi,
sebenarnya juga tergantung dengan bagaimana latarbelakang dan juga profil dari setiap
komponen-komponen yang terlibat dalam sistem Multi Partai tersebut. Indonesia pada
dasarnya sudah menekankan pentingnya toleransi, pentingnya kebersamaan, dan juga
saling menghargai. Hal ini menjadi poin penting, dikarenakan ada satu hal yang
mempersatukan kita walaupun dengan berbagai perbedaan pendapat ataupun
latarbelakang kita, kita tetap dipersatukan dalam satu wadah yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan adanya Pancasila.
Lampiran

A. Hasil Diskusi Tanya Jawab


o “Sistem Partai mana yang paling baik untuk Indonesia?” (Bilal – Kelompok 4)
 “Kami beranggapan bahwa sistem Multi Partai akan lebih baik untuk diterapkan di
Indonesia. Indonesia dengan keanekaragaman nya tentunya harus memiliki suatu
media dalam hal ini partai untuk mewakili secara garis besar dari masing-masing
keanekaragaman yang ada tersebut.”

o “Sistem Multi Partai menyalurkan aspirasi masyarakat. Mengapa bisa ada konflik
SARA?” (Alex – Kelompok 5)
 “Sistem Multi Partai memungkinkan setiap kelompok masyarakat untuk bisa
menyalurkan suara nya atau pandangannya kepada pemerintahan yang ada. Dan hal
ini tidak menutup kemungkinan munculnya gesekan antara suara yang satu dengan
suara yang lain. Ketika masyarakat ataupun kelompok masyarakat dalam sistem
tersebut tidak bisa untuk mengutamakan kepentingan umum atau dalam hal ini
pemerintahan, maka bisa saja menjerumuskan kepada konflik yang menyangkut
SARA, karena membawa kepentingan entah itu Suku, Agama, dan lain sebagainya.”

o “Apakah Golkar di era Orde Baru melakukan kecurangan? Sertakan contohnya!”


(Arya – Kelompok 1)
 “Kecurangan yang paling masif, terstruktur, dan sistematis yang dilakukan Golkar
ialah kecurangan di Pemilu Nasional beberapa kali, ketika Golkar sudah menyusun
atau merancang bagaimana kemenangan Golkar yang didukung pemerintahan Orde
Baru untuk tetap berkuasa dalam sistem politik di Indonesia, dan tetap memegang
tampuk kekuasaan Eksekutif di Indonesia”

o “Apa perbedaan Golkar dahulu dan sekarang?” (Haikal – Kelompok 3)


 “Golkar di masa Orde Baru tidak dianggap sebagai partai politik, namun hanya
Golongan saja dimana didalamnya juga termasuk ABRI, dan beberapa komponen
lainnya. Golkar menjadi ‘anak emas’ di era Orde Baru. Sedangkan dimasa sekarang,
Golkar sudah resmi dimasukkan dalam kategori sebagai Partai Politik yang
didalamnya tidak lagi memuat aparatur negara sebagai komponen pendukungnya”

o “Apa yang dimaksud dengan pemilihan distrik?” (Anne – Kelompok 8)


 “Pemilihan Distrik atau Sistem Pemilu Distrik adalah sistem pemilu yang
berdasarkan lokasi daerah pemilihan, bukan berdasarkan jumlah penduduk. Dari
semua calon, hanya ada satu pemenang. Dengan begitu, daerah yang sedikit
penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang banyak penduduknya,
dan tentu saja banyak suara terbuang. Karena wakil yang akan dipilih adalah
orangnya langsung, maka pemilih bisa akrab dengan wakilnya.”

o “Sistem multipartai cenderung melemahkan ekonomi. Kenapa tidak demikian


dengan China?” (Shabrina – Kelompok 7)
 “Sejak berakhirnya perang sipil pada tahun 1949, Partai Komunis China (CPC) telah
memerintah negara tersebut dan mengoperasikan piramida kekuasaan yang
menjangkau ke setiap desa dan di setiap tempat kerja. Seperti bekas Uni Soviet yang
dikuasai Komunis dan negara-negara satelitnya, China berpura-pura menjadi negara
multi partai dengan secara teknis mengizinkan sejumlah kecil partai politik lainnya.
Delapan partai kecil terdaftar telah ada sejak sebelum 1950. Pihak-pihak ini secara
formal menerima kepemimpinan BPK dan kegiatan mereka diarahkan oleh United
Front Work Department of the CPC. Sejatinya dalam sistem perpolitikan nya, partai-
partai kecil yang ada di China hanyalah sebuah simbolisasi belaka dari “kemulti-
partaian” di negara tersebut.”

o “Mengapa Multi Partai lebih baik dari Dwi Partai untuk diterapkan di Indonesia?”
(Alfian – Kelompok 5)
 “Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dalam
masyarakatnya, entah itu bahasa, agama, ras, suku, dan lain sebagainya. Sehingga
merupakan hal yang lebih baik, jika masing-masing secara garis besar kelompok-
kelompok masyarakat tersebut bisa membentuk suatu wadah untuk menampung
pandangan atau suara mereka untuk disampaikan kepada sistem pemerintahan yang
ada di Indonesia.”

 “Di Indonesia, kebanyakan partai-partai yang berdiri bukan karena aspirasi


masyarakat secara langsung, namun terbentuk hanya karena kekuasaan pejabat atau
golongan-golongan tertentu. Mengapa demikian?” (Wahyuni – Kelompok 6)
 “Umumnya masyarakat Indonesia cenderung tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya
fondasi yang memberikan mereka pijakan baik itu berupa dana, sarana dan prasarana
untuk berkumpul ataupun berserikat. Sehingga mereka membutuhkan pihak-pihak
yang bisa memberikan hal-hal tersebut. Dan setelah mendapatkannya, kemungkinan
besar akan terjadi mobilisasi suara dari kelompok ataupun serikat tersebut, terhadap
pihak yang sudah memberikan sarana dan prasarana tersebut. Hal ini sah-sah saja,
setiap masyarakat diberikan kebebasan untuk bisa ikut memilih bergabung dengan
kelompok yang memang tidak bertentangan dengan Pancasila, dan juga diberikan
kebebasan untuk bisa ikut dipilih sebagai salah satu perwakilan politik yang
dipercaya oleh masyarakat”

o “Mengapa jumlah negara yang menganut sistem multipartai sedikit yang besar dan
kuat?” (Yulfahreza – Kelompok 6)
 “Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sistem multi partai rentan terhadap
perpecahan jika tidak suatu hal yang bisa menyatukan negara tersebut secara
fundamental atau mendasar. Selain itu, didalam pemerintahan sistem multi partai,
pihak yang memerintah belum tentu bisa melaksanakan kebijakannya dengan bebas
karena tidak adanya suara mayoritas yang dimenangkan oleh satu partai pun,
sehingga tekanan yang diberikan oleh partai lainnya mungkin saja bisa mengganggu
proses kerja dari sistem yang sudah disusun oleh pemerintahan yang berlaku, dan
berimbas pada lambatnya perkembangan yang dialami oleh negara tersebut.”

o “Mengapa di era Orde Baru, Golkar tidak disebut sebagai partai?” (Yuni –
Kelompok 7)
 “Ini merupakan termasuk sebuah intrik politik yang dibangun oleh Penguasa Orde
Baru, ketika Presiden Soeharto memutuskan untuk mengurangi jumlah partai yang
ada di Indonesia. Ia yang sejatinya disponsori oleh Golongan Karya yang isinya
adalah para aparatur negara kebanyakan diantaranya ABRI (TNI dan POLRI),
memutuskan untuk jumlah partai di Indonesia hanyalah 2 saja dengan ditambah satu
barisan Golongan, dengan tujuan yang bisa kita lihat, untuk menguasai pemilu yang
diselenggarakan di Indonesia pada masa itu. Berkurangnya jumlah lawan politik
Golkar memberikan mereka kekuasaan untuk bisa mengatur awal dan akhir dari
pemilu yang diselenggarakan oleh negara pada masa itu”

o “Apa dampak yang ditimbulkan andai saja Indonesia menerapkan Dwi Partai saat
ini?” (Mailan Ronny – Kelompok 5)
 “Kemungkinan akan banyak masyarakat merasa bahwa, sistem perpolitikan di
Indonesia tidaklah bisa mewakili setiap pandangan yang ada di Indonesia sendiri,
karena terbatasnya jumlah partai politik untuk bisa mewakili suara mereka.”

o “Sistem pemerintahan mana yang lebih bagus, era Orde Baru atau Reformasi?
(Egi – Kelompok 6)
 “Jika ditinjau dari bagaimana sistem perpoiltikannya, tentunya era Reformasi
menjadi pilihan yang lebih baik, dikarena transparansi di pemerintahan sudah mulai
ada, lalu masyarakat juga bisa berkontribusi langsung terhadap sistem perpolitikan
bangsa dan ikut mengawasi bagaimana pemerintahan yang menjalankan kebijakan-
kebijakannya.”
B. Pembagian Tugas
1. Fadhli Ibrahim Siregar
- Menyusun pembahasan untuk Teori dan Konsep
2. Bagus Setiawan
- Menyusun pembahasan untuk Argumentasi
3. Weliansyah Arundhani
- Menyusun pembahasan untuk Teori dan Konsep
4. Zidane Fathur Rahman Lubis
- Menyusun pembahasan untuk Data Fakta
5. Charli
- Menyusun pembahasan untuk Latarbelakang
6. M. Aulia Ramadhan
- Menyusun pemabahasan untuk Argumentasi

Anda mungkin juga menyukai