Oleh :
Subhan Agung2
Abstrak
Pendahuluan
Konsep di atas, dalam kajian disiplin Ilmu Politik sering disebut sebagai
sebab munculnya oposisi dari sudut pandang hubungan the mass and the
elite. Di mana elit-elit di pemerintahan tidak mampu mengakomodir
berbagai tuntutan dari kelompok yang ada di masyarakat, sehingga
memunculkan kekecewaan dan tuntutan-tuntutan tertentu sehingga
muncullah oposisi ini. Selain berdasar atas konsep pertama di atas, oposisi
juga bisa disebabkan oleh kekecewaan dan ketidakpuasan dari pihak partai
politik yang mengalami kekalahan atau minoritas dalam seleksi elektoral
(Pemilu), mereka biasanya membentuk kubu tersendiri di dalam
pemerintahan dan menggabungkan kekuatan dengan partai “gurem” lainnya
untuk menekan dan mengganti pemerintahan dengan menggalang dukungan
dari berbagai pihak. Pendekatanini biasa dikenal sebagai pendekatan
institusionalisasi oposisi. Model ini banyak berkembang di negara-negara
Eropa Barat semisal Inggris dan Prancis.
Dari pemahaman dan batasan tersebut, kita lanjutkan kajian pada oposisi di
Indonesia. Pertanyaan sederhananya, adakah oposisi dalam sistem
pemerintahan Indonesia?. Hal ini menjadi penting dengan adanya kasus
yang oleh SBY dianggap “pembelotan” dari koalisi gabungan partai-partai
besar dalam kasus Century kemarin. Kubu Demokrat menganggap koalisi
sudah final dan para anggotanya harus mendukung dan menguatkan
pemerintahan supaya stabil. Namun yang terjadi adalah justru sebaliknya di
mana Golkar, Hanura, PKS dan lainnyadi Pansus Centurylebih banyak
menyerang dan menyudutkan pemerintahan SBY bahkan sampai pada
wacana pemakzulan, hal ini tentu saja dianggap pihak Demokrat saat itu
dianggap “pembelotan” dari janji koalisi.
Untuk menjawab kasus di atas, ada baiknya kita melihat konsepsi dari
konsep koalisi, oposisi dan sistem pemerintahan. Di dunia saat ini populer
dikenal dua sistem pemerintahan utama dan satu sistem Hybrid yakni sistem
Presidensial, Parlementer dan Hybrid System. Dalam sistem Presidensial,
presiden dipilih oleh rakyat sebagai pemimpin eksekutif (kepala negara dan
kepala pemerintahan), kekuasaan presiden sifatnya fixtem (sudah baku
dalam konstitusi dasar negara). Legislatif juga dipilih oleh rakyat dalam
Pemilu. Presiden bertanggung jawab pada rakyat lewat Majelis Perwakilan.
Legislatif tidak bisa menjatuhkan presiden, tetapi bisa mengajukan
pertanyaan-pertanyaan langsung, lewat berbagai hak yang dimilikinya.
Namun dalam kondisi darurat DPR bisa mengajukan ketidakpercayaan
untuk menjatuhkan presiden dan disahkan Majelis Perwakilan Rakyat,
namun sangat jarang terjadi. Kedua-keduanya memilki veto yang sama kuat,
sehingga terkadang pengesahan satu undang-undang dalam sistem ini
cenderung berlarut-larut. Dalam sistem ini oposisi partai yang cenderung
bertujuan mengganti pemerintahan tidak dikenal, namun jikapun ada hanya
sifatnya menekan dalam kontra kebijakan. Lebih jelasnya lihat bagan 1!.
Dalam sistem parlementer, presiden dipilih oleh rakyat atau untuk di negara
dengan sistem kerajaan dipilih oleh sidang kerajaan tertentu. Kepala
pemerintahan dipegang eksekutif dibawah pimpinan perdana menteri yang
justru paling vital karena fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Perdana
menteri dipilih oleh parlemen (sejenis legislatif). Dan palemen dipilih oleh
rakyat dalam Pemilu. Dalam sistem ini sifatnya fluid (sewaktu-waktu bisa
ada perubahan, tidak baku). Oposisi muncul tergantung konstelasi partai,
dalam sistem ini partai oposisi diakui konsistensinya dalam negara.
Parlemen bisa dengan cepat menjatuhkan (replace) pemerintahan jika
dipandang perlu, karena pemerintahan bertanggung jawab pada parlemen.
Dalam kasus dibeberapa negara penganut sistem ini, seperti Inggris dan
beberapa negara Skandinavian, partai-partai oposisi menggelar
pemerintahan tandingan (shadow government), lengkap dari perdana
menteri sampai menteri-menteri dan jabatan-jabatan lainnya dan
mendapatkan gaji yang besar dari perannya menjadi saingan pemerintah
yang sah. Dan jika mampu menggulingkan kekuasaan, biasanya
pemerintahan tandingan ini bisa langsung menjadi penguasa. Lebih jelasnya
lihat bagan 2!.
Bersifat fictem
Elektoral
(PEMILIH-PEMILIH)
memilih
memilih
Elektoral (PEMILIH-PEMILIH)
Bagan 3. Sistem Hibryd
Bertanggung jawab
Memilih Memilih
Elektoral (PEMILIH-
PEMILIH)
Dari kajian di atas, terlihat jelas bahwa dalam sistem presidensial seperti
negara kita, oposisi hanya dikenal dalam konteks perubahan kebijakan.
Oposisi yang kemudian disistemkan dalam sistem demokrasi hanya dikenal
dalam sistem parlementer dan menjadi model tersendiri yang diberlakukan
di banyak negara. Oposisi yang tujuan akhirnya menjatuhkan pemerintahan
atau personil pemerintahan sangat memungkinkan dilakukan dalam negara
yang menganut sistem ini. Sedangkan di Indonesia saat ini kecil
kemungkinan. Walaupun masih bisa tapi sifatnya akan tidak mudah,
dikarenakan sistem presidensial yang memberikan ruang perimbangan
kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
Jadi oposisi dalam konteks yang diproklamirkan PDI-P dalam kasus di atas,
sifatnya tidak terinstitusi dalam pemerintah, hanya pada flat form sementara
partai, yang kebetulan mengalami kekalahan dalam Pemilu oleh partai
penguasa. Peran-peran oposisi pun tidak lebih strategis dengan apa yang
dilakukan oleh interest groups yang bertansformasi menjadi presure groups
yang ujung-ujungnya lebih pada kritik dan menekan pada perubahan
kebijakan ke depannya.
Referensi List
Bogdanor, Vernon, 1981, The People and the Party System, Cambridge
University Press, Cambridge.
Dahl, Robert, 1989, Democracy and Its Critics, Yale University, New Heaven.