Anda di halaman 1dari 12

KEBERADAAN OPOSISI DALAM DEMOKARSI INDONESIA: TETAP

OPOSISI ATAU MENTERI

Muhammad Afifudin (185120600111023)


Faklutas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Brawijaya
E-mail: apipgenus@student.ub.ac.id

ABSTRAK
Indonesia menganut sistem presidensial yang dimana eksekutif memiliki hak dan
wewenang lebih dalam pembentukan kabinet yang tidak dapat diganggu gugat oleh
legislatif. Dalam pembentukan kabinet yaitu pemilihan menteri, presiden memiliki
kekuasaan lebih atau yang sering disebut dengan “hak prerogative” presiden yang
tanggung jawab dari menteri tersebut langsung kepada presiden tanpa adanya intervensi
dari legislatif. Pengangkatan menteri yang berlatarbelakang partai politik biasanya
dipilih dari partai koalisi. Secara lebih spesifik, artikel ini akan membahas (1) kekuatan
oposisi dalam demokrasi Indonesia, (2) kelemahan oposisi dalam demokrasi Indonesia,
(3) jatah kursi menteri dari partai oposisi.
Kata kunci: Presidensial, demokrasi, oposisi, menteri.

PENDAHULUAN
Sistem pemerintahan di Indonesia adalah presidensial yang dimana eksekutif
tidak bertanggung jawab kepada legislatif dan eksekutif tidak dapat dimakzulkan oleh
badan legislatif untuk menjaga kestabilan tanpa adanya pembubaran kabinet apabila ada
ketidaksetujuan dari para legislatif. Ciri dari sistem pemerintahan yang menganut sistem
presidensial ialah pemerintahan serta negara dipimpin langsung oleh presiden. Presiden
selaku pemangku kebijakan yaitu sebagai kepala negara juga menjadi kepala
pemerintahan. Presiden memiliki wewenang dalam hal menata kabinet yaitu
pengangkatan para menteri yang merupakan bawahannya dan para menteri tersebut
bertanggungjawab langsung kepada presiden tanpa adanya intervensi dari para legislatif.
Ciri umum lainnya dari sistem pemerintahan presidensil menurut Mahfud MD yaitu:
1) Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,
yang masa jabatannya telah ditentukan dengan pasti oleh konstitusi;
2) Presiden merupakan kepala pemerintahan (eksekutif) yang memimpin kabinet.
Semua anggota kabinet diangkat, diberhentikan serta bertanggung jawab kepada
presiden;
3) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumah pemilih
(dipilih langsung oleh rakyat). Sehingga ia bukan merupakan bagian dari
anggota legislatif seperti pada sistem pemerintahan parlementer;
4) Presiden tidak bertanggung jawab pada badan legislatif, dan tidak dapat
pula dijatuhkan oleh badan legislatif, kecuali melalui mekanisme
pemakzulan atau impeachment;
5) Sebagai imbangannya, presiden juga tidak dapat atau tidak memiliki kekuasaan
untuk membubarkan badan legislatif;
6) Kedudukan badan legisltaif dan eksekutif sejajar dan sama-sama kuat.1

Dalam sistem presidensial tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Namun
dalam praktiknya oposisi yang diartikan disini ialah partai penentang dan partai yang
tidak berada didalam barisan presiden terpilih. Keuntungan adanya oposisi dalam sistem
pemerintahan adalah untuk menciptakan check and balances dalam menjalankan roda
pemerintahan agar terhindar dari otoriteriarisme. Dalam praktiknya, sistem presidensial
rakyat memilih eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan, rakyat
memilih legislatif untuk mengontrol serta mengawasi eksekutif dalam menjalankan roda
pemerintahannya.
Sistem check and balances atau yang sering disebut sistem saling mengawasi
dan mengimbangi antar lembaga negara untuk mengurangi adanya praktik
penyalahgunaan kekuasaan atau “abuse of power” serta penyalahgunaan wewenang.
Prinsip pada pengawasan dan mengimbangi ini merupakan pengembangan dari teori
pemisahan kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keberadaan prinsip ini
supaya dalam pemisahan adanya sinergitas yang timbul antar cabang kekuasaan guna
mencegah terjadinya penyalahgunaan di dalam suatu cabang kekuasaan. 2
Salah satu kekuasaan secara abslute yang dimiliki oleh presiden ialah hak
prerogative dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri seperti halnya yang

1
Ghofar Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju. (Prenada Media Group, Jakarta) hlm 49
2
Janedjri, M. Gaffar. 2012. Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945 (Konstitusi Press: 2012) hlm 109
tertuang didalam Pasal 17 UUD NRI 1945. Proses pengangkatan dan pemberhentian
para menteri murni hak dan wewenang dari presiden tanpa ada campur tangan dari
legislatif sehingga kurangnya kontrol terkait kinerja para menteri tanpa adanya prinsip
check and balances yang rentan berakibat adanya kepentingan dari sebagian kelompok.
Kedudukan menteri pun kini menjadi hal yang mutlak dari presiden yang kemudian
menjadikan objek dalam praktik jual-beli jabatan antar petinggi partai sebagai imbalan
dari mendukung serta menjadi koalisi dalam pemilihan presiden.
Sebaliknya, lawan dari koalisi ialah oposisi. Oposisi dalam arti secara umum
artinya “berseberangan”. Oposisi juga bisa diartikan sebagai lawan ataupun perlawanan
terhadap sesuatu yang berkuasa. Di dalam konteks politik, oposisi membawa arti sebuah
bentuk ketidaksetujuan antar aktor pemimpin yang dimana antara pemimpin yaitu partai
oposisi yang kalah dalam pilpres menentang partai koalisi yang memenangkan pilpres.
Keberadaan oposisi diharapkan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang telah
ditolak oleh para oposisi agar lahir kebijakan-kebijakan alternatif lain atau malah
menjadi penyempurna dari kebijakan pemerintah. Secara tidak langsung oposisi lebih
kepada mendukung bahkan menyempurnakan kebijakan dari pemerintah.

KEKUATAN OPOSISI DALAM DEMOKRASI INDONESIA


Secara Umum oposisi dipahami sebagai sekelompok kekuatan yang tujuannya
untuk mengontrol serta mengoreksi suatu kebijakan pemerintah. Ada pula yang
mengartikannya sebagai kekuatan yang semata-mata menentang setiap kebijakan dan
langkah penguasa, tanpa menimbang apakah kebijakan tersebut masih dalam suatu
kewenangan atau kesewenang-wenangan. Apapun pengertian yang diberikan, oposisi
merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari perbedaan pendapat di masyarakat dalam
proses berbangsa dan bernegara. Perbedaan pendapat adalah rahmat untuk membangun
kehidupan yang lebih baik lagi. Kesediaan untuk mengoreksi dan mengkritik, kesediaan
untuk dikoreksi dan dikritik serta kesediaan untuk berbeda pendapat inilah sebagai
kunci pembuka untuk memasuki gerbang demokrasi. Karena itulah keberadaan oposisi
adalah kunci dari hidupnya demokrasi dan setiap organisasi harus memiliki oposisi,
walaupun tidak semua oposisi mampu menegakkan demokrasi. Namun tanpa oposisi,
demokrasi ini terancam atau justru mati karena dalam sistem politik demokrasi
penguasa harus di kontrol. Penguasa tidak boleh bekerja sendiri lantaran kekuasaan itu
cenderung menyimpang. Dengan demikian, hakekat oposisi terletak pada kejernihan
memandang segala sesuatu serta konsistensi sikapnya dalam mendukung kebenaran.
Untuk memnuhi hakekat inilah, sikap partisan yang dibenarkan dari oposisi adalah
pemihakannya pada kebenaran dan kepentingan rakyat.
Kehadiran kekuatan oposisi ini dalam perpolitikan nasional masih belum dapat
diterima, bahkan banyak kalangan yang menolaknya. Padahal dalam UUD 1945 (setelah
diamandemen) secara implisit kehadiran oposisi ini memiliki dasar hukum yang cukup
kuat yakni dalam salah satu pasal yang tertuang dalam konstitusi disebutkan bahwa
yang mengatur fungsi dan tugas-tugas dari DPR, diantaranya membuat undang-undang,
menyusunn anggaran dan mengawasi jalannya pemerintahan. Di samping itu, dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya DPR juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat.
Pentingnya partai-partai politik yang tidak turut dalam pemerintahan mengambil
peran oposisi dalam melaksanakan fungsi dan tugas mereka sebagai wakil rakyat untuk
mengimbangi dan mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak menyimpang dari
ketentuan dalam konstitusi yang disertai penjelasannya. Politik oposisi kerap dilihat
sebagai kegiatan politik yang kurang bergengsi ketimbang kegiatan memerintah.
Oposisi dianggap sebagai tertundanya kesempatan berkuasa. Karena itu, oposisi
menjadi identik dengan aktivitas menjatuhkan kekuasaan.3
Sebaliknya, pemerintah yang berkuasa akan memandang oposisi sebagai
ancaman terhadap kekuasaannya dan karena itu ia akan mempertahankan diri dengan
segala cara. Pada hal, opsisi dibutuhkan untuk mengawasi kekuasaan yang cenderung
koruptif. Lebih jauh oposisi diperlukan karena yang baik dan benar dalam politik harus
diperjuangkan dalam kontestasi dan diuji dalam wacana terbuka. Politik oposisi
berfungsi sebagai alat kontrol dan penyeimbang kekuasaan, jika ini dipraktekkan
demokrasi di Indonesia tak lagi sebatas retorika politik. Menilik persoalan di atas, nyata
bahwa kehadiran oposisi merupakan suatu keniscayaan yang mendesak. Selain
keberadaan pemerintahan yang absah dan secara efektif mampu menjalankan fungsinya,
kehadiran oposisi akan memperkuat pilar demokrasi Indonesia. Sebab, demokrasi

3
BI Purwantasari. 2011. Stagnasi Dibalik Oposisi Setengah Hati. (Jakarta: Kompas) Hlm 6
mempersyaratkan adanya mekanisme Check and Balances, suatu mekanisme yang
hanya akan dapat berjalan baik jika ada kekuatan politik di luar pemerintah.

KELEMAHAN OPOSISI DALAM DEMOKRASI INDONESIA


Sebuah rezim pemerintah akan mengalami kemunduran, apabila tidak memiliki
tantangan baru dari eksternal yang memiliki ide baru serta mampu menunjukkan kepada
masyarakat kebijakan-kebijakan alternatif dibandingkan dengan kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah.4 Oleh karena itu, diperlukan persaingan yang sehat antara pemerintah
dengan eksternal guna meningkatkan kinerja dan mempertahankan citra baik di
masyarakat. Oposisi yang sehat merupakan cerminan keberadaan demokrasi yang
kokoh.5
Namun apabila berkaca dari kondisi pemerintahan Indonesia saat ini atau lebih
tepatnya pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H
Ma’ruf Amin, kehadiran oposisi cenderung lemah. Hal tersebut terlihat dari
didukungnya kabinet Jokowi-Ma’ruf dengan enam fraksi dari total sembilan fraksi
partai atau lebih dari 60 persen kekuatan di parlemen. Enam fraksi pendukung tesebut
diantaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Gerindra, Partai Nasdem (Partai Nasional Demokrat), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun
mirisnya, hanya ada tiga fraksi yang tidak bergabung dengan koalisi pemerintah. Ketiga
fraksi terebut diantaranya Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta Partai
Amanat Nasional (PAN).
Dominasi tersebut justru berbanding terbalik pada masa pemerintahan Joko
Widodo di periode pertama. Pada periode pertama, Jokowi yang memerintah bersama
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu hanya didukung empat fraksi dari total sepuluh
fraksi di parlemen. Keempat fraksi tersebut diantaranya adalah Partai Demokrasi
Indonesia - Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem
(Partai Nasional Demokrat), dan Partai Hanura. Adapun keenam partai oposisi yang

4
Fatah. Membangun Oposisi: Agenda-Agenda Perubahan Poilitik Masa Depan, hlm. 5
5
S. Kamil. Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)
hlm 17-18
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) tersebut diantaranya Partai Golkar, Partai
Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Partai Demokrat.
Dengan hasil tersebut maka pada saat itu pengajuan serta penetapan Undang-
Undang atau Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tidak serta
merta mulus dan sempat mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Salah satu
contohnya yakni ketika pemerintahan Jokowi saat itu sempat mendapat penolakan dari
Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan kelompok oposisi di pemerintahan kala itu
pada saat mengajukan RAPBN 2016.
Lemahnya peran oposisi di pemerintahan mulai terasa ketika memasuki
pemerintahan Joko Widodo di periode ke dua. Konfigurasi pemerintahannya yang
didukung oleh mayoritas fraksi di parlemen menjadi salah satu faktor utama lemahnya
peran oposisi yang dalam hal ini partai yang tidak tergabung dalam enam partai
pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin tersebut. Alhasil, beberapa kebijakan
pemerintah semakin tidak mendapat kontrol.
Salah satu contoh yang paling signifikan dari hal tersebut yakni disahkannya
RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dinilai merugikan banyak masyarakat dan
cenderung menguntungkan para pengusaha atau investor. Belum lagi, proses
pengesahannya yang tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat dan terburu-buru
semakin menandai kurangnya eksistensi kekuatan penyeimbang yang tidak lain yakni
oposisi dalam tubuh pemerintahan saat ini. Iklim tersebut apabila dibiarkan secara terus
menerus, maka dikhawatirkan pemerintah kedepannya akan sulit dikontrol dan
bertindak sewenang-wenang. Berikut contoh kebijakan yang ditentang oleh oposisi.
No Kebijakan Isi Kebijakan Sikap Oposisi
1 Perppu Ormas Pada Pasal 59 ayat 4 huruf Perpu ini bisa mengancam
c disebutkan Ormas keberadaan ormas. PKS
dilarang menganut, menolak radikalisme
mengembangkan, serta sehingga penolakan
menyebarkan ajaran atau terhadap Perpu Ormas tidak
paham yang bertentangan sama dengan mendukung
dengan Pancasila. Ajaran radikalisme. Seharusnya
atau paham yang pemerintah mengajukan
bertentangan dengan revisi UU Ormas ketimbang
Pancasila adalah yang mengeluarkan Perppu
ingin mengubah konstitusi. Ormas. Seharusnya yang
menyusun dan menetapkan
Perpu ini paham bahwa
Pancasila beda Undang-
Undang Dasar. UUD bisa
diubah sesuai dengan Pasal
37 UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia
beda dengan
UndangUndang Dasar.
UUD bisa diubah sesuai
dengan Pasal 37 Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
2 Revisi UU KPK Pasal 37 B ayat (1) huruf PKS tidak setuju
dan Perpu b, Pasal 12 ayat (1): penyadapan harus seizin
Dewan Pengawas bertugas Dewan Pengawas, cukup
memberikan izin atau Dengan pemberitahuan
tidak memberikan izin kepada Dewas 1x24jam
penyadapan, sejak penyadapan. PKS
penggeledahan , dan/atau tidak setuju Dewas dipilih
penyitaan. Dalam oleh Presiden atau Pansel
melaksanakan tugas yang dibentuk oleh
penyelidikan dan Presiden, tetapi oleh pansel
penyidikan, Komisi yang dibentuk DPR.
Pemberantasan Korupsi
berwenang melakukan
penyadapan.
3 Draft RUU Pasal 1 menyatakan, Ketentuan mengenai
Penghapusan "Kekerasan seksual adalah definisi kekerasan seksual
Kekerasan setiap perbuatan dan cakupan pidana
Seksual (RUU merendahkan, menghina, kekerasan seksual dominan
PKS) menyerang, dan/atau berperspektif liberal dan
perbuatan lainnya terhadap membuka ruang sikap
tubuh, hasrat seksual permisif atau perilaku seks
seseorang, dan/atau fungsi bebas dan menyimpang.
reproduksi, secara paksa,
bertentangan dengan
kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang
itu tidak mampu
memberikan persetujuan
dalam keadaan bebas,
karena ketimpangan relasi
kuasa dan/atau relasi
gender, yang berakibat
atau dapat berakibat
penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik,
psikis, seksual, kerugian
secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik".
4 Aturan Pendataan Peraturan Menteri Agama Pemerintah tidak perlu
Majelis Taklim (PMA) No 29 Tahun 2019 mendata majelis taklim,
Pasal 6 ayat (1) PMA karena hal tersebut terlalu
disebutkan majelis taklim berlebihan dan
harus terdaftar pada kantor mengingatkan akan
Kementerian Agama. fenomena Orde Baru.
5 Kebijakan Impor Menteri Perindustrian Kebijakan ini dapat
Republik Indonesia Nomor merugikan industri dalam
: 31.1/M-Ind/Per/3/2015 negeri. Kebijakan yang dulu
Tentang Rencana Strategis saja masih dianggap
Kementerian Perindustrian merugikan berbagai pihak
Tahun 2015-2019 dan cenderung
menimbulkan kartel.
Sehingga pemerintah
diminta untuk mengontrol
impor hanya untuk
kebutuhan yang mendesaks
saja dan menyanrakan untuk
membuat kebijakan impor
berbasis tarif.
6 Kebijakan Melalui program ini, para Mengusulkan untuk dikaji
Sertifikasi calon mempelai akan ulang. Karena akan
PraNikah diwajibkan untuk menimbulkan atau
mengikuti kelas atau menyulitkan pasangan yang
bimbingan pranikah untuk ingin menikah.
memperoleh sertifikat.
Sertifikat ini nantinya akan
dijadikan sebagai syarat
perkawinan. Melalui kelas
bimbingan sertifikasi,
calon suami istri akan
dibekali pengetahuan
tentang kesehatan alat
reproduksi,
penyakitpenyakit
berbahaya yang mungkin
terjadi pada pasangan
suami istri, hingga
masalah seperti stunting.
Program sertifikasi
perkawinan ini baru akan
dimulai tahun 2020
dengan lama kelas
bimbingan 3 bulan.
7 Kenaikan Iuran Peraturan Presiden Dianggap menyengsarakan
BPJS (Perpres) Nomor 75 Tahun warga dan pemerintah
2019 tentang Perubahan mengabaikan kesepakatan
atas Perpres Nomor 82 dengan komisi IX DPR
Tahun 2018 tentang tentang subsidi yang
Jaminan Kesehatan. Untuk diberikan pemerintah.
tarif kelas Mandiri dengan
manfaat pelayanan di
ruang kelas perawatan
kelas III, naik dari Rp
25.500 menjadi Rp 42.000
per peserta per bulan. Atau
naik Rp 16.500. Kemudian
iuran kelas mandiri II
dengan manfaat pelayanan
di ruang perawatan kelas
II, naik dari Rp 51.000
menjadi Rp 110.000 per
peserta per bulan.
8 Kebijakan Pemerintah akan memberi Pencabutan ini akan
Pencabutan bantuan dana tunai kepada membebani rakyat
Subsidi Gas Elpiji warga miskin. Hal ini menengah ke bawah dan
3kg dilakukan sebagai ganti skema BLT sebagai
dari kebijakan pencabutan pengganti subsidi dinilai
subsidi elpiji 3 kilogram hanya memunculkan
mulai pertengahan 2020. resistensi.
9 RUU CIpta Kerja Undang Undang Omnibus Ini menimbulkan
atau Omnibus Law Cipta Kerja berisi 11 kekhawatiran akan adanya
Law klaster yang perbedaan batas waktu kerja
menggabungkan 79 bagi sektor tertentu dan
undang undang yang di kompensasi nya akan dapat
dalamnya menyangkut merugikan pekerja di
aturan tentang sektor-sektor tertentu,
ketenagakerjaan, karena mereka dapat
penyederhanan perizinan, diminta untuk bekerja lebih
persyaratan investasi, lama dan menerima
hingga administrasi pembayaran untuk lembur
pemerintahan. yang lebih rendah
dibandingkan pekerja di
sektor lain.
JATAH KURSI MENTERI DARI PARTAI OPOSISI
Di tahun 2019 terjadi gejolak hebat antara partai oposisi dan partai koalisi. Hal
tersebut diwarnai oleh yang pertama, PKS kalah dalam pemilu sehingga menjadi
oposisi. Berbeda dengan Golkar, PPP, PAN yang mendukung Prabowo di tahun 2014,
pada akhirnya berpindah gerbong untuk berkoalisi dengan Jokowi. Sedangkan PKS
memang konsisten dan sudah sejak awal pilihan apabila kalah dalam pemilu akan
menjadi oposisi. Kedua, apabila dilihat dari warna ideologi politiknya PKS sebagai
partai islam. PKS merupakan salah satu partai politik yang masih berusaha untuk
memegang teguh corak tersebut. PKS selalu mencari dan mendukung kandidat yang
menurut mereka terlihat lebih islami atau bahkan didukung oleh banyak komunitas
islam yang relatif kuat dan lebih besar.
Meskipun di pertengahan jalan, sekutunya yaitu Gerindra juga berpindah
gerbong. PKS ini perbedaannya hanyalah oposisi yang dilakukan cenderung sendirian
dan tidak ada kerjasama dengan partai lain seperti di periode sebelumnya. Pernyataan
PKS mengatakan apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memang baik untuk
masyarakat, maka oposisi juga akan mendukung. Namun apabila dirasa merugikan
maka akan PKS kritisi. Kemudian ada faktor rasa kekecewaan yang dimiliki oleh PKS
juga sudah tidak terbendung lagi seperti beberapa kursi yang seharusnya dimiliki oleh
PKS akan tetapi diberikan kepada Gerindra. Hal tersebut dapat dilihat dari kursi wakil
gubernur DKI yang harusnya milik Mardani Ali Sera akan tetapi diduduki oleh
Sandiaga Uno, Pilgub Jabar tahun 2018 yang awalnya kader PKS Achmad Syaikhu-
Deddy Mizwar akan tetapi berganti menjadi Sudrajat-Deddy Mizwar. Kemudian kursi
calon wakil presiden, PKS ingin kadernya yang maju, akan tetapi yang diusung oleh
koalisi ialah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang notabene keduanya adalah kader
Gerindra.
Sehingga di tahun periode pertama 2014-2019 dan periode kedua 2019- 2024
oposisi terhadap kepemimpinan Jokowi, tidak ada perubahan yang terlalu signifikan.
Cenderung terlihat masih memiliki semangat yang sama yaitu anti Jokowi dan ingin
mengganti presiden. Karena memang yang menciptakan #2019GantiPresiden ialah
Mardani Ali Sera dan kawan-kawan PKS. Kemudian dalam perkembangannya
kemudian terjadi snowball effect, gerakan #2019GantiPresiden menjadi gerakan politik
yang luar biasa dan terjadi di berbagai daerah. Bahkan seringkali terjadi pelarangan
penggunaan tagar dan atribut seperti kaos-kaos yang bertuliskan #2019GantiPresiden.
Dari sinilah dapat dilihat keseriusan PKS yang memang sejak awal berniat untuk
mengganti rezim atau pemerintah dan tentu saja dengan cara-cara yang prosedural.
Hanya saja terjadi modifikasi dari pola perlawanannya yang lebih agresif dibandingan
periode pertama di 2014. Karena memang di 2014 lebih cenderung berfokus kepada
prabowo yang memiliki efek besar yang disebut sebagai “Prabowo Effect” dapat dilihat
dari track record silsilah keluarga dan di dunia militer sehingga memiliki daya tarik
yang kuat identik dengan sikap yang tegas bagi para pemilih
Jika dibandingkan dengan PAN, Demokrat, atau partai pendukung prabowo
lainnya, di tahun 2019 ini PKS nampak seperti partai yang paling semangat untuk
mengkampanyekan ganti presiden. Selain itu juga, tak lupa untuk mengkampanyekan
isu-isu yang memang bertujuan untuk menurunkan elektabilitas Joko Widodo, bahkan
tak jarang pula banyak yang beranggapan bahwa isu yang beredar di masyarakat
merupakan kampanye yang sifatnya negatif atau black campaign.
Berbeda dengan PAN dan Demokrat yang sejatinya tidak menunjukan sikap
oposisinya secara terang-terangan kepada penguasa, dimana hal tersebut dapat terlihat
memiliki catatan politik dua kaki pada Pilpres 2019 kemarin. Terlihat PAN dalam
Pilpres 2019 mendukung Prabowo akan tetapi ikut dalam kabinet Jokowi dan
mendapatkan kursi menteri Jokowi. Kemudian Demokrat sendiri terlihat memberikan
kebebasan kepada sebagian kadernya untuk mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin
serta sebagian lainnya secara resmi mengusung Prabowo-Sandiaga Uno. Padahal perlu
dilihat kembali bahwa dalam sistem presidensial, sikap partai menjadi penting. Hal
tersebut dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dalam memberikan dukungannya.
Dari penyampaian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada partai oposisi yang
menyandang sebagai Menteri di kabinet Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Yang dulunya
sebagai oposisi bahkan rivalnya Pak Jokowi yaitu Prabowo Subianto memilih untuk
bergabung dengan koalisi Joko Widodo – Ma’ruf Amin untuk kepentingan politik yaitu
mendapatkan jatah Menteri di kabinet Joko Widodo. Ini menjadikan dualisme yang
terjadi pada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yaitu tetap menjadi oposisi atau merapat ke
barisan koalisi untuk mendapat imbalan jatah kursi Menteri.
KESIMPULAN
Oposisi bukanlah sekadar sikap asal berbeda atau melawan kebijakan
pemerintah, melainkan kelompok di luar pemerintah yang mampu melakukan kontrol
dengan tegas dan memberikan alternatif kebijakan yang bernas. Sayangnya, eksistensi
oposisi di Indonesia masih belum cukup solid. Pada masa-masa awal kemerdekaan,
oposisi telah terjerat pada ekstremisme. Sementara pada masa sesudahnya, selama
hampir empat dekade, oposisi mengalami pengucilan dengan, misalnya, dicap sebagai
tidak sesuai dengan jati diri bangsa dan dianggap sebagai salah satu biang penyebab
ketidakstabilan. Serta nasib menjadi oposisi akan menjadi tidak mendapatkan kekuasaan
leebih oleh pemerintah. Dikata lain oposisi berada di tangan rakyat, koalisi adalah milik
partai-partai besar yang memiliki jatah kursi di DPR yang sangat besar seperti halnya
PDI-P. Tidak mengherankan jika oposisi menjadi mati suri. Di era reformasi, yang
diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi secara lebih genuine, kecenderungan untuk
melihat oposisi sebelah mata sayangnya masih belum berubah secara signifikan.
Bedanya, sementara pada masa lalu oposisi memang secara tegas dikucilkan, saat ini
oposisi dianggap sebagai bukan pilihan yang menguntungkan. Terbangunlah kemudian
pemerintahan yang berkecenderungan kartel, ketika potensi oposisi terserap menjadi
bagian pemerintahan dan, dengan posisinya itu, mencari keuntungan dari berbagai
fasilitas negara.

Anda mungkin juga menyukai