Anda di halaman 1dari 4

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, terdapat beberapa permasalahan dari berbagai aspek.

Sebutkan 1 (satu) contoh permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berikan penjelasan


dengan membangun konsep berpikir kritis mengenai penyebab/ dampak dari permasalahan tersebut
serta jelaskan pula bagaimana strategi efektif dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Permasalahan Sistem Pemerintahan di


Indonesia
Sistem Pemerintahan di Indonesia

Sistem pemerintahan merupakan cara sebuah pemerintah untuk mengatur seluruh komponen-
komponen lainnya seperti DPRnya, hakim, badan keuangannya, dll. Terdapat 3 jenis sistem
pemerintahan yang utama.

Jenis yang Indonesia implikasikan adalah sistem presidensial. Dalam sistem ini, lembaga
eksekutif dijalani oleh suatu figur individu (juga wakilnya), serta terpisah dari lembaga
legislatif. Terdapat kelebihan dari sistem semacam ini, karena tidak rentan akan perselisihan
dan ketidaksetujuan, serta masa jabatan yang jelas.

Parlementer merupakan sistem lain yang sering digunakan oleh negara lain. Dalam sistem ini,
lembaga eksekutif dan legislatif disatukan ke dalam sebuah ruangan parlemen. Anggota
parlemen pun dapat terdiri dari berbagai ragam partai. Dengan begini, pembagian kerja dan
peran-peran dari anggota eksekutifnya dapat terlihat dengan jelas. Keberadaan partai-partai
multipel juga mempermudah suara rakyat untuk terdengar. Namun, sistem ini bisa menjadi
kurang efektif jika terdapat banyak ketidaksetujuan serta opini-opini yang terlalu
bertentangan.

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah menganut kedua dari sistem pemerintah utama ini. Sejak
masa agresi militer (beberapa bulan setelah Indonesia merdeka), terjadi pembagian kekuasaan
dimana kekuasaan eksekutif hendak dipegang oleh Perdana Menteri (menurut maklumat
presiden no X, tanggal 16 November 1945). Sistem ini berlanjut pada masa Indonesia
menjadi negara serikat (RIS). Akan tetapi, sejak presiden mengeluarkan dekrit 1949 yang
menyatakan tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945, Indonesia
kembali menganut sistem pemerintahan presidensial.

Salah satu faktor yang mendorong Indonesia dalam memberlakukan sistem presidensial
kembali adalah kondisi bagian-bagian daerah di Indonesia. Dengan memiliki negara bagian,
serta pihak-pihak dalam parlemen yang terdiri dari orang lebih dari satu, Indonesia rentan
terhadap perpecahan pada masa itu. Dengan mengangkat sebuah presiden, itu akan lebih
relevan dengan ideologi Indonesia yang bersifat kesatuan (sila ke-3 yang berbunyi “persatuan
indonesia”).

Peran Pemerintah Sebelum dan Sesudah Amandemen


Agar bisa memahami sistem pemerintahan negara ini lebih dalam, perlu dimengerti peran dan
hak dari seorang presiden. Sebelum amandemen, presiden menjalankankan kekuasaan negara
paling tinggi. Selain memegang kuasa eksekutif, presiden juga memegang kekuasaan
legislatif dan yudikatif. Pada saat itu, belum ada aturan tertentu mengenai batasan periode
jabatan presiden.

Setelah amandemen, terdapat perubahan besar pada struktur pemerintahan. Sistem yang
sekarang diimplementasikan adalah sistem check and balance, yakni dimana peran eksekutif,
legislatif, serta yudikatif dibagi khusus kepada pihak yang beragam. Sekarang, presiden
hanya berperan sebagai eksekutif, pemulai kebijakan. Yang melegitimasi kebijakan tersebut
adalah MPR, DPR dan DPD. Kebijakan itu pun diaplikasikan pada sektor yudikatif.

Dengan amandemen ini, negara ingin memastikan bahwa semua bagian dari sistem
pemerintah memiliki peran yang cocok, seimbang, dan tidak ada individu yang memiliki
kuasa berlebihan. Dalam konteks kepresidenan, hal ini sangat berdampak pada proses
eksekusinya. Misalnya, “menyatakan perang, membuat perjanjian dan perdamaian dengan
negara lain dengan persetujuan DPR” atau “Mengajukan RUU (Rancangan Undang-Undang)
kepada DPR”. Jelas terlihat sistem konfirmasi antar Presiden dengan lembaga lainnya.

Contoh Kasus Permasalahan

Berhubung dengan ini, terdapat pula permasalahan sistem presidensial yang secara langsung
berhubungan dari presiden itu sendiri. Mengutip dari situs republika.co.id, dikatakan bahwa
“Mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia berdasarkan
temuan Transparency International 2004 dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar
dolar AS.”(1)

Dari berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh beliau, dituliskan salah satu kasus korupsi
yang berhubungan dengan dana “Reboisasi Departemen Kehutanan” serta pos bantuan
presiden. Dana tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik beliau.

Sebagai representatif lembaga legislatif, MPR pun merenspons masalah ini dengan statement
pada Pasal 4 Ketetapan MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di situ, disebut secara jelas bahwa “Upaya pemberantasan
korupsi, kolusi, nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat
negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya. maupun pihak swasta/konglomerat
termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak
bersalah dan hak-hak asasi manusia”.

Pada tahun 2009, berdasarkan keputusan MA, Yayasan Supersemar akan dihukum mengganti
kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp 139.229.178 atau sekitar Rp 3,07
triliun.

Bagaimana Masalah ini Mengancam Kedaulatan?

Dengan permasalahan ini, tentu dapat menjadi salah-satu pengancam kedaulatan Indonesia.
Dengan kelakuan seorang presiden yang menghisap uang negara, bukan hanya hal itu akan
berdampak buruk pada ekonomi. Hal ini juga akan berdampak kepada kepercayaan
masyarakat akan pemerintahan Indonesia. United Overseas Bank menyatakan dalam salah
satu slogannya bahwa “trust is the world’s strongest currency”(2) yang bisa diartikan menjadi
“kepercayaan merupakan mata uang paling berharga”. Kalimat ini memiliki 2 poin. Pertama,
kepercayaan tidak bisa dibeli dengan uang. Kedua, dalam subjek ekonomi, mata uang biasa
pasti bisa fluktuasi seiring dengan waktu. Namun, “trust” tidak mengalami fluktuasi seiring
waktu, tetapi akan menjadi semakin kuat.

Artinya, sekaya apapun sebuah negara, tidak akan bertahan kedaulatannya jika
masyarakatnya pun tidak memberikan kepercayaan pada pemerintahnya. Apalagi negara yang
uangnya telah dihisap, pasti akan lebih parah. Tanpa kepercayaan, kericuhan dan unjuk rasa
akan semakin sering terjadi, serta perpecahan negara akan menjadi mungkin.

Solusi

Salah satu solusi yang dapat dilakukan dalam masalah ini adalah untuk meningkatkan
transparensi kinerja check and balance pemerintah dengan cara melakukan pengecekan &
expose oleh media dalam rangka waktu tertentu. Saya juga menawarkan solusi untuk
mendirikan sebuah badan dalam pemerintah yang memiliki koneksi langsung dengan media
masyarakat. Solusi ini bisa dianalogikan dengan sebuah Tim Sukses Gubernur. Dalam sebuah
timses, terdapat beberapa divisi (logistik, statistik, dll). Salah satunya adalah divisi media.
Saya bersyukur karena memiliki kesempatan untuk mengunjungi tempat tersebut. Dalam
kantor divisi media, terdapat banyak televisi dan radio menayangkan berita-berita terkini.
Divisi ini merupakan indra pengelihatan dan pendengaran dari Tim Sukses tersebut. Tanpa
divisi ini, komunitas tersebut bisa dibilang “buta”. Sama seperti sebuah negara. Tanpa
kolaborasi media dalam pemerintahan, masyarakat bisa dibilang “buta” akan segala
kebohongan dari pemerintah.

Hal ini mungkin belum tentu efektif, akan tetapi merupakan langkah yang sesuai dalam
menciptakan sebuah negara yang didasari teori “perjanjian masyarakat”. Teori ini sangat
relevan dengan sistem politik Indonesia yang bersifat demokratis. Dengan
mengimplementasikan solusi-solusi ini, setidaknya memberikan masyarakat peran penting
dalam mengawasi kinerja pemerintah.

Focus Question & Big Question

Berhubung dengan focus question proyek saya di sekolah, siswa-siswa ditanyakan “apa yang
seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mempertahankan kedaulatan?”.
Menyambung dari solusi serta penjelasan yang saya ajukan, seorang pemimpin harus bisa
mengenal dan menguasai segala senjata dan indra dari sistem yang diaturnya. Dalam konteks
ini, pemimpin diharapkan untuk mengaplikasikan media dalam pemerintah. Ini berarti,
pemimpin telah berhasi memaksimalkan transparansi kinerja pemerintah. Dengan
menciptakan transparansi, kepercayaan pun akan terbangun seiring dengan waktu, dan akan
semakin kuat. Dengan ini, kedaulatan sebuah negara akan bertahan.

Pertanyaan tambahan: mengapa rasionalitas esensial bagi seorang pemimpin? Mengakar dari
penjelasan saya sebelumnya, seorang pemimpin tidak bisa mengatur negaranya berdasarkan
rasionalitas dirinya saja. Butuh koneksi dan empati antar rasionalitas dengan seluruh
masyarakatnya. Dengan itu, pemimpin dapat mempersatukan tujuan negara, walau dengan
suku, ras, dan ideologi yang kerap berbeda.

Anda mungkin juga menyukai