Anda di halaman 1dari 4

SOAL

1. Sistem pemerintahan indonesia terdiri dari unsur nilai, struktur dan proses.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan unsur nilai, struktur dan proses dalam sistem
pemerintahan!
2. Sistem pemerintahan indonesia setelah amandemen UUD 1945 mengadopsi unsur-unsur
sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan
kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial.
Jelaskan unsur-unsur pembaharuan tersebut!
3. Jelaskan penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan UUD 1945 masa orde baru, sehingga
terjadi tuntutan Amandemen UUD 1945 pada masa reformasi.

JAWABAN

1. Dalam istem pemerintahan di Indonesia sebaiknya Setiap warga negara punya hak yang sama
dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Dan hukum dan
perundang-undangan harus berkadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan
hokum tentang hak asasi manusia. Kemudian harus Transparansi harus dibangun dalam
kerangka kebebasan aliran informasi dan harus dapat juga diakses secara bebas oleh mereka
yang membutuhkannya, informasi harus disediakan secara memadai dan mudah dimengerti,
sehingga dapat digunakan sebagai alat pengawasan. Dan juga pemerintah harus bertindak
sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai consensus atau
kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak. Dan dapat memberikan
kesempatan yang sama baik kepada semua orang untukmeningkatkan dan memelihara kualitas
hidupnya. Serta para pengambil kebijakan publik harus bertanggung jawab atas keputusannya
kepada publik. Penggunaan dana sekecil apapun harus dapat dipertanggung jawabkan pada
public. Dan para pemimpin publik harus memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang
tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Mereka harus paham aspek sejarah,
budaya, kemajemukan dan sebagainya. Dan selanjutnya seluruhan komponen atau unsure
dalam pemerintahan harus saling memperkuat dan saling terkait, didak berjalan sendiri-
sendiri. Sebagai contoh informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik,
tingkat parstisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin
efektif.

2. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer
dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan yang ada dalam sistem
presidensial. Antara lain adalah :
a. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap
memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
b. Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari
DPR.
c. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan
DPR.
d. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk Undang-Undang dan
hak budget (anggaran).
Dengan demikian, ada perubahan baru dalam sistem pemerintahan indonesia yang
diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama yang antara lain ;
pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme check and balances, dan
pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan
dan fungsi anggaran.
3. Penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan UUD 1945 pada masa orde baru:
Sebagai contoh dari 1.000 orang anggota MPR pada rekruitmen tahun 1997, misalnya
575 orang yang berasal dari partai politik, utusan daerah, dan golongan diangkat oleh
presiden. Rekruitmen untuk ketua MA (Mahkamah Agung), misalnya DPR mengajukan dua
calon. Calon yang diajukan terlebih dulu mendapat isyarat persetujuan presiden. Kemudian
salah satu orang dari calon tersebut diangkat oleh presiden. Demikian pula untuk jabatan
wakil ketua MA dan sejumlah Hakim Agung.Hal yang sama terjadi pula pada rekruitmen
pimpinan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan anggota DPA (Dewan Pertimbangan
Agung). Begitu pula dengan rekruitmen di luar lembaga negara/pemerintah, seperti partai
politik. Ketua partai politik direkrut atas dasar prinsip akomodatif. Artinya mereka yang
menunjukkan sikap kritis apalagi menentang pemerintah tidak akan dapat memimpin partai
politik.
Dalam hal APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) presiden sangat
menentukan, DPR tidak mampu mengubah secara substantif apapun yang diajukan oleh
Presiden. Anggaran tersebut kemudian didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk DIP
(Daftar Isian Proyek) maupun Inpres dan Banpres. Mekanisme anggaran seperti ini
merupakan proses distribusi kekayaan negara, yang membawa implikasi mobilisasi politik
bagi kepentingan dukungan terhadap Presiden. Hal tersebut masih ditambah dengan atribut
yang sifatnya personal yang disandang oleh presiden, seperti Pengemban Supersemar,
Mandataris MPR, dan Bapak Pembangunan.
Kemudian dilihat dari pembagian kekuasaan sebagai alternatif pemisahan kekuasaan,
memperlihatkan ketidakjelasan hubungan di antara lembaga tinggi negara. Misalnya, kalau
MPR sebagai lembaga legislatif, seharusnya anggotanya tidak boleh merangkap sebagai
pejabat eksekutif. Kenyataannya, sejumlah anggota MPR adalah para menteri, gubernur, dan
Pangdam, mereka adalah pejabat eksekutif. Bukan rakyat, sehingga makna perwakilan rakyat
menjadi dipertanyakan.
Kemudian kalau kita memperhatikan birokrasi pemerintahan Orde Baru memiliki
karakteristkik umum, yakni ketatnya hierarkhi dan legalistik. Coba kamu simak pendapat
William Liddle (ahli politik tentang Indonesia dari Amerika Serikat) dalam memberikan
gambaran karakteristik khusus tentang birokrasi era Orde Baru. Liddle menggambarkan
sebagai berikut: Karakteristik khusus birokrasi Indonesia memiliki citra diri yang baik hati
(benevolence). Dalam citra seperti ini, birokrasi di Indonesia mempunyai persepsi diri sebagai
pelindung atau pengayom, pemurah, dan baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, mereka
(birokrasi) juga mempunyai persepsi bahwa rakyat itu tidak tahu apa-apa alias bodoh dan
oleh karena itu mereka (rakyat) masih perlu dididik. Karena birokrasi sudah benevolence,
maka seharusnya rakyat harus patuh, taat dan setia (obidience) kepada pemerintahnya. Pola
hubungan yang bersifat benevolence – obidience inilah yang mewarnai secara dominan
interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.
Untuk memperkuat pola hubungan yang bersifat baik hati dan kepatuhan dalam interaksi
pemerintah dengan rakyat diterapkan kebijakan depolitisasi (rakyat dijauhkan dari
pemahaman yang kritis dan dibatasi partisipasi dalam bidang politik). Kebijakan depolitisasi
dilakukan dengan cara menerapkan konsep “massa mengambang” (floating mass). Konsep
massa mengambang ini, memudahkan kontrol pemerintah terhadap partai politik non
pemerintah. Juga memudahkan pemerintah mewujudkan prinsip monoloyalitas bagi semua
pegawai negeri. Begitu pula memudahkan upaya pengebirian (emaskulasi) bagi partai politik.
Pengebirian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melakukan penyederhanaan
sistem kepartaian (regrouping) dari 10 partai politik dikelompokkan menjadi 3 partai politik
(Golkar, PPP dan PDI). Kedua, dengan cara melakukan kontrol terhadap rekruitmen pimpinan
utama partai politik, sehingga dihasilkan pimpinan partai politik yang akomodatif terhadap
pemerintah.
Dengan perkataan lain interaksi pemerintah dengan rakyat yang bersifat baik hati dan
kepatuhan, maka mengharuskan DPR, partai politik, organisasi massa dan media pers harus
menempatkan diri untuk menopang pemerintah Orde Baru. Anggota DPR yang vokal
terhadap pemerintah dikenai recall. Partai politik yang mengembangkan sikap sebagai oposisi
ditekan. Begitu pula pers yang kritis terhadap pemerintah dibredel.
Pilar-pilar demokrasi seperti DPR, partai politik, dan media pers dalam kondisi yang
sangat lemah. Namun angkatan bersenjata dalam kehidupan politik Orde Baru, terutama
Angkatan Darat sebagai alat negara yang seharusnya memfokuskan diri pada fungsi
pertahanan, justru memiliki peran politik sangat penting. Peranan politik sangat penting itu,
terutama sebagai stabilisator dan dinamisator. Peranan politik Angkatan Darat terutama
tampak melalui keterlibatannya di MPR, DPR, jabatan menteri, gubernur dan bupati. Juga
tampak melalui keterlibatannya dalam organisasi sosial dan politik, terutama di Golkar
(Golongan Karya). Bahkan dari peranan politik kemudian merambah ke bidang ekonomi,
olahraga, kesenian, dan bidang sosial kemasyarakatan yang lain. Peran dalam berbagai bidang
tersebut dikenal sebagai “Dwi Fungsi ABRI”. Dengan peran sebagai stabilisator dan
dinamisator, militer tampak sebagai pembentuk suasana agar semua kebijakan pemerintah
Orde Baru dapat diimplementasikan dengan baik. Kemudian yang dirasakan dalam
pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan keamanan (security approach)
daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Sehingga pemerintahan Orde Baru
dikenal mengembangkan sistem politik otoriter, bukan sistem politik demokrasi. Meskipun
pemerintahan Orde Baru ketika itu menyebut dirinya mengembangkan demokrasi Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai