Anda di halaman 1dari 3

Nama : Farah Rieftiana S

NPP/Kelas: 28.0654 / D-2

Permasalahan Sistem Pemerintahan di Indonesia


5 Juni 2017   [11:09] , Diperbarui: 5 Juni 2017   [11:54]  

Sistem Pemerintahan di Indonesia

Sistem pemerintahan merupakan cara sebuah pemerintah untuk mengatur seluruh komponen-
komponen lainnya seperti DPRnya, hakim, badan keuangannya, dll. Terdapat 3 jenis sistem
pemerintahan yang utama.

Jenis yang Indonesia implikasikan adalah sistem presidensial. Dalam sistem ini, lembaga
eksekutif dijalani oleh suatu figur individu (juga wakilnya), serta terpisah dari lembaga legislatif.
Terdapat kelebihan dari sistem semacam ini, karena tidak rentan akan perselisihan dan
ketidaksetujuan, serta masa jabatan yang jelas.

Parlementer merupakan sistem lain yang sering digunakan oleh negara lain. Dalam sistem ini,
lembaga eksekutif dan legislatif disatukan ke dalam sebuah ruangan parlemen. Anggota
parlemen pun dapat terdiri dari berbagai ragam partai. Dengan begini, pembagian kerja dan
peran-peran dari anggota eksekutifnya dapat terlihat dengan jelas. Keberadaan partai-partai
multipel juga mempermudah suara rakyat untuk terdengar. Namun, sistem ini bisa menjadi
kurang efektif jika terdapat banyak ketidaksetujuan serta opini-opini yang terlalu bertentangan.

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah menganut kedua dari sistem pemerintah utama ini. Sejak
masa agresi militer (beberapa bulan setelah Indonesia merdeka), terjadi pembagian kekuasaan
dimana kekuasaan eksekutif hendak dipegang oleh Perdana Menteri (menurut maklumat presiden
no X, tanggal 16 November 1945).  Sistem ini berlanjut pada masa Indonesia menjadi negara
serikat (RIS). Akan tetapi,  sejak presiden mengeluarkan dekrit 1949 yang menyatakan tidak
berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945, Indonesia kembali menganut
sistem pemerintahan presidensial.

Salah satu faktor yang mendorong Indonesia dalam memberlakukan sistem presidensial kembali
adalah kondisi bagian-bagian daerah di Indonesia. Dengan memiliki negara bagian, serta pihak-
pihak dalam parlemen yang terdiri dari orang lebih dari satu, Indonesia rentan terhadap
perpecahan pada masa itu. Dengan mengangkat sebuah presiden, itu akan lebih relevan dengan
ideologi Indonesia yang bersifat kesatuan (sila ke-3 yang berbunyi “persatuan indonesia”).

Peran Pemerintah Sebelum dan Sesudah Amandemen

Agar bisa memahami sistem pemerintahan negara ini lebih dalam, perlu dimengerti peran dan
hak dari seorang presiden. Sebelum amandemen, presiden menjalankankan kekuasaan negara
paling tinggi. Selain memegang kuasa eksekutif, presiden juga memegang kekuasaan legislatif
dan yudikatif. Pada saat itu, belum ada aturan tertentu mengenai batasan periode jabatan
presiden.

Setelah amandemen, terdapat perubahan besar pada struktur pemerintahan. Sistem yang sekarang
diimplementasikan adalah sistem check and balance, yakni dimana peran eksekutif, legislatif,
serta yudikatif dibagi khusus kepada pihak yang beragam. Sekarang, presiden hanya berperan
sebagai eksekutif, pemulai kebijakan. Yang melegitimasi kebijakan tersebut adalah MPR, DPR
dan DPD. Kebijakan itu pun diaplikasikan pada sektor yudikatif.

Dengan amandemen ini, negara ingin memastikan bahwa semua bagian dari sistem pemerintah
memiliki peran yang cocok, seimbang, dan tidak ada individu yang memiliki kuasa berlebihan.
Dalam konteks kepresidenan, hal ini sangat berdampak pada proses eksekusinya. Misalnya,
“menyatakan perang, membuat perjanjian dan perdamaian dengan negara lain dengan
persetujuan DPR” atau “Mengajukan RUU (Rancangan Undang-Undang) kepada DPR”. Jelas
terlihat sistem konfirmasi antar Presiden dengan lembaga lainnya.

Contoh Kasus Permasalahan

Berhubung dengan ini, terdapat pula permasalahan sistem presidensial yang secara langsung
berhubungan dari presiden itu sendiri. Mengutip dari situs republika.co.id, dikatakan bahwa
“Mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia berdasarkan temuan
Transparency International 2004 dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar
AS.”(1)

Dari berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh beliau, dituliskan salah satu kasus korupsi yang
berhubungan dengan dana “Reboisasi Departemen Kehutanan” serta pos bantuan presiden. Dana
tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik beliau.

Sebagai representatif lembaga legislatif, MPR pun merenspons masalah ini dengan statement
pada Pasal 4 Ketetapan MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di situ, disebut secara jelas bahwa “Upaya pemberantasan
korupsi, kolusi, nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat
negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya. maupun pihak swasta/konglomerat
termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah
dan hak-hak asasi manusia”.

Pada tahun 2009, berdasarkan keputusan MA, Yayasan Supersemar akan dihukum mengganti
kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp 139.229.178 atau sekitar Rp 3,07 triliun.

Bagaimana Masalah ini Mengancam Kedaulatan?

Dengan permasalahan ini, tentu dapat menjadi salah-satu pengancam kedaulatan Indonesia.
Dengan kelakuan seorang presiden yang menghisap uang negara, bukan hanya hal itu akan
berdampak buruk pada ekonomi. Hal ini juga akan berdampak kepada kepercayaan masyarakat
akan pemerintahan Indonesia. United Overseas Bank menyatakan dalam salah satu slogannya
bahwa “trust is the world’s strongest currency”(2) yang bisa diartikan menjadi “kepercayaan
merupakan mata uang paling berharga”. Kalimat ini memiliki 2 poin. Pertama, kepercayaan tidak
bisa dibeli dengan uang. Kedua, dalam subjek ekonomi, mata uang biasa pasti bisa fluktuasi
seiring dengan waktu. Namun, “trust” tidak mengalami fluktuasi seiring waktu, tetapi akan
menjadi semakin kuat.

Artinya, sekaya apapun sebuah negara, tidak akan bertahan kedaulatannya jika masyarakatnya
pun tidak memberikan kepercayaan pada pemerintahnya. Apalagi negara yang uangnya telah
dihisap, pasti akan lebih parah. Tanpa kepercayaan, kericuhan dan unjuk rasa akan semakin
sering terjadi, serta perpecahan negara akan menjadi mungkin.

Solusi
Salah satu solusi yang dapat dilakukan dalam masalah ini adalah untuk meningkatkan
transparensi kinerja check and balance pemerintah dengan cara melakukan pengecekan & expose
oleh media dalam rangka waktu tertentu. Saya juga menawarkan solusi untuk mendirikan sebuah
badan dalam pemerintah yang memiliki koneksi langsung dengan media masyarakat. Solusi ini
bisa dianalogikan dengan sebuah Tim Sukses Gubernur. Dalam sebuah timses, terdapat beberapa
divisi (logistik, statistik, dll). Salah satunya adalah divisi media. Saya bersyukur karena memiliki
kesempatan untuk mengunjungi tempat tersebut. Dalam kantor divisi media, terdapat banyak
televisi dan radio menayangkan berita-berita terkini. Divisi ini merupakan indra pengelihatan dan
pendengaran dari Tim Sukses tersebut. Tanpa divisi ini, komunitas tersebut bisa dibilang “buta”.
Sama seperti sebuah negara. Tanpa kolaborasi media dalam pemerintahan, masyarakat bisa
dibilang “buta” akan segala kebohongan dari pemerintah.

Hal ini mungkin belum tentu efektif, akan tetapi merupakan langkah yang sesuai dalam
menciptakan sebuah negara yang didasari teori “perjanjian masyarakat”. Teori ini sangat relevan
dengan sistem politik Indonesia yang bersifat demokratis. Dengan mengimplementasikan solusi-
solusi ini, setidaknya memberikan masyarakat peran penting dalam mengawasi kinerja
pemerintah.

[1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/07/04/n85dwn-soeharto-diktator-
terkorup-sedunia-abad-ke20

[2] http://www.uobgroup.com/rightbyyou/sg/img/values/trust.jpg

Anda mungkin juga menyukai