Anda di halaman 1dari 8

ANALISA PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL DI

INDONESIA1
Oleh : Edward T.L. Hadjon, SH, LL.M2
(hadjonedward@gmail.com)

I. PENDAHULUAN
Sistem pemerintahan adalah hal penting untuk dimiliki oleh suatu negara. Sistem
pemerintahan inilah yang meberikan kewenangan kepada pemerintah yang mana
kewenangan tersebut diberikan oleh masyarakat kepada penguasa untuk diatur dan
dijalankan. Ditegaskan oleh Kusnardi dalam bukunya, bahwa sistem pemerintahan adalah
pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan
kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat.3 Semakin tegas sistem
pemerintahan yang dianut dalam suatu negara maka semakin tegas pula kepentingan rakyat
yang terpenuhi. Dilema yang dihadapi pada Negara Republik Indonesia pada saat ini adalah
ketidakjelasan sistem pemerintahan yang digunakan.
Di satu sisi Pasal 4 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan dipegang
oleh Presiden Republik Indonesia, namun di lain pihak beberapa hal kewenangan Presiden
dilemahkan melalui Amandemen pertama UUD 1945. Hal tersebut dilakukan semata-mata
hanya untuk menghindari kekuasaan Presiden yang otoriter sebelum masa reformasi. Namun
pertanyaannya apakah benar tujuan amandemen tersebut adalah menghindari kekuasaan
otoriter? Nampaknya hal ini lah yang perlu ditegaskan, sebab kejelasan sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh suatu negara akan membawa dampak besar terhadap pemenuhan
kepentingan rakyat, yang mana dapat dihindarkan adanya tumpang tindih kekuasaan yang
artinya dapat mengefisienkan tugas pemerintah itu sendiri.

1
Disampaikan pada acara focus group discussion kerjasama MPR RI dan Universitas Udayana “Penegasan dan
Penguatan Sistem Presidensiil’ di Denpasar, 21 Juli 2017.
2
Pengajar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 171.
II. RUMUSAN MASALAH
1) Berdasarkan praktik penyelenggaraan negara, bagaimanakah efektifitas implementasi
sistem presidensiil dewasa ini? Bila dipandang belum efektif dan optimal, aspek
manakah yang dipandang penting untuk dilakukan pembenahan terhadap sistem
presidensiil?
2) Perlukah upaya penyederhanaan partai politik dan bagaimanakah konsekuensinya
terhadap pembentukan fraksi di DPR?

III. ANALISA
Sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian penyelenggaraan pemerintahan
eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif. Sistem pemerintahan, secara garis besar
dapat dibedakan kedalam tiga macam yaitu; sistem Presidensiil, sistem parlementer dan
sistem campuran (campuran antar keduanya, bisa disebut dengan quasi presidensiil ataupun
quasi parlementer).
Dalam sistem pemerintahan presidensiil terdapat beberapa prinsip pokok sebagai
berikut:4
1. terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan legislatif dan
eksekutif;
2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan
yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala Negara atau sebaliknya, kepala Negara
adalah sekaligus kepala pemerintahan;
4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang
bertanggungjawab kepadanya;
5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula
sebaliknya;
6. Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;

4
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, cetakan kedua PT Bhuana
Ilmu Populer, Jakata, hlm.316.
7. jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem
presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif
bertanggung jawab pada konstitusi;
8. eksekutif bertanggungjawab langsung pada rakyat yang berdaulat;
9. kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat
pada parlemen.

Bila dilihat dari ciri utama yang tersebut di atas, ciri paling utama sistem presidensiil
adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Bentuk pemerintahan ini memungkinkan stabilitas eksekutif.
Logikanya apabila eksekutif dipilih secara langsung maka ia memiliki basis pemilih sendiri,
sehingga tidak tergantung pada badan legislatif. Dengan demikian presiden tidak mudah
digulingkan oleh parlemen yang mungkin saja menguasai mayoritas parlemen. Namun
demikian pemisahan secara tegas kekuasaan presiden (eksekutif) dengan kekuasaan legislatif
sering menghalangi pelaksanaan program pemerintah. Khususnya jika parlemen tidak setuju
dengan program pemerintah. Apabila parlemen dikuasai oleh oposisi maka besar
kemungkinan pemerintah akan menjadi pemerintah minoritas. Situasi dimana partai
menguasai hak eksekutif maupun legislatif juga mungkin terjadi. Dalam keadaan seperti ini
jelas bahwa eksekutif sangat dominan, dominasi eksekutif bukan tanpa bahaya karena
eksekutif dominan jika terancam kelangsungan pemerintahannya dapat mengubah sistem
demokrasi menjadi nondemokrasi seperti di Philipina.5
Terkait praktik penyelenggaraan Negara Republik Indonesia dilaksanakan
sepenuhnya berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Selanjutnya disebut UUD 1945). Hal tersebut nampak jelas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 disebutkan bahwa “Keadaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Dalam melaksanakan kegiatannya, sistem yang dianut oleh
Indonesia dikatakan jelas adalah sistem presidensiil. Pasca Reformasi, menurut beberapa
pandangan, perubahan pertama UUD 1945 dikatakan mempertegas sistem presidensiil
sebagai dasar penyelenggaraan negara. Namun penulis dalam posisi ini menolak, bahwa

5
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy:The Difficult Combination,”Comparative
Political Studies, 26 (1993), hlm. 198-222.
sejatinya sistem Presidensiil lebih diperlemah. Yakni terkait batasan masa jabatan Presiden6,
kemudian pasca perubahan, banyak memberikan pembatasan terhadap kekuasaan Presiden,
baik dari segi fungsional maupun dari segi waktu atau periode. Terjadi pergeseran kekuasaan
Presiden ke DPR seperti kekuasaan dalam pembentukan undang-undang walaupun dalam
prosesnya melibatkan Presiden, serta ada kekuasaan Presiden yang dahulu bersifat mandiri
saat ini sudah terkait dengan lembaga Negara lain.7
Kekuatan murni Presiden hanya nampak dalam Pasal 15 UUD 1945 yaitu memberi
gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. Jika
demikian dikatakan oleh C.F. Strong jabatan eksekutif tersebut hanyalah sebagai nominal
executive yang hanya berfungsi sebagai simbol dalam urusan-urusan yang bersifat seremonial
belaka.
Walaupun terlihat secara implisit dalam Pasal 12 UUD 1945 Presiden memiliki
kewenangan murni untuk menentukan keadaan bahaya dan segala akibatnya dalam suatu
undang-undang, namun dalam Pasal 22 UUD 1945, ketentuan bahaya tersebut harus
mendapat persetujuan DPR, jika tidak dapat persetujuan maka ketentuan tersebut harus
dicabut. Pertanyaannya adalah siapakah penanggung jawab keadaan darurat? Di
Indonesia tanggung jawab keadaan darurat nasional berada di pundak Presiden.8 Sungguh
tidaklah logis jika beban tanggung jawab hanya berada pada Presiden selaku kepala negara,
jika terjadi penyimpangan (walaupun dalam keadaan bahaya itu sendiri fungsi-fungsi
pemerintahan dapat diselenggarakan secara menyimpang dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam keadaan normal) maka Presidenlah yang bertanggung jawab? bukankah
deklarasi keadaan bahaya juga harus mendapat persetujuan DPR? Hal ini menjadi ruang
bebas bagi Parlemen untuk menggunakan Pasal 7A, 7B UUD 1945 apabila hanya Presiden
yang bertanggung jawab terhadap keadaan bahaya.
Selanjutnya meminjam prinsip pokok sistem presidensiil poin 5, dimana anggota
parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Secara
tidak langsung kondisi multipartai di Indonesia menimbulkan kemungkinan adanya
pelaggaran prinsip tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa pembatu Presiden yaitu menteri-
menteri nya (salah satunya) bisa saja anggota dari partai yang menguasai Parlemen. Hal ini

6
Vide Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7
Vide Pasal 11, Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8
Jimly Asshiddiqie, op cit, hlm. 360
memang politis sekali, dalam artian Presiden tetap ingin mengontrol kekuasaannya di dalam
parlemen. Bahaya terhadap situasi ini adalah bergesernya sistem pemerintahan demokrasi
menjadi sistem pemerintahan non-demokrasi. Untuk itu sangat perlu adanya perampingan
partai politik demi berfungsinya sistem pemerintahan yang melaksanakan kepentingan
rakyat.
Salah satu pilar demokrasi adalah pemilu, baik yang dilaksanakan oleh parpol melalui
mekanisme demokrasi perwakilan (representative democracy) maupun yang dilaksanakan
oleh pihak bukan parpol berdasarkan representasi substantif. Sistem pemilu yang harus
digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD serta model representasi politik yang
hendak diterapkan adalah sejumlah aspek sistem perwakilan yang belum ditentukan dalam
UUD 1945. Berikut ini adalah sejumlah indikator sistem perwakilan politik yang dimaksud:9

a) Keseimbangan keterwakilan penduduk (DPR) dengan keterwakilan daerah (DPD) untuk


mewujudkan keadilan sosial dan keadilan territorial, untuk memelihara integrasi nasional
dan integrasi wilayah, kepentingan penduduk dan kepentingan wilayah harus diwadahi
secara terpisah sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam proses pembuatan
keputusan politik secara nasional. Oleh karena itu, DPR dibentuk mewakili kepentingan
penduduk sedangkan DPD dibentuk mewakili kepentingan daerah provinsi. Alokasi kursi
DPR kepada provinsi dan pembentukan daerah pemilihan dilakukan berdasarkan prinsip
kesetaraan keterwakilan segenap penduduk (equal representation) berdasarkan ketentuan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Alokasi kursi DPD kepada provinsi dilakukan berdasarkan
prinsip kesetaraan daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22D ayat (2) UUD 1945,
tetapi UUD 1945 perlu memberi kewenangan kepada DPD untuk ikut membuat sebagian
undang-undang sehingga kepentingan daerah secara efektif terwakili dalam pembuatan
keputusan politik secara nasional.
b) Representasi politik secara kolektif melalui parpol untuk kepentingan bangsa lebih
mengedepankan daripada representasi politik secara individual oleh kader parpol untuk
kepentingan konstituen. Parpol tidak hanya sarana yang digunakan rakyat
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga menjadi jembatan antara

9
http://safelawfirm.com/id/pemilu-serentak-dan-penguatan-sistem-presidensiil-di-indonesia/#_ftn1, diakses pada 17
Juli 2017
masyarakat dengan negara, tetapi juga menjadi peserta pemilu anggota DPR dan DPRD
sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, kedua model
representasi politik ini perlu diadopsi dan dilaksanakan, tetapi lebih mengedepankan
parpol sebagai representasi kolektif atas kepentingan bangsa daripada representasi
individual oleh kader parpol atas kepentingan konstituen.
c) Keseimbangan jenis representasi substantif (ide, gagasan) dengan jenis representasi
deskriptif (aspirasi dan kepentingan suatu kelompok masyarakat diwakili oleh seorang
atau lebih dari kelompok tersebut), seperti keterwakilan perempuan secara memadai di
lembaga perwakilan politik. Di atas kertas, representasi secara substansial dapat
mengatasi representasi deskriptif. Akan tetapi, dalam kenyataannya permasalahan
representasi politik tidak selalu sesederhana itu. Tidak hanya karena suatu kelompok
masyarakat merasa diwakili kalau “salah seorang dari mereka” tampil mewakili
kelompok masyarakat tersebut, tetapi juga karena dalam beberapa hal secara obyektif
hanya orang yang berasal dari kelompok masyarakat itulah yang memiliki kemampuan
merumuskan dan memperjuangkan kepentingan kelompok masyarakat tersebut.
d) Keseimbangan inclusiveness (keterwakilan) berbagai unsur masyarakat (termasuk jumlah
suara yang tidak terkonversi menjadi kursi sangat rendah) dengan akuntabilitas wakil
rakyat kepada konstituen.
e) Metode representasi trustee perlu dilaksanakan secara lebih menonjol daripada metode
representasi mandat. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kelemahan, dan karena
itu wakil rakyat yang diperlukan tidak hanya yang memiliki kemampuan mendengarkan
kehendak dan preferensi konstituen dan melakukan interaksi secara reguler, tetapi juga
kemampuan mempertimbangkan kehendak dan preferensi konstituen dalam konteks
kebijakan publik yang adil.
f) Jumlah parpol/fraksi di DPR dan DPRD tidak terlalu banyak dan perbedaan perolehan
kursi antarparpol/fraksi sangat signifikan sehingga koalisi dua atau tiga parpol tidak
hanya mampu memenangi pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi juga mayoritas
kursi DPR. Koalisi dua atau tiga parpol yang kalah dalam pemilu nasional bertindak
sebagai oposisi. Demikian pula di daerah, koalisi dua atau tiga parpol dapat memenangi
pemilu kepala daerah dan mayoritas kursi DPRD, sedangkan koalisi dua atau tiga parpol
yang kalah dalam pemilu lokal akan bertindak sebagai oposisi. Oleh karena itu, di satu
sisi pola interaksi yang muncul di DPR/DPRD akan berupa kompetisi antara koalisi
parpol yang memerintah dengan koalisi yang menjadi oposisi. Namun pada sisi lain,
masing-masing koalisi telah menyepakati visi, misi, dan program pembangunan bangsa
secara nasional dan visi, misi, dan program pembangunan daerah secara lokal.
g) Pengambilan keputusan di DPR, DPD, dan DPRD tidak hanya membuka kesempatan
deliberasi yang cukup luas bagi para anggota setiap fraksi di bawah koordinasi fraksi,
tetapi juga kesempatan luas bagi partisipasi publik, khususnya berbagai organisasi
masyarakat sipil (nonelectoral representation) dalam proses pembuatan keputusan, untuk
mendapatkan keputusan yang adil (dan fair judgment), proses pembuatan keputusan di
setiap lembaga perwakilan rakyat harus menjamin kesempatan bagi proses deliberasi
terbuka (musyawarah dengan hikmat kebijaksanaan) yang melibatkan para anggota dari
semua fraksi. Proses pengambilan keputusan yang melibatkan publik juga harus dijamin
tidak hanya karena dewasa ini terjadi kompetisi antara electoral
representation atau formalistic representation (representasi oleh penyelenggara negara
yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu) dengan jenis representasi baru yang bersifat
informal, seperti LSM dan organisasi masyarakat sipil (non-electoral
representation atau substantive representation), tetapi hal itu juga karena partisipasi
politik warga negara (participatory democracy) dan representasi merupakan dua bentuk
demokrasi yang saling melengkapi.

Namun hanya mengandalkan pemilu menjadi demokratis lantaran diikuti oleh banyak
partai agaknya tidak cukup buat mengembangkan proses demokratisasi.

IV. KESIMPULAN
Dalam tulisan ini, penulis berkesimpulan sebagai berikut ini, bahwasanya :
1) Mengembalikan kekuasaan Presiden yang bersifat mandiri khususnya kekuasaan
Presiden sebagai ”real executive” namun tetap terbatas dengan mengindahkan
prinsip check and balances.
2) Perlu adanya perampingan partai politik sehingga tercipta pelaksanaan
Pemerintahan yang efisien dan efektif.
BAHAN BACAAN
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, cetakan
kedua PT Bhuana Ilmu Populer, Jakata1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 171.
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy:The Difficult
Combination,”Comparative Political Studies, 26 (1993), hlm. 198-222.
http://safelawfirm.com/id/pemilu-serentak-dan-penguatan-sistem-presidensiil-di-
indonesia/#_ftn1, diakses pada 17 Juli 2017

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai