Anda di halaman 1dari 32

PENGARUH KEDUDUKAN PRESIDEN SEBAGAI LEMBAGA

EKSEKUTIF DALAM PROSES PEMBENTUKAN HUKUM

MAKALAH HUKUM & POLITIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi

Tugas Makalah Hukum & Politik

Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

OLEH :

DIAN RHAMADHAN

02012682024061

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................3

A. Latar Belakang.......................................................................................................3

B. Rumusan Masalah................................................................................................10

C. Tujuan Penelitian.................................................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................11

1. Tinjauan Umum Tentang Presiden.........................................................................11

2. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Presiden di Bidang Legislasi

.............................................................................................................................12

BAB III PEMBAHASAN................................................................................................8

1. Kewenangan Presiden Sebagai Lembaga Eksekutif dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan...........................................................................17

2. Korelasi Antara Presiden dan DPR dalam Bidang Legislasi.................................24

BAB IV PENUTUP........................................................................................................29

A. Kesimpulan..........................................................................................................29

B. Saran....................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat

dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak

mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.1 Dengan adanya

kenyataan tersebut maka konsekuensinya tentu saja konstitusi memiliki

kedudukan yang sangat penting dalam suatu sistem ketatanegaraan suatu

Negara.

Perubahan UUD Tahun 1945 telah membawa dampak besar

terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen pertama pada

tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus

2000, amandemen ketiga pada tanggal 9 November 2001, dan amandemen

keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.2

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

negara kesatuan yang berbentuk republik. Pernyataan ini sangat terkait erat

dengan kedudukan dan peran presiden dalam pemerintahan negara. Lebih

jauh lagi pasca perubahan UUD 1945 perubahan ke-4, Pasal 37 ayat (5)

menjadikan ketentuan mengenai bentuk negara kesatuan dan bentuk

pemerintahan Republik Indonesia sebagai pasal yang tidak dapat diubah (

1
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali pers, 1999), hlm. 53
2
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jilid I, (Yogyakarta: Kanisius, 2007),
hlm.125

3
4

unamendable provision) dari UUD 1945. Bagir Manan dalam bukunya

Lembaga Kepresidenan mengutip pendapat Hamilton menyatakan bahwa

hal yang paling esensial dalam republik adalah pemerintah yang berasal

dari rakyat banyak, bukan dari suatu jumlah (kecil) yang tidak berarti atau

dari kelas tertentu. Untuk memenuhi kriteria tersebut dipergunakan nama

jabatan ‘presiden’ yang berasal dari kata praesidens-praesidere yang

artinya ‘memimpin’.3

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebagai Kepala

Pemerintahan, kekuasaan Presiden besar. Presiden di Indonesia,

memegang kekuasaan pemerintahan, disamping itu Presiden memegang

kekuasaan dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan Presiden dalam

membentuk undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) sebelum

perubahan, yang berbunyi Presiden memegang kekuasaan membentuk

Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden

juga mempunyai kekuasaan untuk membentuk Peraturan Pemerintah guna

melaksanakan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2)

sebelum perubahan.

Apabila ketentuan tersebut ditafsirkan secara harfiyah, maka jelas

Presiden yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedang

Dewan Perwakilan Rakyat berfungsi memberi (atau tidak memberi)

persetujuan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang berada pada Presiden

tersebut.4 Hal tersebut menjadikan kekuasaan presiden yang terlalu luas


3
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 4
4
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerntahan Negara, (Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm.
5

dalam membentuk undang–undang. Presiden dalam membentuk undang–

undang harus diartikan bahwa Presiden mempunyai hak inisiatif

disamping hak inisiatif yang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Presiden turut serta dalam pembahasan rancangan undang-undang

bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kenyataannya, hak inisiatif

Presiden lebih banyak dipergunakan dibandingkan dengan hak inisiatif

Dewan Perwakilan Rakyat karena terdapat berbagai faktor objektif dan

faktor subjektif yang dapat mempengaruhi penggunaan tersebut.5

Menurut penulis, masalah kekuasaan legislasi memang menjadi

salah satu isu krusial dalam agenda amandemen konstitusi Indonesia pasca

reformasi. Sebelum dilakukannya amandemen konstitusi, pengaturan

sistem penyelenggaraan kekuasaan Negara telah memberi ruang

konstitusional bagi Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif untuk

sekaligus menjalankan kekuasaan legislatif. Kekuasaan eksekutif dan

legislatif yang terkonsentrasi di tangan Presiden dapat dilihat sebagai

cerminan kuatnya kedudukan Presiden.6

Sejatinya jika mengacu pada konsepsi trias politica murni, maka

kekuasan Presiden (lembaga ke Presidenan) hanya akan terbatas pada

kekuasaan pelaksanaan dari undang-undang (terjemahan eksekutif adalah

pelaksana undang-undang). Namun dalam perkembangan teori pembagian

kekuasaan atau trias politica ada pergeseran dan konsepsi check and

146
5
Ibid. hlm 132
6
Daniel Susilo, Muhammad Roesli, “Konsepsi Kekuasaan Legislasi Presiden Dalam
Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal MIMBAR YUSTITIA, Vol. II, No. II, 2018, hlm. 160
6

balances dari model pembagian kekuasaan tersebut. Yang pada akhirnya

merubah praktek penerapan trias politica dalam sebuah Negara menjadi

model yang lebih fleksibel, dengan adanya check and balances ini.

Dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tetap bisa

melaksanakan kekuasan lainnya, seperti kekuasaan pembentukan undang-

undang yang notabene adalah kekuasaan dari lembaga legislatif sebagai

lembaga utama dalam urusan pembentukan undang-undang. Model dari

konsepsi trias politica dengan adanya check and balances ini lebih dikenal

dengan distribution of power atau pembagian kekuasaan dengan lawannya

separation of power atau pemisahan kekusaan, yaitu penerapan trias

politica yang kaku.7

Pendapat Bagir manan yang mengatakan ketentuan Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 bukan saja membingungkan tetapi

mengandung anomali adalah benar, sebab menurut Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 Presiden memegang kekuasaan

pemerintahan. Dalam hal ini, Presiden disamping menjalankan kekuasaan

pemerintahan juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang,

sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat hanya mempunyai hak mengajukan

rancangan undang-undang (Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum

perubahan). Suatu Hal yang sangat ironis pada masa itu bahwa Dewan

Perwakilan Rakyat tidak dapat mendatangkan satupun Rancangan

7
Cipto Prayitno, “Analisis Konstitusionalitas Batasan Kewenangan Presiden dalam
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Vol. 17, No.2,
2020, hlm. 463.
7

Undang-Undang.8 Moh. Mahfud. MD mengatakan9 karena begitu kuatnya

kekuasaan pemerintah sehingga Dewan Perwakilan Rakyat merupakan

semacam Rubber stamp. Keadaan seperti ini tentunya sangat

mempengaruhi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat dalam membentuk

undang-undang. Akibatnya hampir semua undang-undang diarahkan untuk

kepentingan pemerintah.

Menurut Jellinek10, pemerintahan mengandung dua arti, yaitu arti

formal dan arti material. Pemerintahan dalam arti formal mengandung

kekuasaan mengatur (Verordnungsgewalt) dan kekuasaan memutus

(Entscheidungsgewalt), sedangkan pemerintahan dalam arti material berisi

dua unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das Element der

regierung und das der Vollziehung).

Dari ketentuan bunyi pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan

pemerintahan mengandung juga kekuasaan pengaturan dalam arti

membentuk peraturan. Bagir Manan berpendapat, jika ditinjau dari teori

pembagian kekuasaan yang dimaksud kekuasaan pemerintah adalah

kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan

pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat dibedakan antara

kekuasaan penyelenggaran pemerintahan yang bersifat umum dan

kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus.11

8
Marojahan Js Panjaitan, Pembentukan dan perubahan Undang –undang berdasarkan
undang –undang dasar 1945, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2017), hlm. 149
9
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media,
1999), hlm. 223
10

11
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 99
8

Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan yang

setingkat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Dalam

ketentuan pasal 22 UUD Tahun 1945 bahwa Perpu adalah suatu peraturan

mempunyai kedudukan setingkat dengan undang-undang yang

pembentukanya dilakukan oleh presiden dan tidak terlepas dari

pengawasan DPR.12

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah

peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam ‘hal ihwal kegentingan yang

memaksa’. oleh karena itu, proses pembentukannya berbeda dengan

pembentukan suatu Undang-Undang. Menurut penjelasan UUD Tahun

1945 pasal 22 menegaskan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa

Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-

undang dalam keadaan yang genting dan tidak terlepas dari pengawasan

DPR. yang mana peraturan pemerintah ini kekuataanya sama dengan

Undang-undang harus disahkan oleh DPR.

Kewenangan Presiden menetapkan Perpu merupakan wewenang

luar biasa dibidang perundang-undangan. sedangkan wewenang

membentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan

Presiden merupakan wewenang biasa. Dalam praktek sistem perundang-

undangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundang-

undangan tersendiri.13

12
Maria Farida Indrati,Ilmu Perundang-Undangan Jilid I, Op. Cit., hlm. 191.
13
Achmad Fauzi, Hukum Lembaga Kepresidenan, (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945, 2007), hlm. 76
9

Perubahan UUD 1945 telah menegaskan Presiden sebagai

pemegang kekuasaan eksekutif (Pasal 4 ayat 1) dan DPR sebagai

pemegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat 1).

Meskipun locus kekuasaan pembentukan undang-undang telah dialihkan

dari Presiden kepada DPR,namun ternyata Presiden masih memiliki power

atau kekuasaan yang cukup besar dalam proses pembentukan undang-

undang. Hal ini dapat diketahui dari norma konstitusi yang memberikan

hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang(Pasal 5

ayat 1);ikut membahas rancangan undang-undang bersama DPR dan

memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang (Pasal 20 ayat 2);

menolak untuk memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang

yang telah dibahas bersama DPR (Pasal 20 ayat 3); dan, mengesahkan

rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR untuk

menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat 4). Bagir Manan14 menyatakan

bahwa kekuasaan Presiden di bidang perundang-undangan memang cukup

luas. Presiden turut berbagi kekuasaan dengan badan legislatif dalam

membuat undang-undang.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis

tertarik ingin membahas mengenai problematika ini dan akan ditulis dalam

suatu karya ilmiah yang berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam hal

pembentukan hukum yang berjudul “PENGARUH KEDUDUKAN

PRESIDEN SEBAGAI LEMBAGA EKSEKUTIF DALAM PROSES

PEMBENTUKAN HUKUM”
14
Daniel Susilo, Muhammad Roesli, Op.Cit., hlm. 161
10

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kewenangan Presiden Sebagai Lembaga Eksekutif Dalam

Membentuk Peraturan Perundang-Undangan?

2. Bagaimana Korelasi antara Presiden dan DPR dalam bidang legislasi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan

penilitan ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Kewenangan Presiden Sebagai

Lembaga Eksekutif Dalam Membentuk Peraturan Perundang-

Undangan

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan Presiden dan DPR

dalam bidang legislasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Presiden


11

Presiden adalah seorang pemimpin tertinggi atau kepala sebuah

lembaga, organisasi, perusahaan, badan, dan lain-lain. Dalam hukum tata

negara, istilah tersebut adalah sebutan untuk pejabat tertinggi pemerintah

nasional pada kebanyakan negara yang menggambarkan kepala negara

dan/atau kepala pemerintahan. Dalam Presidensial tidak dikenal adanya

lembaga tertinggi negara. Dalam sistem Presidensial, Presiden dipilih oleh

rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu sesuai dengan konstitusi. Dalam

menjalankan tugasnya, Presiden dibantu Wakil Presiden dan para Menteri

yang diangkat dan bertanggungjawab langsung pada Presiden.15

Secara Konstitusional Negara Republik Indonesia menganut sistem

Presidensial yang memiliki arti pemegang kendali dan penanggungjawab

jalannya pemerintahan negara adalah Presiden sedangkan Menteri hanyalah

sebagai pembantu Presiden, hal tersebut tertuang dalam batang tubuh dan

penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.16

Dalam perjalanannya Indonesia pernah mengalami perubahan yang

signifikan saat merubah sistem pemerintahannya dari sistem Presidensial

menjadi parlementer. Meskipun telah kembali menjadi negara kesatuan dan

menganut sistem pemerintahan Presidensial. Negara Republik Indonesia

masih tercampur unsur-unsur parlementer sehingga Indonesia dianggap masih

menganut sistem Presidensial Campuran.

B. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Presiden di Bidang Legislasi


15
B.N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet.I, hlm. 451
16
Mohammad Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta:
Rienaka Cipta, 2008) hlm.90.
12

Kekuasaan seorang Presiden dalam suatu Negara modern selalu

didasarkan pada konstitusi yang berlaku di negeri tersebut. Sejak

kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah berganti

kosntitusi,mulai dari Undang-Undang1945, konstitusi RIS 1949, UUD

Sementara tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden tanggal

5 Juli 1959 sampai perubahan UUD 1945 sebanyak 4 kali sejak tahun 1999-

2002.17

Menurut Ismail Sunny18, kekuasaan Presiden berdasarkan UUD RI

Tahun 1945 meliputi kekuasaan administratif, legislatif, yudikatif, militer,

dan kekuasaan diplomatik. Kekuasaan administratif ialah pelaksanaan

Undang-Undang dan politik administrasi, kekuasaan legislatif ialah

memajukan rencana Undang-Undang dan mengesahkan Undang-Undang,

kekuasaan yudikatif ialah kekuasaan untuk memberikan grasi dan amnesti,

kekuasaan militer ialah kekuasaan mengenai angakatan perang dan

pemerintahan, kekuasaan diplomatik ialah kekuasaan yang mengenai

hubungan luar negeri, dan kekuasaan darurat.

Menurut pendapat H.M Ridhwan Indra19, terbaginya kekuasaan dalam

bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai

kepala negara, dan kekuasaan di bidang yudikatif, terlihat bahwa kekuasaan

Presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsi sebagai kepala negara dan

17
Abdul Goffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009) hlm 28.
18
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), hlm. 43.
19
Sulardi, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, (Semarang: Setara Press,
2012), hlm. 132
13

kepala pemerintahan sekaligus mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR).

Pemisahan yang tegas antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang

kekuasaan legislasi menjadi titik penting untuk menjelaskan fungsi legislasi

dalam sistem pemerintahan presidensial. dengan pemisahan itu, dalam

sistemp residensial, badan legislasi menentukan agendanya sendiri,

membahas dan menyetujui rancangan undang-undang pun sendiri pula.

Lembaga legislasi mengusulkan dan memformulasikan dan dapat bekerja

sama dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi.20

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Negara kita, lembaga

presiden mempunyai dua fungsi sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan. Kekuasaan Presiden menembus pada area kekuasaan legislatif

dan kekuasaan yudisial.

Kekuasaan Presiden sebelum Amandemen UUD Tahun 1945 meliputi:

a) Kekuasaan di bidang penyelenggaraan pemerintahan yang

berdasarkan UUD Tahun 1945 pasal 4 ayat (1) yaitu

Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan.

b) Kekuasaan di bidang legislatif yang berdasarkan UUD

Tahun 1945 pasal 22 ayat(1), (2), (3) yaitu Presiden

mempunyai kekuasaan lebih besar dari pada DPR,selain

membentuk Undang-Undang bersama DPR, dalam kondisi

kegentingan memaksa Presiden mempunyai kekuasaan

20
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010),
hlm. 82
14

untuk membentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang.

c) Kekuasaan di bidang yudisial yang berdasarkan UUD

Tahun 1945 pasal 14 ayat(1), dan (2) yaitu Presiden

mempunyai kekuasaan memberikan grasi, abolisi, amnesti

dan rehabilitasi.

d) Kekuasaan di bidang militer yang berdasarkan UUD Tahun

1945 pasal 10 yaitu kekuasaan Presiden memegang

komando tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,

dan Angkatan Udara.

e) Kekuasaan hubungan luar negeri yang berdasarkan UUD

Tahun 1945 pasal 11 ayat(1) dan (2) yaitu Presiden

mempunyai kekuasaan untuk membuat perjanjian dengan

negara lain dan meminta persetujuan dari DPR.

f) Kekuasaan darurat yang berdasarkan UUD Tahun 1945

pasal 12 yaitu Presiden mempunyai kekuasaan untuk

membentuk Undang-Undang tentang syarat dan akibat

negara dalam keadaan bahaya.

g) Kekuasaan mengangkat dan menetapkan pejabat tinggi

negara yang berdasarkan UUD Tahun 1945 pasal 13 ayat

(1), (2), dan (3) yaitu Presiden mempunyai kekuasaan untuk


15

mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, duta

dan konsul.21

Seiring dengan dinamika politik dan hukum ketatanegaraan yang

berkembang sekarang. Khususnya saat digulirkannya proses amandemen

konstitusi oleh MPR hasil pemilu 1999-sekarang. Telah berhasil

melakukan perubahan terhadap UUD Tahun 1945 sebanyak empat kali.

Menurut pendapat Ichlasul Amal seperti yang dikutip oleh Sumali,

kelemahan UUD Tahun 1945 memberikan dasar pola relasi antara negara

dan masyarakat yang tidak seimbang, yaitu terlalu memberikan posisi

yang kuat kepada Presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan

membuktikan penerapan UUD RI Tahun 1945 terhadap kehidupan politik

telah melahirkan sistem politik otoritarian dan setralistik. Semua ini

memungkinkan penguasa mencari kesempatan untuk memanipulasi

kekuasaan sesuai dengan kepentingan pribadi tanpa memikirkan dampak

dari sistem kekuasaan yang otoritarian dan sentralistik. UUD RI Tahun

1945 telah memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga

kepresidenan. Presiden selain menjalankan kekuasaan eksekutif juga

membentuk peraturan perundang-undangan dan kekuasaan yang berkaitan

dengan penegakkan hukum. Setelah UUD RI Tahun 1945 mengalami

perubahan sampai empat kali, kekuasaan Presiden mengalami

pengurangan signifikan. Banyak kalangan yang menilai telah terjadi

21
Muhammad Zamroni, “Kekuasaan Presiden Dalam Mengeluarkan Perppu”, Jurnal
legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 3, 2015, hlm.4
16

pergeseran kekuasaan kearah penguatan lembaga parlemen (legislatif

heavy).

BAB III
PEMBAHASAN
17

1. Kewenangan Presiden Sebagai Lembaga Eksekutif Dalam Membentuk

Peraturan Perundang-Undangan

Lazimnya pembentukan suatu peraturan perundang-undangan

bersumber pada suatu kewenangan, baik yang bersifat atribusi maupun yang

bersifat delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, yang diberikan oleh UUD/ Undang-Undang kepada

lembaga Negara dalam hal ini Presiden akan melekat secara terus-menerus.

Dengan kewenangan tersebut, Presiden dapat berprakarsa secara mandiri

untuk mengajukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

sewaktu-waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas kewenangan yang

diberikan oleh UUD dan/ atau Undang-Undang.

Dapat kita lihat dari ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945, disitu

disebutkan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang

kepada DPR. Disisi lain, ada delegasi kewenangan, yaitu pelimpahan

kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan tersebut dinyatakan

dengan tegas ataupun tidak.22

Kekuasaan Presiden dibidang Perundang-Undangan sangatlah luas.

Presiden turut berbagi kekuasaan dengan lembaga legislative dalam membuat

Undang-Undang. Disamping itu, Presiden berwenang membuat peraturan

perundang- undangan sendiri baik atas dasar kewenangan mandiri maupun

22
Jimly Asshidiqie (dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang Baik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) hlm.43
18

yang didasarkan pada pelimpahan dari suatu Undang-Undang. Kewenangan

mandiri dalam membentuk peraturan perundang-undangan ada yang bersifat

normal atau biasa dan ada pula yang bersifat tidak normal atau luar biasa.

Dominasi Presiden sungguh terlihat ketika terjadi kasus penolakan

RUU Penyiaran yang diajukan pada zaman Menteri Penerangan, Harmoko.

RUU tersebutditolak oleh Presiden Soeharto melalui amanat Presiden yang

tertanggal 11 Juli 1997. Padahal RUU tersebut telah dibahas dan disetujui

oleh DPR pada akhir tahun 1996,sehingga menimbulkan reaksi keras dari

Rektor Universitas 17 Agustus Jakarta, Sri Suwantri yang mengatakan bahwa

ini semua akibat dari dominannya kekuasaan Presiden dalam bidang legislasi.

Menurut Inu Kencana Syafiie mengutip pendapat Muhammad

Ridhwan Indra, menyatakan bahwa akan halnya besar kekuasaan Presiden

dalam UUD 1945 itu terlihat karena :

1. Presiden di samping memimpin eksekutif tertinggi, juga

memiliki kekuasaan legislatif;

2. Presiden disamping memimpin eksekutif tertinggi juga

memiliki kekuasaan yudikatif;

3. Presiden mempunyai kekuasaan untuk membentuk peraturan

pemerintah untuk menjalankan undang-undang

(pouvoirreglementair);

4. Undang-undang yang mengatur seluruh lembaga tinggi negara

lainnya dapat dibuat Presiden.


19

Dalam perkembangan ketatanegaraan membuktikan penerapan UUD

RI Tahun 1945 terhadap kehidupan politik telah melahirkan sistem politik

otoritarian dan setralistik. Semua inimemungkinkan penguasa mencari

kesempatan untuk memanipulasi kekuasaan sesuai dengan kepentingan

pribadi tanpa memikirkan dampak dari sistem kekuasaan yang otoritarian dan

sentralistik.UUD RI Tahun 1945 telah memberikan kedudukan yang kuat

kepada lembaga kepresidenan. Presiden selain menjalankan kekuasaan

eksekutif juga membentuk peraturan perundang-undangan dan kekuasaan

yang berkaitan dengan penegakkan hukum. Setelah UUD RI Tahun 1945

mengalami perubahan sampai empat kali, kekuasaan Presiden mengalami

pengurangan signifikan. Banyak kalangan yang menilai telah terjadi

pergeseran kekuasaan kearah penguatan lembaga parlemen (legislatif

heavy)23.

Perubahan pertama UUD RI Tahun 1945 dalam sidang umum MPR

Tahun 1999 terdapat beberapa pasal untuk menghindari penumpukan

kekuasaan Presiden, sehingga membuka peluang terealisasinya konsep

pembagian kekuasaan (distribution of power)24. Presiden mempunyai

kekuasaan untuk mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR

berdasarkan pasal 5 UUD RI Tahun 1945. Presiden dan Wakil Presiden

memegang jabatan selama 5 Tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali

berdasarkan pasal 7 UUD RI Tahun 1945.

23
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945, (Jakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 86
24
Soentanto Soepiadhy, “Kekuasaan Eksekutif Setelah Perubahan UUD Tahun 1945
Dalam Prospek Pemerintahan Demokratis”, Jurnal Yustika, Vol. 12 No. 1, 2009, hlm. 30.
20

Dalam menjalankan tugasnya, Presiden mempunyai menteri-menteri

yang bertugas membantu dalam berbagai urusan pemerintahan sehingga lebih

efektif justru presiden diwakili menterinya atau pejabat di lingkungan

kementriannya untuk pembahasan suatu RUU. Sehingga muncul saran bahwa

seharusnya pasal 20 ayat (2) lebih tepat menyebutkan dengan istilah

pemerintah bukan presiden karena menteri dilekatkan sebagai bagian dari

pemerintahan. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945: “Dalam rancangan Undang-

Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden

dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah

menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.25

Menurut Jimly Asshiddiqie, tindakan pengesahan Presiden

sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut

hanyalah bersifat administratif belaka, karena secara materiil rancangan

undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan

Presiden yang diputuskan dalam rapat Paripurna DPR-RI adalah tindakan

pengesahan yang bersifat materiil, sedangkan pengesahan oleh Presiden

sebagaimana dimaksud oleh pasal 20 ayat (4) UUD 1945 tersebut adalah

pengesahan yang bersifat formil. Apalagi dengan adanya ketentuan Pasal 20

Ayat (5) yang menentukan jika dalam waktu 30 hari sejak mendapat

persetujuan dari Presiden, maka rancangan undang-undang itu sah menjadi

25
Rahayu Prasetyaningsih, Menakar Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal PJIH, Vol. 4, No. 2, 2017,
hlm.270
21

undang-undang. Sehingga bisa dipastikan rancangan undang-undang yang

telah mendapat persetujuan bersama pasti akan menjadi undang-undang.26

Walaupun kekuasaan membentuk Undang-Undang telah berada di

DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan kekuasaan dalam

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, derajatnya sama dengan Undang-

Undang. Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 yang

menegaskan:27

1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-

undang.

2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah

itu harus dicabut.

Disini dinyatakan bahwa tanpa persetujuan sebelumnya dari DPR,

Presiden dapat saja menetapkan suatu peraturan sebagai pengganti undang-

undang (perpu) karena alasan atau pertimbangan keadaan yang mendesak.28

26
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang –Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hlm.297
27

28
Putera Medea, “Kekuasaan Presiden RI dalam Bidang Legislatif Setelah Amandemen
UUD 1945”, Jurnal Lex Administratum, Vol. 1, No.2, 2013, hlm. 151
22

Presiden juga mempunyai kekuasaan untuk menetapkan Peraturan

Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 yang tidak

mengalami perubahan sama sekali. Peraturan Pemerintah (PP) dibuat

berdasarkan perintah tegas dari undang-undang (delegasi) atau berdasarkan

pertimbangan Presiden untuk melaksanakan suatu undang-undang. Menurut

Bagir Manan, dalam hal tidak ada perintah tegas dari undang-undang,

Presiden bebas memilih bentuk peraturan lain, kecuali apabila hal tersebut

akan melanggar asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang baik

atau pembatasan teknis lainnya, misalnya larangan pemuatan sanksi pidana.29

Akan tetapi, dalam Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi, setiap rancangan

undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama, apabila dicermati akan menimbulkan suatu

penafsiran mengenai hak tolak Presiden. Dengan menggunakan teori

penafsiran gramatikal atau ketatabahasaan, maka dapat ditarik makna yang

tersirat bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang, Presiden diberi

hak oleh konstitusi untuk menyetujui RUU. Begitu pula berdasarkan

penafsiran a contrario, Presiden diberi hak pula untuk menolak atau tidak

menyetujui. Akan tetapi ini hanyalah pandangan penulis semata, mekanisme

pelaksanaan kekuasaan ini dimasa mendatang sebaiknya dinyatakan secara

tegas melalui peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang berasal dari Presiden, RUU yang telah

disiapkan akan diajukan kepada pimpinan DPR RI dengan surat Presiden.

Surat tersebut memuat penunjukan menteri yang ditugaskan mewakili


29
Ibid.
23

Presiden dalam melakukan pembahasan RUU bersama dengan DPR RI.

Selanjutnya terhitung sejak pemimpin DPR RI menerima surat dari Presiden

Tersebut, DPR RI mulai membahas RUU yang diajukan oleh Pesiden dalam

kurun waktu selambat-lambatnya selama 60 hari.30

Apabila rancangan yang telah diajukan oleh Presiden tersebut

disetujui oleh DPR dan Presiden secara bersama-sama, selanjutnya akan

disampaikan oleh pimpinan DPR RI kepada Presiden untuk disahkan menjadi

Undang-Undang. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu

paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.31 RUU

disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU teresebut

disetujui secara bersama antara Presiden dan DPR RI32

Mengenai kuatnya kedudukan dan peran Presiden dalam bidang

legislatif selain karena ketentuan UUD 1945, juga oleh karena penguasaan

informasi dan mekanisme pengambilan keputusan di kalangan pemerintah.

Adapun Implikasi kewenangan Presiden Republik Indonesia di Bidang

Legislatif dalam hal membentuk UU telah diatur dalam Pasal 20 Ayat (2), (3),

(4) dan (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

2. Korelasi Antara Presiden dan DPR Dalam Bidang Legislasi

30
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), hlm. 56
31
Pasal 73 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
32
Aziz Syamsuddin, Op. Cit., hlm. 63
24

Presiden yang merupakan puncak kekuasaan eksekutif dalam

menjalankan kekuasaannya bekerja sama dengan DPR sebagai lembaga

legislatif. Hal ini bertujuan agar prinsip check and balances antara lembaga

negara dapat tercapai dengan baik. Hubungan antara Presiden dengan DPR ini

terkait dengan kekuasaan pembentukan undang-undang. Kekuasaan DPR ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan

pertama, sedangkan hak Presiden untuk mengajukan rancangan undang-

undang kepada DPR tertuang dalam Pasal 5 (1) UUD 1945.

Dalam hal pembuatan undang-undang, Presiden berhak mengajukan

Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR. Rancangan Undang-

Undang yang diajukan oleh Presiden tersebut, kemudian dibahas bersama

DPR. Apabila RUU tersebut mendapat persetujuan bersama, RUU dapat

disahkan menjadi UU. Meskipun Presiden tidak mengesahkan RUU dalam

waktu 30 hari, RUU wajib diundangkan.

Menurut John Pieries (dalam Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010 ;

120)33 bahwa secara langsung, sebenarnya didalam mekanisme pembahasan

RUU, DPR melakukan sekaligus dua fungsinya yaitu pertama, fungsi

pembuatan undang-undang. Kedua fungsi melakukan pengawasan, yaitu

mengawasi keinginan Presiden yang akan menggunakan undang-undang

sebagai instrumen melalui muatan yang dikehendakai untuk mewujudkan

kepentingannya.

33
Nirwan Moh. Nur, “Hubungan Kewenangan Antara Presiden Dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Jurnal Yustisiabel, Vol. 1, No. 1,
2017, hlm. 26
25

Lebih lanjut ia berpendapat bahwa perubahan kewenangan

membentuk undang-undang kepada DPR dimaksudkan agar program legislasi

nasional dan kegatan pembentukan undang-undang lebih banyak ditentukan

oleh DPR. Karena itu, tugas utama DPR menurut UUD 1945, terletak di

bidang perundang-undangan. Di bidang perundang-undangan banyak hal

yang bisa dirumuskan terutama aspek-aspek hukum mengenai keadilan, hak

asasi manusia dan demokrasi.

Setelah Perubahan UUD 1945, terlihat telah terjadi pergeseran

pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Pergeseran ini terjadi

dalam perubahan (amandemen) UUD 1945, yang menempatkan DPR sebagai

pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Penempatan tersebut

tercermin pada Pasal 20 Ayat (1)UUD 1945 yang menegaskan: “Dewan

Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.34

Pergeseran kekuasaan pembentukan undang-undang itu dapat dibaca

dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari Presiden

memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR,

menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada

DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi Presiden dalam proses

pembentukan undang-undang. Perubahan ini penting artinya karena undang-

undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan

rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD 1945.

34
Perubahan Tahap Pertama UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Umum (SU)
MPR-RI pada bulan oktober 1999
26

Perubahan Pasal 5 ayat (1), memiliki dasar pemikiran yang kuat,

secara logis memang harus demikian adanya guna menghindari implikasi

yuridis berupa duplikasi kekuasaan kelembagaan negara. Pasal 5 ayat (1)

memang harus dirumuskan bahwa Presiden bukan sebagai pemegang

kekuasaan, sebab Presiden sebagai lembaga yang menjalankan undang-

undnag, karena itu Presiden dari perspektif kekuasaan tepat diberikan

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”

Untuk menggambarkan kekuatan posisi konstitusional DPR

berdasarkan UUD 1945, ditegaskan pula dalam Pasal 7C bahwa, ”Presiden

tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Sebaliknya dalam Pasal 7A ditentukan, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden

dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik

apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden.”35

Pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak atau kewajiban

mengajukan rancangan undang-undang, hak amandemen atau hak untuk

mengubah setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah.

Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi legislasi mencakup :

1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation)

2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process)

35
Putera Medea, Op.Cit., hlm. 153
27

3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactment approval)

4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas

perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-

dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision

making on international agreement and treaties or other legal

binding documents).36

Selanjutnya, berkenaan dengan fungsi legislatif, parlemen

mempunyai hak-hak seperti :

a) hak inisiatif,

b) hak amandemen.

Dalam sistem bikameral setiap kamar lembaga parlemen juga

dilengkapi dengan hak veto dalam menghadapi rancangan undang-undang

yang dibahas oleh kamar yang berbeda. Hak veto berfungsi sebagai sarana

kontrol terhadap pelaksanaan fungsi legislatif ini biasanya juga diberikan

kepada Presiden, sehingga dalam sistem bikameral yang pemerintahannya

bersifat presidensial hak veto dimiliki oleh tiga pihak sekaligus, yaitu

presiden, majelis tinggi dan majelis rendah. Dalam sistem bikameral yang

akan diperkenalkan di Indonesia di masa depan, diusulkan hak veto

dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah. Melalui mekanisme hak veto itu proses checks and balance tidak
36
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang –Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),
hlm.180
28

saja terjadi diantara parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara

sesama parlemen sendiri.37

BAB IV
PENUTUP

37
Ibid. hlm. 181
29

A. Kesimpulan

1. Dalam pembentukan undang-undang, pasca perubahan terlihat

kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang tidak lagi

dominan apabila kita bandingkan dengan kewenangan Presiden dalam

pembentukan undang-undang sebelum dilakukan perubahan, dimana

kekuasaan Presiden begitu dominan. Pasca perubahan UUD 1945,

terlihat bahwa kekuasaan legislatif berada dibawah kekuasaan Dewan

Perwakian Rakyat dan Presiden bertindak sebagai Co Legislator yang

memiliki hak inisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang

kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi di dalam pembentukan

Undang-Undang Presiden masih mempunyai kewenangan. Hal ini dapat

dilihat dengan adanya suatu keharusan bahwa Undang-Undang itu

dibentuk harus dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.

2. Perubahan (amandemen) telah membawa pembaharuan dalam

ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya kekuasaan pembentukan

undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga

fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya

(sebelum amandemen UUD 1945), tetapi tetap Presiden melakukan

pembentukan Undang-Undang bersama DPR.

B. Saran
30

1. Bagi Pemerintah agar lebih mendorong peningkatan kualitas DPR

dalam kinerja legislasi. Pemerintah juga diharapkan dapat

meningkatkan anggaran dan menyediakan sumber daya lainnya yang

dapat mendukung DPR dalam pelaksanaan fungsi legislasinya.

DAFTAR PUSTAKA
31

A. BUKU-BUKU:

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia


Dalam Penyelenggaraan Pemerntahan Negara, Jakarta: Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Abdul Ghoffar, 2009, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah


Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana.

Abdul Goffar, 2009, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia, Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

Achmad Fauzi, 2007, Hukum Lembaga Kepresidenan, Semarang: Fakultas


Hukum Universitas 17 Agustus 1945

Aziz Syamsuddin, 2013, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang,


Jakarta: Sinar Grafika.

B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Cetakan I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH UII Press.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum
Konstitusi, Jakarta: Rajawali pers.

Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang –Undang, Jakarta: Konstitusi Press.

Jimly Asshidiqie (dalam Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan yang Baik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)

Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan Jilid I, Yogyakarta:


Kanisius.
Marojahan Js Panjaitan, 2017, Pembentukan dan perubahan Undang –undang
berdasarkan undang –undang dasar 1945, Bandung: Pustaka Reka Cipta.

Moh. Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama
Media.

Mohammad Mahfud MD, 2008, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,


Jakarta: Rienaka Cipta
Ni’matul Huda, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap
Dinamika Perubahan UUD 1945, Jakarta: FH UII Press.
32

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Semarang: Setara


Press.

B. JURNAL

Cipto Prayitno. (2020) “Analisis Konstitusionalitas Batasan Kewenangan


Presiden dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang”, Jurnal Konstitusi, 17 (2)

Daniel Susilo, Muhammad Roesli. (2018), “Konsepsi Kekuasaan Legislasi


Presiden Dalam Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal MIMBAR
YUSTITIA, II (II)

Muhammad Zamroni. (2015), “Kekuasaan Presiden Dalam Mengeluarkan


Perppu”, Jurnal legislasi Indonesia, 12 (3)

Nirwan Moh. Nur. (2017) “Hubungan Kewenangan Antara Presiden Dengan


Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia”
Jurnal Yustisiabel, 1 (1)

Putera Medea. (2013) “Kekuasaan Presiden RI dalam Bidang Legislatif Setelah


Amandemen UUD 1945”, Jurnal Lex Administratum, 1 (2)

Rahayu Prasetyaningsih. (2017), Menakar Kekuasaan Presiden dalam


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-Undang
Dasar 1945”, Jurnal PJIH, 4 (2)

Soentanto Soepiadhy. (2009) “Kekuasaan Eksekutif Setelah Perubahan UUD


Tahun 1945 Dalam Prospek Pemerintahan Demokratis”, Jurnal Yustika, 12
(1)

C. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234

Anda mungkin juga menyukai