Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ARNETA OKTAVIA ZEN

KELAS : 05/SORE

NPM : 20.11.1001.1011.173

MATA KULIAH : HUKUM TATA NEGARA

FENOMENA “EXECUTIVES HEAVY”; DAMPAK ABSENSI CHECK AND


BALANCES PADA UUD 1945 NRI SEBELUM AMANDEMEN

Setelah berakhirnya rezim orde baru yang dipimpin oleh presiden soeharto,
Indonesia mulai memasuki era reformasi. Pada era reformasi ini terjadi 4 (empat) kali
amandemen UUD 1945 NRI, yang diawali pada tahun 1999 sampai yang terakhir pada
tahun 2002. Amandemen UUD 1945 ini dilakukan bukan tanpa sebab mengingat
sejarah ketatanegaraan Indonesia yang sebelumnya menunjukan penyimpangan
kekuasaan akibat penyalahgunaan dan salah tafsir UUD 1945.

Presiden sebagai Lembaga eksekutif merangkap ‘serba bisa’, dengan kekuasaan


dibidang legislative dan bidang yudikatif. Polarisasi ini menunjukan adanya
kecondongan sifat executive heavy dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan executive heavy itu sendiri? mengapa UUD 1945
sebelum amandemen di katakan condong ke sifat executive heavy?

Executive heavy dapat diartikan sebagai kecondongan bobot kekuasaan yang


lebih besar kepada Lembaga eksekutif yaitu Presiden. Presiden di anggap memilik
kedudukan lebih tinggi pada struktur pemerintahan, sehingga menyebabkan
kecenderungan timbul dominasi presiden terhadap Lembaga tinggi negara lainnya. Hal
ini bertentang keras dengan prinsip ketatanegaraan check and balances yang harusnya
dianut Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi.

Pada prinsip check and balances Lembaga-lembaga negara saling sederajat,


yang di harap dapat mewujudkan keseimbangan antar Lembaga negara sebagai bentuk
pencegahan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Lembaga negara tertentu.
Terdapat sebuah frasa terkenal dari lord acton, guru besar sejarah modern yang hidup
di abad ke-19, ia menyatakan “power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely” yang dapat di artikan bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan
kekuasaan yang absolut, cenderung korup secara mutlak (sanusi, 2009:83).

Hal ini dapat menjadi patokan bahwa pemusatan kekuasaan yang besar pada
satu cabang, sangatlah berbahaya karena dapat menjadi boomerang yang sewaktu
waktu akan di manfaatkan oknum tertentu. Kejadian serupa pernah terjadi dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia, seorang presiden menjabat selama 32 tahun. masa
jabatan ini pun di anggap sah, mengacu pada pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen
yang menyatakan “Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat di pilih Kembali” namun belum ada
kejelasan berapa batasan periode jabatan presiden, hal ini menimbulkan kejanggalan
dengan berbagai kekuasaan yang dimiliki presiden pada masa itu.

Menurut abdul muktie fadjar (2006:11-13) ada beberapa alasan mengapa UUD
1945 sebelum amandemen dirasa condong ke arah executive heavy salah satunya
struktur UUD 1945 (sebelum amandemen), menempatkan dan memberikan kekuasaan
yang terlalu besar kepada Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan
pemerintahan, tetapi juga menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang
(legislative) mengacu pada pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”

Selain itu, UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak cukup memuat sistem check
and balances antara cabang-cabang pemerintahan, yang akibatnya kekuasaan Presiden
semakin besar dan menguat karena tidak cukup mekanisme kendali dan pengimbang
dari cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Ketiga, UUD 1945 (sebelum amandemen) menjadi instrumen politik yang
ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme yang menyuburkan
praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di sekitar kekuasaan Presiden.

Sebagai negara penganut paham demokrasi yang tercemin pada pasal 1 ayat
(2) UUD 1945 setelah amandemen yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar” fenomena
executive heavy ini menurut saya perlu dibahas dan diketahui pada masa sekarang.
Sebagai sebuah pelajaran dan acuan agar tidak lagi terjadi penyimpangan kekuasaan
dalam system ketatanegaraan Indonesia. hal ini juga memperlihatkan pentingnya
mekanisme Check and balances atas separation of power (pembagian kekuasaan) agar
terwujud negara demokrasi dengan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Presiden dan Lembaga tinggi lainnya berperan sebagai pengemban amanah rakyat,
menjalankan pemerintahan harus nya sesuai dengan kepentingan rakyat, bukan
kepentingan politik pribadi dengan maksud tertentu.

Adanya amandemen UUD 1945 yang lebih menganut system check and
balances, perlahan merubah Haluan kekuasaan dari sifat executive heavy ini. Memang
masi belum sempurna dan di gadang-gadang malah memunculkan legislative heavy.
Pada realitas yang terjadi, kesesuaian-kesesuaian teoritik yang ada memang tidak selalu
berjalan mulus. Dengan dengan segala konflik ketatanegaraan yang pernah terjadi
terlihat bahwa bangsa Indonesia selalu berkembang sebagai cara untuk mewujudkan
tujuan bangsa Indonesia sebaik-baiknya. Para pendiri negara, presiden, dan jajaran
pejabat tinggi negara lainnya hanyalah manusia biasa yang dapat berbuat salah, namun
berpatokan dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “negara Indonesia adalah negara
hukum” menjadi penegasan bahwa hukum dasar di Indonesia harus lah dibuat serinci
mungkin agar pemerintahan dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
Referensi

Abdul Mukhtie Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta-
Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media.

Sunarto, (2016). Prinsip check and balances dalam system Ketatanegaraan Indonesia.
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45. 157-163

Sanusi, H. A. (2009). Relasi antara korupsi dan kekuasaan. kontitusi.

sulardi. mewujudkan check and balances dalam penyusunan undang undang.

windarawan, p. (2012). Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga. Jurnal Konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai