Anda di halaman 1dari 7

Analisis Pergeseran Fungsi Legislasi

Abstrak
Dinamika perubahan dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia terutama jelang
millennium kedua telah membawa perubahan pada system ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dengan dilaksanakanya amandemen UUD 1945 yang berlangsung sebanyak 4 kali sejak tahun 1999
hingga tahun 2002. Perubahan yang cukup fundamental terhadap system ketatanegaraan Indonesia, yang
dalam tulisan ini dikuhususkan pada pergeseran fungsi legislasi di Indonesia, dari yang sebelumnya
dipegang oleh lembaga eksekutif kemudian bergeser kepada lembaga legislative. Hal tersebut dibuktikan
dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen yang menyebutkan bahwa
pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang adalah Presiden dengan persetujuan dari DPR..
Tetapi, meskipun telah diadakan penguatan kewenangan legislasi terhadap DPR sebagai lembaga
legislative, apakah akan menghilangkan sifat Executive Heavy dari fungsi legislasi yang dipengan lembaga
eksekutif?

Kata Kunci: Executive Heavy, Fungsi Legislasi, Kekuasaan Legislatif,

Pendahuluan
Konsep Negara hukum telah muncul dari saat istilah Negara hukum itu sendiri belum dikenal.
Mengenai gagasan Negara hukum Plato dalam karya tulisnya yang berjudul Nomoi telah
mengemukakan bahwa penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada
pengaturan (hukum) yang baik1. Pernyataan tersebut didukung oleh muridnya Aristoteles yang
menuliskan dalam bukunya Politica bahwa suatu Negara yang baik adalah Negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum2. Konsep Negara hukum ini kemudian
mengalami pergembangan, pada abad ke-19 muncul konsep Negara hukum (rechtsstaat) yang
dikemukakan oleh Freidrich Julius Stahl pada wilayah Eropa continental dan konsep Negara
hukum (rule of law) yang dikemukakan oleh A.V.Dicey pada wilayah Anglosakson3. Kedua ahli
tersebut sama-sama mengemukakan konsep Negara hukum, perbedaan dari kedua konsep
tersebut adalah pada system hukum eropa kontinetal lebih menitik beratkan pada perundang-

1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Pers, 2016,hlm.2.
2
Ibid.
3
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,Jakarta: Gramedia,2008,hlm.57-58.
undangan yang terutulis atau biasa disebut sebagai civil law, sedangakan pada sisitem hukum
Anglosakson lebih menitik beratkan pada keputusan hakim atau yurisprudensi biasa juga disebut
degan istilah common law. Meskipun kedua konsep Negara hukum tersebut memiliki latar
belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, namun kedua konsep tersebut sama-sama
memiliki ide terkait dengan pembatasan kekuasaan, yang didalam konsep Negara hukum
rechtsstaat, Stalh menyatakan bahwa salah satu unsur dari Negara hukum adalah pemisahan
atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia4.
Mengenai konsep pembatasan kekuasaan dengan cara pemisahan kekuasaan sendiri
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1748, ketika itu Montesquieu memperkenalkan teori
pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan menjadi tiga cabang, yaitu cabang kekuasaan
legislative, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial5.
Menurut pendapat Montesquieu yang dia tuliskan di bukunya ”L’Esprit des Lois” tiga cabang
kekuasaan Negara tersebut dibagi sesuai dengan wilayah kekuasaannya, yaitu; (i) kekuasaan
legislative sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan;dan
(iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Konsep pembagian kekuasaan seperti itu oleh
Emanuel Kant disebut sebagai Trias Politica. Tri berarti tiga, As berarti poros, dan Politica berarti
kekuasaan, sehingga Trias Politica berarti tiga poros kekuasaan6.
Pemisahan bersifat horizontal ini kemudian menjadi hal penting untuk menelaah terkait
fungsi legislative pada system presidensil yang akan menjadi topik pembahasan tulisan ini.
Dalam sistem presidensil, badan legislative menentukan agendanya sendiri, membahas dan
menyetujui rancangan undang-undang. Hal ini didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat
sehingga merupakan wewenang eksklusif dari badan perwakilan yang berdaulat untuk
menentukan suatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap warga negara
(presumption of liberty of the souvereign people)7. Namun ketika melihat pada praktiknya di
Indonesia yang menerapkan konsep separation of power, tidak menjadikan fungsi legislasi
sebagai fungsi ekslusif yang dimiliki oleh lembaga perwakilan yaitu Dewan perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal itu dibuktikan pada Pasal 5 ayat (1) amandeman
UUD 1945 yang menyatakan “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.” maka dari itulah muncul istilah pergeseran fungsi legislative.

4
Ibid.
5
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:Rajawali Pers,2014,hlm.282-283.
6
Sukardi, Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal, Hand Out Kuliah Sistem Otonomi Daerah, Magister
Hukum Universitas Airlangga, Suarabaya
7
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Depok: Rajawali Pers, 2018. Hlm.2.
Pergeseran Funsi Legislasi Dalam Sorotan
Memasuki millenium kedua negara Indonesia mengalami gejolak dimana terdapat
ketidakpuasan dari masyarakat Indonesia yang dilandasi oleh beberapa faktor, mulai dari faktor
ekonomi hingga merambat kepada isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Ketidakpuasan tersebut yang menjadi sebuah pemicu diadakanya reformasi, dimana dalam
reformasi terdapat sebuah agenda untuk mengamanademen Undang-Undang Dasar tahun
1945. Dalam Amandemen Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang telah berlangsung sebanyak
empat kali sejak tahun 1999 hingga tahun 2000 telah menyebabkan perubahan yang cukup
fundamental mengenai system ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan
adalah perubahan pada fungsi legislasi dalam lembaga Negara. Sebelum amandemen UUD 1945
fungsi legislasi hanya berada di tangan Presiden hal termaktub dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945
yang berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. DPR yang menjadi lembaga legislative di Indonesia
justru hanya memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap undang-undang
yang dibuat oleh presiden, sebagaimana tercantum pada pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi “ Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Keadaan tersebut menyebabkan kewenangan eksekutif menjadi eksesif (executive heavy). Maka
dibutuhkanlah perubahan Undang-Undang dasar, untuk membangun penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis, konstitiusi harus mampu mencegah terjadinya keadaan dimana
pada satu cabang kekuasaan terdapaat penumpukan kekuasaan8, sebagaimana dijelaskan oleh
Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) yang kemudian diterjemahkan dalam
bahasa inggris yang berjudul “The Spirit of Law:”9
“When the legislative and executive power are united in the same person, or in the same body
of magistrate, there can be no liberty; because apprehensioms may arise, lest the same monarch
or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannical manner”.
Memang kekuasaan eksekutif dalam hal ini yang diatur di UUD 1945 sebelum amandemen tidak
akan seburuk yang digambarkan Montesquieu, yang mengatakan tidak akan kebebasan (liberty)
karena kemungkinan jika pemegang kekuasaan eksekutif dan legislative dipegang oleh satu
badan akan menciptakan hukum yang tirani. Masih terdapat kontrol dari lembaga legislative
yaitu dalam hal memberikan persetujuan. Namun tetap saja akan terjadi ketidakseimbangan

8
. Ibid,hlm.154.
9
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit. hlm.285.
ketika yang menjalankan undang-undang adalah orang atau lembaga yang sama dengan yang
membuat undang-undang tersebut yakni eksekutif. Maka itu muncul sebuah upaya untuk
mereduksi wewenang eksekutif dan meningkatkan wewenang legislative dengan cara
mengamandemen UUD 1945, jika sebelumnya kekuasaan untuk membentuk undang-undang
hanya dimiliki oleh Presiden dengan persetujuan DPR, maka setelah perubahan pertama UUD
1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk undang-undang itu ditegaskan berada di
tangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen
ditentukan hanya berhak untuk mengajukan RUU kepada DPR.10 Dengan adanya amandemen
tersebut maka telah menegaskan mengenai pergeseran fungsi legislasi yang sebelumnya berada
di ekskutif atau Presiden kemudian bergeser ke legislative atau DPR. Dengan begitu terpenuhilah
konsep pembagian kekuasaan sebagaimana dipahami sampai saat ini, namun masih terdapat
ketidakjelasan mengenai pemegang fungsi legislasi sepenuhnya karena walaupun kekuasaan
pembentukan undang-undang dipegang oleh DPR sebagai lembaga legislatif namun Presiden
tetap memiliki fungsi legislative tersebut dimana dijelaskan pada Pasal 5 ayat (1) amandemen
UUD 1945 yang berbunyi “Presiden berhak mengajukan undang-undang kepeda Dewan
Perwakilan Rakyat”.
Kemudian juga yang menjadi pertanyaan, apakah ketika telah adanya pergeseran kekuasaan
membentuk undang-undang dari Preseiden ke DPR akan menghilangkan executive heavy atau
paling tidak akan adanya keseimbangan?, nampaknya tidak juga11, alasannya adalah Pertama;
UUD sendiri menegaskan pembentukan undang-undang didasarkan pada persetujuan bersama
anatara DPR dan Presiden. Sebagai lanjutan dari ketentuan ini, dalam pembentukan undnag-
undang, Presiden masih merupakan bagian yang krusial yakni selain inisiatif, presiden turut serta
dalam membicarakan RUU. Hingga 2010 inisiatif DPR dalam mengajukan RUU sangat terbatas,
akibatnya pembentukan undang-undang sangat terbatas, Kedua; DPR dalam prakteknya, lebih
mengutamakan fungsi non-legislatif atau fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Ketika di
kebanyakan Negara 2/3 dari waktu DPR digunakan untuk membahas RUU, namun di Indonesia
2/3 waktu DPR justru digunakan untuk urusan-urusan diluar fungsi legislative, Ketiga; meskipun
di dalam DPR terdapan Prolegnas (program legislasi nasional), tetapi realisasi masih banyak diisi
pemerintah. Walaupun ada RUU atas inisiatif DPR dalam kenyataann didominasi konseosi atau
setidak-tidakanya dirumuskan oleh pemerintah. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa
sebenarnya pembahasan bersama DPR dan pemerintah adalah suatu hal yang lazim dalam

10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,Jakarta:Sinar Grafika,2015, hlm.16.
11
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta:Rajawali Pers,2014.hlm.84-85.
semua Negara karena pemerintah lah yang akan melaksanakan undang-undang itu kelak, jadi
sudah sewajarnya undang-undang dibahas berasama dalam pemerintah. Namun, Saldi Isra
menanggapi pendapat Jimly dengan mengatakan bahwa pendapat tersebut hanya bisa diterima
pada system pemerintahan parlementer12. Hal itu didasari bahwa dalam system parlemeneter
memang tidak ada pemisahan yang tegas antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang
kekuasaan legislative. Sementara itu dalam system pemerintahan presidensi, presiden atau
pihak eksekutif tidak terlibat dalam pembahasan rancangan undang-undang. Contohnya pada
konstitusi Amerika Serikat Article 1 section 1 “All legislative Powers herein granted shall be
vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of
Representatives” yang secara eksplisit menyatakan bahwa kekuatan legislative hanya ada ada
kongres yang berisi House (DPR) dan senat, lalu mereka juga memberikan presiden hak veto
untuk menjaga sistem check and balances tetap ada, mengenai hak veto presiden juga diatur
dalam Article 1 Section 7 angka 2 yang menyatakan:
“Every Bill which shall have passed the House of Representatives and the Senate, shall, before it
become a Law, be presented to the President of the United States; If he approve he shall sign it,
but if not he shall return it, with his Objections to that House in which it shall have originated,
who shall enter the Objections at large on their Journal, and proceed to reconsider it. If after such
Reconsideration two thirds of that House shall agree to pass the Bill, it shall be sent, together
with the Objections, to the other House, by which it shall likewise be reconsidered, and if
approved by two thirds of that House, it shall become a Law. But in all such Cases the Votes of
both Houses shall be determined by yeas and Nays, and the Names of the Persons voting for and
against the Bill shall be entered on the Journal of each House respectively. If any Bill shall not be
returned by the President within ten Days (Sundays excepted) after it shall have been presented
to him, the Same shall be a Law, in like Manner as if he had signed it, unless the Congress by their
Adjournment prevent its Return, in which Case it shall not be a Law.”
Berdasarkan Article 1 Section 7 angka 2 Konstitusi Amerika Serikat di atas, maka setiap undang-
undang (Bill) harus mendapat persetujuan dari kedua kamar dalam kongres yakni Senate dan
House of Representative. Sebelum menjadi undang-undang harus dimajukan ke Presiden untuk
mendapatkan pengesahan (Approving).Jika Presiden menyetujui undang-undang tersebut maka
dia akan menandatanginya, dan apabila tidak maka Presiden Amerika Serikat akan
mengembalikannya kepada Senate dan DPR dengan memberikan alasan-alasan penolakan
(objection). Penolakan Presiden terhadap bill yang sudah disetujui oleh kedua kamar dalam

12
Saldi Isra, Op.Cit. hlm.350.
kongres Amerika Serikat biasa disebut dengan veto. Veto merupakan wewenang keonstitusional
yang dimiliki oleh Presiden Amerika Serikat untuk mengesahkan suatu bill. Dalam teori, praktek
seperti ini disebut dengan “presidential veto”. Namun, hak veto presiden tersebut masih dapat
dilawan dengan cara override dari parlemen. Override yang dilakukan oleh kedua kamar baik
Senate maupun DPR Amerika Serikat dengan syarat memenuhi 2/3 suara dari masing-masing
kamar. Apabila syarat 2/3 tersebut terpebuhi maka, bill tersebut menjadi undang-undang (if
approved by two third of that House, it shall become a law)13

Penutup
Setelah Amandemen UUD 1945 memang terdapat penguatan fungsi legislasi dalam tubuh
DPR. Namun, dalam kenyataanya eksekutif tetap memiliki peran yang dominan dalam
pembentukan undang-undang, apalagi dengan konstitusi yang menyatakan bahwa presiden
“ber hak” untuk mengajukan rancangan undang-undang dan juga menyatakan bahwa
rancangan undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Keterlibatan pemerintah atau presiden dalam proses pembahasan
reancangan undang-undang memang adalah hal yang lazim, tapi hanya dalam system
permerintahan parlementer yang memang tidak ada pemisahan secara tegas antara kekuasaan
eksekutif dan legislative. Namun, dalam system pemerintahan presidensil perlu diadakannya
pemisahan yang tegas menngenai fungsi legislasi. Indonesia bisa mengikuti jejak Amerika Serikat
dengan Negara presidensil yang taidak ada campur tangan presiden dalam pembahasan
rancangan undang-undang namun presiden tetap memiki hak veto sebagai fungsi check and
balances. Hal ini dapat terealisasi dengan adanya amandemen ke-5 Undang-Undang dasar, kita
dapat mengambil usulan dari Forum Rektor Indonesia yang garis besarnya adalah perubahan
yang mengikuti system di Amerika sekrikat14 atau juga dapat menerima usluan DPD mengenai
Bab X15 yang detilnya kurang lebih sama dengan Amerika serikat.

13
Syofyan Hadi, FUNGSI LEGISLASI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIL
(Studi Perbandingan Indonesia danAmerika Serikat) DIH, Jurnal Ilmu Hukum.februari 2013, Vol. 9, No. 18, Hal. 78 - 84
14
Saldi Isra, Op.Cit. hlm.338-341
15
Ibid. hlm.342-345.
Daftar Pustaka

Buku
Asshiddiqie, Jimly. 2015. Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:Sinar Grafika.
_________, 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:Rajawali Pers.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia.
HR, Ridwan. 2016 Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Isla, Sardi. 2018. Pergeseran Fungsi Legislasi. Depok: Rajawali Pers.
Manan, Bagir dan Susi Dwi Harjanti. 2014. Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi,
Jakarta:Rajawali Pers.

Dokumen Lain
Sukardi, Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal, Hand Out Kuliah Sistem Otonomi Daerah,
Magister Hukum Universitas Airlangga, Suarabaya
Syofyan Hadi, Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Presidensil (Studi Perbandingan
Indonesia danAmerika Serikat) DIH, Jurnal Ilmu Hukum.februari 2013, Vol. 9, No. 18, Hal.
78 - 84

Dokumen Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Konstitusi Amerika Serikat

Anda mungkin juga menyukai