Lokal : AA
NIM : 1710611262
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2017
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini .
Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini dengan adanya mereka semua saya dapat menyelesaikannya.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Dengan adanya kritik dan saran saya dapat mengetahui kesalahannya.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang Permasalahan yang terdapat pada
pancasila ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
` Penyusun
i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..i
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..3
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Menurut Ismail Suny cara berpikir Locke tidak logis dedeuktif, melainkan realistis.
Sebab Locke memperhatikan sungguh-sungguh praktik ketatanegaraan dan hukum. Inilah
yang kelak menjadi pijakan teori-teori baru, seperti pembagian kekuasaan, ajaran tentang
hak asasi manusia dan kekuasaan perundang undangan yang dilakukan oleh dewan
perwakilan rakyat. Kekuasaan Legislatif terikat dan tunduk kepada kemauan publik.
Untuk Indonesia, Satjipto memang mengambil model DPR sebelum tahun 1999, sehingga
ia menunjuk Golkar, PDI-P, PPP, dan ABRI. Pengorganisasian yang berbeda mencerminkan
kecenderungan berpikir partisan politik di satu pihak, dan berpikir berdasarkan konfigurasi
kepentingan nyata di lain pihak.
Terdapat sebels fraksi dalam MPR yang menangani perubahan UUD 1945. Jumlah
tersebut, menandai perubahan konfigurasi kekuatan dan kepentingan politik berkaitan
dengan pembatasan kekuasaan presiden.
1.3 Tujuan
1. Agar mengetahui konsep negara hukum demokratis
2. Dapat mengetahui sejarah konstitusionalitas pembatasan kekuasaan presiden
3. Dapat mengetahui kekuasaan presiden dalam konstitusi NKRI
4. Agar dapat mengetahui kekuasaan presiden sebelum UUD 1945 di amandemen
5. Dapat mengetahui prakondisi pembatasan kekuasaan presiden
2
BAB II
PEMBAHASAN
Negara hukum demokratis, sesuai sejarahnya atau asal usulnya adalah negara yang tidak
hanya menempatkan, melainkan menjamin eksistensi dan realisasi hak-hak individu, atau
dikenal luas secara popular dengan istilah hak asasi manusia.
Negara hukum demokratis, bukan bercirikan, melainkan menyandang nama itu, karena
jangkauan kewenangan semua figur tata negara dan atau cabang kekuasaan diatur, baik
secara tegas maupun secara samar dalam Undang-Undang Dasar dan UU.
3
Sejalan dengan naiknya gelombang konstitusionalisme, gagasan ini pun dilembagakan
dalam batang tubuh UUD RIS. Dilihat dari sudut politik pembentukannya, konstitusi ini
memang dirancang bersama-sama antara delegasi RI dan BFO. Konsekuensinya spirit dan
semangat demokratis dalam konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari proses pemulihan
kedaulatan, yang naskahnya ditanda tangani di Belanda. Konstitusi ini mencantumkan hak
dasar manusia, sebagai syarat mutlak persetujuan Indonesia- Belanda.
Pergantian UUD dari UUD RIS ke UUD sementara tahun 1950, tepatnya tanggal 15
Agustus 1950, tidak mengakibatkan gagasan ini-negara hukum yang demokratis-
dikesampingkan, yang terjadi adalah tetap dipertahankan. Ini lah gelombang ketiga
pengakuan bangsa Indonesia terhadap gagasan negara hukum demokratis. Ide ini
dicantumkan pada pasal 1 ayat (1) disamping mempertahankan hak-hak dasar dan system
pemerintahan parlementer.
Ironisnya pemerintahan dibawah system ini tidak pernah stabil. Ketidakstabilan tersebut
dituduh berpangkal pada system nilai yang dipijakinya yakni liberal, sehingga harus
ditinggalkan dan kembali ke UUD 1945. Setelah kembali ke UUD 1945, Bung Karno,
Presiden Indonesia kala itu pun menggenggam kekuasaan yang sangat kuat, begitu juga
dengan Presiden Soeharto. Karena lamanya dan langgam pemerintahan, maka periode ini
sering dinilai sebagai periode otoritarianisme.
Pada awalnya, rezim ini ditandai dan menandai dirinya sebagai kemunculan untuk yang
kesekian kalinya, dapat disebut gelombang keempat, negara hukum demokratis di Indonesia.
Gagasan negara hukum yang kembali muncul seiring dengan jatuhnya Presiden Soeharto,
dapat dinilai sebagai gelombang kelima dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia.
Pemerintahan yang kuat dengan kekuasaan yang besar, walaupun bukan tanpa batas ,
merupakan asumsi dasar UUD 1945 sebelum diubah. Namun menariknya, konstruksinya
bertolak belakang dengan asumsi tersebut.
4
Menurut Muh. Yamin konstruksinya adalah: (i) Majelis Permusyawaratan Rakyat,(ii)
Dewan Perwakilan Rakyat,(iii) Presiden dan Wakil Presiden,(iv) Dewan Pertimbangan
Agung,(v) Kementrian, (vi) Balai Agung (Mahkamah Agung). Yamin menandaskan
rancangan yang diterima adalah kelahiran dasar kedaulatan rakyat, tetapi puncaknya
“Presiden tidak bersifat absolut”.
Hatta menandaskan negara jangan sampai terjebak menjadi negara kekusaan. Namun
supomo menolak ide ini dengan alasan sepanjang pengetahuannya system pemerintahan
yang berdasarkan konstitusi, yang sekarang ada terkecuali Nippon Teikoku, ialah system
yang “ memusatkan segala kedaulatan di tangan Yang Maha Mulia”.
Di negeri barat ada system yang dinamakan presiden sistem, yaitu sistem yang dipakai di
Amerika Serikat dan juga di Filiphina. Menurut Supomo kepala negara tidak bertanggung
jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat. Ia bertanggung jawab kepada MPR. Menteri-
menteri hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Supomo menegaskan 3 hal
penting, sistem pemerintahan menurut penilaiannya, (i) aliran pikiran rechstaat bukan
machstaat (ii) sistem pemerintahan konstitusional,dan (iii) sistem pemerintah yang
memberikan kekuasaan sangat besar kepada negara, terutama kepala negara. Rancangan ini
dinilai tidak jelas oleh Hatta, karena tidak menggambarkan bagaimana tanggung jawab
seorang menteri.
Supomo tetap bertahan pada pandangannya; menteri hanya sebagai pembantu kepala
negara. Inilah yang Supomo nyatakan dengan “ sistem kita sendiri”- tidak murni
presidensial, tapi juga tidak murni atau benar-benar seperti inggris yang parlementarian.
Pola hubungan yang seperti inilah yang dilukiskan oleh Suny sebagai kuasa presidensil atau
kuasa parlementer.
Konstruksi pembatasan kekuasaan presiden yang digariskan pada pasal 4 UUD 1945
tidak lebih dari kompromi atas pendapat, terutama Hatta dan Yamin tentang bahaya
absolutisme, berhadapan dengan Sukarno dan Supomo di lain pihak.
5
Membuktikan pembatasan kekuasaan sebagai masalah elementer dalam negara hukum
liberal ( barat) hanya dianut secara samar-samar. Kekaburan inilah yang menghancurkan ide
“persamaan”, pilihan terhadap “republik”, dan kedaulatan rakyat. Model ini jelas
menimbulkan kekuasaan yang tiranis dan membahayakan kebebasan individu. Inilah yang
terjadi di Indonesia sejak tahun 1960-1998. Tidak mengherankan kalau UUD 1945 (sebelum
diubah) dinilai mengandung banyak kelemahan.
Soal ini dikritik oleh Ismail Suny dan Harun Al Rasyid. Menariknya sebagai lembaga
negara tertinggi, MPR tidak leluasa menilai kebijakan pemerintah, dan membuat GBHN.
Kekuasaan harus dibatasi melalui alokasi kekuasaan secara tegas dan limitatif. Menurut
Yusril Ihza Mahendra haluan tafsir yang berbeda akan menghasilkan perbedaan visi atas
persoalan-persoalan bangsa. UUD 1945 yang terlalu executive heavy, memungkinkan
kekuasaan eksekutif hampir tidak terbatas, bahkan presiden dapat memerintah secara
otoriter.
Sejak awal tahun 1990-an dosen Universitas Gadjah Mada, Mubyarto meminta agar
“masa jabatan presiden dibatasi secara tegas”. Hingga tahun 1991 indonesia diasumsikan
masih berada dalam keadaan darurat. Hal ini pun dianggap wajar, atau bukan sebagai wujud
kekuasaan tanpa batas melebihi mandate rakyat. Padahal dalam demokrasi modern, legislatif
berfungsi sebagai representasi kedaulatan rakyat.
Tahun 1994 Amien Rais secara tegas menghendaki terjadinya “peralihan kekuasaan”
damai pada tahun 1998. Memasuki 1998 pengaruh Soeharto semakin kuat.
6
Tentang gagasan perubahan UUD pada saat ini (1999) oleh Harun dikategorikan sebagai
momentum “keempat” setelah momentum pertama pada tahun 1950,kedua 1959, dan ketiga
1978.
Tetapi momentum kedua dan ketiga mempertahankan “sesuai dengan UUD”. Momentum
keempat didahului, krisis ekonomi dan politik, dikristalkan oleh MPR melalui Sidang
Istimewa 1998, dilakukan pembatasan masa jabatan dan perincian Hak asasi manusia.
Harun berpendapat langkah awal reformasi adalah “ reformasi konstitusi”. UUD yang
baru harus mengintegrasikan beberapa prinsip; “konstitusionalisme, check and balance,
judicial review, serta separation of power”. Sehingga pemilihan presiden dilakukan secara
bersamaan. Jalan menuju perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 harus menempuh jalan
terjal. Akan terbukti keragaman pikiran tersebut, termasuk di dalamnya perdebatan
mengenai pembatasan kekuasaan presiden.
Elit kekuasaan membentuk kelas parasit dan kalangan bisnis tertentu membentuk kelas
penikmat rente. Pada titik ini hukum berubah fungsi; berpihak pada sekelompok kecil
pengusaha.
Hukum, bahkan sistem hukum, mengalami pergeseran makna secara elementer, menjadi
penindas. Munculnya sekelompok usahawan monopolistic, yang menjadi ciri dominan dalam
politik ekonomi Indonesia. Sama dengan apa yng terjadi di korea selatan di bawah Chun Do
Hwan dan Roh Tae Wo. Kekuasaan mereka sama riilnya dengan Soeharto yang ada di
Indonesia. Inilah yang memicu perlawanan rakyat terhadap dirinya pada permulaan tahun
1998.
7
Indonesia harus menerima pertolongan dari IMF, namun pemerintah tidak sunguh-
sungguh mereformasi bidang usaha monopolistik. Sehari setelah membacakan nota APBN,
nilai tukar rupiah malah semakin melemah. Fenomena tersebut menambah kepanikan
masyarakat. Apalagi kota-kota besar semuanya dilanda kelangkaan bahan makanan.
Persepsi terhadap krisis mulai bergeser. Krisis dinilai tidak lagi berkaitan dengan soal-
soal moneter. Akar krisis ini jauh lebih fundamental, berkaitan dengan “kepercayaan”.
Soeharto melakukan perubahan dalam kabinetnya. Perubahan ini dinilai sebagai langkah
menyiapkan siding umum MPR, bukan pembaruan mendasar.
Seperti dinyatakan oleh Yusril Ihza Mahendra cara itu akan memancing perdebatan dari
segi politik maupun hukum tata negara. Faktanya, soeharto tetap dicalonkan kembali menjadi
presiden. Amien Rais secara lugas berharap agar fraksi-fraksi MPR bersedia mengajukan
calon lebih dari satu orang.
Menariknya Megawati justru menyiapkan cabinet bayangan dan Amien Rais secara
terbuka meminta agar MPR memilih presiden dengan cara voting. YKPK yang sebagian besar
anggotanya adalah mantan militer pada masa Soeharto, justru gigih melakukan penolakan
terhadap pencalonan kembali soeharto.
Mengagetkan respon rezim atas fenomena perlawanan terhadapnya. Aktivis solidaritas untuk
Amien Rais dan Megawati (SIAGA) diculik. Sejumlah 122 aktivis yang tergabung dalam
kelompok Barisan Merah Putih yang mengajak pemboikotan SU 1998, ditangkap dengan
tuduhan subversif. Januari 1998 terdapat 14 orang aktivis hilang. Soeharto sendiri menilali
penculikan sebagai hal biasa. Kenyataannya hal tersebut memerosotkan wibawa pemerintah.
8
Sejumlah senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT) segera mencetuskan butir-butir
reformasi. Pertama, menurunkan harga barang. Kedua, reshuffle kabinet. Ketiga cabut paket
undang-undang politik. Keempat, tegakan HAM.
Mahasiswa malah dituduh bermain politik praktis. Sejak saat itu frase “ Soeharto harus
berhenti” terus berkembang seiring dengan situasi social yang semakin eksplosif. Tak
disangka MPR yang puluhan tahun menjadi anak manis penguasa, justru terangsang dengan
fenomena eksplosif ini. Pimpinan MPR secara terbuka membuat pernyataan yang menentang
rezim. Ditandaskan reformasi akan ditandai dengan mewujudkan kembali kedaulatan rakyat
dan membatasi masa jabatan presiden.
Masa jabatan wakil presiden akan berakhir bersamaan dengan masa jabatan presiden
yang dibantunya. Al Rasyid membenarkan pengambilan sumpah wakil presiden Habibie
menggantikan Soeharto.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekuasaan presiden Republik Indonesia adalah pada masa kekuasaan Soeharto dan
Soekarno. Di masa Soeharto lebih tepatnya kita merasakan kekuasaanya sangat kuat karena
di masanya beliau selalu menunjuk sahabat dan orang-orang terdekatnya maupun
keluarganya untuk membantu beliau dalam pemerintahannya.
Beliau memilih untuk menjalankan pemerintah lebih ke arah otoriter yang menjadikan
dimana satu keadaan politik yang terkonsentrasi pada seorang pemimpin. Soeharto percaya
bahwa ia mampu untuk menjalankan pemerintahan Indonesia. Sampai saat senat dari
beberapa universitas meminta ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
3.2 Saran
Maju mundurnya suatu negara tergantung bagaimana pemimpinnya. Jadi saran kami
yaitu kepada setiap pemimpin janganlah cuma mementingkan kebutuhan pribadi saja, tapi
cobalah berfikir untuk mengambil gagasan yang sifatnya bisa merubah dan membuat orang
yang dipimpin menjadi lebih maju dan sejahtera.
10
DAFTAR PUSTAKA