Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Konfigurasi Politik Hukum dan Produk Hukum.
Penulisan makalah ini dibuat berdasarkan sumber-sumber referensi yang
sangat membantu mengenai konfigurasi politik dan untuk itu kami selaku penulis
mengucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penulisan makanlah ini, maka
dari itu kami mengharapkan agar para pembaca makalah ini dapat memberikan saran
serta kritiknya untuk perbaikan yang semestinya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi
Liberal ………………………………………………………………….. 6
2.2. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi
Terpimpin ……………………………………………………………….. 9
BAB III PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan ………………………………………………………………. 15
3.2. Saran …………………………………………………………………….. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang
menarik di kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini
memiliki ranah yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat
sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum
adalah wilayah “hitam  putih” yang salah harus dihukum, yang benar harus
dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik adalah ranah
“kepentingan” sebagai corestone nya, “politic is a goal attainment” politik adalah alat
untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, tak
peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan tujuannya maka cara
itulah yang ditempuh. Yang menarik justru antara kedua topik yang berbeda itu
ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Fungsi dan peran hukum sangat
dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah
Indonesia ternyata telah terjadi tolaktarik atau dinamika antara konfigurasi politik
demokratis dan konfigurasi politik otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan
otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode
pada konfigurasi otoriter.1
Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter
produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadinya tolak-tarik
antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter
konservatif dengan kecenderungan linear yang sama. Konsep demokratis dan otoriter
( non-demokratis ) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian,
dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif, dan kebebasan pers sedangkan
konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum,
1
Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social and Cultural Revolution, terj. Benedict R. Anderson (Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1966), hlm.65

1
pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum. Pada tataran realitas
kedua topik tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat
mempengaruhi politik atau sebaliknya  politik dapat mempengaruhi hukum.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana keadaan konfigurasi politik dan produk hukum pada periode
demokrasi liberal?
2. Bagaimana keadaan konfigurasi politik dan produk hukum pada periode
demokrasi terpimpin?

2
BAB II
PEMBAHASAN

Mahfud MD menyebutkan bahwa perkembangan demokrasi terbagi dalam 3


periode sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia, yaitu :
1. Demokrasi liberal
Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi
Parlementer, atau yang dikenal juga dengan sebutan Demokrasi Liberal adalah sistem
kabinet parlementer. Sistem pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950
(Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950). Sistem
pemerintahan ini menetapkan bahwa kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung
jawab kepada parlemen. Sistem kabinet parlementer juga menerapkan sistem
pemungutan suara (voting) yang digunakan dalam pemilihan umum (Pemilu), mosi,
dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam mengekspresikan hak untuk ikut serta
dalam berpolitik2
Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa demokrasi
Liberal adalah sistem kabinet presidensial. Sistem kabinet presidensial berlandaskan
pada UUD 1945 (Undang-Undang Dasar tahun 1945) dan kekuasaan tertinggi negara
ditempati oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Sistem demokrasi ini menganut
paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan
prinsip NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah
menyatukan kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak masa Demokrasi
Parlementer, sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesama
anggota partai politik.3
Pemerintahan pada masa Demokrasi Parlementer dijalankan oleh tujuh
kabinet dengan masa jabatan berbeda. Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir
dengan masa jabatan antara 6 September 1950 – 18 April 1951, Kabinet Sukiman

2
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 34
3
Ibid hlm 37

3
dengan masa jabatan antara 26 April 1951 – 26 April 1952, Kabinet Wilopo dengan
masa jabatan antara 19 Maret 1952 –2 Juni 1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I
dengan masa jabatan antara 31 Juli 1953 – 24 Juli 1955, Kabinet Burhanuddin
Harahap dengan masa jabatan antara 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956, Kabinet Ali
Sastroamidjojo II dengan masa jabatan antara 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957, dan
Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dengan masa jabatan antara 9 April 1957 – 10 Juli
1959
2. Demokrasi Terpimpin
Yang menjadi ciri khas dari periode ini ialah dominasi yang kuat dari
Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan
meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dalam mengemban tugasnya
sebagai kepala pemerintahan, Presiden mempunyai kuasa penuh dalam
membentuk/menyusun kabinet, kemudian melantik menteri-menteri yang ia susun
untuk membantunya dalam mengurus urusan kenegaraan. Dan pada periode ini,
Soekarno memberi nama kabinetnya dengan istilah Kabinet Gotong Royong.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi langkah awal mulai diterapkannya demokrasi
terpimpin dengan sistem presidensill. Dalam pandangan Soekarno, ada beberapa
ketetapan yang beliau jadikan sebagai pegangan dalam menjalankan demokrasi
terpimpin yaitu:
I. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang mana Dekrit tersebut berisikan
agar diberlakukannya kembali UUD 1945 dan dicabutnya UUDS 1950. Dan
tanggal tersebut dianggap sebagai awaldiberlakukannya Demokrasi Terpimpin
dengan Sistem Presidensill. (Dalam Hal Ini Penulis Lampirkan Naskah Dekrit
Presiden 5 Juli1959 dibawah ini).
II. TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Soekarnosebagai
Presiden Republik Indonesia dengan masa jabatan seumur hidup
III. TAP MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah
untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi Lembaga-
Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai suatu
usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat.

4
Dalam menjalankan demokrasi terpimpin, Soekarno menjadikan sistem
presidensill sebagai alat dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara teoritis
maupun praktis, demokrasi terpimpin menjadikan Undang- Undang Dasar 1945 dan
Pancasila sebagai landasan serta pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan.
Karena hampir seluruh cita-cita yang ingin dicapai dalam Demokrasi Terpimpin
sudah tertuang dalam batang tubuh (Pembukaan) UUD 1945 dan Pancasila.
3. Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional, sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 Nilai-nilai
yang terkandung dalam Demokrasi Pancasila merupakan nilai-nilai adat dan
kebudayaan dari masyarakat Indonesia secara umum.
prinsip-prinsip demokrasi Pancasila:
1. persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
2. keseimbangan antara hak dan kewajiban
3. pelaksanaan kewajiban yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain.
4. mewujudkan rasa keadilan sosial
5. pengambilan keputusan dengan musyawarah
6. mengutamakan persatuan sosial dan kekeluargaan
7. menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional
Selain prinsip dasar tersebut, ada juga beberapa keunikan yang dimiliki Demokrasi
Pancasila dibandingkan dengan demokrasi yang lainnya. Beberapa keunikan tersebut
ialah :
1. Pada cakupannya tidak terbatas dalam arti demokrasi politik, tetapi juga
mencakup demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
2. Pada spirit yang dikandungnya yakni religius,
humanis,kolektivisme/kekeluargaan
Dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila nilai-nilai religius dalam sila
pertama, humanis dalam sila dua, tiga dan lima dan kolektivisme/kekeluargaan dalam
sila keempat Pancasila, dapat menjadi dasar dalam masyarakat hidup sehari-hari. sila-

5
sila dalam Pancasila inilah yang tidak dapat ditemukan dalam negara yang menganut
demokrasi di manapun.

2.1. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Liberal
Penelusuran terhadap konfigurasi politik periode demokrasi parlementer
dimulai pada akhir pendudukan jepang di Indonesia, yakni ketia pemerintah
menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang ditindaklanjuti dengan
pembentukan badan pembentuk rancangan UUD dan badan persiapan kemerdekaan.

1. Panitia Undang-Undang Dasar


Pada tanggal 7 September 1944 Pemerintah Jepang mengumumkan janji
untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulangi
pada tanggal 1 Maret 1945. Pernyataan pemerintah ayang dikeluarkan pada tanggal 1
Maret 1945 diikuti dengan pembentukan Panitia yang bertugas mempersiapkan
kemerdekaan (Dokuritsu Zunbi Tjoosakai) yang beranggotakan 62 orang, diketuai
oleh Radjiman Wediodiningrat. Menurut Boland, panitia ini disebut “Commite of 62”
Tugas pokok badan ini menyusun rancangan UUD, tetapi kemudian badan ini
menghabiskan sebagian besar waktu siding-sidang pertamanya untuk
memperdebatkan dasar Negara. Radjiman ketika memulai siding I panitia tanggal 29
Mei 1945 meminta para anggota untuk membicarakan terlebih dahulu dasar Indonesia
merdeka sebelim membicarakan UUD. Sidang uang membicarakan dasar negara
tersebut mebuat forum terpecah menjadi dua golongan, yaitu “golongan nasionalisme
sekuler” dan “golongan nasionalisme Islam”. Keduagolongan ini disebut juga
golongan kebangsaan dan golngan Islam. Karena perdrnatan tentang “dasar Negara”
itulah sidang I BPUPKI diakhiri dengan pembentukan panitia kecil, yaitu Panitia
Sembilan. Tugasnya mencari kesepakatan tentang dasar Negara yang yelah
diperdebatkan selama empat hari sidang I (29 Mei- 1 Juni 1945).
2. Pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dalam sidang selanjutnya, pada
tanggal 18 Agustus 1945, telah  menyempurnakan dan mengesahkan
rancangan Undang-Undang Dasar  Negara Indonesia, atau yang kemudian dikenal

6
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, atau secara singkat
disebut sebagai : Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia tahun 1945, yang memuat dua bagian , yaitu Pembukaan Undang-Undang
Dasar dan Batang Tubuh ( Isi ) Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari 37 pasal, 4
pasal  Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan, yang merupakan
penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan dari hasil pemeriksaan rancangan
Undang-Undang Dasarsebelumnya, yang diterima dalam sidang  Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemedekaan Indonesia ( BPUPKI ),  pada sidang bulan Juli
1945. Dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 tersebut, setelah
penyempurnaan  tersebut kemudian disahkan dan diresmikan secara resmi pada
sidang PPKI  tanggal 18 Agustus 1945, setelah Negara Republik Indonesiaterwujud 
pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam pernyataan Proklamasi Bangsa Indonesia.

3. Sistem Pemerintahan

secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut


Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan
ini secara yuridis samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas
atas keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka
tampaklah bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu
adalah sistem campuran. Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem
presidensial model Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris. Sistem
campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran
model Indische Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia Belanda) dengan sistem
pemerintahan sosialis model Uni Sovyet.
a. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan
belaka. 
b. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas) 
c. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan
rakyat. 

7
d. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah
MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung
jawab adalah ditangan prsiden.
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat
persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan
untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara. 
f. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan
memberhentikan mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR. 
g. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan
dengan sungguh – sungguh usaha DPR. 
4. Dari Organis ke Pluralistik
Perubahan dari Organisme ke Pluralisme Gagasan mendominasi pemikiran
para pemimpin bangsa pada awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sepanjang
menyangkut peranan negara dan peranan maysarakat adalah gagasan pluralisme.
Lembaga-lembaga negara yang dapat menjadi aparatur demokrasi yang pluralisti
belum mungkin dibentuk pada waktu itu maka aturan peralihan UUD 1945
memberikan legitimasi untuk sementara bagi tampilnya organisme dengan
memberikan kekuasaan MPR, DPR, DPA kepada presiden dengan bantuan komite
nasional selama lembaga-lembaga tersebut belum dapat dibentuk sesuai dengan
perintah UUD.
Pada rapat tanggal 16 Oktober 1945, KNPI mengusulkan agar komite tersebut
diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Karena
desakan KNPI itu maka wakil presiden Muh.Hatta yang bertindak atas nama presiden
segera mengeluarkan maklumat yang kemudian dikenal dengan maklumat No. X
Tahun 1945. dengan keluarnya maklumat itu jelas merupakan perubahan praktek
ketatanegaraan tanpa ada perubahan kontitusi (UUD)-nya.
Perubahan selanjutnya, sistem presidentil digantikan oleh sistem parlementer
terjadi dengan keluarnya maklumat pemerintah pada tanggal 14 November 1945.
Maklumat ini didasari oleh gagasan demokrasi yang pluralistik karena ternyata selain

8
mengubah sistem kabinet juga berisi rencana Pemilu untuk memberikan porsi besar
kepada masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam menjalankan politik pemerintah.
Sebelum itu ada satu maklumat lagi yang merupakan pencerminan pluralisme-
liberal yaitu maklumat wapres tanggal 3 November 1945 berisi pemberian
kesempatan kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik dalam sitem multi-
partai. Sebagai akibat dari sistem multi-partai ini maka kurun waktu 4 tahun (1945-
1949) partai-partai politik mampu menjatuhkan pemerintah. Tercatat sampai tahun
1947 telah tiga kali perubahan kabinet.

2.2. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Terpimpin
Konfigurasi politik pada periode ini ditandai dengan proses terbentuknya
demokrasi tertimpin, yang kontek kemunculannya didasarkan pada kondisi ekonomi,
sosial, politik pada saat itu yang tidak sehat, karena berjalannya demokrasi liberal.
Satu momentum politik yang sangat penting adalah diselenggarakannya pemilu
pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut terdapat 28 partai politik besar yang
saling bertarung memperebutkan kursi lembaga perwakilan.
Meskipun demikian pertarungan dikuasai atau terpolar pada tiga partai, yaitu
PNI, PKI, dan Masyumi. Banyaknya partai politik dan polarisasi tersebut
mengakibatkan kabinet sering mengalami jatuh bangun dan banyak masalah yang
tidak dapat diselesaikan dengan baik dan membuat kondisi sosial politik porak
poranda.
Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika pada
tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit (Dekrit Presiden 5 Juli
1959) yang kemudian dianggap sebagai jalan bagi tampilnya sosok demokrasi
terpimpin. Sebagai konstitusi negara kembali diberlakukan UUD 1945. Perubahan ini
membawa imbas yang luas di bidang ketatanegaraan. Produk hukum yang
bernafaskan demokrasi liberal yang berlandaskan UUDS 1950 harus disesuaikan
degan UUD 1945.
Pada periode ini konfigurasi politik ditampilkan dalam bentuknya yang otoriter.
Soekarno Menjadi sosok sentral dalam agenda politik nasional sehingga
pemerintahan Soekarno pada masa itu dicirikan sebagai rejim yang otoriter dan

9
totaliter. Partai politik tidak mempunyai ruang untuk partisipasi yang signifikan.
Dominasi Soekarno yang mengatasi lembaga-lembaga konstitusional juga
ditunjukkan dengan produk perundang-undangan yang dibuat olehnya, yaitu
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Awal tahun 1960an, jumlah penerbitan
surat kabar mengalami peningkatan, khususnya dari tahun 1963 sampai dengan tahun
1966.4 kendatipun hal ini lebih mencerminkan keadaan politik yang semakin
memanas. Pada waktu itu, industri pers mengalami dua pembredelan, yang pertama
pada tahun 1957 kemudian diikuti pada tahun 1966. Tahun 1965, Menteri Penerangan
mengeluarkan Surat Keputusan yangmewajibkan penerbit untuk bergabung dengan
partai politik, organisasi massa atau golongan.
Hal ini didasarkan pertimbangan keperluan pers untuk mencari dana. Akibat
Surat Keputusan tersebut, pers menjadi lebih bersifat partisan, dan cenderung menjadi
corong yang memberitakan kepentingan-kepentingan partai politik yang
mendukungnya. Sejak tahun 1945 dan selama tahun 1950an serta tahun 1960an, pers
di Indonesia merupakan sebuah medium wacana politik. Dengan dana dari partai-
partai politik dan golongan kepentingan lainnya, pers pada zaman tersebut bersifat
sangat partisan dan berpihak. Akibatnya, landasan pers merupakan ideologi dengan
ketergantungnya pada partai-partai politik. Masa tersebut juga mencerminkan
kekuasaan pemerintah yang sangat tinggi terhadap pers maupun unsur-unsur
kehidupan lain di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan pembredelan pada
tahun 1957 maupun tahun 1966, dan syarat SIT dan SIC untuk mendirikan surat
kabar. Pers Perjuangan yang ada pada tahun 1945, yang menjadi Pers Partisan pada
tahun 1950an, tidak bebas lagi hingga tahun 1960an.
Konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin ditandai oleh tarik tambang
antara tiga kekuatan politik utama, yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan Partai
Komunis Indonesia (PKI), dan di antara ketiganya sekaligus saling memanfaatkan.
Soekarno memerlukan PKI untuk menghadapi kekuatan Angkatan Darat yang gigih
menyainginya, PKI memerlukan Soekarno untuk mendapatkan perlindungan dari
presiden dalam melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan
Soekarno untuk mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik.
4
Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, terj. Hasan Basari
dan Muhadi Sugiono (Jakarta: LP3ES,1990), hlm. 56

10
Di sini terlihat bahwa konfigurasi politik yang terjadi pada masa demokrasi
terpimpin sangat tidak sesuai dengan bingkai negara hukum, yang senantiasa
memberikan perlindungan kepada masyarakat secara keseluruhan, malahan
dilaksanakan sebaliknya, bahwa roda kenegaraan dijalankan untuk melindungi
kepentingan individu atau kelompok tertentu.Banyak kritikan ditujukan pada
Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, sebagaimana Sutan Takdir Alisjahbana
mengatakan bahwa posisi Soekarno di dalam sistem demokrasi terpimpin itu hanya
berbeda sedikit dengan raja-raja absolut di masa lampau, yang mengklaim dirinya
sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di bumi, yang ditangannya terletak
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus.
Hal ini jelas bertentangan dengan konsep negara hukum Indonesia menurut
UUD 1945, bahwa kekuasaan Kepala Negara harus terbatas dan bukan tak terbatas.
Artinya Kepala Negara bukan dictator, ia dalam melaksanakan roda pemerintahan
harus berpedoman kepada ketentuan hukum yang berlaku dan harus sesuai dengan
konstitusi yang telah disepakati bersama. Tindakan presiden pada masa demokrasi
terpimpin itu juga bertentangan dengan unsur-unsur negara hukum, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Frederik Julius Stahl yaitu:
a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia.
b. Adanya pembagian kekuasaan.
c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan- peraturan hukum.
d. Adanya peradilan administrasi
Kekuasaan presiden yang tidak terbatas pada masa demokrasi terpimpin sudah
jelas bertentangan dengan unsur-unsur negara hukum sebagaimana yang ditentukan di
atas. Proses demokrasi yang berlaku pada masa ini bukan demokrasi dalam arti ikut
sertanya rakyat dalam proses pembuatan keputusan, akan tetapi politisasi, dimana
partispasi rakyat terbatas pada pelaksanaan atas keputusan-keputusan yang telah
dibuat oleh penguasa.
Jelas bahwa demokrasi terpimpin benar-benar telah melanggar konsep negara
hukum, pada masa ini tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia, kekuasaan
hanya dipegang oleh satu orang yaitu presiden. Presiden mengontrol semua spectrum

11
politik nasional untuk mendukung gagasan-gagasan politiknya dengan menggunakan
Dewan Pertimbangan Agung yang dipimpin langsung oleh Soekarno.
Dari sini jelas terlihat bahwa konfigurasi politik pada era demokrasi terpimpin
adalah otoriter, sentralistik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno.Selanjutnya
krisis politik terjadi yang disusul oleh terjadinya G30S/PKI, membawa Soekarno
untuk mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tahun 1966
yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto, untuk mengambil segala
tindakan yang berhubungan dengan keamanan dan stabilitas pemerintahan, serta
pemerintahan selanjutnya diambil alih oleh Soeharto menggantikan Soekarno pada
Tahun 1967.
Adapun karakter produk hukum yang dihasilkan pada masa demokrasi
terpimpin adalah berkarakter ortodoks/konservatif. Pada masa ini undang-undang
tentang Pemilu tidak pernah dibuat, karena Pemilu belum pernah dilaksanakan.
Sedangkan ketentuan mengenai pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959, yang memberi
jalan bagi semakin ketatnya pengendalian pusat terhadap daerah. Kepala Daerah
diangkat oleh pusat, tanpa harus terikat dengan calon-calon yang diajukan oleh
DPRD.
Selanjutnya Penpres Nomor 6 Tahun 1959 digantikan dengan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang mana isinya
juga hampir sama dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Sebab secara keseluruhan
lebih memberikan posisi dominan kepada pusat untuk mengendalikan pemerintahan
di daerah. Kontrol pusat terhadap daerah dilakukan melalui mekanisme kontrol yang
ketat atas pembuatan peraturan-peraturan oleh daerah.
Terlihat bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dalam proses
pembuatannya sama sekali tidak partsipatif, yang menonjol di sini justru penuangan
visi sosial dan politik presiden sehingga produk hukum lebih merupakan instrumen
bagi upaya realisasi visi presiden. Jelas bahwa ketentuan hukum mengenai
Pemerintahan Daerah tersebut bertentangan dengan kehendak rakyat dan sekaligus
melanggar sendi-sendi dasar negara hukum, yaitu perlindungan terhadap hak-hak

12
asasi manusia dan pemerintahan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum
dan konstitusi yang berlaku.
Selanjutnya karakter produk hukum tentang agraria pada masa demokrasi
liberal, yang mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-
undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960.
UUPA merupakan produk hukum yang responsif, karena di dalamnya memiliki
muatan hukum adat dan fungsi sosial atas tanah, tradisi hukum adat menganut strategi
pembangunan hukum yang responsif, karena memperhatikan kondisi dan kehendak
masyarakat.
UUPA yang dikualifikasikan sebagai produk hukum yang berkarakter
responsive terasa menjadi agak aneh, sebab UUPA lahir justru pada saat konfigurasi
politik tampil secara otoriter, yakni dalam era demokrasi terpimpin. Hal ini terbukti
untuk dua jenis produk hukum di atas (Pemilu dan Pemda), yang berkarakter sangat
konservatif atau ortodoks.
Ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang responsif
tersebut, yaitu:
a. Materi UUPA sebenarnya merupakan warisan masa sebelumnya yang bahan-
bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk tahun
1948.
b. Materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme
Belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme
dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka
c. Materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga
rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materimateri UUPA.
d. Hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau
bidang hukum, yaitu bidang hukum publik (hukum administrasi negara) dan
bidang hukum privat (hukum perdata).
Di samping karena bidang publik yang menjadi responsive karena ketiga alasan
di atas, maka bidang keperdataanpun sesuai dengan sifatnya, lebih banyak
memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki
atas hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

13
Dari kenyataan ini terlihat bahwa produk hukum yang dihasilkan pada masa
demokrasi terpimpin yang otoriter, dapat menghasilkan hukum yang responsive
karena memang ketentuan mengenai hukum agraria ini tidak bersentuhan langsung
dengan kekuasaan. Namun demikian nuansa dari lahirnya UUPA itu sesuai dengan
kehendak rakyat yang telah lama tertindas oleh kolonial Belanda, dengan keluarnya
ketentuan ini setidak-tidaknya telah memberikan ruang gerak yang luas bagi
masyarakat dalam menafaatkan pertanahannya. Sehingga ketentuan hukum agraria ini
terlihat telah memenuhi unsurunsur dari negara hukum.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Konfigurasi politik adalah konstelasi kekuatan politik yang dinamis dan
kemudian mengarahkan bentuk-bentuk legalitas formal peraturan yang kemudian
disebut produk hukum. Konfigurasi politik terbagi menjadi dua yaitu konfigurasi
politik demokrasi dan konfigurasi otoriter.
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan
pasang naik secara bergantian antaraa demokratis dan otoriter. Tarik menarik
konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsif
populistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif
Penelusuran terhadap konfigurasi politik periode demokrasi parlementer dimulai pada
akhir pendudukan jepang di Indonesia, yakni ketia pemerintah menjanjikan
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang ditindaklanjuti dengan pembentukan badan
pembentuk rancangan UUD dan badan persiapan kemerdekaan.
Penelusuran terhadap konfigurasi politik periode demokrasi parlementer
dimulai pada akhir pendudukan jepang di Indonesia, yakni ketia pemerintah
menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang ditindaklanjuti dengan
pembentukan badan pembentuk rancangan UUD dan badan persiapan kemerdekaan.
Pada periode ini beberapa produk legislasi dikeluarkan. Ada beberapa
perundang-undangan yang menyangkut lembaga perwakilan dan lembaga umum,
tetapi tidak semuanya dapat dilakukan sesuai dengan tujuannya. Beberapa UU
Tentang Pemerintah Daerah diundangkan, dan produk hukum Agraria Nasional telah
digarap dalam waktu yang panjang dalam periode ini, tetapi baru bias final sesudah
terjadi perubahan system politik atau periode sesudahnya.
Terb;entuknya demokrasi tertimpin, yang kontek kemunculannya didasarkan
pada kondisi ekonomi, sosial, politik pada saat itu yang tidak sehat, karena
berjalannya demokrasi liberal. Satu momentum politik yang sangat penting adalah
diselenggarakannya pemilu pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut terdapat
28 partai politik besar yang saling bertarung memperebutkan kursi lembaga

15
perwakilan. Adapun karakter produk hukum yang dihasilkan pada masa demokrasi
terpimpin adalah berkarakter ortodoks/konservatif. Pada masa ini undang-undang
tentang Pemilu tidak pernah dibuat, karena Pemilu belum pernah dilaksanakan.

3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada seluruh pembaca dapat
memahami secara jelas tentang konfigurasi politik yang ada di Indonesia dan kita
sebagai generasi penerus hendaknya bisa mengimplementasikan produk hukum yang
telah ada dengan sebaik-baiknya

16
Daftar Pustaka
1. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi Yogyakarta: Gama Media, 1999
2. Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia: Social and Cultural Revolution, terj.
Benedict R. Anderson Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966
3. Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-
1980, terj. Hasan Basari dan Muhadi Sugiono Jakarta: LP3ES, 1990

17
18

Anda mungkin juga menyukai