Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA DI ERA ORDE BARU DAN


REFORMASI

Dosen pengampu : Aminullah SH MH

Disusun oleh ;

RADHA SULISTIA GULTOM, ARSA SUSWANDI

ATMA JUNIARTI, RINI DESTIA

SULTAN SHAMAD, INTAN RAHMA NURANI W.

NURUL HIDAYATUL KHAIR, YUNITA RATNA DEWI

BUNGA LESTARI, MUTIARA KHOLIS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS BUDAYA,MANAJEMEN,DAN BISNIS

UNIVERSITAS PENDIDIKAN MANDALIKA MATARAM

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kami.Adapun tujuan dari penulisan ini ialah
untuk memenuhi tugas dosen.Selain itu,juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang “Sistem Demokrasi di Indonesia di Era Orde Baru dan Reformasi” bagi para
pembaca dan juga penulis.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen bidang studi


kewarganegaraan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami.Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas ini.

Kami menyadari bahwa ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu,kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………... 1

1.1.Latar Belakang………………………………………………...

1.2.Rumusan Masalah……………………………………………..

1.3.Tujuan…………………………………………………………

BAB II. PEMBAHASAN…………………………………………………

2.1.Pengertian Demokrasi………………………………..............

2.2.Demokrasi Indonesia periode orde baru (1965-1998)……….

2.3. Demokrasi Indonesia Periode Reformasi (1998-sekarang)….

BAB III. PENUTUP………………………………………………………

3.1. Kesimpulan…………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Di indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya. Namun,


dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998 sampai
saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi. Meskipun masih terdapat beberapa
kekurangan dan tantangan disana sini. Sebagian kelompok merasa merdeka dengan
diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia. Artinya, kebebasan pers sudah
menempati ruang yang sebebas-bebasnya sehingga setiap orang berhak menyampaikan
pendapat dan aspirasinya masing-masing

Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sumber daya adalah orang-orang dengan


pengertian, orang akan melahirkan aturan yang akan menguntungkan dan melindungi
hak-hak mereka. Agar hal itu terjadi, perlu aturan dengan dukungan dan menjadi dasar
dalam kehidupan negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak rakyat. Aturan
seperti yang disebut konstitusi.

Demokrasi mencakup kondisi social, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan


adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi Indonesia
dipandang perlu dan sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu yang melatar
belakangi pemakaian sistem demokrasi di Indonesia. Hal itu bisa kita temukan dari
banyaknya agama yang masuk dan berkembang di Indonesia, selain itu banyaknya suku,
budaya dan bahasa, kesemuanya merupakan karunia Tuhan yang patut kita syukuri.

1.2.Rumusan Masalah

1.2.1.Apakah yang dimaksud demokrasi ?

1.2.2.Apa saja system demokrasi pada masa orde baru dan reformasi ?

1.3.Tujuan
1.3.1.Mengetahui apa itu demokrasi

1.3.2.Dapat mengetahui bagaimana system demokrasi pada masa orde baru

1.3.3.Dapat mengetahui bagaimana system demokrasi pada masa reformasi


BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian demokrasi

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demokratia” yang berarti kekuasaan rakyat.
Demokrasi berasal dari kata “Demos” dan “Kratos”. Demos yang memiliki arti rakyat
dan Kratos yang memiliki arti kekuasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Berikut ini adalah pengertian demokrasi menurut beberapa ahli :

1. Demokrasi menurut Montesque, kekuasaan negara harus dibagi dan


dilaksanakan oleh tiga lembaga atau institusi yang berbeda dan terpisah satu
sama lainnya, yaitu pertama, legislatif yang merupakan pemegang kekuasaaan
untuk membuat undang-undang, kedua, eksekutif yang memiliki kekuasaan
dalam melaksanakan undang-undang, dan ketiga adalah yudikatif, yang
memegang kekuasaan untuk mengadili pelaksanaan undang-undang. Dan
masing-masing institusi tersebut berdiri secara independen tanpa dipengaruhi
oleh institusi lainnya.
2. Demokrasi menurut Abraham Lincoln yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
3. Demokrasi menurut Aristoteles mengemukakan ialah suatu kebebasan atau
prinsip demokrasi ialah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap
warga negara bisa saling berbagi kekuasaan didalam negaranya. Aristoteles pun
mengatakan apabila seseorang hidup tanpa kebebasan dalam memilih cara
hidupnya, maka sama saja seperti budak.
4. Demokrasi menurut H. Harris Soche ialah suatu bentuk pemerintahan rakyat,
karenanya kekuasaan pemerintahan melekat pada rakyat juga merupakan HAM
bagi rakyat untuk mempertahankan, mengatur dan melindungi diri dari setiap
paksaan dalam suatu badan yang diserahkan untuk memerintah.
5. Demokrasi menurut International Commission of Juris tadalah bentuk
pemerintahan dimana hak dalam membuat suatu keputusan politik harus
diselenggarakan oleh rakyat melalui para wakil yang terpilih dalam suatu proses
pemilu.

B.Demokrasi Indonesia periode orde baru (1965-1998)

Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat
yaitu antara 1996-1968.Ketika Jendral Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik
Indonesia.

a.pemilu

Pemilu pada Masa Orde Baru diselenggarakan sebanyak enam kali, yaitu pada tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan yang terakhir 1997. Prinsip pemilu pada masa itu
adalah LUBER, yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pada masa itu hanya tiga
partai politik yang mengikuti pemilu. Hal ini disebabkan adanya penyederhanaan partai
politik dengan dasar hukum UU No. 3 tahun 1975. Penyederhanaan atau penggabungan
(fusi) partai politik ini merupakan kebijakan Presiden Soeharto dengan tujuan demi
kestabilan politik di Indonesia. Partai tersebut antara lain adalah:

 PDI

Partai Demokrasi Indonesia atau PDI merupakan partai yang terdiri dari gabungan
partai-partai nasionalis dan partai-partai non-islam.

 PPP

Partai Persatuan Pembangunan atau PPP merupakan partai yang terdiri dari gabungan
partai-partai Islam di Indonesia. 

 Golkar
Golongan Karya atau Golkar, sebenarnya pada awalnya bukan merupakan partai, namun
merupakan sebuah organisasi yang sudah berdiri sejak 1946. Golkar kemudian menjadi
wadah orang-orang yang memiliki golongan dan mempunyai profesi di masyarakat,
contohnya golongan militer, sastrawan, dan yang lainnya.

b.otonomi daerah

Pemerintah orde baru pada awalnya hadir sebagai koreksi atas kegagalan pemerintah
orde lama.16 Koreksi tersebut sebagaimana disampaikan oleh Jenderal Soeharto, tokoh
supersemar yang kemudian menjadi presiden paling lama ini adalah sebagaimana
disampaikan pada pembukaan Kongres Luar Biasa Kesatuan dan keutuhan partai
nasional Indonesia, Soeharto (dalam LP3ES, 1988:134) menyatakan sebagai berikut:
Ketiga penyelewengan dimaksud adalah;

a. Radikalisme PKI

b. Terjadinya oportunisme politik yang didorong oleh ambisi pribadi

c. Terjadinya penyelewengan ekonomi.

Kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini


akan mampu menciptakan stabilitas daerah, dengan demikian eksekutif diberi
kewenangan yang sangat besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Walupun demikian
Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pemerintah daerah terdiri atas kepala
daerah dan DPRD, akan tetapi tidak ada balances sama sekali, sebab sebagaimana di
pusat, di daerah DPRD juga hanya merupakan tukang stempel untuk kepentingan
eksekutif.17 Pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka,
sebab siapa yang harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa mendapatkan
berapa suara. Apabila skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata
tidak terpilih, maka pemerintah pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali
orang yang telah diproritaskantersebut, sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan
kepada pusat, dan pusat bebas menentukan siapa yang akan dilantik dari hasil
usulan/hasil pemilihan tersebut (Pasal 15 UU No. 5 tahun 1974).

c.kebebasan pers

Pers pada Era Orde Baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah
terhadap Pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru sangat tidak mendukung keberadaan
Pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan Surat Izin untuk Penerbitan Pers (SIUPP),
yang mana sangat tidak Pro-Pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi
mereka bagi masyarakat (Panuj Redi, 1997: 34).

d.pemberantasan korupsi

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan, karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Sayangnya, tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku
efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung
pidatonya di Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto
mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum
Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-Garis Besar Besar


Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk
memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor, karena pengelolaan negara
diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada
kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat
lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada
lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim orde baru, sehingga tak ada
kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen.
Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan
membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan
kekuasaannya

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak
bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir
tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi
mulai 1969 dan puncaknya di 1970. Kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV
yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan
rekomendasi untuk mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan Wakil Presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, korupsi
telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto yang terbilang
masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri republik ini telah
dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan,
“Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena
korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun
dengan korupsi.”

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas didirikan pada 2002 oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri. Pendirian KPK ini didasari karena Megawati melihat institusi
kejaksaan dan kepolisian saat itu terlalu kotor, sehingga untuk menangkap koruptor
dinilai tidak mampu. Namun, jaksa dan polisi sulit dibubarkan sehingga
dibentuklah KPK. Jauh sebelumnya, ide awal pembentukan KPK sudah muncul di era
Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Habibie kemudian mengawalinya dengan membentuk berbagai komisi atau badan


baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.

e.Dwi fungsi ABRI

Selepas Indonesia berperang mempertahankan kemerdekaan dan adanya berbagai


operasi militer untuk menumpaskan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia, tentara
Indonesia mengalami kebuntuan untuk ikut berpartisipasi bagi kemerdekaan. setelah
Indonesia merdeka, ada berbagai tantangan dari pihak luar yang mengancam kedaulatan
Indonesia. Semua tantangan ini, kan, dihadapi oleh tentara Indonesia. Namun, setelah
tantangan-tantangan dari pihak luar tersebut mulai terkikis satu per satu, pemerintah era
tersebut mulai berpikir bagaimana caranya supaya tentara Indonesia bisa terlibat lagi
untuk negara ini.

Konsep dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Abdul Haris Nasution pada
pidatonya di ulang tahun Akademi Militer Nasional tanggal 13 November 1958.
Gagasan tersebut diperkenalkannya dengan istilah Jalan Tengah. Gagasan tersebut pada
akhirnya diresmikan sebagai kebijakan politik era Orde Baru lewat Undang-Undang
Nomor 82 Tahun 1982.

Tentara Indonesia tidak ingin terlalu mengintervensi pemerintahan dan merusak


demokrasi karena hal tersebut justru akan berubah menjadi “junta militer”, yaitu
pemerintahan diktator militer. Oleh karena itu, kebijakan dwifungsi ABRI ini dipercaya
dapat mengakomodasi kebutuhan tentara Indonesia untuk terus berpartisipasi selepas
kemerdekaan Indonesia.
konsep dwifungsi ABRI era Orde Baru ini justru melenceng dari niat awalnya.
Sebagai suatu organisasi, ABRI memiliki peran dalam proses penyusunan dan
pelaksanaan pemerintahan. Peran ABRI sebagai organisasi militer era Orde Baru
tersebut dikenal dengan istilah “dinamisator dan stabilisator” dalam politik dan ekonomi
bangsa.

Dwifungsi ABRI memungkinkan ABRI mempunyai kekuasaan negara dan hal ini
membuat demokrasi terkikis. Selain itu, kerap terjadi pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) ketika militer memegang kekuasaan. Militer dianggap terlalu mencampuri
urusan sipil dan negara.

Setelah runtuhnya rezim Soeharto, dwifungsi ABRI perlahan-lahan dihapuskan.


Kesepakatan ini terjadi pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000 dan akan dimulai setelah
Pemilihan Umum (pemilu) 2004 serta diharapkan telah selesai pada pemilu 2009.

C.Demokrasi Indonesia Periode Reformasi (1998-sekarang)

Indonesia adalah negara demokrasi yang dapat dibuktikan dari sudut pandang
normatif dan empirik. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Bukti empirik bahwa Indonesia adalah negara demokrasi bisa dilihat
dari alur sejarah politik di Indonesia, yaitu:

-Pemerintahan masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949)

-Pemerintahan parlementer (1949-1959)

-Pemerintahan demokrasi terpimpin (1959-1965)

-Pemerintahan orde baru (1965-1998)


-Pemerintahan orde reformasi (1998-sekarang)

Berikut ini pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa reformasi (1998-


sekarang). Demokrasi Indonesia periode reformasi (1998-sekarang) Soeharto terpilih
kembali sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998. Tetapi
penyimpangan-penyimpangan pada masa pemerintahan Orde Baru membawa Indonesia
pada krisis multidimensi, diawali krisis moneter yang tidak kunjung reda. Krisis
moneter membawa akibat terjadinya krisis politik, di mana tingkat kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah begitu kecil. Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah
di Indonesia. Akibatnya pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto
terperosok ke dalam kondisi yang diliputi berbagai tekanan politik baik dari luar
maupun dalam negeri. Dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, secara
terbuka meminta Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Dari dalam negeri,
timbul gerakan massa yang dimotori oleh mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto
lengser dari jabatannya.

a.pemilu

Setelah presiden soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 mei 1998,
jabataannya digantikan oleh wakil presiden B.J.Habibie. Namun public tetap mendesak
agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa pemilu 1997
dibersihkan dari pemerintahan.

Akhirnya pada 7 juni 1999,ataun13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali
dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat
pengakuat public termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan
terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk pemilu 1997.Hal itu kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan siding umum MPR untuk memilih presiden dan
wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang
harusnya sampai 2003.
Sebelum menyelenggarakan pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU
tentang partai politik, RUU tentang pemilu dan RUU tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD.Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim depdagri, yang
disebut tim 7, yang diketuai oleh Prof.Dr.M.Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri,
Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden pembentuk
komisi pemilihan umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai
politik dan wakil dari pemerintahan.

Satu hal yang menonjol yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.Ini
dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta pemilu
pada masa itu berjumlah 48 partai.Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang
terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.Dalam sejarah
Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap,
pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat
setelah proses ahli kekuasaan.

Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah


menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-
persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Sedangkan Habibie
menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan
yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis
ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai
Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala
itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara
terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.

  Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang
meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi
Presiden RI ketika itu.
 Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta
konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.

  Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh
mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan
menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.

  Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur,


hanya bertahan hingga Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat
dengan pemimpinnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat
Megawati. Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas
unggul dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode
berturut-turut.

Menyongsong Pemilu 2014. Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong
pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk
menjadi peserta pemilu 2014. Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu
korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab
UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi. Gugatan yang diajukan
adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

  Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang
menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang
mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR.

b.otonomi daerah

Krisis moneter yang melanda asia kemudian menjadi momentum untuk menggusur
pemerintahan orde baru. Harus diakui bahwa terlepas dari keberhasilannya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah orde baru telah gagal menciptakan
sistem politik dan kehidupan bernegara yang demokratis. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, rezim orba dinilai tidak adil oleh daerah-daerah yang memiliki
nilai lebih dalam arti memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Ketidak adilan tersebut ditandai dengan pengaturan sistem pemerintahan darah yang
sentralistis, berdasarkan UndangUndang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan
daerah Undang-Undang No. 5 tahun 1974 dibuat dengan asumsi bahwa dengan
memberikan otonomi yang seluasluasnya daerah akan menjadi tidak respek terhadap
pemerintah pusat yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi. Dalam bidang
pemerintahan daerah, Habibie menjawab tuntutan daerah kaya, dengan mengeluarkan
Undang-UndangNo. 22 tahun 1999tentang pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
No. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Kedua UndangUndang tersebut secara subtansial sangat berbeda dengan Undang-


Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah. Dalam beberapa hal Undang-
Undang No. 22 tahun 1999 dianggap telah menganut asas-asas federalism, sering
dengan semakin sedikitnya kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat di daerah.
Dalam pasal 7 Undang-Undang No. 22 tahun 1999, yang menegaskan bahwa
kewenangan pemerintah pusat di daerah hanya meliputi:

a. Bidang pertahanan

b. Bidang moneter dan fiskal

c. Bidang politik luar negeri

d. Bidang peradilan

e. Agama Megawati Soekarno Putri yang rasionalis telah banyak diprediksi sebelumnya,
bahwa pemerintahannya tidak akan sungguh-sungguh menangani pelaksanaan otonomi
daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 dalam banyak hal kedua Undang-Undang tersebut mengandung banyak
persoalan.

Di era Megawati Soekarnoputri dengan Mendagrinya Hari Sabarno, timbul upaya-


upaya untuk merevisi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, padahal UU tersebut belum
sepenuhnya dijalankan, berhubung masih banyaknya aturan pelaksanaan kedua Undang-
Undang tersebut yang belum dikeluarkan oleh pemerintah.18 Kebijakan tentang
Pemerintahan Daerah yang lahir berdasarkan pembabakan waktu diatas sangat
bervariasi baik secara formal maupun material. Meskipun UUD 1945 yang menjadi
acuan Konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada
daerahdaerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami
berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik
kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis
sejak Tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak
ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam
aturanaturan mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU
Pemerintahan Daerah.

Negara Kesatuan seperti Indonesia, desentralisasi merupakan pengalihan atau


pelimpahan kewenangan secara teritorial atau kewilayahan yang berarti pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di dalam Negara dan
fungsional yang berarti pelimpahan kewenangan kepada organisasi fungsional (teknis)
yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Desentralisasi mengandung dua
elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara
hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan
atau bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan desentralisasi dalam Negara
Kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan
aspirasi masyarakat setempat, tetapi tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat
Negara yang dapat mendorong lahirnya Negara. Desentralisasi dapat menjadi instrumen
(alat) dalam mencapai tujuan Negara dan keseimbangan antara kebutuhan desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan, keutuhan Kesatuan dan persatuan bangsa dapat tercipta.

Konsep demikian memberikan pemahaman bahwa pembagian kekuasaan atau


kewenangan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip pokok, yaitu kewenangan
pemerintahan yang secara absolut tidak diserahkan kepada daerah karena bersangkut
paut dengan kepentingan kehidupan bangsa dan tidak ada kewenangan atau kekuasaan
pemerintahan yang diserahkan 100% (seratus persen) atau sepenuhnya kepada daerah,
kecuali kewenangan pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat.
Hal tersebut menjadi sangat penting karena di satu sisi, penguatan pemerintahan di
daerah melalui desentralisasi tanpa pengaturan yang tegas dalam peraturan perundang-
undangan akan membuat kabur makna otonomi, di sisi lainnya pembelengguan makna
otonomi akan menggiring penyelenggaraan pemerintahan kepada sendi-sendi
sentralisiasi, yang secara langsung bertentangan dengan kaidah mendasar dalam UUD
1945 sebagai hukum dasar penyelenggaraan Negara (pemerintahan) di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

c.kebebasan pers

Kekuasaan orde baru mulai runtuh di pertengahan tahun 1998, tepatnya pada 21 Mei
1998. Runtuhnya era yang telah berjalan selama kurang lebih 32 tahun ini membuat
orde reformasi mulai muncul, munculnya orde reformasi menyebabkan adanya
perubahan-perubahan di seluruh sektor pembangunan, baik di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan kultural.

Di era ini juga pers mulai dapat merasakan kemerdekaan serta kebebasannya, hal ini
dapat terlihat dari tidak ada lagi batasan atau halangan dalam mengemas, membuat, dan
membagikan suatu informasi berupa berita kepada masyarakat luas.

Lahirnya perundang-undangan menggantikan peraturan perundang-undangan yang


dianggap menyalahi dari nilai-nilai Pancasila yaitu Undang-Undang No.40 tahun 1999
tentang pers, peraturan ini dapat dikatakan jauh berbeda dengan 1967 UU No 11 tahun
1966 jo UU No.4 tahun1967 jo UU No.21 tahum 1982, peraturan ini menyebutkan
bahwa sistem pers dikontrol oleh pemerintah.

Berbanding terbalik dengan UU No.40 tahun 1999 masyarakat lah yang menjadi
kontrolnya, terlihat di pasal 17 yang menyatakan jika masyarakat dapat melakukan
kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers serta menjamin hak mendapatkan
informasi yang dibutuhkan, kegiatan ini meliputi memantau dan melaporkan analisis
mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan
oleh pers serta menyampaikan usul, saran kepada dewan pers dalam rangka menjaga
dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Selanjutnya, perkembangan pers menjadi sangat cepat, bahkan peristiwa apa pun
yang terjadi di berbagai negara belahan dunia dapat sampai kepada masyarakat,
sehingga tidak hanya peristiwa yang terjadi di Indonesia saja yang dapat dikonsumsi
oleh para audiens.

Pers Indonesia mulai mengalami perubahan secara besar-besaran, khususnya dalam


mengemukakan pendapat serta mengekspresikan kebebasan, setelah berjalannya
reformasi sejak bulan Mei 1998.

Fenomena ini berangkat dari munculnya media massa baik elektronik maupun cetak,
seperti koran dan televisi juga media baru seperti media sosial dengan berbagai
pengemasannya. Ciri baru dari kebebasan pers di Indonesia adalah telah mulai berani
dalam mengkritik kebijakan-kebijakan para penguasa atau pemerintah di mana hal ini
tidak dilakukan pada era orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Pers di era reformasi telah tidak ada rasa takut lagi terhadap hal-hal yang mengkritisi
jalannya permerintahan di Indonesia, pers telah masuk ke era kebebasan yang nyata
dapat dinikmati. Pers bebas aktif adalah salah satu bagian terpenting dari masyarakat
yang menyatakan jika negaranya adalah negara demokratis, yang artinya negara
memprioritaskan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan sama terhadap seluruh
warga negaranya.

Posisi yang seimbang antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial yang
dilaksanakan menjadi suatu hal penting dan harus diperhatikan, paling utamanya adalah
media dalam menyampaikan informasi haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakat
luas dan tentunya informasi berfaedah, bukan informasi yang mementingkan ego dari
media tersebut. Seringkali kebebasan ini dieksploitasi oleh beberapa industri media
dalam hal memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, dengan tidak memedulikan
fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat.
Keberadaan pers sangat diharapkan untuk dapat memberikan pendidikan kepada
masyarakat luas untuk dapat membentuk ciri bangsa yang bermoral, kebebasan pers
juga tidak jarang mendapat keluhan, kecaman dari berbagai pihak karena telah dianggap
berubah menjadi “Kebablasan pers”. Dapat terlihat di media-media yang menyediakan
berita politik maupun hiburan (seks), media-media ini mengumbar berita yang tergolong
provokatif dan sensasional, tidak sesuai dengan makna dari kebebasan pers itu sendiri.

d.pemberantasan korupsi

Pada masa Orde Reformasi tercatat fenomena menarik yaitu masa B.J. Habibie,
tercatat paling banyak membentuk badan anti korupsi melalui undang -undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Badan yang dibentuk adalah KPKPN, KPPU dan Komisi
Ombudsman, namun ironisnya Jaksa Agung Andi Ghalib dikirimi ayam jago oleh para
mahasiswa karena takutnya memberantas korupsi Suharto dan kronikroninya.

Tatkala pembicaraan Andi Ghalib dan B.J. Habibie tentang pemberantasan korupsi
terekam oleh ICW dalam hal ini Teten Masduki, Andi Ghalib sangat marah dan berjanji
akan mengejarnya sampai ke liang kubur.

Masih masa Orde Reformasi, saat Gus Dur menjadi Presiden, ia membentuk Tim
Gabungan Pembentasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) diketuai oleh Hakim Agung
Andi Andojo.Belum lagi terlihat hasil kerjanya, tim ini dibubarkan oleh Mahkamah
Agung karena keberadaan dan struktur lembaga tersebut dinilai tidak sesuai peraturan
yang berlaku. Pada masa Gus Dur justru terjadi banyak skandal seperti BULOGATE
dan BALIGATE sehingga Kraar (2000) menyebut Gus Dur sebagai “ was implicated in
several corruption scandals, which has tainted his credibility as a reformer.”

a. Masa Megawati :

1) Diselenggarakan Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat Nasional di Bali bulan


Desember 2002.
2) Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2002 dan perangkat pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor).

3) Mengikuti Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Menentang Korupsi Tahun


2003 (United Nation Convention Against Corruption) dan Konvensi PBB tentang
Kejahatan Lintas Batas Negara (United Nation on Transnational Organized Crime)
untuk memajukan kerjasama internasional pemberantasan korupsi yang ditandatangani
pada tanggal 18 Desember 2003.

b. Masa Susilo Bambang Yudhoyono :

1) Diterbitkannya Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi,

2) Pembentukan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK) Tahun


2004-2009 sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono nampak ingin berupaya memberantas


korupsi, setelah beberapa pemerintahan sebelumnya mengalami kegagalan. Akan tetapi
dengan hanya bantuan kejaksaan dan aparat kepolisian, SBY merasa tak cukup kuat.
Seperti kata pameo, “maling selalu lebih pintar ketimbang polisinya”. Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun merasa tidak cukup mampu menangani
korupsi di Indonesia yang telah menggurita. SBY-pun menambah upaya dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim
Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tanggal 4 Mei 2005. Tim ini
beranggotakan 51 orang, dan yang ditunjuk sebagai ketuanya adalah Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus, Hendarman Supanji.

Upaya lain yang ditempuh adalah dengan pemberian contoh yang dimulai lingkungan
terdekat SBY yaitu melakukan audit di Sekretariat Negara, sejumlah yayasan yang
dinaunginya, lingkungan Kantor Presiden, Kantor Wakil Presiden dan Sekretariat
Kabinet. Perintah ini diambil beberapa waktu sebelum melantik Timtas Tipikor.
“Pembersihan rumah sendiri”, istilah yang digunakan SBY dalam memulai
pemberantasan korupsi, diikuti dengan lima (5) aturan pemberantasan korupsi SBY dan
delapan (8) jurus SBY melawan korupsi. Lima (5) aturan SBY memberantas korupsi
adalah (Media Otonomi, ibid)

1. Proses hukum yang adil.

2. Berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah.

3. Mencegah rumor yang justru akan menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki.

4. Masyarakat luas yang ingin memberi informasi tentang korupsi, tidak dikaitkan
dengan masalah politik atau dipolitisasi.

5. Untuk kepentingan penyelidikan, tidak semua kasus korupsi dibuka ke publik.

Delapan (8) jurus SBY melawan korupsi adalah sebagai berikut : (ibid)

1. Audit lembaga kepresidenan.

2. Pemeriksaan dalam pengadaan.

3. Mencegah penyimpangan proyek rekonstruksi Aceh.

4. Pencegahan penyimpangan pembangunan infrastruktur lima tahun kedepan.

5. Menyelidiki bukti-bukti penyimpangan di lembaga negara seperti departemen,


BUMN, dan swasta yang terkait dengan aset negara.

6. Mencari mereka yang telah divonis oleh pengadilan dan masih dalam proses hukum,
namun lari ke luar negeri.

7. Meningkatkan intensitas pemberantasan penebangan liar.

8. Meneliti pembayar pajak dan cukai sepanjang 2004.

e.Dwi fungsi TNI


Masa Reformasi bergulir sejak tahun 1998 berkaitan erat dengan perubahan bentuk
masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global. Di tingkat nasional, perubahan ini
ditandai dengan semakin bebasnya masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan
gagasan dan pikiran mereka, seiring meredupnya Era Orde Baru dan mencuatnya Era
Reformasi.

Dalam konteks sosiologis, makna reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI)


adalah redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi fungsi dan peran TNI dalam masyarakat
yang pada masa lalu dinilai tidak berfungsi secara normal oleh sebagian pemangku
kepentingan. Salah satu tuntutan terkait reformasi TNI adalah dihapuskannya Dwi
Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Masa Reformasi bergulir sejak tahun 1998 berkaitan erat dengan perubahan bentuk
masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global. Di tingkat nasional, perubahan ini
ditandai dengan semakin bebasnya masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan
gagasan dan pikiran mereka, seiring meredupnya Era Orde Baru dan mencuatnya Era
Reformasi.

Dalam konteks sosiologis, makna reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI)


adalah redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi fungsi dan peran TNI dalam masyarakat
yang pada masa lalu dinilai tidak berfungsi secara normal oleh sebagian pemangku
kepentingan. Salah satu tuntutan terkait reformasi TNI adalah dihapuskannya Dwi
Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Dwi Fungsi ABRI ditiadakan dengan tujuan untuk meningkatkan jatah warga sipil di
bidang pemerintahan. Hal ini dilakukan karna banyak dari anggota ABRI yang
mendominasi pada bagian pemerintahan dan membuat sistem pemerintahan di
Indonesia pada masa itu tidak transparan.

Melalui reformasi internal, TNI telah melaksanakan proses refungsionalisasi peran


dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Setelah melepas dwi fungsinya, perubahan
atau penataan diri TNI tercermin dalam paradigma baru dan implementasi reformasi
internalnya. Reformasi internal TNI adalah proses refungsionalisasi peran TNI yaitu
upaya TNI untuk memposisikan diri secara tepat dan fungsional bersama fungsi-fungsi
lain dalam sistem sosial masyarakat Indonesia.

TNI berupaya meninggalkan faktor-faktor yang dinilai disfungsi atau non-fungsi.


Langkah tersebut ditempuh untuk menjawab tuntutan tatanan masyarakat global,
khususnya masyarakat nasional Indonesia dalam mewujudkan supremasi sipil dan
membangun profesionalisme TNI.

Jika persoalan internal TNI adalah karena implementasi Dwi Fungsi ABRI di masa
lalu yang biasa dan eksesif, maka data-data mengenai progres reformasi TNI
menunjukkan TNI telah meninggalkan Dwi Fungsi dan berbagai implementasinya.
Komitmen dan paradigma baru TNI tentunya memperlihatkan kondisi TNI yang telah
meninggalkan faktor-faktor yang dinilai tidak berfungsi secara normal.

Dengan memposisikan keberadaan TNI dalam masyarakat, maka fungsional tidaknya


TNI sangat terkait dengan para pemangku kepentingan yang ada, yakni TNI sendiri,
negara, dan masyarakat.

Hingga saat ini, TNI masih terus berupaya melanjutkannya secara bertahap reformasi
internalnya yang meliputi aspek struktural dan kultural. Upaya sedikit demi sedikit atau
berangsur-angsur itu bertujuan untuk mewujudkan postur TNI yang solid, andal, dan
profesional.

Reformasi aspek struktural sudah dilaksanakan melalui pembenahan organisasi,


doktrin, pendidikan dan latihan, serta pemenuhan kesejahteraan prajurit. Meski
demikian, harus diakui bahwa reformasi struktural sulit diwujudkan secara optimal bila
tidak didukung reformasi kultural. Membangun kultur TNI yang demokratis sudah
merupakan keputusan dari UU No 34/2004 Tentang TNI.

TNI harus mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi,
supremasi sipil, dan HAM. Dengan demikian, tuntutan profesionalisme TNI hendaknya
diwujudkan dalam suatu kultur yang demokratis.
Komitmen ini pun sebenarnya sudah diupayakan sejak awal reformasi internal TNI
dilakukan hingga sekarang. Dengan kata lain, keberhasilan kebijakan reformasi internal
TNI bergantung pada kontrol objektif dari semua pihak. Pertama, adanya keyakinan
kuat internal TNI untuk tetap melanjutkan upaya penuntasan reformasi kultural TNI
secara kondusif bagi penegakan supremasi sipil yang demokratis. Kedua, adanya sikap
yang arif dan konsisten dari penguatan otoritas sipil yang benar-benar demokratis dan
tidak korup sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar
1945.

Pada akhirnya Dwi Fungsi ABRI memang layak untuk dihapuskan demi
menciptakan sistem demokrasi Indonesia yang berlandaskan supremasi sipil. Dengan
begitu, sistem demokrasi di negara kita benar-benar berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Demokrasi merupakan salah satu upaya sistematis untuk mewujudkan kedaulatan


rakyat dimana rakyat yang memegang kedaulatan tertinggi dan ikut berpartisipasi dalam
pemerintah suatu negara.  Di Indonesia sistem demokrasi sendiri telah mengalami
beberapa perubahan dari masa ke masa, mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, demokrasi pancasila era orde baru dan demokrasi pancasila era reformasi. 
Masalah utama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam sistem demokrasi adalah
bagaimana mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi dan membina suatu kehidupan
sosial dan politik yang demokratis di tengah masyarakat yang beraneka ragam pola
budayanya ini.  Pada intinya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik
dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dengan
partisipasi seluruh rakyat serta menghindari timbulnya diktator, baik diktator yang
bersifat perorangan, partai, maupun militer.
DAFTAR PUSTAKA

Kaho, Josef Riwu. 2000. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta: PT Raja Drafindo Persada. Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif
Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Jakarta

I Wayan Arthanaya, 2011, “Otonomi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”,


Kertha Wicaksana, Volume 17, Nomor 2, Juli, h.178-186. Jimly Asshiddiqie, 2001
Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan Rl, Jakarta: The Habibie Center Josef
Riwu Kaho, 1987, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press.
Mudrajad Kuncoro, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Kaho, Josef Riwu, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Sujamto, 1990, Otonomi Daerah dan Bertanggung
Jawab ,Ghalia Indonesia, Jakarta. Kaho, JosefRiwu, 2001, Prospek Otonomi Daerah Di
Negara Republik Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta

Jurnal/ Kamus/ Makalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pelajaran Bahasa


Indonesia. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan ,Web
http://otonomidaerah.com/latar-belakangotonomi-daerah
http://www.kompas.com,diakses, tanggal,tanggal 2 Juni 2016.

Warella, Yacob. 2006. Materi Kuliah Reformasi Administrasi. Program Doktor Ilmu
Administrasi. Malang : Universitas Brawijaya. Zauhar, Soesilo. 1996. Reformasi
Administrasi, Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta : Bumi Aksara

Sunarto, dkk. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Semarang :


Pusat Pengembangan MKU / MKDK-LP3 UNNES.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai