Disusun oleh ;
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kami.Adapun tujuan dari penulisan ini ialah
untuk memenuhi tugas dosen.Selain itu,juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang “Sistem Demokrasi di Indonesia di Era Orde Baru dan Reformasi” bagi para
pembaca dan juga penulis.
Kami menyadari bahwa ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu,kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………... 1
1.1.Latar Belakang………………………………………………...
1.2.Rumusan Masalah……………………………………………..
1.3.Tujuan…………………………………………………………
2.1.Pengertian Demokrasi………………………………..............
3.1. Kesimpulan…………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah
1.2.2.Apa saja system demokrasi pada masa orde baru dan reformasi ?
1.3.Tujuan
1.3.1.Mengetahui apa itu demokrasi
PEMBAHASAN
A.Pengertian demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demokratia” yang berarti kekuasaan rakyat.
Demokrasi berasal dari kata “Demos” dan “Kratos”. Demos yang memiliki arti rakyat
dan Kratos yang memiliki arti kekuasaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Berikut ini adalah pengertian demokrasi menurut beberapa ahli :
Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat
yaitu antara 1996-1968.Ketika Jendral Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik
Indonesia.
a.pemilu
Pemilu pada Masa Orde Baru diselenggarakan sebanyak enam kali, yaitu pada tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan yang terakhir 1997. Prinsip pemilu pada masa itu
adalah LUBER, yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pada masa itu hanya tiga
partai politik yang mengikuti pemilu. Hal ini disebabkan adanya penyederhanaan partai
politik dengan dasar hukum UU No. 3 tahun 1975. Penyederhanaan atau penggabungan
(fusi) partai politik ini merupakan kebijakan Presiden Soeharto dengan tujuan demi
kestabilan politik di Indonesia. Partai tersebut antara lain adalah:
PDI
Partai Demokrasi Indonesia atau PDI merupakan partai yang terdiri dari gabungan
partai-partai nasionalis dan partai-partai non-islam.
PPP
Partai Persatuan Pembangunan atau PPP merupakan partai yang terdiri dari gabungan
partai-partai Islam di Indonesia.
Golkar
Golongan Karya atau Golkar, sebenarnya pada awalnya bukan merupakan partai, namun
merupakan sebuah organisasi yang sudah berdiri sejak 1946. Golkar kemudian menjadi
wadah orang-orang yang memiliki golongan dan mempunyai profesi di masyarakat,
contohnya golongan militer, sastrawan, dan yang lainnya.
b.otonomi daerah
Pemerintah orde baru pada awalnya hadir sebagai koreksi atas kegagalan pemerintah
orde lama.16 Koreksi tersebut sebagaimana disampaikan oleh Jenderal Soeharto, tokoh
supersemar yang kemudian menjadi presiden paling lama ini adalah sebagaimana
disampaikan pada pembukaan Kongres Luar Biasa Kesatuan dan keutuhan partai
nasional Indonesia, Soeharto (dalam LP3ES, 1988:134) menyatakan sebagai berikut:
Ketiga penyelewengan dimaksud adalah;
a. Radikalisme PKI
c.kebebasan pers
Pers pada Era Orde Baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah
terhadap Pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru sangat tidak mendukung keberadaan
Pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan Surat Izin untuk Penerbitan Pers (SIUPP),
yang mana sangat tidak Pro-Pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi
mereka bagi masyarakat (Panuj Redi, 1997: 34).
d.pemberantasan korupsi
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan, karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Sayangnya, tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku
efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung
pidatonya di Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto
mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum
Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967
tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak
bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir
tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi
mulai 1969 dan puncaknya di 1970. Kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV
yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan
rekomendasi untuk mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan Wakil Presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, korupsi
telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto yang terbilang
masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri republik ini telah
dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan,
“Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena
korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun
dengan korupsi.”
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas didirikan pada 2002 oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri. Pendirian KPK ini didasari karena Megawati melihat institusi
kejaksaan dan kepolisian saat itu terlalu kotor, sehingga untuk menangkap koruptor
dinilai tidak mampu. Namun, jaksa dan polisi sulit dibubarkan sehingga
dibentuklah KPK. Jauh sebelumnya, ide awal pembentukan KPK sudah muncul di era
Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Konsep dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Abdul Haris Nasution pada
pidatonya di ulang tahun Akademi Militer Nasional tanggal 13 November 1958.
Gagasan tersebut diperkenalkannya dengan istilah Jalan Tengah. Gagasan tersebut pada
akhirnya diresmikan sebagai kebijakan politik era Orde Baru lewat Undang-Undang
Nomor 82 Tahun 1982.
Dwifungsi ABRI memungkinkan ABRI mempunyai kekuasaan negara dan hal ini
membuat demokrasi terkikis. Selain itu, kerap terjadi pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) ketika militer memegang kekuasaan. Militer dianggap terlalu mencampuri
urusan sipil dan negara.
Indonesia adalah negara demokrasi yang dapat dibuktikan dari sudut pandang
normatif dan empirik. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Bukti empirik bahwa Indonesia adalah negara demokrasi bisa dilihat
dari alur sejarah politik di Indonesia, yaitu:
a.pemilu
Setelah presiden soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 mei 1998,
jabataannya digantikan oleh wakil presiden B.J.Habibie. Namun public tetap mendesak
agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa pemilu 1997
dibersihkan dari pemerintahan.
Akhirnya pada 7 juni 1999,ataun13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali
dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat
pengakuat public termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan
terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk pemilu 1997.Hal itu kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan siding umum MPR untuk memilih presiden dan
wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang
harusnya sampai 2003.
Sebelum menyelenggarakan pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU
tentang partai politik, RUU tentang pemilu dan RUU tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD.Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim depdagri, yang
disebut tim 7, yang diketuai oleh Prof.Dr.M.Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri,
Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden pembentuk
komisi pemilihan umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai
politik dan wakil dari pemerintahan.
Satu hal yang menonjol yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.Ini
dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta pemilu
pada masa itu berjumlah 48 partai.Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang
terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.Dalam sejarah
Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap,
pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat
setelah proses ahli kekuasaan.
Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai
Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala
itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara
terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.
Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang
meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi
Presiden RI ketika itu.
Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta
konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.
Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh
mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan
menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Menyongsong Pemilu 2014. Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong
pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk
menjadi peserta pemilu 2014. Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu
korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab
UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi. Gugatan yang diajukan
adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang
menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang
mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR.
b.otonomi daerah
Krisis moneter yang melanda asia kemudian menjadi momentum untuk menggusur
pemerintahan orde baru. Harus diakui bahwa terlepas dari keberhasilannya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah orde baru telah gagal menciptakan
sistem politik dan kehidupan bernegara yang demokratis. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, rezim orba dinilai tidak adil oleh daerah-daerah yang memiliki
nilai lebih dalam arti memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
Ketidak adilan tersebut ditandai dengan pengaturan sistem pemerintahan darah yang
sentralistis, berdasarkan UndangUndang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan
daerah Undang-Undang No. 5 tahun 1974 dibuat dengan asumsi bahwa dengan
memberikan otonomi yang seluasluasnya daerah akan menjadi tidak respek terhadap
pemerintah pusat yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi. Dalam bidang
pemerintahan daerah, Habibie menjawab tuntutan daerah kaya, dengan mengeluarkan
Undang-UndangNo. 22 tahun 1999tentang pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
No. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
a. Bidang pertahanan
d. Bidang peradilan
e. Agama Megawati Soekarno Putri yang rasionalis telah banyak diprediksi sebelumnya,
bahwa pemerintahannya tidak akan sungguh-sungguh menangani pelaksanaan otonomi
daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 dalam banyak hal kedua Undang-Undang tersebut mengandung banyak
persoalan.
c.kebebasan pers
Kekuasaan orde baru mulai runtuh di pertengahan tahun 1998, tepatnya pada 21 Mei
1998. Runtuhnya era yang telah berjalan selama kurang lebih 32 tahun ini membuat
orde reformasi mulai muncul, munculnya orde reformasi menyebabkan adanya
perubahan-perubahan di seluruh sektor pembangunan, baik di bidang ekonomi, sosial,
politik, dan kultural.
Di era ini juga pers mulai dapat merasakan kemerdekaan serta kebebasannya, hal ini
dapat terlihat dari tidak ada lagi batasan atau halangan dalam mengemas, membuat, dan
membagikan suatu informasi berupa berita kepada masyarakat luas.
Berbanding terbalik dengan UU No.40 tahun 1999 masyarakat lah yang menjadi
kontrolnya, terlihat di pasal 17 yang menyatakan jika masyarakat dapat melakukan
kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers serta menjamin hak mendapatkan
informasi yang dibutuhkan, kegiatan ini meliputi memantau dan melaporkan analisis
mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan
oleh pers serta menyampaikan usul, saran kepada dewan pers dalam rangka menjaga
dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Selanjutnya, perkembangan pers menjadi sangat cepat, bahkan peristiwa apa pun
yang terjadi di berbagai negara belahan dunia dapat sampai kepada masyarakat,
sehingga tidak hanya peristiwa yang terjadi di Indonesia saja yang dapat dikonsumsi
oleh para audiens.
Fenomena ini berangkat dari munculnya media massa baik elektronik maupun cetak,
seperti koran dan televisi juga media baru seperti media sosial dengan berbagai
pengemasannya. Ciri baru dari kebebasan pers di Indonesia adalah telah mulai berani
dalam mengkritik kebijakan-kebijakan para penguasa atau pemerintah di mana hal ini
tidak dilakukan pada era orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Pers di era reformasi telah tidak ada rasa takut lagi terhadap hal-hal yang mengkritisi
jalannya permerintahan di Indonesia, pers telah masuk ke era kebebasan yang nyata
dapat dinikmati. Pers bebas aktif adalah salah satu bagian terpenting dari masyarakat
yang menyatakan jika negaranya adalah negara demokratis, yang artinya negara
memprioritaskan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan sama terhadap seluruh
warga negaranya.
Posisi yang seimbang antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial yang
dilaksanakan menjadi suatu hal penting dan harus diperhatikan, paling utamanya adalah
media dalam menyampaikan informasi haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakat
luas dan tentunya informasi berfaedah, bukan informasi yang mementingkan ego dari
media tersebut. Seringkali kebebasan ini dieksploitasi oleh beberapa industri media
dalam hal memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, dengan tidak memedulikan
fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat.
Keberadaan pers sangat diharapkan untuk dapat memberikan pendidikan kepada
masyarakat luas untuk dapat membentuk ciri bangsa yang bermoral, kebebasan pers
juga tidak jarang mendapat keluhan, kecaman dari berbagai pihak karena telah dianggap
berubah menjadi “Kebablasan pers”. Dapat terlihat di media-media yang menyediakan
berita politik maupun hiburan (seks), media-media ini mengumbar berita yang tergolong
provokatif dan sensasional, tidak sesuai dengan makna dari kebebasan pers itu sendiri.
d.pemberantasan korupsi
Pada masa Orde Reformasi tercatat fenomena menarik yaitu masa B.J. Habibie,
tercatat paling banyak membentuk badan anti korupsi melalui undang -undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Badan yang dibentuk adalah KPKPN, KPPU dan Komisi
Ombudsman, namun ironisnya Jaksa Agung Andi Ghalib dikirimi ayam jago oleh para
mahasiswa karena takutnya memberantas korupsi Suharto dan kronikroninya.
Tatkala pembicaraan Andi Ghalib dan B.J. Habibie tentang pemberantasan korupsi
terekam oleh ICW dalam hal ini Teten Masduki, Andi Ghalib sangat marah dan berjanji
akan mengejarnya sampai ke liang kubur.
Masih masa Orde Reformasi, saat Gus Dur menjadi Presiden, ia membentuk Tim
Gabungan Pembentasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) diketuai oleh Hakim Agung
Andi Andojo.Belum lagi terlihat hasil kerjanya, tim ini dibubarkan oleh Mahkamah
Agung karena keberadaan dan struktur lembaga tersebut dinilai tidak sesuai peraturan
yang berlaku. Pada masa Gus Dur justru terjadi banyak skandal seperti BULOGATE
dan BALIGATE sehingga Kraar (2000) menyebut Gus Dur sebagai “ was implicated in
several corruption scandals, which has tainted his credibility as a reformer.”
a. Masa Megawati :
Upaya lain yang ditempuh adalah dengan pemberian contoh yang dimulai lingkungan
terdekat SBY yaitu melakukan audit di Sekretariat Negara, sejumlah yayasan yang
dinaunginya, lingkungan Kantor Presiden, Kantor Wakil Presiden dan Sekretariat
Kabinet. Perintah ini diambil beberapa waktu sebelum melantik Timtas Tipikor.
“Pembersihan rumah sendiri”, istilah yang digunakan SBY dalam memulai
pemberantasan korupsi, diikuti dengan lima (5) aturan pemberantasan korupsi SBY dan
delapan (8) jurus SBY melawan korupsi. Lima (5) aturan SBY memberantas korupsi
adalah (Media Otonomi, ibid)
3. Mencegah rumor yang justru akan menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki.
4. Masyarakat luas yang ingin memberi informasi tentang korupsi, tidak dikaitkan
dengan masalah politik atau dipolitisasi.
Delapan (8) jurus SBY melawan korupsi adalah sebagai berikut : (ibid)
6. Mencari mereka yang telah divonis oleh pengadilan dan masih dalam proses hukum,
namun lari ke luar negeri.
Masa Reformasi bergulir sejak tahun 1998 berkaitan erat dengan perubahan bentuk
masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global. Di tingkat nasional, perubahan ini
ditandai dengan semakin bebasnya masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan
gagasan dan pikiran mereka, seiring meredupnya Era Orde Baru dan mencuatnya Era
Reformasi.
Dwi Fungsi ABRI ditiadakan dengan tujuan untuk meningkatkan jatah warga sipil di
bidang pemerintahan. Hal ini dilakukan karna banyak dari anggota ABRI yang
mendominasi pada bagian pemerintahan dan membuat sistem pemerintahan di
Indonesia pada masa itu tidak transparan.
Jika persoalan internal TNI adalah karena implementasi Dwi Fungsi ABRI di masa
lalu yang biasa dan eksesif, maka data-data mengenai progres reformasi TNI
menunjukkan TNI telah meninggalkan Dwi Fungsi dan berbagai implementasinya.
Komitmen dan paradigma baru TNI tentunya memperlihatkan kondisi TNI yang telah
meninggalkan faktor-faktor yang dinilai tidak berfungsi secara normal.
Hingga saat ini, TNI masih terus berupaya melanjutkannya secara bertahap reformasi
internalnya yang meliputi aspek struktural dan kultural. Upaya sedikit demi sedikit atau
berangsur-angsur itu bertujuan untuk mewujudkan postur TNI yang solid, andal, dan
profesional.
TNI harus mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi,
supremasi sipil, dan HAM. Dengan demikian, tuntutan profesionalisme TNI hendaknya
diwujudkan dalam suatu kultur yang demokratis.
Komitmen ini pun sebenarnya sudah diupayakan sejak awal reformasi internal TNI
dilakukan hingga sekarang. Dengan kata lain, keberhasilan kebijakan reformasi internal
TNI bergantung pada kontrol objektif dari semua pihak. Pertama, adanya keyakinan
kuat internal TNI untuk tetap melanjutkan upaya penuntasan reformasi kultural TNI
secara kondusif bagi penegakan supremasi sipil yang demokratis. Kedua, adanya sikap
yang arif dan konsisten dari penguatan otoritas sipil yang benar-benar demokratis dan
tidak korup sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar
1945.
Pada akhirnya Dwi Fungsi ABRI memang layak untuk dihapuskan demi
menciptakan sistem demokrasi Indonesia yang berlandaskan supremasi sipil. Dengan
begitu, sistem demokrasi di negara kita benar-benar berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kaho, Josef Riwu. 2000. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta: PT Raja Drafindo Persada. Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif
Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Jakarta
Kaho, Josef Riwu, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Sujamto, 1990, Otonomi Daerah dan Bertanggung
Jawab ,Ghalia Indonesia, Jakarta. Kaho, JosefRiwu, 2001, Prospek Otonomi Daerah Di
Negara Republik Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Warella, Yacob. 2006. Materi Kuliah Reformasi Administrasi. Program Doktor Ilmu
Administrasi. Malang : Universitas Brawijaya. Zauhar, Soesilo. 1996. Reformasi
Administrasi, Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta : Bumi Aksara