Anda di halaman 1dari 21

SISTEM KONSTITUSI

OLEH :
JONATHAN HANS S.

H13114320

MUKRIMAH RAMDAYANI

H13114322

HASNIAR

H13114324

Prodi Ilmu Komputer Jurusan Matematika


Fakultas MIPA
Universitas Hasanuddin
Makassar
2014

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat,
hidayah dan karunia-Nya yang tiada ternilai kepada kelompok kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kelompok ini. Penulisan makalah
kelompok ini yang berjudul Konstitusi adalah upaya pembelajaran mengenai
sistem Konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Banyak rintangan dan hambatan yang kelompok kami hadapi dalam
penyusunan makalah ini. Namun berkat bantuan dan dukungan berbagai pihak ,
baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, Alhamdulillah kelompok
kami dapat menyelesaikannya. Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan doa, semoga Tuhan
membalas amal baik yang telah dilakukan umat-Nya.

Penulis

Kelompok 4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstitusi merupakan seperangkat aturan main dalam kehidupan bernegara
yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dan negara. Konstitusi biasa
disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Keberadaan konstitusi di suatu
negara diharapkan dapat melahirkan sebuah negara yang demokratis. Namun hal
itu tidak akan terwujud apabila terjadi penyelewengan atas konstitusi oleh
penguasa yang otoriter.
B. Rumusan Masalah
Pada pembahasan ini akan diuraikan tentang unsur-unsur dalam konstitusi
meliputi:
1. Pengertian Konstitusi
2. Tujuan, Fungsi Dan Ruang Lingkup Konstitusi
3. Klasifikasi Konstitusi
4. Sejarah Perkembangan Konstitusi
5. Sejarah Kelahiran Dan Perkembangan Konstitusi Di Indonesia
6. Perubahan Dan Macam-Macam Perubahan Konstitusi
7. Perubahan Konstitusi Di Indonesia
8. Lembaga Kenegaraan Pasca Amandemen UUD 45
9. Tata Urutan Perundang-Undangan Indonesia
10. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis Constitueryang berarti membentuk.
Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan, penyusunan atau pernyataan
akan suatu negara. Dalam bahasa Latin, konstitusi merupakan gabungan dua
kata Cume berarti bersama dengan . dan Statuere berarti: membuat
sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu. Sedangkan UndangUndang Dasar merupakan terjemahan dari istilah Belanda Grondwet. Grond
berarti tanah atau dasar, dan Wet berarti Undang-Undang.
Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cart-cara bagaimana
suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni:

1. Sosiologis dan politis. Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa
faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat.
2. Yuridis. Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua
bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Menurut Koernimanto Soetopawiro

Istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bewrsama dengan
dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti
menetapkan secara bersama.

Menurut Herman Heller

Konstitusi mempunyai arti luas daripada uud. Konstitusi tidak hanya bersifat
yuridis tettapi juga sosiologis dan politis

Menurut K. C. Wheare

Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa


kumpulan peraturan yang mmbentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan
suatu negara.

2. Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup Konstitusi


Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenangwenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah dan menetapkan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Sedangkan fungsi konstitusi adalah
sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem
hukum negara.
Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi:
a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu sekarang
maupun untuk masa yang akan datang.
d. Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin.

3. Klasifikasi Konstitusi
K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu:
a. Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki
kesakralan khusus dalam proses perumusannya. Sedangkan konstitusi tidak
tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat-istiadat dari pada
hukum tertulis.
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku
Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus
disebut dengan konstitusi fleksibel. Sebaliknya, konstitusi yang mempersyaratkan
prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya adalah konstitusi kaku.
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi
Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi
dalam negara. Sedangkan konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak
mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi.
d. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara; jika negara itu serikat, maka akan
didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan
pemerintah negara bagian
e. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan
parlementer

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :


- Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
- Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif
- Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak
dapat memerintahkan diadakan pemilihan.
Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer :
- Kabinet yang dipilih PM dibentuk atau berdasarkan ketentuan yang menguasai
parlemen
- Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota parlemen
- Kepala negara dengan saran PM dapat membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakannya pemilu.

4. Sejarah Perkembangan Konstitusi


Konstitusi telah lama dikenal sejak jaman bangsa Yunani. Pada masa itu
pemahaman tentang konstitusi hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Sejalan dengan perjalanan itu, pada
masa kekaisaran Roma konstitusi berubah makna, yakni; suatu kumpulan
ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat
ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang.
Selanjutnya pada abad VII lahirlah piagam Madinah atau konstitusi Madinah yang
merupakan satu bentuk konstitusi pertama di dunia yang telah memuat materi
sebagaimana layaknya konstitusi modern dan telah mendahului konstitusi-

konstitusi lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak asasi


manusia.
Pada tahun 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh keteganganketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Maka
pada tanggal 14 September 1791 tercatat diterimanya konstitusi Eropa pertama
oleh Louis XVI. Sejak peristiwa inilah, sebagian besar negara-negara di dunia
sama-sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi.
Dan akhirnya, muncullah konstitusi dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh
Amerika. Namun, konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum dasar yang
penting. Konstitusi sebagai UUD, atau Konstitusi Modern baru muncul
bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan.
5. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara republik Indonesia disahkan dan
ditetapkan oleh panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18
agustus 1945 diketuai oleh Ir. Soekarno. Berikut perjalanan sejarahnya ;
1. Undang-Undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 27
Desember 1949.
2. Konstitusi RIS dengan masa berlakunya sejak 27 Desember 1949 17 Agustus
1950.
3. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang
masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950 5 Juli 1959.
4. Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi
pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sekarang.

6. Perubahan Dan Macam-Macam Perubahan Konstitusi


Dari segi tata bahasa kata Amandemen sama dengan amandement. Secara
harfiah amandement dalam bahasa Indonesia berarti mengubah. Mengubah
maupun perubahan berasal dari kata dasar ubah yang berarti lain atau beda.
Mengubah mengandung arti menjadi lain sedang perubahan diartikan hal
berubahnya sesuatu; pertukaran atau peralihan. Dapat kita jabarkan bahwa
perubahan yang oleh John M Echlos dan Hasan Shadily juga disebut amandemen
tidak saja berarti menjadi lain isi serta bunyi ketentuan dalam UUD, akan tetapi
juga mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan
dalam UUD yang sebelumnya tidak terdapat didalamnya. Menurut KC Wheare
konstitusi itu harus bersifat kaku dalam aspek perubahan. Empat sasaran yang
hendak dituju dalam usaha mempertahankan Konstitusi dengan jalan mempersulit
perubahannya adalah:
1.

Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak,


tidak secara serampangan dan dengan sadar (dikehendaki).

2.

Agar rakyat mendapat kesempatan untukmenyampaikan pandangannya


sebelum perubahan dilakukan.

3.

Agar kekuasaan Negara serikat dan kekuasaan Negara bagian tidak diubah
semata-mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.

4.

Agar supaya hak-hak perseorangan atau kelompok, seperti kelompok


minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.

Apabila kita amati mengenai system pembaharuan konstitusi di berbagai Negara ,


terdapat

dua

system

yang

dan Amandement (perubahan).

berkembang

yaitu renewel (pembaharuan)

System renewel adalah

bila

suatu

konstitusi

dilakukan perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan) maka yang berlaku


adalah konstitusi baru secara keseluruhan. System ini dianut di Negara-negara
Eropa Kontinental. System Amandement adalah bila suatu konstitusi yang asli
tetap berlaku sedang hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau
dilampirkan dalam konstitusi asli. Sistem ini dianut di Negara-negara Anglo
Saxon.

Factor utama yang menentukan pembaharuan UUD adalah berbagai pembaharuan


keadaan di masyarakat. Dorongan demokrasi, pelaksanaan paham Negara
kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan system ekonomi akibat
industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan
(forces) pendorong pembaharuan UUD. Demikian pula dengan peranan UUD itu
sendiri. Hanya masyarakat yang berkendak dan mempunyai tradisi menghormati
dan menjunjung tinggi UUD yang akan menentukan UUD dijalankan
sebagaimana semestinya.
Menurut KC Wheare, perubahan UUD yang timbul akibat dorongan kekuatan
(forces) dapat berbentuk:
1.

Kekuatan

tertentu

dapat

melahirkan

perubahan

keadaan

tanpa

mengakibatkan perubahan bunyi tertulis dalam UUD. Yang terjadi adalah


pembaharuan makna. Suatu ketentuan UUD diberi makna baru tanpa
mengubah bunyinya.
2.

Kekuatan kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong


perubahan atas ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan
hakim, hukum adat maupun konvensi.

Secara Yuridis, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila dalam konstitusi


tersebut telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi disebut perubahan secara
formal (formal amandement). Disamping itu perubahan konstitusi dapat dilakukan
melalui cara tidak formal yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat primer,
penafsiran oleh pengadilan dan oleh kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan.
Menurut CF Strong ada empat macam cara prosedur perubahan konstitusi, yaitu:
1.

Melalui lembaga legislative biasa tetapi dibawah batasan tertentu.( By the


ordinary legislature, but under certain restrictions) Ada tiga cara yang diizinkan
bagi lembaga legislative untuk melakukan amandemen konstitusi.

Untuk mengubah konstitusi siding legislative harus dihadiri


sekurang-kurangnya 2/3 jumlah keseluruhan anggota lembaga legislative.
Keputusan untuk mengubah konstitusi adalah sah bila disetujui oleh 2/3 dari
jumlah anggota yang hadir.

Untuk mengubah konstitusi, lembaga legislative harus dibubarkan


lalu diselenggarakan Pemilu. Lembaga legislative yang baru ini yang
kemudian melakukan amandemen konstitusi.

Cara ini terjadi dan berlaku dalam system dua kamar. Untuk
mengubah konstitusi, kedua kamar harus mengadakan sidang gabungan.
Sidang inilah yang berwenang mengubah konstitusi sesuai dengan syarat
cara kesatu.

Melalui rakyat lewat referendum. (By the people through a


referendum)

Apabila ada kehehendak untuk mengubah konstitusi maka lembaga Negara yang
berwenang m,engajukan usul perubahan kepada rakyat melalui referendum.
Dalam referendum ini rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima
atau menolak usul perubahan yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan
diterima atau ditolaknya suatu usul perubahan diatur dalam konstitusi
1.

Melalui suara mayoritas dari seluruh unit pada Negara federal.( By a


majority of all units of a federal state). Cara ini berlaku pada Negara federal.
Perubahan terhadap konstitusi ini harus dengan persetujuan sebagian besar
Negara bagian. Usul perubahan konstitusi diajukan oleh Negara serikat tetapi
keputusan akhir berada di tangan Negara bagian. Usul perubahan juga dapat
diajukan oleh Negara bagian.

2.

Melalui konvensi istimewa.( By a special conventions)

Cara ini dapat dijalankan pada Negara kesatuan dan Negara serikat. Bila terdapat
kehendak untuk mengubah UUD maka sesuai ketentuan yang berlaku dibentuklah
suatu

lembaga

khusus

yang

tugas

serta

wewenangnya

hanya

mengubah konstitusi.usul perubahan dapat berasal dari masing-masing lembaga


kekuasaan dan dapat pula berasal dari lembaga khusus tersebut. Bila lembaga
khusus tersebut telah melaksanakan tugas dan wewenangnya sampai selesai
dengan sendirinya dia bubar.
Pada dasarnya dua metode amandemen konstitusi yang paling banyak dilakukan
di Negara-negara yang menggunakan konstitusi kaku: pertama dilakukan oleh
lembaga legislative dengan batasan khusus dan yang kedua, dilakukan rakyat

melalui referendum. Dua cara yang lain dilakukan pada Negara federal. Meski
tidak universal dan konvensi istimewa umumnya hanya bersifat permisif (dapat
dipakai siapa saja dan dimana saja). Berdasarkan hasil penelitian terhadap
beberapa konstitusi dari berbagai Negara dapat dikemukaka hal-hal yang diatur
dalam
konstitusi mengenai perubahan konstitusi, yaitu :
1.

Usul inisiatif perubahan konstitusi.

2.

Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi bagi
lembaga pengubah konstitusi.

3.

Pengesahan rancangan perubahan konstitusi.

4.

Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi.

5.

Pembatasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi.

6.

hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau klausula
khusus.

7.

Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi,


seperti parlemen, Negara bagian bersama parlemen, lembaga khusus, rakyat
melalui referendum.

Perubahan Konstitusi menurut K.C.Wheare :


1.

Some primary forces, Didorong oleh beberapa kekuatan yang muncul di


dalam masyarakat. Contoh: di Filipina, Cori terhadap pemerintahan Marcos.

2.

Formal amandement, Secara formal sesuai dengan apa yang diatur


dalam konstitusi, dalam hal ini didalam konstitusi kita diatur dalam pasal
tentang perubahan yaitu pasal 37.

3.

Judicial interpretation, Perubahan dilakukan oleh hukum, dalam hal ini


biasanya adalah oleh MA melalui penafsiran MA. Sebagai contoh; dengan
menafsirkan pasal II Tap MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Kewenangan
presiden untuk mengangkat memberhentikan Kapolri, dimana menurut pasal
ini sebelum Presiden mengangkat Kapolri harus dengan persetujuan DPR yang
ketentuannya diatur dalam UU, tapi UU-nya sendiri belum ada sedang situasi
dan kondisi menghendaki pergantian tersebut di saat seperti itu maka yang

semestinya dilakukan penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh Presiden


dengan mengangkat Kapolri baru tanpa persetujuan DPR adalah penafsiran
MA dengan menafsirkan Tap tersebut yaitu pasal 10.
4.

Usage and convention, Berangkat dari aturan dasar yang tidak tertulis.

7. Perubahan Konstitusi di Indonesia


Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan Undang-Undang di
Indonesia adalah :
1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
2. Setiap usul perubahan pasal-[asal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota MPR.

8. Lembaga Kenegaraan Pasca Amandemen UUD 45


Reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan
sebagai hasil dari proses amandemen UUD 1945 dikelompokkan dalam
kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana dijelaskan di bawah
ini :
1. Lembaga Legislatif

Dalam ketatanegaraan Indonesia, legislatif terdiri dari tiga lembaga, yakni DPR,
DPD dan MPR. DPR adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
republik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang. Diantara tugas DPR adalah membentuk
Undang-Undang yang dibahas oleh presiden untuk mendapat persetujuan
bersama, membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang dan lain sebagainya.
Sedangkan DPD merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan wakil-wakil daerah propinsi.
2. Lembaga Eksekutif
Lembaga eksekutif di Indonesia dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh wakil
presiden dalam menjalankan kewajiban negara. Dalam hal ini, presiden sebagai
simbol resmi negara dan juga sebagai kepala pemerintahan, yang di dalamnya
presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan
eksekutif untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.
3. Lembaga Yudikatif
Cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang terdiri
dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

9. Tata Urutan (Hierarki) Perundang-Undangan Indonesia


Hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR No. III
Tahun 2000 adalah sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Perda (Peraturan Daerah)
Kemudian hierarki perundang-undangan tersebut diganti dengan hierarki
perundang-undangan baru yang diatur dalam Pasal 7, yaitu :
1. UUD 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Perda, meliputi: Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, Peraturan Desa.
Sistem Pemerintahan Sendiri.
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945,
system pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial.
Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi
merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang
kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dua pasal
tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan
staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih
lanjut dalam Penjelasan UUD 1945. Sistem presidensial tidak mengenal adanya
lembaga pemegang supremasitertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation

of power) ke 3 cabang yaknilegislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal


diformulasikan sebagai trias politicaoleh Montesquieu. Presiden dan wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan
oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah
pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada
Presiden. Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan
kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa
ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan
konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara?
Apakah sistem pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para
perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan
menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR,
tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para
perancang Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen
lengkap rapatrapat BPUPK sekitar 11 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus
1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo
(Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan para founding
fathers tentang system pemerintahan negara. Arsip AG-AK-P yang selama hampir
56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B.
Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah
monograf berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 terbitan Fakultas
Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran
bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan
para perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli
1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para
Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof.
Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-

pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan


mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue bukanlah sistem pembagian
kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan,
Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap
trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat. Pada
rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai
kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem
parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan
individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan
secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power
karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah bagian dari kekuasaan legislatif.
Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah
anggota parlemen. Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk
Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan.
Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara
legislatif eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan
sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan winner takes all
seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat
dbemokrasi.Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan sistem sendiri
sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof.
Soepomo, Ketua Panitia KecilBPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan
terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut.
Ismail

Suny

menyebutnya

Sistem

Quasi-presidensial,

Padmo

Wahono

menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR.


Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem
presidensial

dan

parlementer

disebut

sistem

semi-presidensial.

Sistim

pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945


mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. Sistem
sendiri tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang
legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan,

Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan
dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat
dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.
Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem
parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang
supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem
parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai
perwujudan seluruh rakyat.
Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat
dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur
pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden
dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR,
sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislative
(legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR
tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun
undang-undang.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18
Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari
seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis
yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang
dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam
masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan
lembga bi-kameral.
10. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Sebelum Amandenen UUD 1945

Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi


dan lembaga tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut.
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat
diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan
kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar
kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).

Sesudah Amandemen UUD 1945

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan


(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945
antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan
pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan
mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan
kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya
lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Amandemen UUD 1945, dapat
dijelaskan sebagai berikut: Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi
dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut
UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6

lembaga negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah
Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian pada pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Konstitusi (constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan

hukum bentukan pada pemerintahan negara, , konstitusi memuat aturan dan


prinsip-prinsip entitas politik dan hukum. Dalam sejarahnya, Undang-Undang
Dasar 1945 dirancing sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh (BPUPKI)
yang beranggotakan 21 orang.
2. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Konstitusi atau Undang-undang Dasar

1945 yang diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan


dan masa berlakunya di Indonesia.
3. Macam-macam kontitusi :
a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and

unwritten

constitution)

b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution).


c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme

and not supreme constitution).


d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary
e.

Constitution).
Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer
(President Executive and Parliamentary Executive Constitution).

DAFTAR PUSTAKA
Nurcahjo. Hendra. Ilmu Negara, cet. 1, Jakarta : PT. RajaGraindo Persada, 2005
Kusnardi. Moh, Ibrohim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
cet.7, Jakarta : CV. Sinar Bakti, 1988
Thaib. Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : Grafindo, 1999
Wheare, KC. Modern Constitutions, Jakarta : Alumni, 1975
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Penerbit
Alumni,1987
Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII PRESS, 2003
Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford Univ : Press, 1971,
Strong. CF, Konstitusi konstitusi Politik modern Kajian tentang sejarah dan
BentukBentuk KonstitusiDunia,Bandung : Nusamedia, 2004
Badan Eksekutif Mahasiswa 2004-2005 Campus in Compact,Hukum Tata Negara

Anda mungkin juga menyukai