Anda di halaman 1dari 22

UUD 1945 : Konstitusi Indonesia

A. Konstitusi Negara Indonesia, Suatu Suplemen


Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia
disahkan dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 1945, yakni sehari setelah
proklamasi kemerdekaan.
Istilah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang memakai
angka “1945” di belakang UUD, barulah timbul kemudian yaitu pada awal
1959, ketika tanggal 19 Februari 1959 Kabinet Karya mengambil
kesimpulan dengan suara bulat mengenai “pelaksanaan demokrasi
terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945". Kemudian keputusan
pemerintah itu disampaikan ke pihak Konstituante pada 22 April 1959.
Peristiwa ini dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama
“ajakan pemerintah yang berbunyi secara cekak aos untuk kembali ke UUD
1945”.
Jadi pada saat disahkan dan ditetapkannya UUD 1945 pada 18
Agustus 1945, ia hanya bernama “OENDANG-OENDANG DASAR”.
Demikian pula, ketika UUD diundangkan dalam Berita Republik Indonesia
Tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946, istilah yang digunakan masih
“Oendang-Oendang Dasar" tanpa tahun 1945. Baru kemudian dalam Dekrit
Presiden1959 memakai UUD 1945 sebagaimana yang diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959. Hal ini perlu dikemukakan,
mengingat titik fokus pembahasan buku ini pada UUD 1945 (pernah dua
kali masa berlakunya), dan bukan pembahasan pada UUD RIS (Konstitusi
R15 1949) dan UUDS 1950.
Moh. Tolchah Mansoer dalam bukunya Teks Resmi dan Beberapa
Soal Tentang UUD 1945 menjelaskan sebagai berikut: Dalam
Memorandum Dewan Permusyawaratan Rakyat Gotong Royong tanggal 9
Juni 1966, di mana hasil sidangnya kemudian disahkan dalam sidang ke-4
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara menjadi Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966, pada angka III/I/3 dikatakan bahwa UUD 1945
sebagai perwujudan dari tujuan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
terdiri dari “pernbukaan” dan “batang tubuhnya”.
Khusus mengenai pembukaan, dikatakan dalam angka III/I/A/a
bahwa “Pembukaan UUD 1945 tidak lain adalah penuangan jiwa
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ialah jiwa Pancasila, sesuai
dengan penjelasan otentik UUD 1945”. Kemudian mengenai batang tubuh
UUD dikatakan dalam angka III/I/3/B sebagai berikut, “Batang Tubuh UUD
1945 terdiri dari 16 Bab dan terperinci dalam 37 pasal. Di samping itu, ada
Aturan Peralihan yang terdiri dari 4 pasal dan Aturan Tambahan 2 ayat".
Jelaslah bagi penulis bahwa berdasarkan Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 yang dimaksud UUD 1945 meliputi; Pembukaan,
Batang Tubuh yang terdiri dari 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat
Aturan Tambahan, serta Penjelasan otentik UUD. Adapun mengenai pernah
berlakunya UUD 1945 dalam dua kurun waktu, dan UUD 1945 yang mana
yang akan dipakai dalam penulisan ini, akan dibahas secara tersendiri dalam
subbab berikut.
Berbicara tentang Undang-Undang Dasar suatu negara, menarik
sekali untuk diketahui, dalam kondisi negara bagaimana konstitusi itu lahir,
siapa yang mempunyai kontribusi besar atas kelahiran konstitusi,
hendaknya dibawa ke mana oleh para perumus atau pendiri negara (the
founding fathers) cita-cita negara itu digariskan. Di samping itu, dengan
Undang-Undang Dasar akan diketahui tentang negara itu, baik bentuk,
susunan negara maupun sistem pemerintahannya.
A.A.H. Struycken berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang Iampau.
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk
waktu sekarang maupun masa yang akan datang.
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis juga
dituangkan dalam sebuah dokumen formal, di mana dokumen tersebut telah
dipersiapkan jauh sebelum Indonesia merdeka, dan baru dirancang oleh
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dengan dua masa sidang Yaitu tanggal 29 Mei 1 Juni 1945 dan
tanggal 10 17Juli 1945. Sebagai dokumen formal, UUD 1945 ditetapkan
dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.‘

Pasca-Indonesia merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 pernah


berlaku dua kali dalam suasana ketatanegaraan dan kurun waktu yang
berbeda. Bagaimana kronologis pemberiakuannya, akan diuraikan berikut
ini.

B. Fenomena Dua Kali Masa Berlakunya UUD 1945


Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan bahwa pernah
berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) yaitu:
1. Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku antara 18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, yang beriaku antara 27
Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang berlaku antara 17
Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4. Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang.

Dalam ke empat periode berlakunya ketiga macam Undang- Undang


Dasar itu, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu
pertama, berlaku UUD1945 sebagaimana yang diundangkan dalam Berita
Republik Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua, UUD 1945 berlaku
lagi sebagai akibat gagalnya Konstituante Republik Indonesia menetapkan
Undang-Undang Dasar yang baru untuk menggantikan UUDS 1950. Tepat
tanggal 5 Juli 1959 Presidan Republik Indonesia mengeluarkan sebuah
dekrit yang di antara isinya menyatakan berlakunya kembali UUD 1945.
Kemudian Dekrit Presiden beserta lampirannya berupa UUD 1945
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun
1959.

Tindakan mendekritkan kembali ke UUD 1945, pada sementara


kalangan yang mempertanyakan keabsahan dari segi hukumnya. Menurut
pendapat ketua Mahkamah Agung dalam suatu wawancara khas dengan
ketua Dewan Redaksi Suluh Indonesia pada 11 Juli 1959, beliau
mengatakan “didasarkan pada suatu hakikat hukum tidak tertulis (dalam
bahasa Belanda dinamakan staatsnoodrecht) bahwa dalam hal keadaan
ketatanegaraan tertentu, kita dapat terpaksa mengadakan tindakan yang
menyimpang dari peraturan-peraturan ketatanegaraan yang ada”.
Berdasarkan kondisi gawat itulah Presiden sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Perang mengeluarkan dekritnya. Pertimbangan ini telah dimuat
dalam konsideran alinea ketiga dan keempat yang berbunyi:

“Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan


yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan
bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur, dan bahwa dengan dukungan
bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan negara Proklamasi”.
Jadi dilihat dari segi hukum ketatanegaraan, tindakan Presiden/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang yang didasarkan atas keadaan yang
memaksa, memang dibenarkan.

Dalam kaitan dengan berlakunya UUD 1945 pada dua kurun Waktu
di atas, muncul pertanyaan; apakah rumusan UUD 1945 yang terdapat
dalam Dekrit Presiden itu sama dengan UUD I945 yang berlaku sekarang
(yaitu UUD 1945 yang dipergunakan sebagai bahan penataran P4)? Apakah
UUD 1945 yang berlaku sekarang ini sama dengan yang tercantum dafam
Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7? Untuk memperjelas tentang hal
ini, paling tidak dibandingkan proses terjadinya dari dua masa
pemberlakuan UUD 1945 itu dan sedikit melihat dari sisi materinya, adakah
perbedaan yang prinsipil?

Pada 28 Mei 1945, Pemerintah Balatentara Jepang melantik Badan


Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
beranggotakan 62 orang dengan diketuai oleh Radjiman Wedyadiningrat,
yang oleh Boland panitia ini diakui sebagai committe of 62.

Tugas pokok badan ini sebenarnya menyusun Rancangan UUD.


Namun, dalam praktik persidangan-persidangannya (Sidang I) berjalan
berkepanjangan, khususnya pada saat membahas masalah dasar negara.
Singkatnya di akhir sidang I BPUPKI ini berhasil membentuk Panitia Kecil
yang serius disebut dengan Panitia Sembilan. Panitia ini pada 22 Juni 1945
berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah naskah
“Mukaddimah” UUD yang kemudian disebut/dikenal Piagam Jakarta (The
jakarta Charter).

Hasil kesepakatan Panitia Sembilan ini kemudian dinyatakan


diterima dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu
Soekarno membentuk Panitia Kecil lagi yang diketuai oleh Soepomo
dengan tugas menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar. Empat hari
berikutnya sidang ini berhasil juga menyetujui rancangan UUD yang kelak
akan dijadikan konstitusi tertulis di Indonesia (tanggal 16 Juli 1945).
Dengan demikian, tugas BPUPKI sudah selesai. Adapun tugas berikutnya
untuk mempersiapkan kemerdekaan diserahkan pada Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Keanggotaan PPKI berjumlah 21 orang dengan seorang ketua


Soekamo dan Moh. Hatta sebagai wakilnya. Menurut rencana panitia ini
akan mulai bekerja tanggal 9 Agustus 1945, dan diharapkan pada tanggal
24 Agustus 1945 hasil kerja panitia dapat disahkan oleh Pemerintah Jepang
di Tokyo. Rencana tersebut ternyata tidak dapat berjalan, karena pada
tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Nagasaki dan Hirosjima dibom oleh Sekutu,
yang menyebabkan jepang menyerah kepada Sekutu.
Akibat hal tersebut, maka PPKI yang semula berjumlah 21 orang
kemudian ditambah 5 orang menjadi 26 orang, di mana sehari setelah
kemerdekaan RI mereka berhasil mengesahkan UUD 1945.

Mengenai keabsahan tindakan yang dilakukan oleh PPKI dalam


mengesahkan UUD, padahal ia bukan konstituante atau bukan seperti MPR
hasil Pemilu sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 sendiri, menurut
Ismail Sunny bahwa kesahan UUD 1945 harus dipertimbangkan dengan
menunjuk kepada keberhasilan revolusi Indonesia. Jadi karena revolusi,
maka UUD 1945 yang dihasilkan oleh revolusi itu adalah sah.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa di antara penyebab berlakunya


kembali UUD 1945 adalah karena kegagalan konstituante untuk
membicarakan dan menetapkan UUD yang tetap, untuk itu lahirlah atau
ditetapkanlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan jalan ini kata Prawoto
Mangkusasmito; Dekrit Presiden menjadi sumber bagi berlakunya kembali
UUD 1945. Demikian juga menurut Muh. Yamin, justifikasi (dasar
pembenaran) Dekrit Presiden ini ialah ketentuan yang bersumber kepada
hukum darurat kenegaraan yang dinamai Das Notrecht des Staats atau Das
Staats Notrecht, suatu prinsip yang dikenal dan diakui oleh ilmu hukum
nasional dan internasional.“

Jika diperbandingkan antara UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI


tanggal 18 Agustus 1945 dengan naskah yang diundangkan dalam Berita
Republik Indonesia Tahun 11 No.7 dan dibandingkan dengan naskah yang
diundangkan dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959, sebetulnya tidak
ada perbedaan prinsipil. Kecuali hanya pada hal-hal tertentu di antaranya,
UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI tersebut tidak ada bagian
penjelasannya, dan baru dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 7.
Tahun II, tetapi tidak secara berurutan seperti sekarang ini. Penjelasan UUD
1945 itu secara lengkap dan urut serta merupakan satu kesatuan dengan
batang tubuh dan pembukaannya, yaitu seperti yang dimuat dalam
Lembaran Negara RI No. 75 Tahun 1959. Kemudian mengenai perbedaan
redaksi teks Pembukaan, hubungan pembukaan dengan batang tubuhnya,
secara khusus akan dibahas dalam subbab berikut.

C. Fungsi dan Peranan UUD 1945

Berbicara tentang fungsi dan peranan UUD 1945, sejarah telah


membuktikan melalui empat kurun waktu berlakunya Undang-Undang
Dasar dengan ketiga macam UUD (UUD 1945, Konstitusi R1S 1949, dan
UUDS 1950).

Secara teoretis pergantian UUD tersebut setidak-tidaknya telah


membawa perubahan struktural dan mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan negara, dan kemungkinan yang lebih jauh ialah perubahan
dasar filsafat dan tujuan negara. Tetapi dalam praktik ketatanegaraan kita,
ternyata pergantian UUD itu tidak membawa perubahan pada dasar filsafat
dan tujuan negara, dan hanya terbatas pada perubahan struktur, mekanisme
dan policy saja. Jadi dasar filsafat negara kita tetap Pancasila, dan tujuan
pokoknya sebagai mana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.


2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kembali pada pokok bahasan ini, ada dua pertanyaan yang relevan
sekali untuk diketengahkan, dan kedua-duanya merupakan satu keterkaitan
yang erat, yaitu:

1. Sejauhmana UUD 1945 seharusnya berfungsi sebagai suatu konstitusi


tertulis untuk melandasi pengelolaan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2. Sejauhmana UUD 1945 telah berfungsi untuk melandasi pengelolaan
kehidupan nasional tersebut?

Untuk menjawab kedua fungsi UUD itu sekaligus, faktor-faktor


ketatanegaraan baik dalam bentuk filsafat hidup, landasan hukum, dan
politik pemerintahannya harus terjabarkan dalam kerangka konsepsional
dan operasional yang mantap.

Pertama, fungsi dan peranan UUD 1945 secara konsepsional


tercermin dalam; berfungsinya Pancasila sebagai landasan filosofi bangsa,
berfungsinya sistem presidensial secara konstitusional sebagai landasan
struktural yang tertuang dalam UUD, dan berfungsinya tujuan nasional yang
terimplementir dalam kebijaksanaan politik bangsa yang tertuang dalam
GBHN.

Kedua, fungsi dan peranan UUD 1945 secara operasional artinya


apa yang telah tefcermin di dalam peranan UUD 1945 secara konsepsional
di atas, benar-benar dapat terealisasi secara nyata dalam kehidupan
berbangsa dan benegara, bukan hanya itu saja, tapi mampu dilestarikan serta
peningkatan usaha-usaha pelestariannya. Semua ini harus dilaksanakan oleh
suprastruktur (pemerintah), infrastruktur (parpol, golkar, dan ormas-ormas
yang ada), dan segenap masyarakat seluruhnya.

Semua konsepsi di atas, sebenamya telah dicita-citakan oleh para


tokoh bangsa atau pendiri negara The Founding Fathers ini, sebagaimana
jauh sebelumnya telah dituangkan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan
Penjelasan UUD 1945.

D. Reorientasi UUD 1945 Sebagai Pandangan Tokoh-tokoh Bangsa


Pada bagian terdahulu disebutkan bahwa menurut Struycken salah
satu kandungan konstitusi berisi pandangan tokoh-tokoh bangsa yang
hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang
akan datang. Permasalahan yang muncul, benarkah naskah UUD 1945 itu
berisi pandangan tokoh bangsa kita, dan siapa yang dimaksud tokoh-tokoh
bangsa itu? Adakah mereka 'itu termasuk orang-orang atau kelompok yang
akan mempunyai perhatian besar terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi
negara, ataukah mereka itu orang-orang atau kelompok yang benar-benar
terlibat langsung dalam mempersiapkan, merumuskan, dan menetapkan
UUD 1945.
Jika yang dimaksud adalah seperti pengertian pertama, bisa jadi
mereka itu meliputi orang-orang atau kelompok tokoh dari angkatan 45,
minus angkatan 66, atau lebih luas dari itu, yaitu seluruh rakyat Indonesia
sebelum kemerdekaan. Lain halnya kalau yang dimaksud adalah pengertian
yang kedua, berarti tokoh-tokoh bangsa di sini, yaitu mereka yang termasuk
anggota BPUPKI (sebagai badan yang merancang dan merumuskan UUD
melalui sidangsidangnya) dan mereka yang termasuk anggota PPKI (badan
yang menetapkan dan mengesahkan UUD waktu itu), inklusif pengertian di
dalamnya adalah para pendiri negara atau sering disebut The Founding
Fathers.
Ada dua sasaran yang dapat dikategorikan sebagai tokoh-tokoh
bangsa dalam kaitannya dengan lahirnya UUD 1945 sebagai konstitusi
tertulis yang ditetapkan dan disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Pertama, tokoh-tokoh bangsa yang terdiri dari orang atau kelompok
yang mempunyai perhatian besar terhadap Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi bagi suatu negara yang merdeka. Dalam kelompok ini dapat
digolongkan sebagai tokoh-tokoh dari Angkatan 28 yang mempunyai saham
besar dalam proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mereka itulah yang mempunyai pemikiran-pemikiran serta gagasan-
gagasan yang sudah terakumulasi sejak zaman kolonial, dan baru pada
tanggal 17 Agustus 1945 tersebut cita-cita mereka terwujud dalam bentuk
negara yang merdeka dengan UUD 1945 sebagaj konstitusinya. Di antara
tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Agus Salim, Moh. Natsir. Moh. Yamin,
Soekarno, Hatta, dan lain sebagainya.
Masih dalam kelompok ini, yaitu golongan Angkatan 45. Mereka
adalah para pelaksana yang meneruskan cita-cita perjuangan sebelum
proklamasi kemerdekaan dan banyak jasanya dalam merealisasikan cita-cita
UUD 1945. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 memang
banyak tergantung pada angkatan ini. Terbukti pernah beberapa waktu
lamanya UUD 1945 tidak berlaku, hal itu disebabkan karena Angkatan 45
pernah kurang konsisten dalam menjalankan konstitusi. Seperti pada masa
berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Kondisi seperti ini baru
berakhir setelah berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Di antara tokoh-tokoh pada angkatan ini, terdiri dari kalangan
generasi tua, sebagian dari angkatan 28 yaitu Soekarno, Moh. Yamin,
Soepomo, Agus Salim, dan lain sebagainya. Kemudian dari golongan
generasi mudanya, ialah Adam Malik, Sukarni, Khoirul Saleh dan lain
sebagainya. Tentu dalarn pembahasan ini tidak dimasukkan dari golongan
Angkatan 66, karena angkatan ini lahir setelah masa penetapan UUD 1945.
Bahkan mereka lahir di saat terjadinya penyimpangan-penyimpangan
pelaksanaan UUD 1945, sehingga mereka menghendaki supaya UUD 1945
dijalankan menurut jiwanya yang murni dan konsekuen.
Kedua, adalah mereka yang langsung terlibat dalam proses
penyiapan, perumusan, dan penetapan UUD 1945 baik dalam sidang-sidang
BPUPKI maupun sidang-sidang PPKI. Pada pengertian kedua inilah yang
penulis maksudkan sebagai Tokoh-tokoh Bangsa di sini.
Sebelum menyebutkan secara rinci siapa-siapa yang dikualifisir
termasuk tokoh-tokoh bangsa, terlebih dahulu penulis ketengahkan
beberapa istilah yang jika salah pengertian atau pemahaman dapat
mengaburkan penulisan selanjutnya. Istilah dimaksud, yaitu Perumus Dasar
Negara dan Perumus atau Perancang UUD, kedua termasuk dalam
keanggotaan BPUPKI.
Perumus Dasar Negara ialah mereka yang tergabung dalam Panitia
Kecil (sering disebut Panitia Sembilan), yang berhasil mendapatkan suatu
modus vivendi atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan
dalam membuat Rancangan Pembukaan UUD pada tanggal 22 Juni 1945,
yang di dalamnya tercantum rumusan Dasar Negara.
Perumus atau Perancang UUD adalah mereka yang termasuk dalam
Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar ditambah seorang anggota
penghalus bahasa.
Jadi penulis berkesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan Tokoh-
tokoh Bangsa dalam kaitan dengan judul dan penulisan ini adalah mereka
yang tercantum dalam keanggotaan BPUPKI maupun sebagai anggota PPKI
(inklusif di dalamnya; Perumus Dasar Negara dan Perumus UUD).
Keanggotaan BPUPKI berjurnlah 62 orang, terdiri dari:
Soekarno, Moh. Yamin, R. Koesoemah Atmadja, R. Abdoelrahim
Pratlykrama, R. Aris, K.H. Dewantara, K. Bagoes Hadikoesoemo,
B.P.H. Bintoro, A.K. Moezakir, B.P.H. Poerbojo, R.A.A.
Wiranatakoesoema, R.R. Asharsoetedjo Moenandar, Oei Tjang
Tjoei, Moh. Hatta, Oei Tjong Hauw, Agoes Salim, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, R.M. Margono Djojohadikoesoemo, Abdoel
Halim, K.H. Masjkoer, R. Soediman,.... K.R.T. Radjiman
Wediodiningrat.

Sedangkan keanggotaan PPKI berjumlah 27 orang, sudah termasuk


6 orang anggota tambahan, yaitu: '
Soepomo, Radjiman, Soeroso, Soetardjo, W. Hasjim, Ki Bagus
Hadlkusumo. Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir,..., Sajuti, Kusuma
Sumantri, Subardjo, Moh. Hatta, dan Soekarno (sebagai Ketua).“

Mengenai keanggotaan baik yang ada di BPUPKI maupun di PPKI


(termasuk di dalamnya keanggotaan di panitia Perumus Dasar Negara dan
Perumus UUD) sangat memungkinkan duplikasi keanggotaannya. Satu hal
yang perlu dicatat bahwa UUD 1945 adalah termasuk karya dari kedua
kepanitiaan, yaitu BPUPKI dan PPKI.

J.C.T. Simorangkir dalam disertasinya, memberi istilah yang


berbeda tapi mempunyai makna yang sama, yaitu UUD 1945 merupakan
karya agung bangsa dan rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
adalah konstitusi yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945,
yang persiapan-persiapan sebelumnya telah dilakukan oleh BPUPKI (jadi
terdapat kesamaan pandangan mengenai pengkualifikasian tokoh-tokoh
bangsa dengan yang dimaksudkan di atas). Lebih lanjut Simorangkir
mengatakan jika yang dimaksud UUD 1945 merupakan hasil karya agung
seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, maka yang dimaksud bukanlah
semata-mata penyusun, pengesahan, dan penetapan UUD sebagai suatu
proses formal perundang-undangan, melainkan yang lebih dipentingkan
lagi, bahwa UUD 1945 yang disusun, disahkan, dan ditetapkan itu,
maknanya, isinya, pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam
merupakan hasil perjuangan dan milik seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.
Maksud kata Reorientasi yang penulis cantumkan dalam sub-judul
di atas adalah peninjauan kembali, penglihatan kembali, terhadap UUD
1945 sebagai pandangan tokoh-tokoh bangsa melalui persidangan-
persidangan di BPUPKI dan PPKI. Kemudian sistematika penyajian dalam
subbab ini, disampaikan berdasarkan proses persidangan-persidangan yang
ada, sehingga akan terlihat beberapa pandangan tokoh-tokoh bangsa yang
dikemukakan waktu itu baik terhadap “dasar negara” yang akhirnya
dicantumkan dalam Pembukaan, mengena daerah negara, bentuk negara,
hak warga negara, yang akhimya dimuat dalam Batang Tubuh, dan
mengenai pengesahan dan penetapan UUD 1945. Keseluruhan data ini
penulis temukan dari basil risalah sidang BPUPKI dan PPKI yang
diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia, dan buku ini
merupakan penyempurnaan dari Naskah Persiapan UUD 1945 yang ditulis
oleh Muhammad Yamin, Jilid Pertama.16

Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan Sekretariat


Negara ini berisi empat materi pokok yang berturut-turut dibahas dalarn
sidang, yaitu tentang dasar negara, wilayah negara, warga negara, dan
pemerintahan.

Untuk mempermudah pembahasan mengenai pandangan tokoh-


tokoh bangsa terhadap UUD 1945 ini, penulis mengikuti pola sajian yang
dipakai Sekretariat Negara dalam Risalahnya, ke dalam dua bagian:

1. Pandangan tokoh-tokoh bangsa pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei


ljuni 1945 dan tanggal 10 17Juli 1945.
2. Pandangan tokoh-tokoh bangsa pada sidang PPKI tanggal 18 dan 19
Agustus 1945.

Ad 1. Pandangan Tokoh-tokoh Bangsa dalam Sidang BPUPKI

Ada dua tahap sidang dalam persidangan BPUPKI, yaitu Sidang


Pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei 1 Juni 1945 dengan materi
pembahasan di seputar masalah Dasar Negara Indonesia, tentang Daerah
Negara dan Kebangsaan Indonesia. Pada sidang pertama ini para tokoh
bangsa yang menyampaikan pidatonya yaitu Muhammad Yamin, Soepomo,
dan Soekarno.

Muhammad Yamin dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945


mengajukan konsep tentang Dasar Negara Indonesia dengan Rumusan Lima
Asas sebagai usulan pribadinya sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

Setelah itu, Yamin menyampaikan presentasi lisannya di hadapan


anggota sidang yang melantur berbicara masalah bentuk negara, sehingga
Suroso sebagai Wakil Ketua mengingatkan Yamin untuk kembali
membahas masalah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, seperti yang
diminta oleh Ketua KRT. Radjiman Wedyoadiningrat.

Lain halnya dengan Soepomo dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945


tidak mengajukan dan tidak menyebutkan Lima Asas untuk dasar-dasar
Indonesia Merdeka. Melainkan Soepomo justru mengajukan konsep yang
sering kita dengar nama Negara Integralistik. Berikut ini cuplikan dari
pidato beliau.

"... Maka semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa


Indonesia bersifat dan bercita~cita persatuan hidup, persatuan
kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin,
antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pimpinan-
pimpinannya.

...bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai


dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka
negara kita harus berdasar atas aliran pikiran
(Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya
dalam lapangan apa pun...”

Soepomo kendatipun dengan konsepsi negara integralistiknya itu


diilhami oleh pemikiran-pemikiran Friederich Hegel, Adam Muller, dan
Baruch Spinoza, namun Soepomo kelihatannya tidak mengartikan istilah
“totaliter” dalam artian totalitas, dan bukannya dalam artian tiadanya
penghormatan terhadap individualitas. Terbukti menurutnya teori negara
integralistik bukan berarti tidak memerhatikan golongan sebagai golongan
atau manusia sebagai manusia. Jadi dalam konsepsi negara integralistik
yang sempat penuIis tangkap dari uraian Soepomo, terkandung makna
konsep kekeluargaan, kebersamaan, keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan, yang semua itu berasal dari kebudayaan Indonesia sendiri.
Berbeda dengan konsep negara integralistik di Eropa Barat yang memberi
peluang bagi otoriterisme dan totaliterisme.

Masih dalam hari yang sarna, tanggal 31 Mei 1945 Yamin kembali
melantur berbicara masalah daerah negara. Menurutnya, daerah Indonesia
terdiri dari daerah daratan dan daerah lautan yang meliputi tumpah darah
nusantara (Indonesia) yang meliputi delapan daerah: 1. Seluruh Jawa, 2.
Seluruh Pulau Sumatra, 3. Seluruh Pulau Kalimantan, 4. Seluruh
Semenanjung Melayu (Malaka), 5. Di sebelah Timur Jawa, seluruh Nusa
Tenggara, 6. Seluruh Sulawesi, 7. Seluruh Maluku, dan 8. Seluruh Papua
(Irian Barat). Rupanya beliau itu mengambil testamen Gajah Mada dalam
syair daerah tumpah darah nusantara menurut Negarakertagama.

Sebetulnya pemikiran Yamin melontarkan masalah daerah pada


sidang yang sedang membahas masalah dasar negara juga tidak salah, sebab
sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo bahwa syarat mutlak untuk
mendirikan sebuah negara secara hukum, harus ada tiga unsur, yaitu daerah,
rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat menurut hukum internasional.
Mungkin bagi Yamin masalah dasar negara dan daerah negara sama-sama
pentingnya untuk sebuah negara yang akan lahir. Bahkan negara itu ada
terlebih dahulu baru dasar negaranya.

Kalau kita amati pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, memang


beliau langsung menyoroti masalah dasar negara sebagaimana yang diminta
oleh Ketua Radjiman. Hal ini terbukti dengan pernyataan beliau:

“... Menurut anggapan saya yang diminta oleh paduka tuan Ketua
yang mulia ialah, dalam Bahasa Belanda Philosofisce grondslag
itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa,
hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung
Indonesia merdeka yang kekal dan abadi...”

Untuk itu Soekarno mengajukan prinsip yang lima sebagai


philosofisce grondslag bagi Indonesia yang hendak merdeka, yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berbudaya

Menurut Soekarno prinsip yang lima itu namanya bukan


Pancadharma, tapi berkat petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya
ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah
kita mendirikan negara Indonesia, yang kekal dan abadi. Selain Pancasila
ini, beliau juga melontarkan keinginannya untuk menjadikannya Tri Sila,
dan Eka Sila yaitu Gotong Royong. Tapi hal ini cuma sebagai lontaran saja.

Sidang kedua BPUPKI masih tetap KRT. Radjiman Wedyo


diningrat sebagai ketuanya, dengan masa sidang antara tanggal 10 17 Juli
1945.

Pada masa-masa sidang di atas ada dua agenda sidang yang dibahas
yaitu masalah bentuk negara dan wilayah negara. Mengawali sidangnya
pada hari tersebut, Radjiman meminta kepada seluruh anggota untuk
menyiapkan konsep usulan, kecuali mereka-mereka yang tergabung dalam
panitia kecil, sebab mereka mempunyai tugas sendiri.

Setelah beberapa usulan itu dikoreksi oleh panitia kecil, temyata ada
40 usulan yang melingkupi 32 soal. Dari 32 soal itu dapat dikelompokkan
ke dalam 9 golongan, yaitu: 1. golongan yang meminta Indonesia merdeka
selekas-lekasnya, 2. mengenai dasar, 3. soal uninfikasi atau federasi, 4.
mengenai bentuk negara dan kepala negara, 5. mengenai warga negara, 6.
Mengenai daerah, 7. soal negara dan agama, 8. mengenai pembelaan, dan 9.
mengenai soal keuangan; Semua persoalan yang diusulkan oleh peserta
sidang di atas, sekarang sudah tercermin dalam pasal-pasal pada Batang
Tubuh UUD 1945.

Satu hal lagi yang menarik dari persidangan ini, bahwa panitia kecil
yang terdiri dari 9 orang (terdiri dari: Soekarno, Moh. Hatta, A.A. Maramis;
Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim,
Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin) yang
dibentuk sehari setelah sidang pertama berakhir, berhasil mencapai modus
atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan yang
ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 lalu. Modus tersebut dalam sidang
BPUPKI kali ini disampaikan kembali sebagai Mukadimah atau rancangan
pembukaan hukum dasar dan mendapat tanggapan positif.

Radjiman dalam sidang tanggal 11 Juli 1945 mengajak kepada para


anggota untuk merembuk masalah UUD. Dan sebelum membentuk Komisi
dan merencanakan UUD, Ketua sidang minta pandangan para tokoh yang
hadir pada waktu itu tentang “pemikiran di seputar UUD”. Di antara
anggota yang ingin berbicara antara lain Parada Harahap, Kolopaking,
Wongsonegoro, Muh. Yam'm, dan Wiranata Kusumah.

Baru setelah itu dibentuklah tiga kepanitiaan oleh Ketua Sidang,


Kepanitiaan 1, bertugas merancang UUD, dengan Ketua Soekarno (anggota
18 orang). Panitia II, tentang pembelaan tanah air (Ketatanegaraan) yang
diketuai oleh Abikusno Tjokrosujoso (anggota 22 orang, ditambah dua
orang lagi). Panitia III, untuk soal keuangan dan perekonomian, dengan
ketua Moh. Hatta (anggota 22 orang termasuk Muh. Yamin). Rupanya Muh.
Yamin menyesal dimasukkan dalam kepanitiaan bagian keuangan dan
perekonomian.

Khusus mengenai Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh


Soekarno mengadakan rapat tanggal 11 Juli 1945 dan 13 Juli 1945. Dalam
rapat pertama oleh ketua dibacakan inti usul-usul yang disampaikan dalam
sidang paripurna BPUPKI. Setelah itu ketua memutuskan pembentukan
Panitia Perancang Declaration of Rights yang rerdiri dari A. Subardjo
(Ketua), Soekiman, Paxada Harahap. Di samping itu, dibentuk pula Panitia
Kecil Perancang UUD yang terdiri dari Soepomo (Ketua), dengan anggota
Wongsonegoro, A. Soebardjo, Maramis, I-laji Agus Salim, dan Soekiman.

Panitia Kecil Perancang UUD mengadakan rapat tanggal 12 Juli


1945 yang akhirnya berhasil menyusun Rancangan UUD. Rancangan
tersebut kemudian dibahas dalam rapat tanggal 13Juli 1945 dan berhasil
disepakati, hanya tinggal penghalusan bahasa, oleh karena itulah dibentuk
panitia penghalus bahasa yang terdiri dari Hoessein Djajadiningrat dan Haji
Agus Salim.“

Apabila diteliti secara lebih mendalam, naskah Rancangan UUD


yang terdiri dari 15 Bab, 42 Pasal termasuk satu pasal Aturan Tambahan,
tidak terdapat pasal yang mengatur tentang perubahan UUD. Akan tetapi,
hal ini tidak berarti tiadanya anggota sidang yang mempunyai pemikiran
tersebut. Terbukti S. Kolopaking dalam pidatonya pada sidang paripurna
BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 berbicara tentang perubahan UUD. Ada tiga
hal yang dikemukakan oleh Kolopaking; Pertama, UUD sebaiknya jangan
terlalu panjang. Sebagai contoh UUD Jepang. Kedua, supaya UUD dapat
disesuaikan dengan zaman. Ketiga, UUD harus mudah diubah. Memang
dari ketiga usul tersebut, Kolopaking tidak menjelaskan secara panjang
lebar apa yang dimaksud dengan UUD harus pendek, harus disesuaikan
dengan zaman, dan harus mudah diubah.

Dalam persidangan berikutnya, yaitu tanggal 14 Juli 1945 Panitia


Perancang Undang-Undang Dasar menyampaikan hasil kerjanya. Laporan
tersebut disampaikan baik oleh Panitia Perancang UUD maupun oleh
Panitia Kecil Perancang UUD yang diketuai oleh Soepomo. Dalam
kesempatan itu telah berbicara sebanyak 27 orang tokoh-tokoh bangsa (baik
dari kalangan Islam maupun golongan lain), mereka sama-sama
memberikan argumentasinya demi sebuah Rancangan UUD yang baik bagi
negara yang akan rnerdeka.

Setelah sekian hari berada dalam suasana panas dari sidang ke


sidang, yaitu sejak tanggal 11,13,14, dan 15 juli 1945, akhirnya Ketua
BPUPKI pada tanggal 16 Ju1i 1945 menyatakan bahwa naskah Rancangan
UUD dengan perubahan-perubahannya diterima dengan bulat oleh sidang.

Ad 2. Pandangan Tokoh-tokoh Bangsa dalam Sidang PPKI

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, PPKI memulai


sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 diketuai oleh Soekarno. Ada tiga materi
pokok yang dibahas dalam sidang ini, yaitu pengesahan UUD, pengesahan
batang tubuh UUD, dan pengangkatan presiden dan wakil presiden, serta
pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat.

Di awal pembukaan sidang yang baru dimulai pada pukul 11.30


WIB, Soekarno mengimbau kepada seluruh anggota sidang supaya
bersidang dengan kecepatan kilat. Janganlah terlalu bertele-tele, dan
membahas pada garis besamya saja. Kemudian Soekarno mempersilakan
kepada Moh. Hatta untuk memberitahukan beberapa perubahan kata-kata
dari Pembukaan UUD.

Hatta dengan segera memberitahukan beberapa perubahan yang ada,


di antaranya: menghilangkan pernyataan Indonesia Merdeka serta kembali
kepada naskah Pembukaan UUD yang semula dirancang oleh panitia kecil.
Hasil akhir dari naskah pembukaan yang disepakati ditetapkan pada hari
tersebut.

Soepomo banyak memberikan sumbangan pikiran terhadap isi


Batang Tubuh UUD, khususnya mengenai “susunan pemerintahan”,
meliputi masalah: kedaulatan negara di tangan rakyat. Sebagai penjelmaan
rakyat ada pada badan yang diberi nama MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat). MPR ini yang menetapkan UUD serta mengangkat presiden dan
wakil presiden. Kemudian mengenai tugas presiden bersama DPR dalam
bidang legislatif, tentang menteri-menteri, dan tentang Pemerintah Pusat
dan Daerah. Sementara Iwa Kusumasumantri mengusulkan tentang
perlunya pasal perubahan Undang-Undang Dasar.

Berbicara tentang pengesahan Batang Tubuh UUD, Soekarno


membahasnya pasal demi pasal. Dalam buku ini hanya mengangkat pasal-
pasal tertentu yang sempat menjadi perbincangan di sidang tersebut. Di
antaranya: Pasal 2 ayat 3, di satu pihak Soepomo rnenghendaki dicoret, tapi
di pihak lain Hatta berkeberatan, begitu juga yang lain. Akhirnya dicapai
kata sepakat bahwa Pasal 2 ayat 3 tetap seperti semula. Terhadap Pasal 29
ayat 1 nasibnya sama dengan sila pertama dari Pancasila yang tertuang
dalam pembu~ kaan, yajtu mengalami pencoretan tujuh kata. Pasal 37 juga
sempat diperbincangkan, tapi pada akhirnya tetap seperti semula.

Selain masalah UUD, dalam rapat PPKI yang diselenggarakan


tanggal 18 Agustus 1945 dipilihlah presiden dan wakil presiden. Hal ini
dilakukan pada saat rapat sedang membahas Aturan Peralihan dari
rancangan yang ada. Singkatnya atas usul Otto Iskandardinata, Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada
waktu itu juga dibentuk suatu badan yang bernama KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat).

Akhirnya tanpa mengalami kesukaran dan dalam waktu yang sangat


singkat Rancangan UUD beserta Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan
diterima oleh rapat PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. Pengesahan UUD 1945 oleh PPKI pada waktu itu, dimaksudkan
meliputi isi Pembukaan dan Batang Tubuhnya.

Adapun mengenai “Penjelasan UUD 1945” sebagaimana yang


tercantum dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 Tahun 1946
adalah di luar yang disahkan pada waktu itu. Menurut sementara kalangan,
Penjelasan UUD 1945 itu berasal dari suntingan berbagai laporan Soepomo
pada waktu menjadi Ketua Panitia Perancang UUD dalam sidang BPUPKI
dan PPKI.

Pada hari yang terakhir tanggal 19 Agustus 1945, sidang PPKI


membicarakan masalah “Susunan Daerah dan Pembentukan Kementrian
dan Departemen”, sampai pada akhirnya rapat PPKI ditutup jam 14.55 WIB.

Setelah mengkaji dan mengamati perjalanan sidang BPUPKI dan


PPKI, tampak begitu besar perhatian dan sumbangan pemikiran para tokoh
bangsa dalam merumuskan Dasar Negara dan UndangUndang Dasar 1945
sebagai landasan idiel dan konstitusional perjuangan bangsa. Untuk
mengetahui akan dibawa ke mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
ini dipimpin, dapat diketahui dari hukum dasamya. Kemudian secara
operasional, dapat dilihat dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR.

E. Masa Depan UUD 1945 Sebagai Pandangan Tokoh-tokoh Bangsa


Mengacu pendapat A.A.H. Struycken sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu pada Bab I butir C, Undang-Undang Dasar
(grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang
antara lain berisi pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,
baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Dalam kaitan
ini menurut Soekarno (salah seorang dari The Founding Fathers) UUD 1945
adalah “... sekadar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang
Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie
grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna
dan lengkap”.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, sifat kesementaraan UUD


1945 waktu itu dibuktikan dengan pemberlakuan Konstitusi R1S 1949 dan
UUD Sementara 1950, meskipun akhirnya kernbali lagi kepada UUD 1945.
Begitu seterusnya oleh pemerintah Orde Baru UUD 1945 menjadi
disakralkan, dan ini adalah kesalahan sejarah ketatanegaraan yang paling
tragis.
Letak kesalahan sejarah ketatanegaraan yang paling tragis yaitu:
sejak Orde Baru, sudah disepakati dan diikrarkan untuk melaksanakan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Demikian pula MPR sebagai satu-
satunya Lembaga Tertinggi Negara, sebagai penjelmaan rakyat Indonesia,
telah beberapa kali menyatakan pendiriannya, bahwa MPR berketetapan
untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan
melakukan perubahan terhadapnya, serta akan melaksanakan secara mumi
dan konsekuen.

Mencermati cita-cita yang ingin dicapai oleh para tokoh bangsa atau
para penyusun UUD 1945, masih relevan untuk diperjuangkan kini dan akan
datang. Sehingga tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen harus terus diperjuangkan.

Era sekarang tidaklah sama dengan tahun 1945, maka dari itu
perjuangan mewujudkan cita-cita UUD 1945 serta pelaksanaannya secara
murni dan konsekuen, bagi pemerintah khususnya harus mampu
menyesuaikan dengan tuntutan zaman, kemajuan teknologi di satu pihak,
dan di pihak lain tetap mempertahankan UUD 1945 .sebagaimana aslinya.

Kalau kita meminjam statemen penyusun UUD 1945, bahwa yang


penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya negara (berdasarkan UUD
1945,) ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para
pemimpin pemerintahan. Perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur,
materiil spirituil sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 belum berarti
selesai. Jalan masih panjang, kita maju terus dengan UUD 1945 yang sudah
berusia lebih setengah abad.

Demikianlah permasalahan mendasar yang penulis lontarkan di


akhir bab ini, bahwa “perubahan UUD 1945” selalu menarik untuk dikaji
secara ilmiah. Dan justru ide tentang perlunya Pasal 37 dalam UUD 1945
ini, adalah merupakan pemikiran para tokoh bangsa atau perumus Undang-
Undang Dasar yang dilakukan dengan perdebatan dan perjuangan dengan
sungguh-sungguh dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI Waktu itu.
Tentunya lontaran permasalahan ini dimaksudkan untuk memacu penulis
sendiri dalam melakukan pengkajian dan penelitian lebih mendalam di masa
datang.

Anda mungkin juga menyukai