Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membahas masalah kebijakan publik tidak terlepas dari kewenangan dan


legitimasi karena kebijakan publik hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki
kewenangan sekaligus akan menjadi efektif jika kewenangan yang legitimate.
Pemimpin pemerintahan yang memiliki kewenangan dan diterima baik atau mendapat
legitimasi dari masyarakat, akan leluasa dalam menjalankan program pemerintahannya
dan membuat kebijakan-kebijakan karena kondisi masyarakat cenderung lebih
kondusif dan stabil. Akan tetapi sebaliknya, jika pemerintah tidak mendapat legitimasi
dari masyarakat, maka akan sulit menjalankan program dan membuat kebijakan.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa kewenangan dibutuhkan dalam menjalankan kekuasan?
2. Apakah legitimasi politik dibutuhkan dalam pengambilan keputusan?
C. Batasan Makalah
Mengingat keterbatasan penulisan dari sumber daya, maka penulisan makalah ini
dibatasi hanya dalam lingkup Kewenangan dan Legitimasi Politik
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apakah kewenangan dibutuhkan dalam menjalankan kekuasaan.
2. Mengetahui apakah Legitimasi Politik dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kewenangan
Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate
power), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Namun demikian,
kekuasaan terkadang memiliki kekuatan untuk memengaruhi pemegang kewenangan,
misalnya kekuasaan politik mempunyai pengaruh besar terhadap pembuat dan
pelaksana keputusan. Mengingat betapa kekuasaan terkadang dapat memberi pengaruh
terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil, maka seharusnya kewenangan bebas dari
pengaruh-pengaruh kepentingan golongan dan kepentingan sesaat, akan tetapi lebih
berkomitmen pada kepentingan dan kemaslahatan bersama.

B. Sumber Kewenangan
Menurut Ramlan Subekti (1999) ada lima sumber kewenangan yang biasa
diakui yakni;

1. Kewenangan memimpin berdasarkan mandat yang didapat dan mengatasnamakan


tradisi.
Kewenangan yang didapat berdasarkan kepercayaan masyarakat yang telah
berakar dan dipelihara secara terus-menerus, kepercayaan ini berwujud keyakinan
yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin masyarakat berasal dari keluarga
tertentu dan yang dianggap “memiliki darah biru”, Contohnya adalah Sultan
Hamengkubuwono X, yang memiliki dasar kewenangan memerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta dari tradisi, karena beliau merupakan keturunan langsung
dari Sultan sebelumnya, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX.

2
2. Berasal dari Tuhan, Dewa, atau Wahyu.
Kewenangan dianggap bersifat sakral, dimana orang yang berkuasa berusaha
menunjukkan kepada khalayak bahwa kewenangannya memerintah masyarakat
berasal dari kekuatan yang sakral, contohnya adalah Kaisar Jepang (Hirohito) yang
beserta penggantinya, yang menunjukkan kewenangannya sebagai Kepala Negara
berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
3. Kualitas pribadi sang pemimpin.
Kewenangan yang berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin merupakan
kewenangan dimana seorang pemimpin memiliki “anugerah istimewa” dari
kekuatan super natural, sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi
anggota masyarakat. Pemimpin biasanya mampu memukau massa dengan
penampilan dan kemampuan Retoriknya. Kepemimpinan kharismatis ini tidak
dapat diwariskan, sebab sifatnya yang melekat pada pribadi tertentu, contohnya
adalah Bung Karno yang memiliki penampilan dan kemampuan Retorik.
4. Peraturan Perundangan Undangan.
Hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang-undangan yang
mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Sumber kewenangan hak memerinta masyrakat ini berasal dari Hukum.
5. Bersifat Instrumental seperti keahlian dan kekayaan.
Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
dimana keahlian diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan yang mampu
mencapai tujuan masyarakat. Orang yang tidak memiliki keahlian akan patuh
kepada orang yang memiliki keahlian. Kekayaan yang dimaksud adalah pemilikan
uang, tanah, barang-barang berharga, surat-surat berharga, sarana, dan alat
produksi, dimana orang kaya akan dapat menjalankan pemerintahan yang mampu
mencapai tujuan masyarakat.

3
Dari kelima sumber kewenangan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi
dua tipe utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan substansial.
kewenangan yang bersifat prosedural menyangkut mekanismenya dan kewenangan
yang bersifat substansial menyangkut sosok pribadi yang akan memimpin.

C. Peralihan Kewenangan
Jabatan, termasuk kepemimpinan, bersifat relatif tetap, sedangkan orang yang
memegang dan menjalankan fungsi (tugas dan kewenangan) jabatan bersifat tidak
tetap. Hal ini disebabkan umur manusia yang terbatas, kearifan dan kemampuan
manusia juga terbatas, begitu juga masa menjabat sebagai pemegang kewenangan
melalui sistem prosedural juga dibatasi waktu. oleh karena itu peralihan kewenangan
akhirnya menjadi sebuah kemestian.

Berbagai cara peralihan kewenangan yang biasa terjadi, setidaknya terdapat tiga
cara (Paul Conn, dalam Surbakti, 199), yaitu secara turun temurun, pemilihan dan
paksaan. Pada sistem substansial, biasanya terjadi secara turun temurun, meskipun
sesekali pernah terjadi dengan cara paksa karena terjadi kudeta atau peperangan.
Sistem prosedural pada umumnya berdasarkan pemilihan, meskipun pernah terjadi
pemegang kewenangan harus diganti secara paksa melalui tindakan impeachment,
bahkan kudeta. Berbagai cara peralihan kewenangan tidak bisa dipastikan yang paling
baik, karena tergantung sistem Legitimasi kewenangan yang diberlakukan, baik
prosedural maupun substansial. Peralihan kewenangan dengan cara paksaan hampir
bisa dipastikan bukan cara yang baik dan diharapkan.

Terlepas dari cara yang digunakan dalam peralihan kewenangan yang lebih
penting adalah implementasi kebijakan yang diputuskan dan diberlakukan haruslah
memberi dampak kebaikan, bermanfaat untuk semua pihak. Semakin baik kualitas
kebijakan yang diberlakukan akan semakin meningkatkan penerimaan masyarakat
terhadap pemerintah sebagai pemegang dan penentu kebijakan.

4
D. Kewenangan Kepala Negara dan kepala Pemerintahan

Dalam sistem UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan


sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Adapun kewenangan
Kepala Negara ditetapkan dalam Amandemen UUD 1945 sebagai berikut:
1. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara (Pasal 10).
2. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain
dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat 1).
3. Membuat perjanjian International lainnya dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat
2).
4. Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12).
5. Mengangkat Duta dan Konsul. Dalam mengangkat Duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 1 dan 2).
6. Menerima penempatan Duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR (Pasal 13 ayat 3).
7. Memberi Grasi, Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung (Pasal 14 ayat 1).
8. Memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal
14 ayat 2).
9. Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang (Pasal 15).
Kewenangan Kepala Negara dalam Amandemen UUD 45 Pasal 10 -15 ditulis
diatas, adalah kewenagan yang tidak sewanang-wenang. Sebagai Kepala Negara,
Presiden membutuhkan persetujuan DPR dalam pasal 11, 13, 14.

5
Kepala Negara sebagai kepala pemerintahan dalam Amandemen UUD 45
mememiliki kewenangan:
1. Presiden memegang kekuasan Pemerintahan menurut UUD 45 (pasal 4 ayat 1).
2. Presiden menetapkan peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat 2).
3. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat 2).
4. Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota atau Provinsi dan kabupaten, diatur dengan undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
5. UUD 1945 Pasal 20 Ayat 4, Presiden mengesahkan rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
6. UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2, Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
7. UUD 1945 Pasal 23F Ayat 1, anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
8. UUD 1945 Pasal 24A Ayat 3, calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden
9. UUD 1945 Pasal 24B Ayat 3, Anggota Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
10. UUD 1945 Pasal 24C Ayat 3, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
Anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
11. UUD 1945 Pasal 28I Ayat 4, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah.

6
12. UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, setiap Warga Negara wajib mengikuti Pendidikan
Dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.
13. UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem Pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.
14. UUD 1945 Pasal 31 Ayat 5, Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan Bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

E. Pengertian Legitimasi
Legitimasi merupakan sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa penerimaan
keputusan pemimpin atau Pejabat Pemerintah pelaksanaan kekuasaan telah sesuai
dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan sesuai dengan nilai-nilai
politik atau moral yang sepatutnya, seperti penerapan undang-undangan yang
berdasarkan keputusan peradilan. Penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak
moral pemimpin untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik.
Legitimasi dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Legitimasi politik merupakan penggambaran politik yang berbasis pada keputusan


Peradilan dan berfungsi untuk mengakui setiap kebijakan yang telah disahkan
adalah untuk kepentingan masyarakat umum.

2. Legitimasi Hukum merupakan pengakuan hukum dimata masyarakat serta bagian


dari suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berlaku dan juga perundang-
undangan yang sah mencakup peraturan Hukum Formal, Hukum Etnis, Hukum
Adat, maupun hukum ke masyarakat yang diakui secara sah dan dianggap penting
dalam kehidupan masyarakat luas.

7
Dalam prakteknya, hanya anggota masyarakat yang dapat memberikan
legitimasi pada kewenangan pemimpin yang memerintah. Pemerintah bisa saja
mengklaim atas kewenangan yang diperolehnya dan berusaha meyakinkan masyarakat
bahwa kewenangannya sah dan legitimate, namun demikian pemerintah harus
memiliki cara-cara tersendiri untuk berusaha meyakinkan masyarakat.

Legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu cara simbolis, material dan
prosedural. Cara simbolis adalah melalui kecenderungan moral, emosional, tradisi dan
kepercayaan. Cara material dalam mendapatkan Legitimasi dari masyarakat adalah
dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat.
Cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat,
presiden dan wakil presiden, dan para anggota Lembaga tinggi negaraatau referendum
untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.

Dalam kerangka pengertian konsep legitimasi, dapat dibedakan pengertian


kewenangan dan legitimasi. Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan sumber-sumber yang mempengaruhi proses politik, sedangkan
kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan sumber-sumber yang
membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak memerintah). Adapun legitimasi
merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral tersebut.

Dalam hal ini, antara kewenangan, kekuasaan, dan Legitimasi menyangkut


hubungan yang sinergis antara pemimpin (pemerintah) dengan yang dipimpin
(masyarakat). Walaupun demikian antara legitimasi dan kewenangan hubungan antara
yang dipimpin dan pemimpin sangatlah berbeda. Pada legitimasi, hubungan lebih
ditentukan oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan
hanya dapat berasal dari yang diperintah, sedangkan kewenangan, hubungan lebih
ditentukan oleh pemimpin sebab pihak yang berwenang untuk memerintah dapat
memaksakan keputusannya terhadap masyarakat, dan masyarakat wajib menaati
kewenangan tersebut.

8
F. Cara Mendapatkan Legitimasi
Cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi,
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu cara simbolis, material dan procedural
(Ramlan Surbakti). Cara simbolis adalah melalui kecenderungan moral, emosional,
tradisi dan kepercayaan. Simbol-simbol yang dipercayai sebagai kekuatan, kebanggan
dan budaya masyarakat, jika dijadikan sebagai sesuatu yang berharga dan utama akan
meningkatkan kepuasan dan penerimaan masyarakat, contohnya adalah pelestarian
peninggalan sejarah dan budaya, peristiwa bersejarah, parade kekuatan militer, akan
menimbulkan kebanggan dan kepuasan, yang pada akhirnya meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada pemegang kebijakan.

Cara material dalam mendapatkan legitimasi dari masyarakat adalah dengan


cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material kepada masyarakat, seperti
tersedianya bahan pokok dengan harga murah, fasilitas kesehatan dan pendidikan
mudah/gratis, transportasi yang mudah dan murah, kesempatan bekerja dan berusaha,
dan lain-lain. Di Indonesia instrumental diberlakukan dengan proyek program yang
disertai dengan perundangan, seperti Instruksi Presiden (inpres) tentang Daerah
Tingkat I dan II, Inpres Sekolah Dasar, Inpres Bantuan Desa, dan lain-lain, yang
biasanya memerlukan anggaran yang cukup besar.

Cara Prosedural dengan cara pemilihan umum untuk menetukan wakil rakyat,
Presiden dan Wakil Presiden. Penyelengaraan pemilihan umum dianggap cukup untuk
menunjukkan suatu pemerintah yang memiliki legitimasi baik.

Ketiga cara tersebut dapat saja digunakan untuk mendapatkan legitimasi. Tidak
ada yang paling baik ataupun paling buruk, karena pada masing-masing cara memiliki
celah untuk dimanfaatkan menjadi cara yang tidak elegan bahkan memiliki efek
negatif. Semua cara yang ditempuh harus benar-benar dipastikan tidak ada kepentingan
yang terselubung. Semuanya harus berorientasi pada kebaikan, manfaat, kepuasan dan
kesejahteraan masyarakat secara bersama dan berkeadilan.

9
G. Tipe-Tipe Legitimasi
Berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap
pemerintah, menurut Surbakti (1999), dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu
legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi
prosedural dan legitimasi instrumental.
Pemimpin yang menggunakan metode simbolis dalam mendapatkan dan
mempertahankan legitimasi bagi kewenangannya, pada umumnya mendapatkan
legitimasi dari tiga tipe, tradisional, ideologi dan kualitas pribadi.
Pemimpin yang menggunakan metode prosedural dan instrumental, pada
umumnya mendapatkan legitimasinya juga dari tipe prosedural dan instrumental.
Dalam Ilmu Politik Legitimasi terhadap pemerintah dapat diklasifikasikan
sebagai berikiut:
1. Tradisional, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin
pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin
“berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2. Ideologi, mendapat pengakuan dari masyarakat karena dianggap sebagai penafsir
dan pelaksana Ideologi yang sudah ada turun temurun, seperti Ideologi Nasional
Pancasila di Indonesia, Liberalisme dan Komunis.
3. Kualitas pribadi, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemimpin tersebut karena memiliki kualitas pribadi, berupa karisma maupun
penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bermacam bidang.
4. Prosedural, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin
pemerintahan karena pemimpin tersebut mendapatkan kewenangan berdasarkan
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Instrumental, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin
pemerintahan karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan
material (instrumental) kepada masyarakat.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan penulis mengenail makalah Kewenangan dan Legitimasi politik

adalah:

1. Pada dasarnya kenapa kewenangan dibutuhkan untuk menjalankan kekuasaan, hal


ini di karenakan kewenangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
konsep kekuasaan. Namun demikian, kekuasaan tidak selalu memiliki
kewenangan. Kedua bentuk pengaruh tersebut dapat dibedakan dari keabsahannya.
Dimana kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate
power), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan
politik dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk
mempengaruhi proses perbuatan dan pelaksanaan keputusan politik, maka
kewenangan merupakan hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan
politik. Dalam hal ini hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat,
termasuk peraturan perundang-undangan.
2. Sebagaimana konsep kekuasaan dan kewenangan, legitimasi juga merupakan
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Konsep legitimasi berkaitan
dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan, artinya apakah masyarakat
menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan
keputusan yang mengikat masyarakat ataukah tidak?
Apabila masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat
dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat, maka kewenangan itu
dikatakan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan
dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah,
membuat, dan melaksanakan keputusan politik.

11
B. SARAN
Saran penulis makalah Kewenangan dan Legitimasi Politik adalah:
1. Kewenangan sebaiknya menjadi hal yang mendasar dalam menjalankan
kekuasaan.
2. Legitimasi Politik sebaiknya digunakan dalam pengambilan keputusan agar dapat
menimbulkan kestabilan politik dan perubahan sosial, meningkatkan kualitas
kesejahteraan, mengatasi masalah lebih cepat dan mengurangi sarana kekerasan
dalam menjalankan kewenangan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Trubus Rahardiansyah, P. 2018. Pengantar Ilmu Politik Paradigma, Konsep Dasar dan
Relevansunya untuk ilmu Hukum. Jakarta: Universitas Trisaksti

13

Anda mungkin juga menyukai