Anda di halaman 1dari 12

Contoh kasus beschikking yang pernah disengketakan

Pertanyaan

Dengan hormat, mohon diberikan informasi instansi yang berwenang untuk membatalkan SK,
sebab SK 2008 dipakai dasar menerbitkan Surat Tugas Juli 2012. Padahal SK tersebut telah
dicabut April 2012 dengan SK Bupati 2012. Terima kasih atas bantuannya.

Ulasan Lengkap

Kami kurang mendapat informasi yang jelas mengenai SK 2008 yang Anda maksud. Kami
berasumsi bahwa SK 2008 adalah Surat Keputusan (“SK”) Bupati 2008.

Untuk mengetahui siapa yang berwenang membatalkan SK Tata Usaha Negara (TUN), terlebih
dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (“Keputusan
TUN”). Pengertian Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 9Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah yaitu
dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir dengan Undang-Undang No.
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara(“UU 5/1986”) yang berbunyi:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.”

Indroharto dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan
Hukum Perdata (hal. 117) mengatakan bahwa suatu penetepan tertulis (beschikking) itu selalu
merupakan salah satu bentuk dari Keputusan Badan atau Jabatan TUN yang merupakan suatu
tindakan hukum TUN (administratieve rechtschandeling).
Berdasarkan pengertian Keputusan TUN dan pendapat Indroharto di atas dapat disimpulkan
bahwa SK Bupati yang Anda maksud merupakan suatu tindakan hukum TUN yang dikeluarkan
oleh Bupati dalam bentuk penetapan tertulis sehingga merupakan suatu Keputusan TUN.

Sebelum menjawab pertanyaan Anda apakah SK yang dikeluarkan Bupati tersebut merupakan
SK yang dapat dimintakan pencabutannya atau tidak di Pengadilan TUN, maka kami perlu
menguraikan terlebih dahulu sifat-sifat sebuah Keputusan TUN yang menjadi kewenangan
Pengadilan TUN (penjelasan Pasal 1 Angka 3 UU 5/1986 sebelum perubahan).

1. Konkret dan Individual


Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak,
tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si
A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.

SK Bupati sebagai dasar penerbitan Surat Tugas Juli 2012 dalam cerita Anda harus bersifat
konkret, artinya jelas dikatakan bahwa SK Bupati itu mengenai suatu objek tertentu.

Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu
baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap
nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang
perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang
terkena keputusan tersebut.

Dalam SK Bupati itu perlu jelas pula nama-nama setiap orang yang termuat di dalamnya, di
sinilah pentingnya sifat individual yang dimaksud.

2. Final
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum
bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak
yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri
memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

SK Bupati tersebut juga harus berlaku tanpa harus menunggu persetujuan dari badan atau
pejabat lain.

Apabila SK Bupati yang Anda tanyakan memiliki sifat-sifat seperti di atas, maka SK Bupati
tersebut dapat dimintakan pencabutannya melalui gugatan ke Pengadilan TUN. Mengenai
gugatan terhadap SK yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN ini, kita merujuk pada UU
5/1986.

Sebelum menggugat sebuah SK yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN, terlebih dahulu
penggugat perlu mengetahui keputusan-keputusan seperti apa yang tidak termasuk Keputusan
TUN yang dapat diperkarakan di Pengadilan TUN. Mengenai hal ini kita merujuk pada
ketentuan Pasal 2 UU 5/1986, yang menyebutkan keputusan-keputusan yang tidak termasuk
dalam pengertian Keputusan TUN, yaitu:
a. Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan TUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.

Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU 5/1986, pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atas
sebuah SK yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN dapat mengajukan gugatan tertulis ke
Pengadilan TUN yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Kemudian, Pengadilan TUN akan memberikan putusan yang dapat berupa (Pasal 97 ayat (7)
UU 5/1986):
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.

Menurut Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU 5/1986, dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam
putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau
Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN. Kewajiban tersebut berupa:
a. pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
atau
c. penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Jadi, Pengadilan TUN-lah yang memiliki fungsi memerintahkan badan/pejabat TUN untuk
mencabut SK Bupati tersebut atau mencabut kemudian menerbitkan SK yang baru. Dengan
demikian, yang berwenang untuk mencabut sebuah SK yang dikeluarkan oleh badan/pejabat
TUN adalah badan/pejabat TUN itu sendiri namun berdasarkan perintah Pengadilan TUN.

Namun demikian, berdasarkan cerita Anda, bila memang SK Bupati 2008 tersebut sudah dicabut
dan diganti dengan SK Bupati 2012, maka seharusnya tidak lagi perlu dimintakan suatu putusan
untuk melakukan pencabutan terhadap SK di Pengadilan TUN karena tindakan pencabutan SK
dan menggantikannya dengan SK baru merupakan suatu tindakan hukum yang lazim terdapat
dalam perbuatan pemerintahan.

Apabila memang SK TUN 2008 tersebut sudah dicabut dengan SK TUN 2012, berarti SK TUN
2008 tersebut memang sudah tidak berlaku. Dengan demikian, otomatis tidak dapat lagi menjadi
dasar penerbitan Surat Tugas Juli 2012. Artinya, Surat Tugas Juli 2012 juga tidak memberikan
akibat hukum bagi orang-orang yang disebutkan dalam Surat Tugas tersebut.
Pada praktiknya, yang berhak mencabut suatu Keputusan TUN adalah pejabat/instansi yang
mengeluarkan Keputusan TUN itu sendiri, termasuk apabila terdapat kekeliruan administratif
atau cacat yuridis seperti yang terdapat dalam pertanyaan Anda. Sebagai contoh kita dapat
merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No. 111 K/TUN/2000.

Dalam pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, sebagaimana kami sarikan, bahwa oleh
karena ada kekeliruan dan cacat yuridis di dalam prosedur penerbitan suatu Keputusan TUN,
maka Pejabat TUN yang bersangkutan setelah melakukan penelitian kembali, dapat dan
berwenang membatalkan Keputusan TUN a quo atas inisiatif sendiri (spontane vernietiging).

Jadi, dikaitkan dengan pertanyaan Anda, memang benar apa yang telah dilakukan oleh Bupati
dalam pertanyaan Anda. Apabila pencabutan SK Bupati 2008 tersebut terjadi karena adanya
kekeliruan atau cacat yuridis, maka Bupati berwenang mencabut Keputusan TUN tersebut atas
inisiatif sendiri meskipun tanpa Putusan TUN.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah yaitu dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan terakhir denganUndang-
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Referensi:
Indroharto. 1995. Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata.LPP-
HAN: Jakarta.

Putusan:
Putusan Mahkamah Agung No. 111 K/TUN/2000.
Contoh Kasus

SENGKETA LAHAN

PTUN Tolak Gugatan terhadap Buana Estate


Senin, 30 April 2007
JAKARTA (Suara Karya): Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak guga-tan
Direktur PT Genta Pranata yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait terhadap Kepala BPN
(tergugat I), Kepala Kantor Pertanahan Bogor (tergugat II) dan PT Buana Estate selaku tergugat
II intervensi.
Dolok Sirait selaku penggugat I dan HM Sukandi penggugat II yang diwakili kuasa hukum-nya
Denny Kailimang menggugat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 tentang
Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang, Keca-matan
Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dalam penjelasannya kepada wartawan, kemarin, kuasa tergugat II intervensi Drs Anim San-
joyo Romansyah mengatakan, sejak awal pihaknya yakin akan dimenangkan PTUN dalam
gugatan tersebut karena berada dalam posisi yang benar. Terbukti, PTUN menolak gugatan pihak
penggugat,” katanya menanggapi putusan PTUN Jakarta, Kamis lalu.

Adapun obyek gugatan dalam perkara tersebut adalah SK Kepala BPN No 9/HGU/BPN/2006
tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Kabu-paten Bogor atas nama
PT Buana Estate yang diterbitkan tergugat 1 Juni 2006. Sertifikat HGU No 149/Ham-balang atas
nama PT Buana Estate yang diterbitkan oleh tergugat II pada 15 Juni 2006 atas tanah seluas
4.486.975 M2.

Dalam gugatannya, penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas
2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian tanah obyek
Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas tanah yang ter-letak di
Kabupaten Bogor atas nama PT Buana Estate.
Penggugat juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena telah
memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap yang telah menguasai dan
menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960.

Namun majelis hakim yang diketuai oleh Kadar Slamet menyatakan penerbitan HGU PT Buana
Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan sertifikat tidak cacat hu-kum.
Majelis hakim juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran lahan oleh PT Buana Estate. Atas
dasar tersebut majelis hakim menolak gugatan penggugat.

Majelis hakim juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14
hari untuk menentukan apakah banding atau menerima putusan tersebut.

Analisa kasus
Para pihak dalam kasus ini yaitu:

1. Direktur PT Genta Pranata sebagai penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait
2. HM Sukandi sebagai penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang
MELAWAN
1. Kepala BPN sebagai tergugat I
2. Kepala Kantor Pertanahan Bogor sebagai tergugat II
3. PT Buana Estate sebagai tergugat II intervensi.
Menurut S. Prajudi Atmosudidjo, birokrasi (bureavcracy) atau Administrasi Negara atau tata
Usaha Negara (TUN) meliputi tiga hal, yaitu:

1. aparatur negara, aparatur pemerintah, atau institusi politik (kenegaraan)

2. fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan pemerintah operasional

3. proses teknis peyelenggaraan undang-undang.

Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui aktivitas pejabat birokrasi atau
aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan
administratif yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan
administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional, atau operasional.
Keputusan maupun tindakan pejabat birokrasi itu dapat dilawan melalui berbagai bentuk
peradilan Administrasi Negara.

Adapun yang dikategorikan pejabat birokrasi atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) menurut
ketentuan pasal I angka 8 UU No 51 tahun 2009, adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah
kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran pemerintahan dan
bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan pemerintah, maka oleh Undang-undang
Pengadilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/ pejabat
birokrasi.

Menurut ketentuan Pasal 53 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN, menyatakan bahwa Orang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud diatas adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan per-undang-
undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Maka dengan hal itu, Penggugat mengajukan sengketa ini ke PTUN Jakarta.
Kompetensi Pengadilan TUN terdapat dua macam kompetensi, yaitu:

1) Kompetensi Absolut, yaitu menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,


dilihat dari macam-macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili;
Agar suatu perkara dapat dikatakan sebagai perkara yang masuk dalam lingkup kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara, maka objek dari perkara tersebut berdasarkan pasal 1 angka 9 UU
No. 51 tahun 2009 haruslah berupa Putusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:

a) Penetapan Tertulis
Berdasarkan penjelasan pasal ini, penetapan tertulis yang dimaksud terutama me-nunjuk kepada
isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk
formalnya seperti surat pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktian. Dalam kasusu ini, penetapannya yaitu Surat Keputusan Kepala
BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak
di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

b) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara


Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ini berdasarkan penjelasan pasal tersebut adalah Badan
atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat ekse-kutif. Dalam Kasus
pihak yang mengeluarkan keputusan adalah Kepala BPN tentang Pembe-rian Jangka Waktu
HGU atas tanah. Sehingga dalam Kasus unsur ini terpenuhi.

c) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-


undangan yang berlaku
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Dalam Kasus isi dari keputusan yang
dikeluarkan Kepala Surat Keputusan Kepala BPN tergugat I yang mengeluarkan kepu-tusan
tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang, Kecamatan
Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sehingga dalam Kasus unsur ini telah terpenuhi.

d) Bersifat Konkrit
Artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu atau dapat ditentukan kepada siapa keputusan TUN tersebut ditu-jukan.
Dalam Kasus Keputusan Tata Usaha Negara yang dilahirkan oleh Tergugat I bersifat konkrit
karena berwujud yaitu Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 ten-tang
Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang, Kecamatan
Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sehingga unsur ini terpenuhi.

e) Bersifat individual
Artinya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik
alamat maupun hal yang dituju. Dalam Kasus keputusan yang dilahirkan oleh Tergugat I bersifat
individual karena tidak ditujukan kepada umum melainkan hanya kepada objek tanah yang
terletak di desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sehingga
unsur ini terpenuhi.

f) Bersifat Final
Artinya sudah defenitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Dalam Ka-sus,
keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat I bersifat final karena tidak memerlukan per-setujuan
dari instansi atasan maupun instansi lain mengingat kapasitas Tergugat I selaku Kepala BPN.

Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka jelas dan tepat apabila atas kepu-tusan yang
dilahirkan Tergugat I. Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN.

2) Kompetensi Relatif, yaitu mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang
serupa tergantung dari tempat tinggalnya tergugat;
Setelah merasa terpenuhi kewenangan untuk mengajukan perkara ini ke PTUN, ma-ka Drs
Dolok F Sirait mengajukan gugatan terhadap Kepala BPN. Pasalnya, Kepala BPN ter-sebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan secara sepihak SK, karena
penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas 2.117.500 meter persegi
yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian tanah obyek Surat keputusan N0
9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Ka-bupaten Bogor
atas nama PT Buana Estate. Penggugat juga menyatakan pihak paling yang berhak atas tanah
seluas 211,75 Ha karena telah memiliki/menguasai tanah tersebut dari penguasaan penggarap
yang telah menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar tahun 1960.

Pada sidang ini dihadiri oleh penggugat dan tergugat.

Berdasarkan pasal 109 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 maka Putusan Pengadilan harus me-muat:

1. Kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
2. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pi-hak yang
bersengketa;
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas.
Dalam putusan kasus ini, terhadap ketiga hal diatas telah terpenuhi .

Majelis hakim memutuskan dalam perkara ini sebagai berikut:

1. Majelis hakim menolak gugatan penggugat.


Hal ini karena penerbitan HGU PT Buana Estate telah sesuai dengan prosedur, demi-kian juga
penerbitan sertifikat tidak cacat hukum. Majelis hakim juga tidak menemukan fak-ta-fakta
penelantaran lahan oleh PT Buana Estate.

1. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14 hari untuk
menentukan apakah banding atau menerima putusan tersebut.
Hal ini dikarenakan pihak penggugat dalam perkara ini merupakan pihak yang kalah, maka
sesuai dengan Pasal 110 UU No. 9 Tahun 2004, yaitu Pihak yang dikalahkan untuk se-luruhnya
atau sebagian dihukum membayar biaya perkara.

Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :

1. Biaya kepaniteraan dan biaya meterai;


2. Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemerik-saan
lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meski-pun pihak
tersebut dimenangkan;
3. Biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan ba-gi
pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.

BAB III KESIMPULAN


Berdasarkan hal diatas dan setelah mempelajari kasus tersebut, maka saya sepen-dapat
dengan putusan Majelis Hakim PTUN Bandung tersebut, karena jika dilihat alasan Ter-gugat
bahwa HGU PT Buana Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan sertifikat
tidak cacat hukum. Majelis hakim juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran lahan oleh PT
Buana Estate.

Anda mungkin juga menyukai