Anda di halaman 1dari 11

Kode Etik Jaksa Beserta Kasus Dan Analisisnya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Profesi hukum merupakan profesi yang keberadaannya berhubungan langsung dengan kehidupan
masyarakat umum. Pengemban profesi hukum haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh,
bahwa professional hukum tidak akan menyalahgunakan situasi yang ada. Pengemban hukum
haruslah dilakukan secara martabat, dan hatus mengerahkan segala kemampuan pengetahuan dan
keahlian yang ada padanya, sebab tugas profesi hukum adalah tugas kemasyarakatan yang
langsung berhubungan dengan nilai-nilai dasar yang merupakan perwujudan martabat manusia,
dan oleh karena itu pulalah pelayanan hukum memerlukan pengawasan dari masyarakat.

Bahwa etika profesi sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan
pelayanan professional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan
keahlian sebagai pelayan masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai
refleksi yang seksama.  Disini menunjukan betapa eratnya hubungan antara etika dengan profesi
hukum, sebab dengan etika inilah para professional hukum dapat melaksanakan  tugas
(pengabdian) profesinya dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat
manusia yang pad akhirnya akan melahirkan keadilan ditengah masyarakat.

Ajaran moral/etika dan hukum pada dasarnya tidak mungkin terpisahkan, karena hukum tanpa
moral/etika akan mengakibatkan subyek-subyek hukum kehilangan karakter humanisnya.
Demi terjaminnya keseimbangan dan keserasian antara kewibawaan pemerintah di satu pihak dan
di pihak lainnya kepentingan masyarakat dalam tata susunan negara hukum, maka mutlak
diperlukan kejaksaan yang mampui berperan, baik sebagai bagian eksekutif maupun sebagai unsur
yudikatif. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan
hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib
menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

Profesi jaksa adalah sebuah profesi yang sangat penting dalam penegakan hukum peradilan, dalam
mentapkan posisi dan peranan kejaksaan, disamping adanya peraturan perundang-undangan yang
mendasari dirii dari wewenangnya, dirasakan pula perlunya memiliki suatu doktrin demi 
mendorong serta menjamin terlaksananya secara mantap darma baktinya kejaksaan yang akan
menjiwai sikap dan perialku warganya dalam meraih cita-cita luhurnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah dalam kasus diatas jaksa telah melanggar kode etik profesi jaksa maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku?
2. Sanksi apa yang pantas diberikan kepada Jaksa tersebut dan Bagaimana cara
pencegahannya agar tidak terjadi lagi penyalahgunaan profesi hukum?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan pustaka
• Pengertian Kode Etik Jaksa
Sebagai pelengkapan dari pembinaan dan etika profesi sebagai jaksa berdasarkan Keputusan Jaksa
Agung Nomor: Kep/074/j.a.7/1978 tanggal 17 Juli 1978 disahkan Panji Adhyaksa. Panji ini
merupakan perangkat kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambang cita-cita kejaksaan dan
pengikat jiwa korps kejaksaan. Pada panji tersebut terdapat lambang korps kejaksaan.

Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal
sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai
dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik
dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada
keberhasilan.

Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun
waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari
perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin
dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam
memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang
penegakan hukum.

Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna
melaksanakan tugas penegakan hukum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka
dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam PERATURAN JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER–014/A/JA/11/2012 TENTANG KODE PERILAKU JAKSA Dalam kode
perilaku jaksa antara lain disebut:

Kewajiban jaksa kepada Negara pasal 3 dan 4:

1. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. bertindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengindahkan     
norma agama, kesopanan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia; dan
3. melaporkan dengan segera kepada pimpinannya apabila mengetahui hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara.

Pasal 4 - Kewajiban Jaksa kepada Institusi:

1. menerapkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya;
2. menjunjung tinggi sumpah dan/atau janji jabatan Jaksa;
3. menjalankan tugas sesuai dengan visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia;
4. melaksanakan tugas sesuai peraturan kedinasan dan jenjang kewenangan;
5. menampilkan sikap kepemimpinan melalui ketauladanan, keadilan, ketulusan dan
kewibawaan; dan
6. mengembangkan semangat kebersamaan dan soliditas serta saling memotivasi untuk
meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya.

Kewajiban Jaksa kepada Profesi Jaksa pasal 5:

1. menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil;
2. mengundurkan diri dari penanganan perkara apabila mempunyai kepentingan pribadi atau
keluarga;
3. mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan peraturan kedinasan;
4. meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan teknologi, serta mengikuti perkembangan
hukum yang relevan dalam lingkup nasional dan internasional;
5. menjaga ketidakberpihakan dan objektifitas saat memberikan petunjuk kepada Penyidik; 
6. menyimpan dan memegang rahasia profesi, terutama terhadap tersangka/terdakwa yang
masih anak-anak dan korban tindak pidana kesusilaan kecuali penyampaian informasi
kepada media, tersangka/keluarga, korban/keluarga, dan penasihat hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
7. memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan informasi dan jaminan atas haknya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia; dan h. memberikan
bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum, penegakan hukum atau tindakan
hukum lain secara profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan
menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang lain. untuk
meningkatkan kinerja dengan menghormati hak dan kewajibannya.

Larangan (Pasal 7)
Dalam melaksanakan tugas Profesi Jaksa dilarang:

1. memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat memberika keuntungan pribadi secara
langsung maupun tidak langsung bagi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan
nama atau cara apapun;
2. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dalam bentuk apapun dari
siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung;
3. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau finansial
secara langsung maupun tidak langsung;
4. melakukan permufakatan secara melawan hukum dengan para pihak yang terkait dalam
penanganan perkara;
5. memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku;
6. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
7. menggunakan kewenangannya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis;
dan
8. menggunakan barang bukti dan alat bukti yang patut diduga telah direkayasa atau diubah
atau dipercaya telah didapatkan melalui cara-cara yang melanggar hukum;

Jaksa wajib melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah atau keuntungan dalam
bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
dalam pelaksanaan tugas Profesi Jaksa.

• Sanksi
Jaksa yang melanggar akan diberikan sanksi yang sesuai dengan pasal 12, 13, 14 yaitu:
Pasal 12

1. Jaksa wajib menghormati dan mematuhi Kode Perilaku Jaksa.


2. Setiap pimpinan unit kerja wajib berupaya untuk memastikan agar Jaksa di dalam
lingkungannya mematuhi Kode Perilaku Jaksa.
3. Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran dijatuhkan tindakan administratif.
4. Tindakan adminstratif tidak mengesampingkan ketentuan pidana dan hukuman disiplin
berdasarkan peraturan disiplin pegawai negeri sipil apabila atas perbuatan tersebut
terdapat ketentuan yang dilanggar.

Pasal 13

1. Tindakan administratif terdiri dari:


o pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
(1) satu tahun; dan/atau
o pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 2 (dua) tahun.
2. Apabila selama menjalani tindakan administratif diterbitkan Surat Keterangan
Kepegawaian (Clearance Kepegawaian) maka dicantumkan tindakan administratif tersebut.
3. Setelah selesai menjalani tindakan administratif, Jaksa yang bersangkutan dapat
dialihtugaskan kembali ketempat semula atau kesatuan kerja lain yang setingkat dengan
satuan kerja sebelum dialihtugaskan.

Pasal 14
Keputusan pembebasan dari tugas-tugas Jaksa dan Keputusan pengalihtugasan pada satuan kerja
lain terhadap Jaksa diterbitkan oleh pejabat yang berwenang melakukan tindakan administratif.

• Pengertian Lambang kejaksaan


Setiap lembaga pemerintahan pastilah memiliki lambang/logo yang merupakan gambaran dari visi
maupun misi mereka. Kejaksaan memiliki sebuah logo yang bernama Satya Adhi Wicaksana.
Logo/lambang dari kejaksaan itu sendiri terdiri dari beberapa unsur-unsur yang memiliki makna
didalamnya, yaitu :

1. Bintang bersudut tiga - Bintang adalah salah satu benda alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
yang tinggi letaknya dan memancarkan cahaya abadi. Sedangkan jumlah tiga buah
merupakan pantulan dari Trapsila Adhyaksa sebagai landasan kejiwaan warga Adyaksa yang
harus dihayati dan diamalkan. 
2. Pedang - Senjata pedang melambangkan kebenaran, senjata untuk membasmi
kemungkaran/kebathilan dan kejahatan.
3. Timbangan - Timbangan adalah lambang keadilan, keadilan yang diperoleh melalui
keseimbangan antara suratan dan siratan rasa. Artinya setiap warga Kejaksaan harus
berlaku adil dan memandang sama semua terdakwa di dalam kasus yang ia tangani,  tidak
sepantasnya jaksa memandang terdakwa didalam kasus yang sedang ditanganinya
berdasarkan latar belakangnya. Baik orang kaya atau miskin, orang yang berasal dari
golongan atas atau dari golongan bawah, semuanya memiliki kedudukann yang sama
didepan hukum.
4. Padi dan kapas - Padi dan kapas melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran yang
menjadi dambaan masyarakat 

Seorang Jaksa juga seharusnya mengamalkan Tri Karma Adhyaksa didalam menjalankan tugasnya.
Tri Karma Adhyaksa sendiri memiliki arti sebagai berikut :

1. Satya : seorang jaksa harus memiliki kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap pribadi, keluarga maupun kepada sesama
manusia. Hal ini diartikan juga jujur terhadap tugas , artinya bahwa setiap warga
kejaksaan apapun pangkat dan jabatannya, wajib menjalankan tugas yang dibebankan
kepadanya dengan baik dan tidak berkhianat. Kesemua hal tersebut mencerminkan sikap
berpegang teguh kepada kebenaran dan keadilan yang membuktikan dirinya jauh hal-hal
yang dapat membuat ia gagal dalam melaksanakan tugas.
2. Adhy : kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesama manusia. Hal ini berarti bahwa setiap
warga kejaksaan dalam melakukan semua perbuatan, baik di dalam maupun di luar dinas,
selalu dilandasi dengan alasan-alasan yang benar, sehingga perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Wicaksana : seorang jaksa haruslah bijaksana dalam bertutur kata dan tingkah laku,
khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangan. Hal ini berarti bahwa setiap
warga kejaksaan dalam menunaikan tugas dharma bhaktinya, disamping harus cakap,
mampu dan terampil harus pula membuktikan dirinya sebagai petugas yang matang dan
dewasa dengan tanpa mengorbankan prinsip dan ketegasan, dapat bertinda bijaksana.

B. Analisis
Penyalahgunaan profesi hukum dapat terjadi karena persaingan yang melanda individu profesional
hukum atau karena tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum sering terjadi pertentangan
antara 2 (dua) kepentingan yang bersebrangan, yaitu cita-cita etika yang tinggi di satu sisi, sedang
praktek hukum berada pada posisi yang jauh dengan cita-cita tersebut.

Dalam kasus diatas jelas telah terjadi pelanggran kode etik profesi jaksa dimana jaksa farizal
diduga menerima suap  sebesar Rp 440 juta untuk tidak menahan Xaveriandy Sutanto. Selain itu ia
juga tidak melakukan tugas dan kewajibannya sebagai jaksa dengan semestinya dimana ia Farizal
tidak pernah sekalipun mengikuti sidang perkara di mana Sutanto menjadi terdakwa. Padahal, ia
merupakan jaksa penuntut umum dalam kasus terkait distribusi gula yang diimpor tanpa Standar
Nasional Indonesia (SNI) itu.

Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa penuntut umum dalam
kasus itu, sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi dengan Farizal. Selain itu, Farizal juga
membantu Sutanto dalam menyusun eksepsi atas surat dakwaan agar mendapatkan hukuman yang
ringan. Perbuatan tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa penuntut umum
karena semestinya yang menyusun eksepsi adalah terdakwa bersama penasihat hukum. Perbuatan
tersebut dinilai telah melanggar tugasnya sebagaimana telah diatur dalam :

 Pasal 10 ayat (2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai
berikut: 
“Saya bersumpah/berjanji:
o bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik
Indonesia, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang- undangan yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia.
o bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran
dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan
sungguh- sungguh, saksama, obyektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan
jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya
dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa, masyarakat,
bangsa, dan negara.\
o bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau
dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan
wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya.
o bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau
tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan sesuatu apapun kepada siapa pun juga. 
o bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
pemberian“. 

Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia karena telah melakukan rangkap jabatan sebagai penasihat hukum terdakwa.

Selain itu, perbuatan Faizal juga melanggar pasal 7 (B)  PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR PER–014/A/JA/11/2012 TENTANG KODE PERILAKU JAKSA, dimana seorang jaksa
tidak boleh menerima hadiah/keuntungan  dalam bentuk apapun dari pihak yang berwenang
maupun pihak yang tidak berwenang. Perbuatan Faizal sendiri bertentangan dengan makna
timbangan yang terdapat didalam lambang Kejaksaan. Seorang jaksa seharusnya memandang sama
semua terdakwa, baik itu pejabat ataupun orang biasa sekalipun karena semua orang memiliki
kedudukan yang sama dimata hukum.

Faizal juga tidak mengamalkan Tri Karma Adhyaksa. Perbuatannya jelas-jelas bertentangan
dengan satya. Artinya dalam menjalankan tugasnya Faizal tidak berpegang teguh kepada keadilan
serta kebenaran, sehingga dirinya mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dapat membuat ia gagal
dalam menjalankan tugas.

Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan
atau otoritas. Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan
tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa pakar
sosiologi hukum sering menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat
hukum.      

Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah
dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan
secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau
informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan
pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui
pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai
dengan kesediaan memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat
mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus
ditanganinya.

Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:

1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung
jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata
dan bertingkah laku.
5. Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.

C. Sanksi yang Pantas Diberikan 


Faizal telah terbukti melakukan tindak penyuapan, dan dapat dikenai sanksi administratif. Apabila
kita melihat PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-014/A/JA/11/2012 pasal
13 ayat (1) yang berisi :

1. pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama  (1) satu
tahun; dan/atau 
2. pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
2 (dua) tahun.

Dan sanksi administratif yang tepat untuk dijatuhkan kepada Faizal adalah pembebasan dari tugas-
tugas jaksa, paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Lalu bagaimana jika setelah dikenai
sanksi administratif, jaksa melakukan suatu pelanggaran kode etik yang sama ? jawabannya bisa
kita lihat didalam pasal 27 ayat (2) intinya mengatakan, bahwa apabila seorang jaksa yang telah
terbukti melakukan suatu pelanggaran kode etik kemudian melakukan pelanggaran kode etik yang
sama, maka dapat dijatuhi sanksi administratif yang lebih berat.

D. Pencegahan Agar Tidak Terjadinya Penyalahgunaan Profesi Hukum


Dengan semakin maraknya kasus pelanggaran kode etik kejaksaan, Komisi Kejaksaan harus berani
menindak tegas para jaksa yang terbukti melanggar Kode Etik Jaksa. Sebenarnya pencegahan
pelanggaran Kode Etik Jaksa ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu secara preventif dan represif.

Secara Preventif yaitu dengan cara memberikan pendidikan karakter kepada seluruh warga
Kejaksaan mengenai pentingnya kode etik jaksa dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya dibekali
Technical Aspect (Pertanggung jawaban secara ilmiah) tetapi juga Ethical Aspect (Pertanggung
jawaban lahirian), karena seorang Penegak Hukum haruslah mempunyai dua aspe penting
tersebut. Hal itu perlu dilakukan agar semua warga kejaksaan tetap berpegang kepada kode etik
jaksa ketika ia bertugas.

Kemudian secara represif yaitu Komisi Kejaksaan harus aktif dalam menindak Jaksa-Jaksa yang
terbukti melanggar kode etik, berilah mereka hukuman yang setimpal dengan apa yang telah
mereka perbuat. Dengan dua cara tersebut diharapkan bahwa kedepannya Warga Kejaksaan tidak
lagi melakukan pelanggaran kode etik

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kasus di atas merupakan salah satu contoh perilaku profesi hukum atau dalam hal ini yang
kelompok kami bahas adalah jaksa, sebagai mana yang telah dibacakan tadi dalam kasus tersebut
jaksa telah menggunakan kekuatan nya untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Jaksa
tersebut menggunakan kewenangan nya untuk menguntungkan diri nya sendiri dan orang lain, yang
mana telah melanggar kode etik jaksa. Padahal jelas-jelas dalam kode etik jaksa pasal 10 ayat 2,
dimana jaksa telah bersumpah untuk setia kepada Negara dengan cara menjunjung tinggi dan
menegakkan hukum yang ada di Indonesia. Itu sangat disayangkan ketika ada jaksa yang melanggar
kode etik yang seharusnya dia tahu sebagai orang hukum bahwa hukum dibuat untuk dipatuhi
bukan untuk dilanggar.

Faizal telah terbukti melakukan tindak penyuapan, dan dapat dikenai sanksi administratif, Dan
sanksi administratif yang tepat untuk dijatuhkan kepada Faizal adalah pembebasan dari tugas-
tugas jaksa, paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun.  tinggal sekarang bagaimana agar
kasus diatas tersebut tidak sampai terulang kembali yang akan mencoreng nama hukum dan
membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap hukum yang ada di Indonesia. Salah satu
bentuk sebagai pencegahan agar kasus ini tidak terulang adalah dengan memberikan sebuah
pendidikan karakter yang lebih baik dari yang sebelumnya dan mengadakan pelatihan atau
semacam seminar bagi jaksa-jaksa muda agar tindakan diatas tidak dilakukan oleh jaksa-jaksa
lainnya, serta diharapkan agar Komisi Kejaksaan bertindak lebih tegas dalam menangani Jaksa –
Jaksa yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

B. SARAN
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup, dan diharapkan agar
jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas
penegakan hukum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan
ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat
dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai
kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di
Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
            Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat
jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan
institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang
berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan
tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara
sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.

            Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari
tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional
dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya
kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini . Sorotan serta
kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada
kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa
pembenahan telah dilakukan.
            Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan
merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun
bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-ciri
pokok profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi
kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi
kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu
sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang
profesional. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan
itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya,
keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana
mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat
hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk
jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan sendiri. Hukum
bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut,
hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.
            Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab
sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi hidup,
dan karena kekuatan atau otoritas. Mungkin bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan
ini agak berlebihan. Akan tetapi, secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri
kebenarannya, bahkan beberapa pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum
itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat hukum.      
Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan
yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini
hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui
pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman
sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang
rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat
rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan
memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi
sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus
ditanganinya.
            Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu:
a.       Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani,           
bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
b.       Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
c.        Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
d.       Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam diri, berkata dan
bertingkah laku.
e.       Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan.
            Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa
tidaklah terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah untuk
dimengerti. Karena kode etik ini disusun dengan tujuan agar dapat dijalankan. Kemampuan
analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan
yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak
serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa
dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya.
Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa
jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu,
peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas
yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara
pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita
keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak
kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan
setiap perkara memiliki keunikan sendiri.
            Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan
hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata,
melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh
masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan
sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang
muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat
Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang
tidak sepenuhnya normal.

Anda mungkin juga menyukai