KASUS PELANGGARAN KODE ETIK JAKSA TERHADAP PELANGGARAN KODE
ETIK JAKSA PENYIDIK DALAM PERKARA PINANGKI
KRONOLOGI KASUS PELANGGARAN KODE ETIK JAKSA
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan tiga orang jaksa penyidik dalam kasus Pinangki ke komisi kejaksaan pada Rabu, 14 Oktober 2020. Ketiga jaksa tersebut dilaporkan karena diduga melakukan pelanggaran kode etik saat menyidik perkara tersebut. Terdapat empat pokok pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketiga Jaksa Penyidik ini. Dijelaskan dalam kronologi kasus : 1. Pertama, pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketiga penyidik ini diduga tidak menggali kebenaran materiil kasus Pinangki. Terdapat dua hal yang tidak diselidiki lebih lanjut oleh ketiga penyidik ini yakni alasan yang membuat Djoko Tjandra memercayai Pinangki untuk mengurus fatwa ke Mahkamah Agung serta upaya Pinangki untuk mengurus fatwa tersebut. Dalam konteks ini, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra yang telah melarikan diri selama sebelas tahun langsung percaya kepada seorang Jaksa yang ‘hanya’ menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung 2. Kedua, mereka diduga tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung yang menyatakan Pinangki sempat melapor kepada pimpinan setelah pertemuannya dengan Djoko Tjandra, penyidik hanya mendasarkan bukti atau keterangan dari Pinangki. Dalam hal ini yang seharusnya dilakukan oleh penyidik adalah mendalami temuan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), jadi tidak hanya bergantung dari keterangan tersangka saja. Dan pada saat proses penyidikan ketiga jaksa penyidik ini tidak menyelidiki siapa sebenarnya pimpinan yang dimaksud oleh Pinangki. 3. Ketiga, Terlapor juga tidak mendalami peran-peran pihak yang selama ini diusulkan terlibat dalam jaksa Pinangki. Pihak yang dimaksud antara lain nama-nama yang sempat dilaporkan Masyarakat Anti Korupsi ke KPK yakni inisial BR, RA, dan istilah “bapaknya”. ICW meragukan penyidik telah mendalami terkait dengan istilah dan inisial- inisial tersebut. Seharusnya jika telah didalami dan ditemukan siapa pihak tersebut, maka mereka dipanggil ke hadapan penyidik unyuk dimintai klarifikasinya. 4. Keempat, ketiga penyidik diduga tidak berkoordinasi dengan KPK pada proses pelimpahan perkara Pinangki ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semestinya, setiap tahapan penanganan perkara tersebut, Kejaksaan Agung harus berkoordinasi dengan KPK. Namun dalam hal ini, Kejaksaan Agung langsung melimpahkan berkas perkara Pinangki ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tanpa berkoordinasi dengan KPK terlebih dahulu. Padahal, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Terlebih, KPK telah menerbitkan surat perintah supervisi perkara Pinangki di Kejaksaan Agung. Pada kasus ini, ketiga Jaksa Penyidik tersebut telah mencoreng etika profesi. Dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, ketiga Jaksa penyidik ini tidak menggali kebenaran dan benar-benar mendalami kasus ini. Berdasarkan kejanggalan yang ada, ketiga Jaksa Penyidik ini melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa yang berbunyi “menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan integritas, profesional, mandiri, jujur dan adil”. ANALISIS TERHADAP KASUS Kode Etik Jaksa atau yang dikenal sebagai Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Kode etik Jaksa merupakan hukum tertinggi bagi Jaksa dalam menjalankan profesi. Kode etik ini mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku, sebagai sarana control, agar melahirkan Jaksa yang memiliki kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Serta mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Seorang jaksa seharusnya memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum, penegakan hukum atau tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan dan menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang lain. Sebaliknya ketiga jaksa ini tidak melakukan tugasnya tanpa menerapkan hal-hal tersebut. Dari kasus ini terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi antara lain, menurunnya citra Jaksa penyidik professional di mata masyarakat. Dalam kasus ini, disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para Jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab dan kinerja terpadu yang merupakan profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerjasama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan yang harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendati yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional. Seharusnya, sebagai Jaksa yang merupakan warga Negara Indonesia dalam melaksanakan tugasnya harus menjunjung tinggi hukum, kode etik Jaksa dan sumpah jabatannya. Menanamkan dalam dirinya bahwa yang terkandung di dalam kode etik jaksa merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya baik dilakukan di dalam maupun diluar jam kerja. Hal ini harus dilakukan agar terwujudnya jaksa yang tidak hanya pintar, namun juga memiliki moralitas yang tinggi. Memahami tugas-tugas, fungsi dan perannya sebagai jaksa yang benar dan professional, yang memiliki komitmen untuk menegakkan keadilan, dengan tanpa terpengaruh hal lain, tanpa rasa takut dan berpedoman kepada kode etik, serta tidak hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Pengaturan mengenai kode etik jaksa terdapat dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa yang di dalamnya memuat mengenai hak dan kewajiban jaksa, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh jaksa. Keberlakuan kode jaksa itu sendiri baik di dalam maupun di luar kerja sehingga kode etik jaksa selalu melekat terhadap jaksa setiap saat. Dalam hal seorang jaksa melakukan korupsi maka penyelesaiannya dapat dilakukan baik secara kode etik profesi ataupun secara hukum positif. Penyelesaian melalui kode etik dilakukan oleh Majelis Kode Perilaku dan penyelesaian melalui proses hukum dilakukan dengan berkoordinasi dengan Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Terhadap perbuatan tersebut akan diberikan sanksi berupa Pemberhentian tidak dengan hormat dan hukuman penjara.