Anda di halaman 1dari 6

Analisis Putusan Mahkamah Agung

No.01.K / Pid.HAM.AD.HOC / 2006


Oleh:

Adib (155010107111201)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
Isi Putusan

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.01.K/Pid.HAM.AD.HOC/2006


menyatakan permohonan Kasasi oleh pemohon yaitu Jaksa/Penuntut Umum Ad Hoc
tidak dapat diterima sehingga terdakwa BRIGJEN POL. Drs. Johny Wainal Usman
dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan
Tindak Pidana "Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat", berupa kejahatan
terhadap kemanusiaan1. Putusan Mahkamah Agung ini menguatkan putusan pengadilan
Hak Asasi Manusia No.01/Pid.HAM/ABEPURA/2004/PN.Mks. tanggal 8 September
2005.

Adapun kronologi kasus ini bermula dari penyerangan yang dilakukan oleh 30
orang Papua terhadap Mapolsek Abepura dengan dalih mau melapor pada hari Kamis,
tanggal 7 Desember 20002. Akibat dari penyerangan tersebut satu orang anggota Polsek
Abepura Serka Petrus Eppa meninggal daunia dan tiga orang lainnya yaitu Sertu
Darmo, Serka Mesak Kareni dan Serka Yoyok Sugiarto menderita luka-luka, serta
peralatan penjagaan Polsek Abepura mengalami kerusakan. Setelah melakukan
penyerangan terhadap Mapolsek Abepura, kelompok orang papua tersebut melakukan
pembakaran terhadap pertokoan di bundaran Abepura dan Gedung Kantor Otonomi
Provinsi Papua serta membunuh seorang anggota satpam kantor tersebut yang bernama
Markus Padama. Seorang anggota Polsek Abepura yang bernama Serka Mesak Kareni
berhasil meloloskan diri kemudian melaporkan kejadian penyerangan tersebut kepada
Markas Komando Brimob Polda Papua di Kotaraja.

Komandan Satuan Brimob Polda Papua yaitu terdakwa Drs. Johny Wainal
Usman yang telah menerima laporan tersebut memerintahkan Perwira Pengawas
membunyikan sirine sebagai panggilan luar biasa kepada semua Anggota Satuan
brimob Polda Papua yang ada di Markas Komando Brimob Polda Papua di Kotaraja
untuk berkumpul di lapangan, termasuk satu kompi Anggota Satuan Brimob dari

1 Put. No.01 K/Pid.HAM.AD.HOC/2006


2 Jurnal HAM Vol. 12 Tahun 2016
Resimen II Kelapa Dua Jakarta, yang telah berada di Jayapura sejak tanggal 1
Desember 2000. Terdakwa kemudian memerintahkan anggota satuannya untuk
membantu Kapolsek Abepura melakukan operasi pengejaran dan penyekatan terhadap
orang-orang yang telah diduga melakuka penyerangan di Mapolsek Abepura.
Pengejaran yang dilakukan dibawah pimpinan Brigpol John
Fredrik Kamodi di
Pemukiman Warga Suku asal Yali Anggruh di daerah skyline, Kecamatan Jayapura
Selatan menewaskan seorang warga etnis Wamena bernama Elkius Suhuniap.
Tewasnya Elkis Suhuniap diakibatkan oleh penembakan yang dilakukan anggota
Brimob pada saat pengepungan di rumah korban. Seorang warga papua lainnya yaitu
Agus Kabak juga mengalami penembakan pada bagian dada kanan namun tetap bisa
lolos dari kejaran anggota Brimob. Dalam pengejaran dan penyekatan yang dilakukan
oleh anggota Brimob Polda Papua juga menyebabkan beberapa warga mengalami luka-
luka akibat penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Brimob.

Terdakwa BRIGJEN POL. Drs. Johny Wainal Usman didakwa tidak melakukan
pengendalian secara patut dan benar terhadap bawahannya yang berada dibawah
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, dimana Terdakwa mengetahui atau secara
sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat, yaitu berupa pembunuhan dan penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai
hal yang dilarang menurut hukum Internasional.
Analisis Putusan

Berdasarkan uraian diatas menurut pandangan saya putusan Mahkamah Agung


yang menolak permohonan Kasasi dari pihak pemohon yang dalam hal ini adalah
Jaksa/Penuntut Umum Ad Hoc merupakan suatu kesalahan. Terdakwa yang merupakan
seorang Komandan Satuan Brimob Polda Papua pada saat itu dengan jelas tidak
melakukan pengendalian terhadap anggotanya yang melakukan pelanggaran Ham Berat.
Dalam pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang HAM menyatakan bahwa
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun oleh siapapun" 3 . Penganiayaan dan penembakan yang dilakukan oleh anggota
Brimob polda Papua jelas merupakan suatu bentuk perampasan nyawa dan penyiksaan
yang melanggar Pasal 4 diatas.

Serangan yang dilakukan oleh anggota brimob tersebut merupakan serangan


yang meluas dan sistematik yang secara langsung terhadap penduduk sipil berupa
pembunuhan dan penyiksaan. Tindakan ini melanggar huruf a dan f dalam pasal 9
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia4. Namun
hal ini bertolak belakang dengan pendapat para hakim. Mengutip pernyataan salah satu
hakim yaitu H. Dirwoto, S.H., " Dari serangkaian peristiwa yang terjadi, tindakan yang
dilakukan oleh bawahan Terdakwa bukanlah merupakan pelanggaran HAM berat.
Tindakan yang dilakukan bawahan Terdakwa berupa pengejaran, penangkapan dan
penahanan merupakan tindakan Kepolisian dalam rangka pengamanan dari situasi
penyerangan Polsek Abepura yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Oleh
karenanya Terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan
oleh para bawahannya, sehingga terdakwa tidak terbukti telah melakukan pelanggaran

3 Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM


4 Pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Hak Asasi Manusia yang berat"5. Pernyataan Hakim yang akhirnya memutus Terdakwa
tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat dirasa sangat memihak pihak
Kepolisian, padahal bukti-bukti dan saksi telah cukup menggambarkan bagaimana
tindakan semena-mena yang dilakukan anggota Brimob Polda Papua pada saat itu.

Fakta di persidangan juga menemukan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh


anggota Brimob Polda Papua tidak dilengkapi oleh surat penagkapan 6 . Tindakan ini
tentunya melanggar pasal 34 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 yaitu, " Setiap orang
tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara
sewenang-wenang"7.

Terdapat pasal yang lebih spesifik tentunya yang jelas-jelas dilanggar oleh
Terdakwa dalam hal ini selaku Komandan Satuan Brimob Polda Papua pada saat itu,
yaitu pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang berbunyi, "(1)Komandan Militer atau seseorang yang secara efektif
bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak
pidana yang berada didalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan
yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau dibawah
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan
akibat dari tidak dilaukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu: Komandan militer
atau seseorang tersebut mengetahui atau dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui
bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, dan komandan militer atau seseorang tersebut tidak
melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya
untuk mencegah atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (2) Seorang atasan, baik polisi
maupun sipil lainnya, bertanggunjawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan,

5Hal. 24 dari 33 hal, Put. No.01 K/Pid.HAM.AD.HOC/2006


6 Hal. 22 dari 33 hal, Put. No.01 K/Pid.HAM.AD.HOC/2006
7 Pasal 34 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM
dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian
terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni: (a) atasan tersebut mengetahui atau
secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
dan (b) atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam
ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut
atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan"8.

Jika merujuk pada pasal-pasal sebagaimana telah disebutkan diatas Terdakwa


pada dasarnya telah terbukti dan secara sah melakukan pelanggaran HAM berat,
terutama jika melihat isi dari pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Pernyataan
dari hakim H. Dirwoto, S.H. yaitu "Sedangkan adanya korban-korban yang jatuh dalam
pengejaran, penangkapan dan penahanan bukanlah merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia, hal tersebut merupakan ekses dari emosi para bawahan Terdakwa yang
berlebihan, sehingga tindakan para bawahan Terdakwa merupakan tindakan yang harus
dipertanggungjawabkan secara individu dan merupakan kompetensi peradilan pidana
biasa"9, tentunya terbantahkan dengan pasal ini.

8 Pasal 42 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM


9 Hal. 24 dari 33 hal, Put. No.01 K/Pid.HAM.AD.HOC/2006

Anda mungkin juga menyukai