Disusun oleh :
Kelompok 2
1. M. Zahirrudin (D1a020310)
2. Irvan Hamzanil Vaori (D1a020247)
3. Ferry Chandra Kusuma (D1a020184)
4. M. Saeful Yanis Maulana (D1a20307)
5. Muhammad Ghiyats Hadi Akbar (D1a020359)
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2023
Pendahuluan
Hal ini seolah-olah semakin menunjukkan kepada publik bahwa penegakan hukum
hanyalah suatu proses formal yang hasilnya sangat bergantung pada subyektivitas dan
keberpihakan para penegaknya. Bila demikian, maka hal itu telah mengenyampingkan makna
filosofis dari penegakan hukum itu sendiri. Begitu banyak kasus-kasus yang diproses dalam
peradilan pidana di Indonesia ini, yang proses hukum dan putusannya justru mencerminkan tidak
tegaknya hukum. Seperti putusan bagi pelaku kejahatan (yang berdasar pandangan publik telah
nyata-nyata terbukti bersalah) yang diputus bebas hanya karena kedangkalan pemahaman hukum
dan keberpihakan subyektif dan sesat dari penegak hukum. Sementara di lain pihak juga
seringkali terjadi adanya pemidanaan terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Bukankah ada adagium yang menyatakan bahwa “lebih baik melepas sepuluh orang yang
bersalah dari pada harus menghukum satu orang yang tidak bersalah ?”.
Putusan bebas dalam perkara pidana tidak hanya menimbulkan persoalan baru dalam
dunia hukum, tetapi juga dalam penerimaan masyarakat yang acapkali dinilai legalitas hukum
tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat. Meskipun putusan bebas dibenarkan dalam hukum
formil (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), tetapi fenomena tersebut acapkali
menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap hakim yang menjatuhkan putusan bebas.
Memang hukum tidak secara otomatis menghasilkan keadilan, atau justru sebaliknya
menciptakan ketidakadilan. Kaidah hukum yang terurai dalam peraturan perundang-undangan,
hanya dapat hidup dan bekerja apabila digerakkan oleh para pelaksananya. Kenyataan para
pelanggar hukum yang dapat memilih dan menyewa advokat untuk meloloskan diri dari jeratan
hukum, merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang perlu
dijawab. Tentu amat melukai rasa keadilan masyarakat, jika hukum tidak mampu memberikan
keadilan akibat manuver para kriminal yang tidak diantisipasi oleh hakim dalam sidang
pengadilan.
Pada kondisi tersebut, hukum lebih cenderung digunakan secara keliru atau menyimpang
dari fungsi dan tujuan asasinya. Mestinya hukum ditentukan dan dilaksanakan berdasarkan itikad
yang otentik, dan hal ini banyak dikaji dalam teori sosiologi hukum bahwa hukum bukan hanya
peraturan, melainkan juga komitmen, perilaku, dan struktur sosial. Semangat reformasi untuk
menegakkan supremasi hukum, masih jauh dari harapan karena belum dikelola oleh manusia
pilihan yang bernama hakim yang seharusnya memiliki integritas dan komitmen moral yang
tinggi.
Dalam Tragedi Tanjung Priok telah membuka mata banyak orang, bukan hanya Indonesia
tetapi juga masyarakat internasional. Sebab menurut data resmi korban yang berjatuhan terhitung
79 orang, namun menurut sumber swasta jumlah korban yang berjatuhan sekitar 400 orang. Dan
dikategorikan sebagai pelanggaran ham berat, tetapi tanpa pelaku. Mengapa demikian?, sebab
dalam putusannya pengadilan ad hoc Jakarta pada tahun 2003 menyingkap 14 terdakwa, namun
pada tingkat kasasi dibebaskan tanpa kejelasan. Lalu pantaskah putusan yang membebaskan ke-
14 terdakwa tersebut?, dan siapa yang harus dibebani pertanggungjawaban sampai saat ini?.
Kasus posisi
Peristiwa tanjung priok pada 12 september 1984 merupakan peristiwa pelanggaran ham
berat yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap warga tanjung priok.
Yakni berawal ketika salah satu babinsa mendatangi mushalla as-sa’adah di tanjung priok
pada tanggal 7 september 1984 untuk memerintahkan mencabut pamflet yang dinilai berbau
SARA.
Keesokannya pada tanggal 8 september 1984, seorang oknum ABRI beragama katholik
yang bernama hermanu masuk ke mushalla memakai sepatu untuk mencabut pamflet tersebut
dan parahnya ia menyiram tembok mushalla dengan air got, serta menginjak al-qu’an. Hal
tersebut membuat jama’aah disana geram dan melakukan cekcok yang berujung pada
Terkait hal ini pada tangal 11 september 1984 dilakukan penangkapan dan penahanan
Dengan adanya pemicu tersebut, Amir Biki salah seorang tokoh di daerah tersebut
mengumpulkan para ulama, jama’ah serta forum umat islam di Jakarta untuk melakukan
demonstrasi di polsek dan kodim tanjung priok, setelah sebelumnya dilakukan negosiasi namun
Pagi hari, tanggal 12 september 1984 masa aksi yang jumlahnya sekitar 1,500 orang
berangkat ke lokasi tujuan. Namun, ditengah jalan mereka dihadang oleh aparat yang siap
berperang dari segala penjuru, dan suara tembakan pun terdengar, para aparat yang menembaki
masa aksi. Masa aksi yang tertembak berlumuran darah dan berjatuhan, tidak sampai disana
masa aksi yang melarikan diri langsung dirudal oleh aparat. Akibatnya berdasarkan catatan
Komnas HAM 79 orang menjadi korban, diantaranya 55 orang luka-luka, 23 meninggal dunia,
selain itu ratusan orang ditangkap dan ditahan tanpa proses hokum yang jelas dan beberapa orang
dinyatakan hilang.
Namun berdasarkan Watchdoc Documentary, jumlah korban yang tewas mencapai 400
Bentuk pelanggaran HAM tersebut sejalan dengan pasal 1 ayat 6 Undang-undang No. 39
Tahun 1999, menyebutkan: “Setiap perbuatan atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja atau kelalaian secara sengaja melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang oleh Undang-Undang dan tidak mendapatkan
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Pertimbangan majelis
Butar Butar terbukti melanggar pasal 42 (2) a dan b Undang-undang No.26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Menurut majelis, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama
persidangan, jelas menunjukkan adanya pembunuhan terhadap warga negara sipil. Saat
itu, terdakwa mengetahui benar pasukan regu III Arhanudse melakukan penembakan.
Kejadian malam hari 12 September 20 tahun lalu itu sebenarnya juga menimbulkan
korban di pihak militer. Namun, kalau warga sipil yang tewas sampai 23 orang, di pihak militer
hanya dua orang anggota regu III Arhanudse mengalami luka-luka. Luka yang diderita pun
hanya sebatas luka bekas lemparan batu dan luka gigitan. Tidak ada luka bacokan atau ditombak.
Namun, Majelis berpendapat dakwaan JPU tentang adanya perampasan kemerdekaan tidak
terbukti. Mereka yang ditahan di Makodim 0502 bukanlah perampasan kemerdekaan tetapi
bagian dari proses, ujar Cicut. Untuk itu dakwaan ketiga JPU tidak terbukti.
Butar Butar yang dianggap telah berbakti dan berjasa kepada negara menjadi salah satu
pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman. Selain itu beberapa keluarga korban telah
memaafkan terdakwa, khususnya setelah adanya islah antar kedua belah pihak.
Setelah mendengar putusan hakim, kuasa hukum Butar Butar langsung mengajukan
banding.Tidak ada pelanggaran HAM berat disini, tidak ada unsur-unsur meluas maupun
direncanakan, ujar Yan Juanda Saputra salah satu kuasa hukum mayor jendral purnawirawan ini.
Selain menghukum Butar Butar dengan hukuman 10 tahun, dalam amar putusannya majelis
mengharuskannya membayar kompensasi kepada keluarga korban kasus Tanjungpriok tersebut.
Pembayaran kompensasi merupakan perintah dari pasal 35 UU No.26 Tahun 2000, ujar Cicut di
dalam putusannya. Butar Butar menyetujui dengan pemberian kompensasi untuk keluarga
korban. Namun, belum ditentukan berapa besar jumlah kompensasi tersebut.
Kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok tersebut diproses hukum berdasarkan
Kepres No. 53 Tahun 2001 yang diperbaharui dengan Kepres No. 96 Tahun.
Analisis
Tragedi tanjung priok dikategorikan sebagai pelanggaran Ham berat yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanitiy). Konsep CAH pertama kali diperkenalkan di
era setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam Pasal 6 huruf c Charter of the International
Military Tribunal (“Nuremberg Charter”), tindakan CAH dijelaskan sebagai berikut:
Saat ini dapat dikatakan bahwa pengaturan terkait CAH yang paling komprehensif terdapat
pada The Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”) Tahun 1998,
atau statuta pendirian dari ICC. Dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma diatur mengenai jenis-jenis
perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi CAH, yaitu:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu
kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya tindakan berikut ini:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-
aturan dasar hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,
pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas
atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan
dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan
berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang
dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi
Mahkamah;
i. Penghilangan paksa;
j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Ketentuan tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma,
yaitu:
a. Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap
penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara
atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut;
b. Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi
tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain menghambat akses terhadap
makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk;
c. Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang
berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan
anak-anak;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi
penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk
tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional;
e. Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan,
baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu,
bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul
secara inheren atau insidental dari pengenaan sanksi yang sah;
f. Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat
hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau
merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat
ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan;
g. Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara
bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau
kolektif;
h. Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan
tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan
sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu dari
kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tesebut;
i. Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan
terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun
organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau
pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk
menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.
j. Adapun yang dimaksud pelanggaran ham berat bilamana memenuhi unsur “Serangan Meluas
atau Sistematik.”
Sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma, salah satu elemen
penting pada CAH yaitu adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik. Terkait dengan
elemen serangan yang meluas, ICTY pada kasus Blaskic telah menyimpulkan bahwa ‘serangan
yang meluas’ dapat dilihat dari jumlah korban dan skala serangan yang massive sehingga
menimbulkan efek yang serius. Masih dalam kasus yang sama, ICTY menyatakan bahwa elemen
‘sistematik’ dicerminkan oleh suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara
menyeluruh dan menggunakan pola yg tetap.
Dalam kasus Kunarac, ICTY menyatakan bahwa serangan terhadap populasi masyarakat
sipil yang tidak turut serta dalam perang sudah cukup untuk memenuhi ketentuan terkait
‘serangan’ sebagaimana dijelaskan dalam Statuta Roma. Serangan pun tidak harus dilakukan
oleh anggota militer.
Terkait dengan populasi, dalam kasus Kunarac disebutkan bahwa konsep ‘populasi’
adalah memiliki fitur khas sama yang menjadikan mereka sebagai target. Menurut Mettraux,
sekelompok orang yang sedang berkumpul tanpa mimiliki fitur khas yang sama, seperti penonton
pada pertandingan bola, tidak memenuhi unsur ‘populasi’ pada Statuta Roma.
Berkaca pada putusan hakim agung yang berpendapat bahwa terdakwa hukumannya
diringankan sebab memiliki jasa besar terhadap Negara, perbuatannya dianggap bukan
pelanggaran ham berat karena tidak memenuhi unsur sistematis, terdakwa bebannya
diringankan sebab setelah melaksanakan islah dengan keluarga korban. Oleh sebab itu
kami bermaksud menganalisi pendapat-pendapat majelis yang dianggap tidak relevan dengan
hukum tersebut.
Dalam kasus akayesu, hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan sebagai
kejahatan kemanusiaan ialah :
Pada kasus Celebicy 16 November 1998, ICTY menyatakan devinisi pembunuhan berdasarkan
pasal 3 konvensi Jenewa yang diratifikasi menjadi uu no 26 tahun 2000 tentang peradilan Ham
menjelaskan bahwa pembunuhan yang disengaja sebagai “pelanggaran berat” (Grave breaches)
dimana keduanya mencakup “niat dari sebagian dari pelaku untuk membunuh, atau
mengakibatkan luka yang berat terhadap hidup seseorang.”
a. Dalam putusan tragedi tanjung priok, majelis hakim semestinya mempertimbangkan hal-hal
yang demikian. Unsur niat melakukan kejahatan (Mens Rea) dan sistematis seharusnya
sudah dipenuhi dalam tragedi tersebut menurut penjelasan diatas. Dalam persiapan
persenjataan misalnya, aparat yang menertibkan masyarakat tanjung priok seharusnya
dianggap mempersiapkan diri dilihat dari persenjataan yang memadai. Meskipun anggapan
banyak orang bahwa lumrah adanya aparat mempersiapkan senjata, namun dengan
pengetahuannya aparat justru mewaspadai senjata tersebut. Yang dalam kelalaiannya
(omission/culpa) apabila digunakan mengakibatkan luka hingga kematian. Dan hal
demikian dijelaskan oleh majelis hakim dalam penyelsaian kasus akayes, Ketika
pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau
menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti
korban seperti itu dapat menyebabkan kematian.
b. Pertanggungjawaban komando (Command Responsibility)
Istilah pertanggungjawaban komando dalam perkembangannya disebut juga
dengan pertanggungjawaban atasan. Yang dimaksudkan agar sekaligus mencakup atasan
yang bukan militer (sipil).
Konsep pertanggungjawaban komando / atasan berlaku bagi seorang atasan dalam
pengertian luas termasuk komandan militer, kepala Negara dan pemerintahan, menteri
dan pimpinan perusahaan. Artinya, bentuk pertanggung jawaban ini tidak terbatas pada
tingkat dan jenjang tertentu, komadan atau atasan pada tingkat tertinggi pun dapat
dikenakan pertanggung jawaban apabila terbukti memenuhi unsur unsur nya. Hal ini
tampak pada putusan putusan pengadilan sejak perang dunia 2.
Akar dari doktrin ini dapat ditelusuri dari melalui sejarah kemiliteran dimann
syarat untuk menempatkan tanggung jawab yang paling besar ada ditangan komandan
militer. Misalnya, seorang komandan militer yang profesional harus selalu: menjalankan
fungsi pengedalian terhadap anak buahnya, mengarahkan dan memberi petunjuk terhadap
anak buahnya mengenai pelaksanaan tugas tugas yang berbahaya, mengawasi
pengawwasan tuggas higga selsesai dan mengambil tindakan disiplinn apabila ada anak
buahya yang tidak atau lalai dalam menyelesaikan tugas.
Kerangka konsep pertanggung jawaban komando setelah perang dunia 2 terdiri dari tiga
asfek :
1. Aspek fungsional : bahwa kedudukan seorang komandan harus menimbulkan
kewajiban untuk bertindak.
2. Aspek kognitif : seorang komandan ‘harus memiliki pengetahuan’ (must have known)
Tentang kejahatan.
3. Aspek operasional : harus ada kegagalan (failure). Untuk bertindak yang dilakukan
komandan.
Doktrin ini kudian menjadi dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain
yang berada diposisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk
bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk
melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehinga terjadi kejahatan.
Keggalan bertindak harus diartikan sebagai tidak melakukan sama sekali atau tidak
melakukan tindakan yang layak sehingga komandan bertanggung jawab
Bentuk petanggung jawaban komando ini berbedengan bentuk pertangguan jawaban
pidana secara individu yang dapat dikenakan kepada komandan atau atasan apabila ia
takut merencanakan, menghasut, memerintahkan, melakukan, membantu dan turut
serta melakukan kejahatan.
Dalam tragedi tanjung priok misalnya, meskipun dalam persidangan disingkap 14
orang terdakwa, namun dalam putusan majelis hakim agung membebaskan ke 14
orang terdakwa tersebut. Dan menurut doktrin pertanggungjawaban komando
(Command Responsibility) seharusnya komandan militer, pejabat Negara bisa
dikenakan pasal, sebab dianggap telah memenuhi unsur-unsur dan aspek-aspek yang
telah dijabarkan diatas.
c. Perampasan kemerdekaan
Pendapat majelis hakim yang mengatakan bahwa penahanan masyarakat tanjung
priok bukanlah penahanan biasa.
Penahanan di dalam Hukum Acara Pidana merupakan kewenangan yang
diberikan penyidik untuk menahan seseorang tersangka yang didasarkan alasan subjektif
dan objektif. Menurut KUHAP Pasal 1 butir 21, penahanan merupakan penempatan
tersangka atau terdakwa di suatu tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau
hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang.
Dan dalam hal penahanan masyarakat tanjung priok tidak sama sekali dikeluarkan
surat perintah penahanan. Pun dalam kaidah hukum acara pidana, boleh dilakukan
penahanan tanpa surat apabila pelaku tertangkap tangan. Namun, dengan alasan logis
apapun polisi tidak berhak menahan masyarakat yang mengunjunginya dan meminta
keadilan terhadapnya.
Kesimpulan
Dari beberapa analisis yuridis atas surat dakwaan, surat tuntutan, putusan hakim dan
fakta-fakta persidangan, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa:
1. Penuntut Umum tidak maksimal dalam menyusun surat dakwaan maupun dalam membuktikan
dakwaannya dalam surat tuntutan pidana.
2. Majelis hakim tidak memposisikan dirinya sebagai hakim yang aktif baik untuk mencari
kebenaran materil dengan tidak memberikan alasan-alasan penolakan yang tidak logis seperti
penahanan terhadap masyarakat tanjung priok yang harusnya perampasan kemerdekaan. Serta
hakim kurang aktif dalam mendalami kasus yang mengakibatkan hakim berpendapat bahwa
tragedi tanjung priok tidak memenuhi unsur Mens Rea dan sistematis.
3. Sekiranya majelis hakim menerapkan hukum pembuktian secara benar maka tindak pidana
penganjuran melakukan pembunuhan berencana seperti apa yang didakwakan pada dakwaan
alternatif pertama telah terbukti secara sah dan menyakinkan.