Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH VIKTIMOLOGI

Perlindungan Terhadap Korban Salah Tangkap

oleh :
Surya Ramadhan (3015210357)/(61)
Rifqi Baihaqi (3015210266)/(56)
Victoria Sherly E.P (3015210372)/(63)
Nabila Riscka (301521072)/(57)
Husna Syahidah (3015210171)/(54)

Dosen VIKTIMOLOGI :
Yunan Prasetyo, S.H.,M.H.
Dibuat dan dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah VIKTIMOLOGI
Kelas E / Ruang 320

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA


PROGRAM SARJANA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral diputuskan dan
dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa. Hukum harus ditafsirkan yang
nyatanya akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkannya, dan penafsir akan
menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang namanya
keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan untuk kelompok mayoritas untuk
menjelaskan apa yang mereka inginkan, dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil
penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum.
Penerapan hukum di Indonesia masih carut-marut, dalam hal ini sudah diketahui dan akui
bukan saja oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang hukum, tetapi juga sebagian besar
masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dengan banyaknya peraturan perundang-undangan, baik yang
menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kehidupan manusia, keteraturan tidak kunjung
datang menghampiri. Malahan hukum kita saat ini tampak kewalahan menghadapi segala macam
permasalahan hukum yang terjadi, sehingga berakibat pada bukan membaiknya kondisi
penegakan hukum, akan tetapi justru memunculkan persoalan-persoalan baru ketimbang
menuntaskannya. Hal inilah yang membuat anggapan bahwa komunitas hukum dianggap sebagai
komunitas yang sangat lamban menangkap momentum pada perbaikan citra penegak hukum pada
umumnya dan lebih khusus lagi membawa pencitraan system hukum di Indonesia bukanlah
sistem hukum yang terburuk di dunia.
Terhadap hal di atas, sungguh pantaslah bagi kita untuk melakukukan perenungan akan
keadaan bangsa ini, sehingga akan muncul suatu pertanyaan, apa yang terjadi dengan hukum
saat ini?. Berbagai usaha telah dilakukan dalam mengatasi keterpurukan hukum, tetapi kadang
apa yang diharapkan tidak sesuai dengan hasilnya, sehingga keterpurukan hukum makin
memburuk.
Dalam hal diatas timbul ide suatu gagasan untuk memilih cara yang lebih progresif, yang
bertujuan untuk mencari cara mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna
dengan mengadakan perubahan secara lebih cepat, melakukan pengembalian yang mendasar,
melakukan pembebasan, terobosan dan lainnya.
Penyidik memiliki kewenangan antara lain kewenangan melakukan penangkapan. Tetapi
dapat terjadi penyidik mempunyai pertimbangan yang keliru dalam melakukan penangkapan
sehingga terjadi kesalahan penangkapan.
Bertolak dari kenyataan ini, maka kami merasa perlu melakukan penulisan hukum ini untuk dapat
melakukan analisa sederhana berkaitan dengan Pertanggungjawaban Penyidik dalam hal
terjadi kesalahan penangkapan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana peranan Polri dalam penegakkan hukum?
2. Bagaimanakah penyebab terjadinya error in persona atau salah tangkap?
3. Bagaimanakah pertanggung jawaban penyidik ketika terjadi kesalahan
dalam penangkapan?
4. Bagaimanakah perlindungan hukum dan bentuk pertanggung jawaban
negara bagi korban salah tangkap?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui bagaimana Peranan polri dalam penegakkan hukum
2. Untuk mengetahui bagaimana penyebab kasus salah tangkap dapat terjadi
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pertanggung jawaban penyidik
ketika terjadi salah tangkap
4. Untuk mengetahui peranan negara dalam perlindungan hukum terhadap
korban salah tangkap
5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Viktimologi

BAB II
PEMBAHASAN

Salah satu contoh kasus korban salah tangkap

Raut wajah bahagia tak tampak dari wajah Andro Supriyanto (21) dan Nurdin
Priyanto (26). Padahal mereka baru saja memenangkan sidang praperadilan tuntutan ganti
rugi atas kesalahan penegak hukum menangkap dan mengadili pada 2013 silam.
Selasa (9/8/2016), Hakim Totok Sapti Indrato memutuskan mengabulkan permohonan
ganti rugi mereka sebesar Rp 72 juta. Padahal, Andro dan Nurdin mengajukan
permohonan praperadilan agar negara mengganti rugi sebesar Rp 1 miliar.
Dalam ketatapannya, Hakim menggugurkan sebagian tuntutan ganti rugi dengan alasan
tidak ada bukti. Rincian tuntutan ganti rugi terbagi menjadi materil dan immateril dengan
Andro meminta ganti rugi materil Rp 75.440.000 dan immateril Rp 590.520.000.
Sedangkan Nurdin, meminta ganti rugi materil Rp 80.220.000 dan immateril Rp
410.000.000. Tuntutan materiil berisi ongkos dan biaya yang dikeluarkan keluarga
mereka dari proses penyidikan hingga persidangan.
Namun, hakim hanya mengakui ganti rugi materiil terhadap kehilangan mata pencaharian
mereka berdua sebagai pengamen, yaitu Rp 150.000 masing-masing per hari, selama
delapan bulan ditahan.
Hakim juga menjelaskan bahwa pembayaran ganti rugi ini tidak dilakukan oleh instansi
yang bersangkutan yaitu Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melainkan
oleh negara melalui Kementerian Keuangan.
Kerugian dan derita akibat salah tangkap
Uang sebesar Rp 36 juta yang diterima masing-masing Andro dan Nurdin untuk memulai
hidup baru dengan berdagang, tak sepadan dengan derita yang mereka rasakan selama
ditahan.
Kasus ini bermula pada 30 Juni 2013, ketika seorang pengamen bernama Dicky Maulana
ditemukan tak bernyawa di jembatan Cipulir. Namun enam orang teman Dicky yang
melaporkan ini justru dicokok oleh kepolisian dan dipaksa untuk mengaku.
Mereka adalah Andro, Nurdin, dan empat orang pengamen lain yang masih di bawah
umur. Mereka dipaksa mengaku dengan cara disiksa, dipukul, disetrum, dan berbagai
macam penyiksaan lainnya oleh polisi. Tak tahan dengan siksaan fisik, mereka akhirnya
mengaku bersalah.
"Saya belum maafin polisi-polisi yang siksa saya," ujar Andro usai persidangan kemarin.

Setelah polisi mendapat pengakuan itu, kasus mereka pun disidangkan dan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dengan hukuman tujuh tahun penjara.
Perjuangan keluarga Andro dan Nurdin tak berhenti sampai di situ, mereka mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menang.
Pasalnya, pembunuh sebenarnya sudah diketahui dan mengaku. Hakim menyatakan
mereka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan. Mereka pun
dibebaskan pada Maret 2014 setelah delapan bulan ditahan.
Putusan itu diperkuat ketika Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang tak terima mereka
dibebaskan, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun ditolak. Meski telah
menghirup udara bebas, keduanya tetap hidup nelangsa. Tak ada orang yang mau
mempekerjakan mereka. Lingkungan dan tetangga pun melihat mereka dengan sebelah
mata. Nurdin bahkan dicerai oleh istrinya sendiri.
Mereka akhirnya hanya mampu kembali ke jalan untuk mengamen. Tuntutan ganti rugi
ini menjadi kesempatan Andro dan Nurdin untuk mengembalikan kerugian yang selama
ini dialami.
Cambuk bagi negara
Kuasa hukum Andro dan Nurdin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Bunga
Siagian, mengatakan meski uang yang diterima jauh dari harapan, dikabulkannya
sebagian permohonan Andro dan Nurdin menjadi cambuk bagi negara.
"Artinya negara sudah mengeluarkan uang karena ketidakprofesionalan institusinya,
dalam hal ini kepolisian juga kejaksaan," kata Bunga.
Bunga mengatakan, Presiden Joko Widodo selaku kepala negara diminta mengevaluasi
lembaga penegak hukum untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi.
"Presiden harus melihat, harus ada evaluasi institusi di bawahnya. Sehingga tidak ada lagi
masalah salah tangkap atau merekayasa bukti yang akhirnya menghasilkan korban salah
tangkap seperti Andro dan Nurdin," ujarnya.
Adapun dasar hukum yang digunakan untuk meminta ganti rugi adalah PP Nomor 92
Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP. Dalam PP ini, pasal mengenai ganti rugi
direvisi. PP Nomor 27 Tahun 1983 yang sebelumnya, mengatur bahwa korban salah
tangkap atau peradilan sesat dapat meminta ganti rugi dengan besaran Rp 5.000 hingga
Rp 3.000.000.
Namun pada 2015 lalu besaran ini direvisi di PP Nomor 92 dengan besaran Rp 500.000
hingga Rp 600 juta. "Setahu kami kasus Andro dan Nurdin ini implementasi yang
pertama atas PP ini," ujar Bunga. Kasus ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi
masyarakat Indonesia. Bunga mengajak agar seluruh korban salah tangkap berani
memperjuangkan keadilan.

Dalam waktu dekat, Bunga juga rencananya akan memperjuangkan hak bagi empat
korban salah tangkap lainnya yang masih di bawah umur.
Kasus diatas merupakan kasus yang berkaitan erat dengan Viktimologi. Viktimologi,
berasal dari bahasa latin victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara
terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab
timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu
viktimalisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu
kenyataan sosial. Viktimologi merupakan istilah bahasa Inggris Victimology yang berasal
dari bahasa latin yaitu Victima yang berarti korban dan logos yang berarti studi/ilmu
pengetahuan. Menurut J.E Sahetapy pengertian Viktimologi adalah ilmu atau disiplin
yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek, sedangkan menurut Arief
Gosita Viktimologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan mengkaji semua aspek yang
berkaitan dengan korban dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupannya.
2.1 Peranan Polri dalam Penegakkan Hukum
Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, ada 3 tugas pokok kepolisian yaitu :
(1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
(2) Menegakkan hukum,
(3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas
Polri dalam mewujudkan penegakan hukum guna terpeliharanya keamanan dan
ketertiban pada hakekatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup (Living law),
karena ditangan polisi itulah hukum menjadi konkrit atau mengalami perwujudannya
didalam masyarakat. Pada posisi ini polisi diharapkan dapat berbuat banyak untuk
berperan dalam penegakan hukum (Law enforcement) dari masyarakat yang
dilayaninya.
Penegakan hukum (Law enforcement) yaitu sebagai suatu usaha untuk
mengekpresikan citra moral yang terkandung di dalam hukum. Citra moral yang
terkadung di dalam hukum bisa ditegakkan melalui aparat penegak hukum. Dilihat
dari aspek normatif tugas polisi sebagai aparat penegak hukum, di atur dalam Undangundang Nomor 2 tahun 2002 dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981. Di samping
tugas polisi sebagai penegak hukum, polisi juga mempunyai tugas memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pertimbangan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas, polisi dituntut
menanamkan rasa kepercayaan kepada masyarakat, karena menegakkan wibawa

hukum, pada hakekatnya berarti menanamkan nilai kepercayaan didalam masyarakat.


Di samping menanamkan nilai kepercayaan kepada masyarakat, polisi juga dituntut
mempunyai profesionalisme dalam menegakkan hukum.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) Profesionalisme berarti mutu;
kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi orang yang professional.
Menurut Komjen (Purn) Imam Sudjarwo Indikator Profesionalisme yaitu;
(1) sesuai peraturan perundang-undangan,
(2) sesuai SOP,
(3) Kapabilitas,
(4) Transparan,
(5) Akuntabilitas,
(6) Humanis,
(7) Tegas dan terukur,
(8) Adil.
Konsep Polisi profesional ini diharapkan sudah menghimpun dan mewadahi
sekalian kualitas pemolisian yang mampu dihadapkan kepada perkembangan
masyarakat. Sejarah profesionalisme polisi pada abad ke-20 berkembang seiring
dengan penggunaan inovasi di bidang teknologi ke dalam pekerjaan polisi.
Pengetahuan tentang metode kerja polisi berkembang sebagai suatu kelompok
pengetahuan khusus yang harus dikuasai seseorang Polisi (Satjipto Rahardjo,
2002:94).
Menurut Anton Tabah (210-211), terdapat lima syarat yang harus dipenuhi agar
profesional, yaitu :
a. Well Motivated, yaitu seorang calon anggota polisi harus memiliki motivasi yang
baik ketika dia menjatuhkan pilihan untuk menjadi polisi. Motivasi tersebut ikut
memberikan warna pemolisian seseorang anggota polisi dalam mengembangkan
kariernya. Weel Motivated dapat dipantau sejak awal, yakni ketika dilakukan
rekrutmen di institusi kepolisian.
b.
Well Educated, yaitu untuk mendapatkan polisi yang baik maka harus dididik
untuk menjadi polisi yang baik. Hal ini menyangkut sistem pendidikan, kurikulum dan
proses belajar mengajar yang cukup ketat, disiplin yang rumit di lembaga pendidikan
kepolisian.
c. Well Trainned, yaitu perlu dilakukan latihan secara terus menerus bagi anggota
polisi melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang
sinkron mampu menjawab berbagai tantangan kepolisian aktual dan tantangan di masa
depan.
d. Well Equipment, yakni menyangkut penyediaan sarana dan prasarana yang cukup
bagi intitusi kepolisian, serta penyediaan sistem dan sasaran teknologi kepolisian yang
baik agar anggota polisi dapat menjalankan tugas dengan baik.
e.
Well fare, yakni diberikan kesejahteraan kepada anggota polisi dengan baik,
menyangkut gaji, tunjangan dan penghasilan lain yang sah yang cukup untuk
menghidupi polisi dan anggota keluarganya.
Profesionalisme merupakan kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri utama
dari orang yang profesional. Profesional Polri adalah sikap, cara berpikir, tindakan,
dan perilaku, pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu kepolisian, yang diabdikan

pada kemanusiaan atau melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset utama
bangsa dalam wujud terpeliharanya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum.
Profesionalisme Polri sangat diperlukan dalam penegakan hukum dengan adanya
Profesionalisme ini diharapkan anggota Polri dapat melaksanakan fungsi dan
peranannya sehingga masyarakat merasakan keberadaan Polri dan merasa aman
(secure and safe) bersamanya. Bebas dari rasa takut (freedom from fear), dalam
menegakkan hukum tidak pandang bulu.
2.2 Penyebab terjadinya error in persona/ salah tangkap dapat terjadi
Lemahnya kemampuan profesionalisme penyidik dalam proses
penegakan hukum
1. Adanya pelanggaran prosedur upaya paksa oleh penyidik
Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan yang berlaku.
Tindakan hukum ini dapat mengurangi dan membatasi hak-hak seseorang, seperti
antara lain penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
pemeriksaan surat. Artinya, apabila aparat penegak hukum melaksanakan tindakan
hukum dengan tidak berdasarkan hukum, tindakan itu pasti merupakan pelangaran
HAM.
Oleh karena mereka menolak dan menyangkal serta tidak mau mengaku, mereka harus
merasakan siksaan yang berat dari oknum petugas kepolisian, dan disinyalir penegak
hukum banyak yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Diantaranya ada
yang tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, oleh karena itu, Hukum Acara
Pidana haruslah mampu menjaga batas antara dilaksanakannya upaya paksa, yakni
penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan baik barang maupun badan
dan pembukaan surat-surat, dengan hak seseorang yang di dakwa telah melakukan
suatu tindak pidana, sehingga dapat dicerminkan bahwa Hukum Acara Pidana masih
dalam ruang lingkup suatu Negara.
2. Kesalahan identifikasi oleh penyidik terhadap korban
tindak pidana pembunuhan
Kasus salah tangkap pelaku tindak pidana ini merupakan akibat dari tindakan para
penyidik yang tidak melakukan suatu proses identifikasi yang akurat terhadap mayat
yang tidak lagi dapat dikenali secara utuh. Mengingat perkembangan zaman saat ini,
dalam membuktikan kebenaran meterill terhadap bersalah dan tidak bersalah
tersangka/terdakwa dalam memberikan keyakinan kepada Hakim, dapat dilakukan
pembuktian dengan cara pembuktian ilmiah berdasarkan keahlian disiplin ilmu lain.
Sesuai perkembangannya, dalam mengusut dan mengadili kejahatan, lahirlah ilmu
tambahan lain pendukung keberhasilan suatu proses penegakan hukum, salah satu
diantaranya adalah Ilmu Kedokteran Forensik. Ilmu forensik adalah suatu ilmu
pengetahuan yang dapat membantu memberi keterangan atau penjelasan bagi peradilan

secara meyakinkan menurut kebenaran ilmiah yng akan mendukung kebenaran peradilan
dalam menetapkan keputusannya apabila ia dijalankan sebagaimana mestinya.
2.3 Pertanggungjawaban Penyidik Dalam Hal Terjadi Kesalahan Penangkapan
Pertanggungjawaban penyidik terhadap terjadinya salah tangkap berdasarkan
KUHAP dapat dilihat dari adanya pemberian sanksi berupa ganti kerugian di
rehabilitasi bagi korban. Perilaku Polri yang bertindak asal cepat sehingga kurang
tepat dan cermat, dengan mementingkan diri sendiri agar penyelesaian tugas
penyidikan dapat berakhir dengan cepat, hal ini yang seringkali dapat menyebabkan
terjadinya kelalaian penyidik dalam melakukan proses penyidikan, sehingga hak asasi
manusia seringkali dikesampingkan yang dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan
penangkapan terhadap seseorang yang tidak bersalah, yang tentu saja dapat merugikan
bagi pihak yang terkait, serta tidak dapat menjaga dan menjunjung tinggi martabat dan
citra Kepolisian itu sendiri.
Kesalahan penangkapan ini merupakan suatu kelalaian penyidik dalam proses
pidana yang mana proses pidana yang dimaksud adalah dalam hal proses penangkapan
yang dilakukan oleh penyidik. Sehingga dalam permasalahan ini dapat diselesaikan
melalui lembaga praperadilan. Penyidik terkadang menangani kasus yang masih
kurang jelas dalam uraian identitas pelakunya dalam melaksanakan tugas, untuk itu
Polri sebagai penyidik terkadang kesulitan untuk menemukan penyelesaian dalam
proses penyidikan. Kesalahan Polri dalam melakukan penangkapan termasuk ke dalam
pelanggaran disiplin maupun pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Republik
Indonesia. Kesalahan dalam melakukan penangkapan dapat dikarenakan kelalaian
penyidik dalam bertugas, menyalahgunakan kewenangannya dalam melakukan
penangkapan maupun dalam proses penyidikan, serta kelalaian anggota kepolisian
dalam melaksanakan setiap tugasnya sehingga tidak patuh dalam peraturan disiplin
anggota Kepolisian.
Kesalahan Polri dalam melakukan penangkapan juga dapat terjadi, dikarenakan
melakukan penangkapan tugasnya. ketidaksesuaian dalam tahap-tahap prosedur dalam
melaksanakan Penyidik sebagai salah satu aparat penegak hukum yang diberi tugas
dan tanggungjawab untuk menegakkan hukum, sehingga tugas dan wewenang yang
dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga penegak hukum. Pengawas
penyidik dalam hal ini berwenang dalam memberikan pengawasan terhadap penyidik
yang apabila jika terjadi penyalahgunaan wewenang melakukan penyidikan, sehingga
dapat diberikan sanksi terhadap penyidik dalam melakukan kesalahan dalam prosedur
penangkapan merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik dalam
melakukan tugas dan wewenangnya.
Penyidik Polri sebagai penegak hukum diharapkan dapat memberikan rasa aman
bagi masyarakat. Masyarakat pada umumnya mengharapkan sosok penegak hukum
yang benar-benar dapat menciptakan keadilan bagi mereka. Penyidik polisi adalah
transparansi proses penyidikan tindak pidana, hal ini disebabkan karena banyak nya
laporan atau pun komplain dari masyarakat mengenai masalah penyidikan Polri.
Realisasi yang ingin dicapai tentu saja mengarah pada sosok penyidik yang mampu
dapat melaksanakan proses penyidikan dengan cepat dan profesional.

2.4 Perlindungan hukum dan bentuk pertanggung jawaban negara kepada korban
Kebijakan hukum pidana terhadap perlindungan korban salah tangkap dalam
tindak pidana pembunuhan di Indonesia
A. Kebijakan Penal ( Penal Policy )
Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum pidana
sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk
mencapai tujuan- tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut, dalam jangka pendek adalah
resosialisasi ( memasyarakatkan kembali ) pelaku tindak pidana, jangka menengah
adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang yang merupakan tujuan
akhir adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial. Hukum pidana disini berfungsi
ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional, serta sebagai
sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan oleh Negara
dengan alat perlengkapannya.
Kebijakan kriminal dengan menggunkan sarana penal ( penal policy ) dalam
perkara salah tangkap yang dimajukan ke depan pengadilan , ditentukan atas dasar
adanya 2 (dua ) masalah , pertama adalah perbuatan apa yang seharusnya dijadikan
tindak pidana yaitu untuk menyatakan seseorang melanggar hukum, pengadilan harus
dapat menentukan kebenaran akan hal tersebut, dan untuk menentukan kebenaran
diperlukan bukti-bukti.
Hal ini dinyatakan dalam muatan KUHAP yang menganut sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif, yaitu dalam Pasal 183 KUHAP yang mengatur
untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, kesalahan harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat
bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebagaimana kasus salah
tangkap oleh Kepolisian Jombang disebutkan bahwa tidak dipenuhinya batas minimal
pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Dan yang kedua adalah rumusan tentang bentuk perlindungan bagi korban akibat
kekeliruan penangkapan, penahanan, penuntutan oleh aparat penegak hukum yang
tidak berdasarkan undang-undang. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia,
apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban bagi
Negara untuk mengupayakan pemulihan kepada korbannya, apakah itu pemulihan
secara materill maupun immaterill. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak- hak
korban tersebut harus dilihat sebagai usaha dari pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia secara keseluruhan. Dan diharapkan Negara dapat menegaskan supaya tidak
ada pelanggaran hak asasi manusia tanpa pemulihan terhadap korbannya.
Dalam kasus ini, korban akibat dari kekeliruan terhadap orangnya atau korban
akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif, mengenai penerapan hukum
ataupun melakukan penangkapan, penahanan ataupun memeriksa dan mengadili tanpa
alasan yang didasarkan undang- undang dan telah di sidangkan di depan persidangan,
Undang-undang No.48 Tahun 2009, Undang-undang No.39 Tahun 1999, KUHP ,
KUHAP serta Peraturan Pelaksanaan KUHAP menghendaki adanya pemberian ganti

kerugian dan rehabilitasi serta kompensasi bagi tersangka/terdakwa yang ditangkap,


ditahan, diadili dan dipidana tanpa alasan yang didasarkan undang-undang.
B. Kebijakan Non Penal ( Non Penal Policy )
Kebijakan penanggulangan kejahatan ini dapat dilakukan tanpa menggunakan
upaya hukum pidana, upaya lain yang dapat dilakukan, adalah penyantunan dan
pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga
masyarakat; penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan
sebagainya; serta kegiatan pengawasan yang efektif dan berkesinambungan oleh polisi
dan aparat keamanan, serta penyantunan dalam rangka mempertanggungjawabkan
kelalaian yang dilakukan oleh alat kelengkapan Negara dan lainnya.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif
penyebab terjadinya peradilan sesat terhadap kekeliruan penangkapan dan tidak
berdasarkan undang- undang, diantaranya rendahnya budaya hukum aparat penegak
hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.
Dalam hal pertanggungawaban terhadap segala tugas yang dijalankan sebagai alat
Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas kenegaraan tesebut adalah Negara.
Dan terhadap oknum penegak hukum, yang dipandang mungkin perlu dikoreksi atau
dianggap tidak cakap menjalankan tugasnya, maka hal tersebut diserahkan
sepenuhunya kepada masing-masing instansi.
Terjadinya penyimpangan tindakan-tindakan yang bersumber dari wewenang
adalah tidak lepas dari tanggung jawabnya sebagai warga Negara dan anggota ABRI,
sehingga tidak lepas dari tanggung jawab pidana, perdata, administratif dan hukum,
disiplin militer serta tatanan masyarakat.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
o Peranan Polri dalam penegakan hukum adalah sebagai penyelidik dan
penyidik suatu kasus, sehingga dapat ditemukan siapa pelaku tindak pidana
tersebut dan dapat diproses secara jalur hukum.
o Penyebab terjadinya error in person bisa juga karena kurangnya informasi
yang akurat mengenai kasus tersebut sehingga membuat para penyidik
melakukan kesalahan dalam penangkapan.
o Pertanggungjawaban penyidikan Polri secara hukum pidana apabila terjadi
salah tangkap atau error in persona dalam melakukan tugas Kepolisian tidak
dapat dipidanakan atau dituntut sesuai penyalahgunaan wewenang
Kepolisian. Penyidik juga tidak berkewajiban untuk menyatakan penyesalan
atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka.
o Bentuk perlindungan hukum dan pertanggung jawaban yang diberikan oleh
negara adalah dengan memberikan ganti rugi, walau terkadang dalam
prakteknya masih belum seutuhnya dilaksanakan.
3.2 Saran
Adanya hal-hal mengenai salah penangkapan, kepada pejabat pembuat suatu
peraturan perundang-undangan, sesungguhnya diperlukan pengawasan terhadap
pelaksanaan penegakan hukum guna penyempurnaan peraturan perundangundangan demi terlaksananya rasa keadilan dan kepastian hukum.
o Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum, penyempurnaan
kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan tugas, fungsi
dan wewenang masing-masing harus di percepat peningkatan kemampuannya
maupun kewibawaan peradilan disertai upaya untuk membina sikap aparat
penegak hukum sebagai pengayom abdi Negara dan abdi masyarakat yang
memiliki keahlian, jujur, tegas, adil, bersih dan berwibawa. Hal ini perlu
dilakukan untuk menepis persepsi masyarakat bahwa belum efektifnya penegakan
hukum di Indonesia tidak terlepas dari kinerja dan sikap penegak hukum. Aparat
penegak hukum yang diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara
professional dan penuh tanggung jawab , serta penguasaan pengetahuan tentang
Hukum Acara Pidana sangat diharapkan dari aparat penegak hukum. Dan dituntut
tumbuhnya kesadaran akan harkat serta martabat manusia yang harus dijunjung
tinggi.
o Kebijakan hukum pidana Indonesia, baik kebijakan penal policy dan kebijakan
non penal policy diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap korban
pelanggaran penegakan hukum tanpa harus diminta secara formal kepada Negara
melalui pengajuan permohonan ke Pengadilan Negeri, melainkan dapat diberikan
setelah adanya putusan yang menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan
suatu tindak pidana dan dinyatakan bebas dari segala dakwaan.
o

Anda mungkin juga menyukai