Anda di halaman 1dari 21

RESUME

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN


(Study Saksi dan Korban Kejahatan)
=BUKU Dr. H. John Kenedi, SH.,M.Hum=

Oleh :
Kelompok 3

Idris 19020069
Raya Lestari 19020095
Ivan Manahan Sihombing 19020013
Silvianda 19020005
Monica Sarah Sirait 19020057

Nama Dosen :YULKARNAINI SIREGAR SH, MH


Mata Kuliah : HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN 2022
RESUME TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP SAKSI DAN KORBAN KEJAHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
Penegakan hukum, khususnya hukum pidana merupakan salah satu tugas pokok dari
negara. Penegakan hukum, pidana yang merupakan suatu proses penyelidikan, penyidikan,
penangkapan dan penahanan sampai ke peradilan, hingga menjadi terpidana di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas). Kesatuan proses itu disebut sistem peradilan pidana (Criminal
Justice System) atau The Integrated Criminal Justice System. Proses penegakan hukum di
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang bermuara kepada keputusan hakim di
pengadilan, cenderung hanya berkutat atau terfokus pada apa yang dilakukan tersangka atau
terdakwa saja. Dalam segi perlindungan hukum semestinya antara pelaku, saksi, dan
korbannya harus memperoleh perlindungan hukum yang sama.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pada Pasal 1 butir 3
menyebutkan bahwa: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”. Selama ini, korban
tindak pidana dapat dikatakan kurang mendapat perlindungan dari negara, baik fisik maupun
secara ekonomi, termasuk juga keperluan-keperluan lainnya dalam memenuhi kewajiban
sebagai saksi dalam suatu proses peradilan. Sementara pelaku tindak pidana selalu diawasi,
mendapatkan perlakuan khusus demi proses hukum, bahkan kepada mereka diberikan makan
dan minum secara teratur.
Berdasarkan realitas tersebut negara melalui lembaga yang resmi pembuat undang-
undang (Legislatif dan Eksekutif) mengeluarkan Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Hal tersebut dimaksudkan agar perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses
sistem peradilan pidana dapat terjamin, karena peranan saksi dan korban sangat penting
dalam mengungkap suatu tindak pidana. Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang tersebut
menyatakan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu tindak pidana yang ia dengan sendiri, ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau
ia alami sendiri.”.

1
Kejahatan adalah suatu hasil dari interaksi sebab dengan adanya interelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, maka pelaku dan korban kejahatan befungsi
sebagai partisipan yang terlibat secara aktif atau pasif dalam suatu kejahatan. Pelaku dan
korban kejahatan tak ubahnya seperti dua sisi mata uang, ada kejahatan maka dapat pula
dipastikan ada korban kejahatan.
Dalam usaha menyelesaikan kasus tindak pidana kejahatan tentunya tidak terlepas
dari mempersoalkan terhadap korban. Rangkaian pernyataan ini, Anthony J. Schembry
mengemukakan bahwa “kejahatan sebenarnya memiliki tiga dimensi, yaitu: Pelaku kejahatan
(criminal actor) dan korban kejahatan (victim)”. Oleh karena itu, pedoman pemidanaan
menjadi kajian sekaligus menjadi tolak ukur berbagai aktivitas para penegak hukum, baik
bagi polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, termasuk juga hakim sebagai
penentu terhadap keputusan bagi terdakwa/pelaku tindak pidana. Pasal 1 butir 2 Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan: “Saksi Pelaku adalah tersangka,
terdakwa atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu
tindak pidana dalam kasus yang sama.” Pada bagian yang lain undang-undang tersebut
mengamanatkan agar negara melalui lembaga yang diberikan wewenang untuk memberikan
perlindungan terhadap saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 1 butir 8 yang berbunyi:
“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK
atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undangundang ini.
Oleh karena itu, keseimbangan perhatian oleh negara khususnya para penegak hukum
terhadap pelayanan bagi pelaku dan korban kejahatan adalah suatu hal yang harus dan
merupakan suatu kemestian. Jadi, baik pelaku kejahatan maupun korban kejahatan wajib
diperlakukan secara seimbang antara hak dan kewajibannya. Karena korban sesungguhnya
menjadi subyek konkrit yang selama ini justru hilang dari perhatian. Pasal 1 butir 10
dicantumkan secara lengkap mengenai ganti kerugian terhadap korban atau keluarganya.
Ganti kerugian yang dimaksud diistilahkan dengan kompensasi. Pasal 1 butir 10 tersebut
berbunyi: “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada
korban atau keluarganya”. Berkaca dengan pasal di atas, dalam kasus-kasus kejahatan yang
menimbulkan korban tanpa upaya perlindungan fisik dan psikis (perhatian terhadap hak-hak
dan kedudukan si korban), maka seolaholah negara melakukan pembiaran terhadap korban.
Korban terkesan harus pasrah kepada semua keadaan, musibah, dan penderitaan yang
menimpa mereka.

2
Mereka terkesan dipaksa agar menerima kenyataan dan harus puas dengan tindakan
penangkapan dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan. Padahal, pada kenyataannya
bentuk-bentuk sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku sering dirasakan tidak seimbang atau
tidak setara dengan penderitaan dan kerugian yang dialami korban. Atas dasar entitas di atas,
agaknya pendapat Schafer dapat dikedepankan, dimana ia menyatakan bahwa “Sebenarnya
pelaku kejahatan itu bertanggung jawab terhadap kerugian fisik, moral, maupun nyawa
korban”. Hubungan antara pelaku kejahatan tindak pidana dan korbannya merupakan dua hal
yang tidak terpisahkan.
Oleh sebab itu, sanksi yang dikenakan dalam konteks hukum pidana secara realitas
harus ditujukan untuk mengembalikan keseimbangan lebih baik bagi pihak korban yang
terganggu oleh perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, maka sanksi pidana yang
dikenakan diharapkan dapat menyelesaikan konflik dan mendatangkan kedamaian di antara
para pihak. Kondisi di atas direspon oleh undang-undang dengan memberikan ganti rugi oleh
pelaku tindak pidana atau pihak ketiga yang mewakili pelaku, yang disebut dengan restitusi,
sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 1 butir 11 yang berbunyi: Restitusi adalah ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Jaminan perlindungan hukum di dalam sistim peradilan pidana di Indonesia,
semestinya sudah diberikan mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan. Misalnya ketika
pelaksanaan penahanan, mereka mendapat jaminan konsumsi yang telah ditetapkan oleh
negara dan diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana yang
dimaksud di dalam Pasal 54 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pelaku tindak pidana diberikan pula hak ingkar
terhadap hakim dan hak untuk tidak menerima keputusan pengadilan yang berupa perlawanan
(yaitu banding dan kasasi) serta hak untuk peninjauan kembali (PK) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (12) KUHAP. Disamping itu, yang lebih menarik adalah ketika
pelaku kejahatan telah dieksekusi/telah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan,
mereka mendapat perhatian dan fasilitas antara lain: Tempat tidur, makan, perawatan medis,
pendidikan dan pelatihan kerja, serta mendapatkan bantuan psikologis. KUHAP yang berlaku
di Indonesia belum memberikan perhatian khusus yang berpihak kepada korban.

3
Dengan kata lain, kepentingan dan perlindungan bagi hak-hak korban, kerugian fisik
dan psikis, serta penderitaannya seolah terabaikan. Perhatian terhadap korban memang belum
diatur lebih lanjutsecara eksplisit di dalam regulasi turunan dari hukum Belanda tersebut.
Berangkat dari kenyataan ini, maka tim peneliti mencoba untuk mengetahui, memahami,
serta menganalisis seberapa jauh perundang-undangan mengakomodir persoalan
perlindungan korban tindak pidana, dan bagaimana praktek dalam pelaksanaannya.
Sehingga selanjutnya dapat diketahui seberapa besar perlindungan terhadap korban
kejahatan yang telah diimplementasikan dalam kehidupan berkeadilan, diantaranya:
1. Untuk menganalisis kedudukan dan hak-hak perlindungan hukum bagi korban kejahatan
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sebelum dan setelah diberlakukanya Undang
Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
2. Untuk mengetahui faktor penyebab belum adanya keseimbangan perhatian dan perlakuan
terhadap korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
sebelum diberlakukanya Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
3. Untuk menganalisis hak-hak perlindungan hukum bagi korban kejahatan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia setelah diberlakukanya Undang - Undang Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban telah terpenuhi dengan baik.

4
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SAKSI DAN KORBAN KEJAHATAN
A. Pengertian Saksi dan Korban Kejahatan
Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang berarti orang yang melihat
atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Pasal 1 butir 26 KUHAP berbunyi “saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri. Pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, saksi mengandung arti sebagai orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri.
Selanjutnya pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan : “Keterangan saksi adalah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu”. Dengan demikian ada tiga hal yang diterangkan Saksi yakni : yang
ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan yang ia alami sendiri. Keterangan saksi tidak perlu
harus mengetahui semua kejadian/peristiwa tersebut asal dilihat sendiri atau didengar/dialami
sendiri merupakan keterangan Saksi.
Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam
suatu proses persidangan. Hal ini tergambar jelas dalam Pasal 184 – 185 KUHAP yang
menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lainnya. Urutan ini
merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan.
Mengingat kedudukan saksi sangat penting dalam proses peradilan, tidak hanya dalam proses
peradilan pidana, namun juga proses peradilan yang lainnya, dan tidak adanya pengaturan
mengenai hal ini, maka dibutuhkan suatu perangkat hukum khusus yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap saksi.
Pengertian korban dalam kajian victimologi adalah; secara etimologi berasal dari
bahasa latin “victima”, yang berarti korban, dan “logos” yang berarti ilmu. Secara
terminologi, victimologi, yang berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban,
penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat menimbulkan korban, yang merupakan
masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Kata “korban” sesungguhnya memiliki arti
yang bervariasi serta terus berkembang. Ia dapat pula mengakibatkan beragam penafsiran
makna. Berbagai macam pengertian terhadap kata “korban”, dikemukakan oleh para ahli
maupun definisi-definisi yang bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang

5
membahas persoalan yang berkenaan dengan korban kejahatan. Sebagian diantaranya adalah
dikemukakan oleh Iswanto dan Angkasa sebagai berikut:
1. Suatu makhluk hidup yang dikorbankan kepada dewa atau alam dalam melaksanakan
upacara agama.
2. Seorang yang dibunuh atau di aniaya denda atau oleh orang lain, seorang yang mengalami
penindasan, kerugian atau penderitaan.
3. Seorang mengalami kematian atau luka-luka dalam berusaha menyelamatkan diri.
4. Seorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan, seorang yang di pekerjakan
atau di manfaatkan secara sewenang-wenang dengan tidak layak.
Sejatinya ketika membahas persoalan korban, maka ia tidak lepas dari membahas budaya
dan peradaban. Mengacu pada Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 butir
3, Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Muladi mengemukakan bahwa korban adalah orang-orang baik secara individu maupun
secara kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik maupun kerugian mental,
emosional, atau gangguan substansi terhadap hak-haknya yang fundamental,melalui
perbuatan atau kondisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk
penyalagunaan kekuasaan Menurut Undang Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi,korban adalah orang-perorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan atau mengalami pengabaian atau perampasan hak-hak dasarnya.
Arif Gosita mengatakan bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmani dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lainyang bertentangan dengan kepentingan dan hakasasi yang menderita, ia
dapat bersifat individu atau kelompok, baik pemerintah ataupun swasta.
Angkasa dalam bukunya tetang “Viktomologi” mengemukakan bahwa korban disini
termasuk di dalamnya antara lain korban akibat dari kejahatan atau perbuatan yang dapat
dihukum (victim of crime), korban kecelakaan (victim of acident), korban bencana alam
(victim of natural disaster) korban kesewenang-wenangan atau korban atas pelanggaran hak
azasi manusia (victim of ilegal a buses of economik power).
Berdasarkan beragam pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa
korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung
menderita dari sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian
penderita bagi diri dan/atau kelompoknya saja, bahkan bisa lebih luas lagi.

6
Sehingga, pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa pengertian korban itu bukan khusus
manusia saja atau perorangan saja, namun juga berlaku untuk badan hukum, badan usaha,
kelompok organisasi termasuk juga negara. Sangat luasnya pengertian subyek hukum ini
sebab badan hukum atau kelompok itu juga melaksanakan hak dan kewajiban yang dilindungi
oleh hukum atau subyek hukum tersebut dapat juga merasakan penderitaan atau kerugian dari
kepentingan yang dimilikinya disebabkan perbuatan diri sendiri atau orang lain. Berdasarkan
maksudnya, pengertian-pengertian “korban” sebagaimana yang dikemukakan di atas dapat
dibagi menjadi dua:
 Pertama, korban dalam artian “sacrifical”, yakni bentuk korban yang dihubungkan
dengan hal-hal yang bersifat metafisik, supranatural, dan hal-hal ritual, misalnya korban
dalam upacara keagamaan.
 Kedua, korban dalam artian secara keilmuan (victimological), yaitu tidak termasuk
dalam pengertian yang pertama.
Dijelaskan oleh Iswanto bahwa korban dalam artian yang kedua ini adalah korban yang
terlahir sebagai akibat perbuatan yang disengaja atau kelalaian kemauan, suka rela, atau
dipaksa atau ditipu, bencana alam yang kesemuanya benar-benar berisi penderitaan jiwa,
raga, harta, dan moril serta sifat ketidakadilan. Secara lengkapnya korban tindak pidana
adalah “orang-orang yang secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan,
meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis, atau
pengurangan substansial, hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-
pembiaran yang melanggar hukum pidana.
Adapun pengertian lainnya terkait perlindungan saksi dan korban menurut Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat pada pasal 1 :
1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
2. Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan
penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
3. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
4. Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada
penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.
5. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah

7
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
6. Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung
maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau Korban merasa takut atau dipaksa untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian
kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
7. Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, orang yang mempunyai
hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban.
8. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh
LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.
9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
10. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada Korban
atau Keluarganya.
11. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga.
B. Jenis – Jenis Saksi
Dalam KUHAP dan dalam praktek dikenal beberapa macam jenis saksi yaitu :
1. Saksi Korban
Korban disebut sebagai saksi karena status korban di pengadilan adalah sebagai saksi
yang kebetulan mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri
peristiwa tersebut. Dalam KUHAP pasal 160 ayat (1) huruf b dikatakan bahwa di
ruang sidang yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi
saksi
2. Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa)
Saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan
keterangan atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan terdakwa, yang terdapat
dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP.
3. Saksi A De Charge (saksi yang meringankan terdakwa)
Saksi ini dipilih atau di ajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat
hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan akan meringankan atau
menguntungkan terdakwa, yang terdapat dalam pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP.

8
4. Saksi Ahli
Yaitu seseorang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian khusus mengenai sesuatu
yang menjadi sengketa yang memberikan penjelassan dan bahan baru bagi hakim
dalam memutuskan perkara.
5. Saksi de Auditu
Saksi de Auditu atau di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de
auditu atau sering di sebut juga dengan saksi hearsay adalah keterangan seorang saksi
yang hanya mendengar dari orang lain atau bisa disebut dengan report, gosip, atau
rumor. Saksi ini merupakan saksi yang keterangannya bukan ia lihat, ia dengar
maupun ia alami sendiri melainkan pengetahuannya tersebut didasarkan dari orang
lain. Saksi ini bukanlah alat bukti yang sah, akan tetapi keterangannya perlu di dengar
oleh hakim untuk memperkuat keyakinannya.
6. Saksi Mahkota (Kroongetuide)
Menurut Firma Wijaya, saksi mahkota atau crown witnes adalah salah satu seorang
tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana
yang ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku lain dengan iming-
iming pengurangan ancamaman hukuman.
7. Saksi pelapor (Whistleblower)
Saksi pelapor adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami, atau terkait dengan
tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada
peyelidik atau penyidik. Dalam KUHAP Pasal 1 angka 24 dikatakan : “Laporan
adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana”.
Yang berhak mengajukan laporan menurut pasal 108 KUHAP, adalah :
a. Setiap orang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana;
b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman umum dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau hak
milik;
c. Setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa pidana.

9
8. Saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator)
Saksi ini adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia
membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan
terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak
pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum
serta memberikan kesaksian dalam proses peradilan.

C. Jenis-jenis Korban dan Dampak Negatif Akibat Kejahatan (Tindak Pidana)


Obyek yang menderita tersebut antara lain: Korban individual, korban kolektif, korban
abstrak, dan korban pada diri sendiri (pribadi).
1. Korban individual, yaitu korban yang diderita oleh seseorang secara individu,
misalnya seseorang yang mati karena pembunuhan, dianiaya, diperdaya;
2. Korban kolektif, yaitu korban yang dialami oleh beberapa orang secara bersama,
korban kolektif misalnya, korban pembantaian dengan tujuan pemusnahan suku atau
etnik tertentu, korban perang antar golongan. Termasuk dalam hal ini kerugian
konsumen dalam suatu produk perusahaan sebagaimana yang terjadi dalam tragedi
Thali Domide Afatir, di mana ratusan bayi terlahir cacat sebagai akibat dari konsumsi
obat yang dipropagandakan dapat melindungi bayi yang sedang dikandung oleh
seorang ibu;
3. Korban abstrak, adalah jenis korban yang sulit untuk dilihat secara jelas bahwa
seseorang menjadi korban, misalnya korban kejahatan dan pelanggaran terhadap
ketertiban umum;
4. Korban pada diri sendiri, yaitu korban yang terjadi pada suatu jenis kejahatan, atau
disebut “dengan kejahatan tanpa korban” (crime without victim) disebut juga korban
sekaligus pelaku, karena yang menjadi korban adalah pelakunya sendiri, seolah-olah
tidak ada korban. Contoh jenis ini korban aborsi, pecandu obat, judi, bunuh diri dan
lain-lain. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa kerugian yang dialami korban
tidak hanya fisik namun meliputi: Fisik, psikis, dan mental (phisical or mental
injury),penderitaan emosional (emotional suffering) kerugian ekonomi (economic
loss) atau perusakan substansial dari hak asasi para korban (substantial impairment of
their fundamental right). Tentunya kesemua korban yang mengalami tindak kejahatan
akan merasakan dampak negatif berupa kerugian atau penderitaan yang
menimpahnya, khususnya tindak pidana kekerasan.

10
Adapun dampak negatif akibat kejahatan terhadap korban dapat diklasifikasikan
kepada tiga, meliputi; luka fisik, kerugian materi, kerugian sosial dan psikologis. Secara
rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Luka fisik
Korban seperti ini, tergolong yang mudah terlihat jika dibandingkan dengan jenis
penderitaan lainnya. Tentunya mempunyai dampak yang bervariasi sesuai tingkat
keseriusan luka yang diderita oleh korban. Jika penganiayaan itu hanya yang
ringan tentunya tidak terlalu dihiraukan sebagaimana luka fisik, semua kegiatan
atau aktifitas tentunya tidak terganggu. Korban akan sangat terganggu dan
merasakan sebagai penderitaan yang serius, apabila mengalami luka fisik yang
berat. Apalagi jika salah satu anggota badan tidak dapat berfungsi sebagaimana
biasa karena cacat bahkan menjadi cacat seumur hidupnya.
b. Kerugian materi
Kejahatan terhadap harta kekayaan, misalnya pencurian, baik pencurian biasa atau
dengan kekerasan masuk dalam kategori ini. Kejahatan yang demikian akan
menimbulkan kerugian di bidang materi bagi korban berupa uang, perhiasan,
kendaraan, pintu rumah dirusak, kaca kendaraan di pecahkan, serta kerugian-
kerugian lain yang timbul karena itu. Belum lagi kerugian lain sebagai akibat dari
terjadinya tindak pidana, misalnya biaya perbaikan, biaya berobat, biaya
transportasi dan akomodasi manakala mereka harus datang ke pengadilan selama
proses hukum. Apalagi penyelesaian pemeriksaan perkara yang memerlukan proses
sidang yang berulang kali, dimana kehadiran korban sangat diperlukan sebagai
saksi.
c. Kerugian sosial dan psikologis
Bahwa secara umum, korban merupakan individu atau kelompok yang menderita
secara fisik,mental, dansosial karena tindakan kejahatan. Dampak sosial dan
psikologi sangat terasa dialami oleh korban kejahatan seksual, dalam hal ini
perkosaan, yaitu mengalami tekanan batin yang sangat dalam seperti: Perasaan
malu, perasaan kotor, dosa, dan merasa kehilangan masa depan, termasuk juga
sering mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat karena menjadi sorotan dan
pergunjingan serta dikucilkan. Terakhir, ia menjadi merasa terasing dari
sekelilingnya (alienasi). Kerugian dari aspek ini cenderung lebih berat dan lebih
trauma yang dialaminya

11
BAB III
PENGATURAN DAN LEMBAGA PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP SAKSI DAN KORBAN
A. PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN
Untuk memberikan rasa aman bagi saksi dan atau korban, maka kebijakan legislative
yang tertuang dalam undang-undang ini mewujudkannya dalam bentuk pemberian dan
penjaminan hak-hak saksi dan atau korban, disamping diwujudkan dalam bentuk usaha
perlindungan secara fisik dan psikis bagi saksi dan atau korban. Secara spesifik/ tujuan
dari pemberian perlindungan khusus bagi saksi dan korban adalah :
a) Mendorong korban/saksi kekerasan untuk berperan serta dalam proses investigasi
dan penuntutan hukum melalui adanya peraturan/prosedur yang menciptakan rasa
aman secara fisik dan psikologis.
b) Mengurangi trauma yang dialami korban/saksi
c) Melindungi korban/saksi dari kekerasan, serangan pembalasan ataupun stigmatisasi.
d) Menghasilkan penghukuman bagi yang bersalah melakukan kejahatan.
Semua upaya ini dilakukan tanpa mengurangi peluang yang wajar bagi pihak tertuduh
untuk melakukan pembelaan diri.
Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur perlindungan
terhadap saksi maupun korban. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud :
1. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No.8 Tahun
1981).
Diharapkan masyarakat hukum dunia setuju pada kepentingan seseorang yang
diduga melakukan tindak pidana sehingga hak tersangka atau terdakwa mendapat
perhatian dalam keterbukaan hukum dunia termasuk KUHAP.
Namun demikian harus diakui beberapa ketentuan KUHAP berusaha melindungi
saksi dan/ atau korban nantara lain :
a. saksi memberikan keterangan di depan penyidik tanpa tekanan apapun (Pasal
117 (1) KUHAP).
b. saksi bebas dari pertanyaan yang menjerat (Pasal 177 KUHAP).
c. saksi berhak mendapatkan penterjemah
d. hak untuk mendapatkan penggantian biaya (Pasal 229 KUHAP)
Sesuatu yang perlu disadari bahwa pada saat pembuatan KUHAP masyarakat
hukum dunia tertuju pada kepentingan seseorang yang dituduh melakukan tindak
pidana sehingga hak tersangka atau terdakwa mendapat perhatian dalam ketentaun

12
hukum di dunia, termasuk di dalam KUHAP. Hal ini dapat dimengerti, karena pada saat
itu terjadi kesewenangan terhadap seseorang yang disangka serta didakwa melakukan
suatu tindak pidana. Selain hal tersebut pada proses peradilan yang berlangsung
sekarang lebih tertuju pada semangat untuk menghukum terdakwa yang pada akhirnya
melupakan keadilan dan pemulihan hak bagi pihak lainya yaitu saksi, korban maupun
pelapor.
Kepedulian yang besar kepada tersangka/terdakwa menimbulkan persepsi bahwa the
pendulum has swung too far, karena seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang
terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi dan korban.
2. Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa saksi atau korban memiliki peran yang
penting dalam menyelesaikan permasalahan hukum. mereka adalah orang yang
mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Sehingga,
dengan status tersebut keterangannya sangatlah dibutuhkan dalam uapaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Keterangan saksi dari atau korban merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam
proses peradilan. Ia juga menjadi salah satu bahan pertimbangan utama hakim dalam
mencari fakta, guna memperoleh keputusan yang seadil-adilnya dalam proses sidang di
pengadilan.
Bukan suatu hal yang tidak mungkin manakala suatu ketika saksi ataupun korban
tidak berani memberikan keterangan yang asli atau berpura-pura tidak mengetahui
kejadian yang sebenarnya, dikarenakan adanya tindakan teror/ancaman dari pihakpihak
tertentu, baik berupa ancaman fisik ataupun psikis yang menimpa dirinya, keluarganya,
atau harta bendanya. Terbitnya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu solusi yang diberikan pemerintah
dalam penyelesaian permasalahan hukum di Indonesia. Salah satunya ialah dibentuknya
lembaga khusus tersebut mempunyai tugas dan wewenang memberikan perlindungan
dan hak-hak pada saksi dan korban pada semua tahap proses peradilan pidana.
Lembaga khusus yang dimaksud oleh undang-undang adalah Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia dan membuka kemungkinan adanya perwakilan-perwakilan di
penjuru Tanah Air sesuai dengan keperluan. Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

13
Korban mendefinisikan istilah “korban” dalam arti yang luas, yaitu: “Seseorang yang
mengalami penderitaan tidak hanya fisik ataupun mental atau ekonomi, tetapi bisa saja
kombinasi diantara ketiganya”.
Pada Pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut mengatur beberapa hak yang
diberikan kepada saksi dan korban yaitu:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi dan harta bendanya, serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan sedang atau akan
diberikan;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pernyataan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya
j. mendapatkan identitas baru;
k. mendapatkan tempat kediaman sementara
l. mendapatkan tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transfortasi sesuai dengan kebutuhan;
n. mendapat nasehat hukum;
o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir dan/atau .
p. mendapat pendampingan
Hak perlindungan yang dimaksud pada ayat (1) di atas diberikan kepada
saksi/korban dalam kasus - kasus tertentu sesuai keputusan lembaga. Adapun kasus-
kasus tertentu itu meliputi perkara-perkara tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme
dan tidak pidana lain yang mengakibatkan saksi/korban dihadapkan pada posisi yang
sangat membahayakan.
Selain bentuk perlindungan sebagaimana di atas, saksi/korban juga memperoleh
perlindungan selama proses peradilan pidana yang berupa:
1. Dapat memberi kesaksian dengan tindak mesti hadir dipengadilan setelah
mendapat izin dari hakim, pasal 9 ayat (1).

14
2. Saksi/korban, atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Korban pelanggaran HAM berat tidak hanya berhak mendapat perlindungan
sebagaimana yang disebut pada Pasal 5 di atas, tetapi juga berhak mendapatkan bantuan
medis, rehabilitasi, dan psikososial oleh psikolog. Pasal 6 huruf (b) undang-undang
tersebut juga menjamin pemulihan psikologis pasca traumatik. Sedangkan Pasal 7 ayat
(1) membuka kemungkinan hak kompensasi/ganti rugi yang menjadi tanggung jawab
pelaku dan hak restitusi bagi korban. Adapun yang menjadi restitusi yang diperoleh
oleh korban terhadap pelaku adalah terdapat pada pasal 7A;
(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung
sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
LPSK.
(3) Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.
(4) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada
penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
(5) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada
pengadilan untuk mendapat penetapan.
(6) Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada
Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.

B. LEMBAGA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN


Dalam hal ini, yang menjadi Lembaga Perlindungan Hukum terhadap Saksi dan Korban
adalah LPSK. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan
pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pelaksana kehendak
pemerintah. LPSK adalah lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggung jawab untuk

15
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas
dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dibentuk dengan memakan waktu yang cukup panjang. Undang Undang Perlindungan Saksi
dan Korban menyebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung
jawab kepada Presiden. Namun seiring perkembangannya tampak beberapa kelemahan yang
cukup signifikan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya mengenai:
a. kelembagaan yang belum memadai untuk mendukung tugas dan fungsi LPSK dalam
memberikan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban;
b. keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi penjabaran dari tugas dan fungsi
LPSK yang berimplikasi pada kualitas pemberian layanan Perlindungan Saksi, Korban,
Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli;
c. koordinasi antarlembaga dalam pelaksanaan pemberian Kompensasi dan Restitusi; dan
d. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Dari kelemahan tersebut, diperlukan perubahan pengaturan tentang perlindungan saksi
dan korban dalam Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur antara lain:
1. penguatan kelembagaan LPSK, antara lain peningkatan sekretariat menjadi sekretariat
jenderal dan pembentukan dewan penasihat;
2. penguatan kewenangan LPSK;
3. perluasan subjek perlindungan;
4. perluasan pelayanan perlindungan terhadap Korban;
5. peningkatan kerja sama dan koordinasi antarlembaga;
6. pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap Saksi Pelaku;
7. mekanisme penggantian Anggota LPSK antarwaktu;
8. perubahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Disebutkan pula bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk
memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban pada semua tahap
proses peradilan pidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Tujuan Undang-
undang ini adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam
memberikan keterangan pada proses peradilan pidana. LPSK memiliki visi yaitu:
“Terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana”. Visi tersebut

16
mengandung maksud bahwa lembaga ini diberikan mandat oleh undang-undang selaku focal
point dalam memberikan perlindungan saksi dan/atau korban.
Lembaga ini dituntut memiliki kemampuan untuk mewujudkan suatu kondisi dimana
saksi dan/atau korban benar-benar merasa terlindungi sehingga lebih leluasa untuk
mengungkap kasus di dalam peradilan pidana. Sedangkan beberapa misi yang diembannya
meliputi:
1. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam
peradilan pidana.
2. Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban.
3. Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan
korban.
4. Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam
rangka pemenuhan hak saksi dan korban.
5. Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipasi masyarakat dalam perlindungan
saksi dan korban.
Lembaga ini, menurut Benny Prawira, bahwa LPSK sebagai lembaga yang
mendapatkan amanah dari undang-undang utuk melaksanakan perlindungan dan pemberian
bantuan bagi saksi dan korban harus terus melaksanakan tugasnya secara maksimal sejak
terbentuk pada tahun 2008 lalu.
Adapun dalam menyelenggarakan tugasnya, LPSK berwenang:
a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang
terkait dengan permohonan;
b. menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan
kebenaran atas permohonan;
c. meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari
instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan; d. meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
e. mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mengelola rumah aman;
g. memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;
h. melakukan pengamanan dan pengawalan;
i. melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; dan
j. melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.

17
Tata Cara pemberian Perlindungan terhadap saksi dan korban dipaparkan dalam pasal 29 ayat 1
dan 2, UU No. 31 Tahun 2014 Perubahan No. 13 Tahun 2006 yang berbunyi :
(1). Tata cara memperoleh Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yakni sebagai berikut:
a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan
pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf
a; dan
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan
Perlindungan diajukan.
(2). Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan.
Dalam hal tertentu yang dimaksud adalah Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi
Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali. Tentunya izin
yang dipelukan harus sesuai prosedur yang berlaku dan adapun izin yang tidak diperlukan dalam hal:
1. orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang bersangkutan;
2. orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan
kesaksian;
3. orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali;
4. anak tidak memiliki orang tua atau wali; atau
5. orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.
Maka Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang tidak
memerlukan izin orang tua atau wali akan diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat atas permintaan LPSK, maka dalam hal ini si anak tidak perlu mengurus pengajuan
permohonan oleh dia sendiri.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatandalam sistem peradilan pidana,
baik secara teoritis maupun praktis belum mendapat perhatian yang memadai.
Kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi yang
menjadi pelengkap atau hanya bagian kecil dari upaya pencarian terhadap
kebenaran materil. Hak-hak perlindungan korban menurut undang-undang tidak
seimbang dengan hak-hak yang diberikan kepada pelaku kejahatan. Kendatipun
ada perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, namun sifatnya masih sangat
parsial dan abstrak berupa perlindungan tidak langsung.
2. Faktor penyebab belum memadainya perlindungan hukum bagi korban kejahatan
disebabkan karena aliran-aliran dalam hukum pidana, kriminologi, dan sistem
peradilan pidana selama ini masih berorientasi pada pelaku kejahatan (criminal
oriented). Doktrin yang menyatakan bahwa “masalah utama yang diperhatikan
dalam hukum pidana adalah kejahatan, kesalahan, serta pidana” lebih diutamakan
ketimbang perlindungan korban kejahatan. Dengan kata lain, sistim hukum pidana
di Indonesia termasuk KUHP kebanyakan memperhatikan hak asasi pelaku
kejahatan, bukan berpihak kepada korban. Pada tataran hukum formal, porsi
perlindungan terhadap pelaku tindak pidana (retributive justice) lebih banyak
ketimbang perlindungan terhadap korban kejahatan.
3. Pengaturan mengenai tata cara pemberian perlindungan saksi dan korban terdapat
dalam Pasal 29, UU No. 31 Tahun 2014 Perubahan atas UU N0. 13 Tahun 2006
tentang tata cara pemberian perlindungan saksi dan korban. Sebelum LPSK
memberikan perlindungannya, saksi dan/atau korban haruslah mengajukan
permohonan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh LPSK, yang terkadang
dirasakan berat oleh saksi dan korban untuk melakukannya, namun setelah adanya
perubahan undang-undang tersebut maka Pasal 29 ditambah adanya pasal 2 yang
berbunyi “Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa
diajukan permohonan”. Jadi dalam hal ini perubahan tersebut memberikan
kemudahan bagi korban yang tidak mampu mengajukan permohonan karena hal
tertentu agar tidak dibebani oleh urusan administrasi demi mendapatkan keadilan.
Contohnya adalah ketika anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban.

19
B. Saran
1. Sudah saatnya pemerintah merevisi perundang-undangan yang ada saat ini, khususnya
KUHP dan KUHAP. Aspek-aspek perlindungan terhadap korban haruslah terakomodir
agar hak-hak saksi/korban dapat diperhatikan untuk kemudian dipenuhi sehingga lahirlah
keseimbangan antara kepentingan korban kejahatan dengan kepentingan pelaku
kejahatan.
2. Pemerintah secepatnya mewujudkan pusat-pusat pelayanan perlindungan korban
kejahatan, utamanya pada setiap wilayah hukum di seluruh Indonesia. Pusat pelayanan
perlindungan korban yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta fasilitas
pendukung yang memadai. Sehingga setiap laporan atau pengaduan dari korban dapat
segera direspon guna menghindari berlarut-larutnya penderitaan fisik, mental, dan sosial
yang dialami oleh korban kejahatan. Selain dimanfaatkan untuk melakukan pelayanan,
pusat-pusat penelitian seharusnya juga dapat difungsikan sebagai sarana pengembangan
sumberdaya manusia, di mana berbagai bentuk pelatihan atau keterampilan bagi aparat
penegak hukum dilaksanakan.
2. Saksi dan/atau korban haruslah terlebih dahulu mengerti akan prosedur dalam pengajuan
permohonan perlindungan terhadap LPSK dan persyaratan apakah yang harus dipenuhi.
Disamping LPSK juga wajib memberikan kemudahan untuk saksi dan/atau korban serta
pihak terkait lainnya dalam hal mengajukan permohonan walaupun korban/saksi bukan
seorang anak-anak, pemenuhan persyaratan serta hal-hal terkait lainnya yang sulit untuk
di pahami oleh mereka. Dengan begitu perbaikan akan UU Perlindungan Saksi dan
Korban akan sangat membantu LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dan
yang tidak kalah penting adalah sosialisasi tentang kehadiran LPKS yang sangat penting
dilaksanakan agar masyarakat luas semakin mengetahui secara jelas tentang bagaimana
kinerja dari LPSK.

20

Anda mungkin juga menyukai