Anda di halaman 1dari 10

RESTITUSI SEBAGAI MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PEMULIHAN

TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA DITINJAU DARI UU NO. 31


TAHUN 2014 TETANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Lani Warisman1, Hudi Yusuf, S.H., M.H.2


Fakultas Hukum, Universitas Bung Karno
laniiwariisman@gmail.com

Abstrak
Korban tindak pidana memiliki keterbatasan peran dalam memberikan kesaksian
sebagai saksi dan korban. Dan sering kali tuntutan pidana atau putusan yang dijatuhkan
oleh hakim kurang memihak kepada korban. Hal ini dikarenakan, sistem peradilan
pidana di indonesia bertujuan untuk mengadili pelaku tindak pidana, bukan memenuhi
kepentingan korban. Perlindungan yang dimaksud salah satunya ialah melalui restitusi
sebagai bentuk ganti rugi yang diberikan kepada korban oleh pelaku sesuai dengan
Pasal 11 angka 11 UU Perlindungan Saksi dan Korban. Berdasarkan uraian diatas,
maka hal yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah 1)
Bagaimana mekanisme pelaksanaan pengajuan dan pemberian restitusi bagi korban
tindak pidana berdasarkan UU No 31 Tahun 2014 2) Apa kendala dan tantangan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memfasilitasi bagi korban
tindak pidana untuk mendapatkan restitusi. Penelitian ini meripakan studi empiris yang
menggunakan metode analisis peraturan perundang-undangan. Pendekatan yang
digunkan bersifat deskriptif analitis dengan studi observasi untuk memastikan dan
mengkaji hak restitusi sesuai dengan ketentuan yang telah diresmikan. Tujuan dari
studi adalah untuk menilai implementasi peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang diterapkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Data yang
digunakan diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan demikian,
untuk meningkatkan pemenuhan hak restitusi bagi korban, perlu adanya koordinasi
yang lebih baik antara LPSK, aparat penegak hukum, dan berbagai pihak terkait, serta
perluasan akses terhadap pendidikan dan sumber daya manusia yang memadai untuk
mendukung proses pemulihan korban kekerasan seksual secara menyeluruh.

Kata Kunci : Korban, Mekanisme, Hak Restitusi, Perlindungan Saksi Dan Korban.

1
Abstract

Victims of crime have a limited role in providing testimony as witnesses and victims.
And often criminal charges or verdicts imposed by judges are less favorable to victims.
This is because the criminal justice system in Indonesia aims to prosecute the
perpetrators of criminal acts, not to fulfill the interests of victims. One of the intended
protections is through restitution as a form of compensation given to the victim by the
perpetrator in accordance with Article 11 number 11 of the Law on Witness and Victim
Protection. Based on the description above, the problems that will be discussed in this
study are 1) How is the mechanism for implementing the submission and provision of
restitution for victims of criminal acts based on Law Number 31 of 2014 ? 2) What are
the obstacles and challenges of the Witness and Victim Protection Agency (LPSK) in
facilitating victims of criminal acts to obtain restitution? This research is an empirical
study that uses the method of statutory analysis. The approach used is descriptive
analytical with observational studies to ensure and examine restitution rights in
accordance with the provisions that have been formalized. The purpose of the study is
to assess the implementation of applicable laws and regulations applied by the Witness
and Victim Protection Agency (LPSK). The data used was obtained from applicable
laws and regulations, including the Criminal Code (KUHP) and the Law on Witness
and Victim Protection (LPSK).

Keywords: Victims, Mechanisms, Restitution Rights, Witness and Victim Protection.

2
PENDAHULUAN

Kriminalitas merujuk pada berbagai bentuk perilaku dan tindakan yang


menyebabkan kerugian baik secara ekonomis maupun psikologis, yang bertentangan
dengan hukum yang berlaku di indonesia serta norma-norma sosial dan agama, secara
sederhana, tindak kriminalitas dapat dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar
norma-norma sosial dan hukum, sehingga mendapat penolakan dari masyarakat.1

Pada tahun 2022, terjadi peningkatan sebanyak 16,36 persen tindak kejahatan
di Indonesia jika dibandingkan dengan tahun 2021, berdasarkan data dari e-MP
Robinopsnal Bareskrim Polri, mulai dari tanggal 1 Januari hingga 22 Desember 2022,
Polri berhasil menangani 311.523 kasus kejahatan. Beberapa kasus tersebut mencuat
ke media dan menarik perhatian publik. Berdasarkan data tersebut, tindak kriminal
yang marak terjadi diindentifikasikan menjadi 10 jenis kejahatan yang paling sering
terjadi yaitu, pencurian berat, penipuan , narkotika, penganiayaan, pencurian biasa,
curanmor, penggelapan, pengeroyokan, dan KDRT.2

Fenomena ini memiliki korelasi yang kuat dengan konteks kemanusiaan dalam
ha perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan di negara ini.
Peningkatan angka kriminalitas menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakata seperti terwujudnya kesejateraan dalam
kehidupan sosial. Selain itu, perlindungan HAM juga berperan penting dalam
menangani masalah kriminalitas. Setiap individu memiliki hak untuk hidup,
kebebasan, dan keamanan pribadi, termasuk hak atas keadilan dan perlindungan dari
kejahatan.

Sebagai korban tindak pidana, seseorang mengalami kerugian baik secara fisik,
emosional, maupun finansial. Korban tindak pidana tak jarang dijumpai dengan

1
Kartono, K. Patologi Sosial, jilid I. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999. Hal 122
2
Pusiknas Bareskrim Polri, Waspada, Kejahatan di 2022 Meningkat,
https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/waspada,_kejahatan_di_2022_meningkat, diakses pada 25
Januari 2024

3
keaadan luka atau cedera fisik, trauma psikologis, kehilangan harta benda, atau bahkan
kehilangan nyawa orang yang dikasihi. Kerugian ini menimbulkan efek yang serius
pada kualitas hidup korban. Korban harus dihadapkan dengan masalah hukum yang
sangat pelik, lalu sering kali korban tindak pidana mengalami viktimisasi lanjutan
karena sistem peradilan pidana di Indonesia. Adanya penolakan secara sistematis
terhadap keterlibatan korban tindak pidana dalam proses peradilan untuk
memperjuangkan hak-haknya, dipandang akan membebani sistem yang ada. Selain itu,
hal ini juga dianggap akan berdampak pada efektivitas dan efisiensi kerja aparat
penegak hukum.

Oleh sebab itu, korban tindak pidana memiliki keterbatasan peran dalam
memberikan kesaksian sebagai saksi dan korban. Dan sering kali tuntutan pidana atau
putusan yang dijatuhkan oleh hakim kurang memihak kepada korban. Hal ini
dikarenakan, sistem peradilan pidana di indonesia bertujuan untuk mengadili pelaku
tindak pidana, bukan memenuhi kepentingan korban. Maka dari itu, kerugian yang
dialami oleh korban akibat tindak pidana dianggap sebagai musibah yang harus
ditanggung sendiri oleh korban karena tidak menjadi tanggung jawab sistem peradilan
pidana. Sejalan dengan kedudukan korban dalam KUHP yang belum optimal untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap korban. tidak adanya ketentuan secara
eksplisit dan nyata dalam KUHP tentang restitusi pidana, sehingga negara tidak dapat
memberikan bentuk kompensasi yang efektif dan menguntungkan korban dan atau
keluarga korban.3

Mengingat sifat komprehensif dari peraturan perundang-undangan yang


mengatur batasan-batasan perlindungan terhadap hak-hak saksi dan korban, serta
menurut Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “orang yang menderita kerugian yang
disebabkan perbuatan orang lain yang melawan hukum memiliki hak untuk menuntut
ganti kerugian. Apabila orang tersebut menderita kerugian akibat suatu tindak pidana,

3
Siswantoro Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal
49

4
untuk memudahkan orang tersebut, negara memberikan jalan untuk mendapat ganti
kerugian tanpa harus melalui proses gugat perdata biasa. Berdasarkan pertimbangan
tersebut negara semakin memberikan ruang bagi para korban tindak pidana untuk
mendapatkan haknya dalam bentuk ganti rugi dengan jangkauan yang lebih luas, maka
lembaga legislatif membentuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban lalu disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2014. UU ini mengatur mengenai perlindungan bagi korban tindak pidana
dan pemenuhan hak bagi korban tindak pidana di Indonesia. Perlindungan yang
dimaksud ialah upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksankaan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Salah satu cara melindungi hak-hak korban
adalah melalui restitusi sebagai bentuk ganti rugi yang diberikan kepada korban oleh
pelaku sesuai dengan Pasal 11 angka 11 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Prinsip Restitusi mengacu pada pemulihan dalam keadaan semula (restutio in


integrum) adalah suatu pendekatan yang menyatakan bahwa korban kejahatan
seharusnya dikembalikan pada kondisi sebelum terjadinya kejahatan, meskipun diakui
bahwa hal tersbut mungkin tidak sepenuhnya tercapai. Melalui restitusi, korban
diharapkan dapat memulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan
keluarga, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, dan aset-asetnya. Dalam konsep
ini, pihak yang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggungjwab diharapkan
memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, mencakup pengembalian harta
milik, pembayaran atas kerusakan atau kerugian, penggatian biaya yang timbul akibat
kejahatan, serta penyediaan jasa dan hak-hak pemulihan.4

Berdasarkan uraian diatas, maka hal yang menjadi permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana mekanisme pelaksanaan pengajuan
dan pemberian restitusi bagi korban tindak pidana berdasarkan UU No 31 Tahun 2014?

4
Supriyadi Widodo Eddyono, Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, hal. 16.

5
2) Apa kendala dan tantangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
memfasilitasi bagi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini meripakan studi empiris yang menggunakan metode analisis


peraturan perundang-undangan. Pendekatan yang digunkan bersifat deskriptif analitis
dengan studi observasi untuk memastikan dan mengkaji hak restitusi sesuai dengan
ketentuan yang telah diresmikan. Tujuan dari studi adalah untuk menilai implemntasi
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang diterapkan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Data yang digunakan diperoleh dari studi
pustaka terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Mekanisme Restitusi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014


Mekanisme permohonan restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap
saksi dan korban telah diatur dalam hukum positif Indonesia, meskipun secara
sederhana dan terbatas tercantum pada Pasal 7A (4) UU No. 31 Tahun 2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tidak adanya keselarasan dalam
regulasi mengenai pengajuan hak atas restitusi itu sendiri, menimbulkan
kebingungan bagi korban untuk mengetahui mekanisme yang dapat ditempuh
untuk mendapatkan hak restitusi dan jangka waktu pembayaran restitusi oleh
pelaku tindak pidana sejak putusan hakim berkekuatan hukum tetap.5
Permohonan restitusi harus diajukan sebelum putusan pengadilan mempunyai

5
Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian
Awal, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2007, hal 12.

6
kekuatan hukum tetap dengan melibatkan LPSK dan Jaksa Penuntut Umum.
Adapun mekanisme pengajuan permohonan restitusi melalui LPSK, yaitu6 :
1) LPSK menerima laporan permohonan bantuan fasilitas restitusi dari korban
kejahatan;
2) Dilakukan proses pemeriksaan atas laporan yang diterima LPSK dari
korban tindak pidana;
3) Setelah itu, akan diselenggarakan rapat paripurna yang dilakukan oleh
anggota LPSK sebagai upaya menindaklanjuti permohonan restitusi dari
korban tindak pidana layak untuk dikabulkan atau belum layak;
4) Lalu, LPSK akan mengumpulkan data-data terkait dengan kerugian materil
maupun kerugian immaterial yang diderita oleh korban akibat tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku;
5) Perhitungan besaran kerugian dilakukan oleh penafsir biaya yang telah
bersertifikat, selanjutnya permohonan tersebut dapat dilanjutkan
pengajuannya kepada jaksa penuntut umum;
6) Bila tuntutan tersebut dikabulkan, maka akan terdapat dalam amar putusan;
7) Setelahnya akan dilakukan perundingan antara korban dan pelaku tindak
pidana, perihal mekanisme pembayaran ganti kerugian berupa ganti
kerugian tersebut dibayarkan.
8) Jika perundingan tersebut telah sampai pada suatu kesepakatan, pelaku
wajib membayar restitusi kepada korban pada waktu yang telah ditentukan
9) Dalam tahap keberlangsungan kesepakatan pembayaran restitusi tersebut
ataupun jika kesepakatan telah selesai dipenuhi, LPSK akan tetap
melakukan pemantauan secara massif terkait kondisi korban tindak pidana.

6
Dien Kalpika Kasih, Efektivitas Pemberian Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Jurnal Idea Hukum
Vol . 4 No.1 Maret 2018, Hal 839

7
B. Kendala dan Tantangan LPSK dalam memfasilitasi korban tindak pidana
mendapatkan restitusi
Dengan peningkatan jumlah korban kekerasan seksual anak dan
perempuan yang dilindungi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), muncul beberapa tantangan dan kendala dalam memastikan
pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual, termasuk hak atas restitusi
(ganti rugi). Dalam Laporan Tahunan LPSK Tahun 2020 tentang Program
Perlindungan Kekerasan Seksual, yang difasilitasi oleh Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), berbagai hak diberikan kepada korban kekerasan
seksual, seperti Pemenuhan Hak Prosedural (PHP), rehabilitasi medis,
rehabilitasi psikologis, restitusi, rehabilitasi psikososial, dan biaya hidup
sementara. Berdasarkan data dalam laporan tahunan LPSK Tahun 2020, jumlah
korban kekerasan seksual yang menerima restitusi terus meningkat dalam tiga
tahun terakhir. Restitusi dan kompensasi menjadi hak penting bagi korban yang
mengalami penderitaan fisik akibat kejadian tersebut. Perlindungan hak korban,
terutama hak atas ganti rugi, merupakan bagian integral dari hak asasi manusia
dalam bidang kesejahteraan dan jaminan sosial.7
Dalam mendamping korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Salah satunya adalah
dampak sosial yang dialami oleh korban, seperti pengucilan dari masyarakat
dan kehilangan hak atas pendidikan, terutama bagi korban kekerasan seksual
anak. Dukungan dari kuasa hukum dan masyarakat sekitar sangat penting untuk
menjaga semangat korban selama proses peradilan dan pemulihan hidup
mereka. Tantangan lainnya termasuk keterbatasan ketersediaan psikolog yang
dapat mendampingi korban kekerasan seksual. Terkadang, di beberapa daerah,
sumber daya manusia (SDM) seperti psikolog tidak cukup baik dari segi jumlah

7
Maya Indah, S, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2014 hal.101

8
maupun kualitasnya. Selain itu, dukungan dari aparat penegak hukum juga
diperlukan agar pemenuhan hak restitusi bagi korban kekerasan seksual dapat
dilakukan dengan efektif.8
Kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum terkait pemenuhan
restitusi bagi korban kekerasan seksual adalah absennya upaya paksa terhadap
pelaku kekerasan seksual. Setelah dijatuhi hukuman oleh majelis hakim, pelaku
diminta membayar restitusi kepada korban, namun seringkali mereka menolak
dan memilih hukuman subsider yang lebih ringan. Situasi ini menciptakan
kesan di masyarakat bahwa banyak keputusan restitusi tidak dapat dilaksanakan
karena pembayaran restitusi bergantung pada niat baik pelaku. Selain itu, aparat
penegak hukum belum secara luas mengadakan pelatihan tentang pendekatan
terhadap korban dan restitusi, khususnya untuk korban kekerasan seksual,
untuk mencapai pemahaman dan kesadaran bersama dalam memastikan
pemenuhan restitusi yang maksimal bagi korban.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mekanisme pengajuan restitusi bagi korban tindak pidana dapat dimulai sejak
awal penyidikan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
sesuai dengan Pasal 7A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Restitusi
mencakup ganti rugi atas kekayaan, penderitaan, dan biaya perawatan medis
atau psikologis. Kendala LPSK meliputi dukungan masyarakat dan kuasa
hukum korban, ketersediaan SDM seperti psikolog, dan kurangnya dukungan
dari aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum juga mengalami kesulitan
karena belum adanya upaya paksa bagi pelaku kekerasan seksual untuk
membayar restitusi, yang bergantung pada niat baik pelaku.

8
Wawancara dengan Bapak Fakhrul Haqiqi, Humas LPSK, pada tanggal 18 Oktober 2023.

9
B. Saran
1) Diperlukan monitoring rutin terhadap korban tindak pidana untuk
memastikan bahwa pemberian restitusi kepada mereka efektif, dan agar
hak-hak mereka terkait dengan kerugian baik materiil maupun immateriil
terpantau dengan baik.
2) Perlunya peningkatan jumlah serta kualitas sumber daya manusia di LPSK,
serta peningkatan alokasi anggaran untuk sarana, terutama dalam hal
fasilitas restitusi, guna mengurangi rasa takut dan penderitaan korban.

DAFTAR PUSTAKA

Dien Kalpika Kasih, Efektivitas Pemberian Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Saksi Dan Korban, Jurnal Idea Hukum Vol . 4 No.1 Maret 2018.
Kartono, K. Patologi Sosial, jilid I. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1999.

Maya Indah, S, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014

Pusiknas Bareskrim Polri, Waspada, Kejahatan di 2022 Meningkat,


https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/waspada,_kejahatan_di_2022_menin
gkat, diakses pada 25 Januari 2024
Siswantoro Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.
Supriyadi Widodo Eddyono, Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta
Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2007.
Wawancara dengan Bapak Fakhrul Haqiqi, Humas LPSK, pada tanggal 18 Oktober
2023.

10

Anda mungkin juga menyukai