Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
ABSTRAK
Dalam kasus perdagangan orang, restitusi atau ganti rugi terhadap korban merupakan ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak
ketiga, yang artinya bahwa ketika seorang melakukan pidana bisa dijatuhi hukuman ganti rugi
terhadap korban yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan untuk
memulihkan kerugian yang dialami akibat kehilangan kebebasan dan hak-hak asasi mereka. Adapun
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penjatuhan sanksi resitusi
terhadap pelaku perdagangan orang dalam hukum positif dan bagaimana dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi restitusi terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai
bentuk upaya memulihkan hak korban (Studi Putusan Nomor 341/Pid.Sus/2021/PN Idm).
Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan mengkaji data sekunder seperti
peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, dan buku hukum terkait. Analisis dilakukan secara
kualitatif dengan pendekatan kasus, undang-undang, dan konseptual. Sumber data terdiri dari bahan
hukum primer dan sekunder, yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan pada Studi Putusan Nomor 341/Pid.Sus/2021/PN Idm, dapat disimpulkan bahwa
Pengaturan hukum positif mengenai penjatuhan restitusi terhadap pelaku perdagangan orang
haruslah kuat dan tepat, agar hak-hak korban tindak pidana dapat dipulihkan. Upaya paksa seperti
tidak memberikan remisi dan pembebasan bersyarat perlu diterapkan untuk mendorong pelaku
kejahatan membayar restitusi sesuai putusan pengadilan. Sedangkan dasar pertimbangan hakim
didasarkan pada keterangan saksi dan barang bukti secara yuridis dan secara non-yuridis didasarkan
pada kondisi terdakwa dan pekerjaan terdakwa.
ABSTRACT
In the case of trafficking in persons, restitution or compensation to victims is compensation given to victims or
their families by the perpetrator of the crime or a third party, which means that when a criminal offender can
be sentenced to compensation to victims who commit the crime of trafficking in persons with the aim of
restoring the losses suffered due to loss of freedom and their human rights. The problem in this study is how
the imposition of restitution sanctions against traffickers in positive law and how the basis for the judge's
consideration in imposing restitution sanctions against traffickers as a form of effort to restore victims' rights
(Study of Decision Number 341/Pid.Sus/2021/PN Idm). This research uses normative legal methods by
examining secondary data such as laws and regulations, scientific journals, and related law books. The
analysis is conducted qualitatively with case, statutory, and conceptual approaches. Data sources consist of
primary and secondary legal materials, which are obtained through literature studies. Based on the results of
research conducted on Decision Study Number 341/Pid.Sus/2021/PN Idm, it can be concluded that positive
legal arrangements regarding the imposition of restitution against traffickers must be strong and appropriate,
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
so that the rights of victims of criminal acts can be restored. Forced measures such as not granting remission
and parole need to be applied to encourage criminals to pay restitution in accordance with court decisions.
Meanwhile, the basis of the judge's consideration is based on witness testimony and juridical evidence and
non-juridical based on the condition of the defendant and the defendant's occupation
PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Oleh karena itu, negara hukum bertumpu pada dua prinsip hak asasi manusia
yaitu kebebasan dan persamaan.1 Sebagaimana telah diketahui, negara Indonesia
merupakan salah satu negara kepulauan yang sangat luas dengan jumlah penduduknya
yang begitu besar. Kelebihan tersebut justru menjadi hambatan untuk terciptanya
pemerataan pembangunan di segala bidang kehidupan mayarakat. Hal inilah yang sering
kali menimbulkan adanya perbedaan yang sangat mendasar baik secara sosial maupun
ekonomi dalam kehidupan masyarakat. dapat mendorong adanya berbagai tindakan yang
dapat meresahkan masyarakat yakni perbuatan tindak pidana yang salah satunya tindak
pidana perdagangan orang (human trafficking). Penyelundupan manusia atau perdagangan
orang merupakan salah satu kejahatan yang melanggar hak asasi manusia dan menjadi
masalah global yang serius. Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia
karena perdagangan orang adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara melalui ancaman,
pemaksaan, penipuan, dan peyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan kekerasan, kerja
paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa.
Akibat dari perbuatan atau tindakan tersebut maka pelaku perdagangan atau
penyelundupan manusia akan dijatuhi sanksi pidana baik itu pidana penjara, pidana denda
dan sanksi restitusi atau ganti rugi terhadap korban. Dalam kasus perdagangan orang,
restitusi atau ganti rugi terhadap korban merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga, yang artinya bahwa
ketika seorang melakukan pidana bisa dijatuhi hukuman ganti rugi terhadap korban yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan untuk memulihkan kerugian
yang dialami akibat kehilangan kebebasan dan hak-hak asasi mereka.
Berdasarkan data dari sistem informasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia, sejak tahun 2019 telah mendata jumlah korban
tindak pidana perdagangan orang yang terlaporkan, pada tahun 2019 berjumlah 226 korban,
pada tahun 2020 berjumlah 422 korban, tahun 2021 bertambah menjadi 683 korban,dan pada
periode januari-oktober 2022 telah terlaporkan 401 korban. Dari seluruh korban tindak
pidana perdagangan orang yang terlaporkan presentase terbesar terjadi pada anak-anak
sebesar 50,97 persen, perempuan 46,14 persen, dan laki-laki sebesar 2,89 persen.2
Dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
berbagai kebijakan dan undang-undang yang bertujuan untuk memberantas praktik
1 ?
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Bandung, Refika Aditama, 2009, hal.3
2
https://www.kominfo.go.id/content/detail/46599/gugus-tugas-bahas-urgensi-pencegahan-
dan-penanganan-tindak-pidana-perdagangan-orang/0/berita. Diakses pada tanggal 16 Januari
2023, Pukul 10.15
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu jenis
penelitian dengan cara mengamati teori-teori,konsep-konsep serta asas hukum dalam suatu
peraturan perundangan yang berhubungan dengan isu hukum yang diteliti. Penelitian
mengutamakan studi kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku refrensi, peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, literatur-literatur, sumber dari internet, dan
dokumen lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.
3 ?
Marlina dan Azmiati zuliah, Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Perdagangan Orang,
Bandung, Rafika Aditama, 2015, hal. 9
4 ?
Hendrojono, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2005, hal. 173
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Sanksi Restitusi Terhadap Pelaku Perdagangan Orang Dalam Hukum
Positif
Hukum positif adalah sistem aturan dan prinsip hukum yang berlaku di suatu negara.
Ini bisa berupa hukum tertulis atau tidak tertulis dan mengikat individu dan lembaga di
negara tersebut. Lembaga peradilan atau pemerintah bertanggung jawab dalam
melaksanakan dan menegakkan hukum positif. Meskipun fokus pada hukum yang berlaku
saat ini, hukum yang ada sebelumnya tetap menjadi dasar dalam pembentukan hukum
baru.
Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menjelaskan sanksi
pidana terhadap pelaku perdagangan orang, pasal tersebut berbunyi “Barang siapa dengan
sengaja menyebabkan atau memudahkan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Dalam konteks hukum materiil,
restitusi tidak secara khusus diatur sebagai jenis pidana dalam KUHP. Oleh karena itu,
restitusi belum dianggap sebagai pidana pokok atau pidana tambahan.
Sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan orang mengacu pada tindakan hukum
atau kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah atau organisasi internasional untuk
melarang atau menghukum praktik perdagangan manusia. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jika
korbannya masih dibawah umur maka sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan orang
telah dijelaskan didalam pasal 6.
Pelaku perdagangan manusia yang terbukti melanggar pasal 2 dan pasal 6 akan
dikenai sanksi pidana penjara dengan rentang waktu antara 3 hingga 15 tahun. Selain itu,
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.6, Jakarta, Penerbit Kencana Prenada Media
Group, 2005, hal.141
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
mereka juga akan dikenai denda mulai dari Rp. 120.000.000,00 hingga Rp. 600.000.000,00.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang juga telah menjelaskan ketentuan sanksi restitusi di dalam pasal 1
angka 13 dan pasal 48 sebagai bentuk upaya untuk memulihkan hak korban “Restitusi
adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang
diderita korban atau ahli warisnya”. Maksud kerugian materiil ialah kerugian terhadap
harta korban atau finansial korban, sedangkan kerugian immateriil adalah kerugian
terhadap fisik dan mental korban.
Pasal 48 ayat (5) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
disebutkan bahwasanya: “uang restitusi dapat dititipkan di pengadilan tempat perkara
diputus.” Mekanisme penitipan ini tidak dijelaskan di pasal 48 ayat (5), mengandung makna
samar sehingga tidak memiliki ketegasan yang wajib diikuti oleh pelaku Tindak Pidana
Perdagangan Orang.6 Disisi lain juga tidak menjelaskan mengenai aturan kapan uang
restitusi itu harus dititipkan ke pengadilan sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang
ambigu dari para pihak, dimana idealnya penitipan restitusi dijalankan semenjak proses
penyidikan guna menghindari berpindahnya harta pelaku supaya tak habis ketika akan
dieksekusi.7 Pasal 50 ayat 4 telah menjelaskan upaya paksa terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan orang yang tidak melaksakan kewajibannya untuk membayar restitusi kepada
korban yang berbunyi “Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai
pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun”. Jika diamati, penyitaan aset dan
hukuman kurungan maksimal satu tahun tidak cukup efektif untuk memaksa pelaku
membayar restitusi. Pidana kurungan tidak sebanding dengan jumlah restitusi yang
seharusnya dibayarkan.
Sanksi Pidana terhadap pelaku perdagangan orang juga telah diatur didalam pasal
455 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Pasal dalam Undang-Undang tentang tindak
pidana perdagangan orang memiliki peranan utama dan penting dalam menentukan tindak
pidana terkait perdagangan manusia. Namun, disadari bahwa pasal ini tidak memberikan
definisi lengkap dari istilah-istilah penting yang digunakan dalam konteks kejahatan ini.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 yang mengatur perdagangan
manusia dalam pasal-pasal terpisah. Namun, dengan adanya Undang-Undang Nomor 1
tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, unsur-unsur perdagangan
manusia untuk korban dewasa dan anak telah disamakan. Dalam hal sanksi restitusi,
Penjatuhan sanksi Restitusi sudah menjadi sebuah pidana tambahan yang dapat membuat
pelaku jera untuk melakukan tindak pidana, serta dapat meminimalisir kejahatan tindak
pidana perdagangan orang tesebut. Penjelasan Undang-Undang nomor 1 tahun 2023
terhadap pasal 66 bagian D telah menjelaskan “Ganti rugi dalam ketentuan ini sama dengan
restitusi sebegeimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan saksi dan korban.”
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa restitusi sebagai pidana
tambahan sudah dicatumkan dalam pasal 66 ayat 1 bagian D Undang- Undang nomor 1
6 ?
Farikhatul Afifah, Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagagan Orang, Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, Surabaya, 2022, hal. 12
7
Paul Sinla Elo E., “Tindak Pidana Perdagangan Orang,” Setara Pres, Malang, hal.164
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan bahwa
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri atas pencabutan
hak tertentu, perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan, pengumuman putusan
hakim.pembayaran ganti rugi,pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat
setempat. Jika diamati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana memasukkan restitusi sebagai salah satu jenis pidana tambahan.
Restitusi diatur dalam Pasal 66 ayat 1 bagian D, yang menyebutkan bahwa pidana terdiri
dari pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana khusus. Pasal 66 ayat 2 menjelaskan
bahwa pidana tambahan dapat dikenakan jika pidana pokok saja tidak mencapai tujuan
pemidanaan. Dengan demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengakui restitusi
sebagai pidana tambahan yang mengharuskan pelaku membayar ganti rugi baik kerugian
materiil maupun immateriil yang diderita oleh korban.
restitusi kepada korban, sebagai upaya mendorong agar terpidana segera membayar dan
menghormati putusan pengadilan.
Hakim telah memutuskan bahwa terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 8
(delapan) tahun dan denda sejumlah Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 3 (tiga) bulan serta menghukum terdakwa untuk membayar restitusi sebesar Rp.
116.300.000,- (seratus enam belas juta tiga ratus ribu rupiah), dengan ketentuan apabila
terdakwa tidak membayar restitusi maka dilakukan penyitaan dan pelelangan terhadap
harta milik terdakwa,namun jika terjadi ketiadaan harta maka terpidana dikenakan pidana
kurungan selama 3 bulan.
Penulis sependapat dengan keputusan majelis hakim yang menjatuhkan pidana
penjara selama 8 tahun kepada terdakwa. Tindakan terdakwa yang melibatkan pengiriman
anak di bawah umur untuk dieksploitasi adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi
manusia. Selain itu, tidak ada alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban
pidana terdakwa. Oleh karena itu, terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya
karena tindakannya yang melanggar peraturan perundang-undangan dan norma yang
berlaku.
Penulis setuju dengan pertimbangan hakim seperti pidana penjara, pidana denda,
jumlah restitusi, dan unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam setiap pasal. Namun,
penulis tidak sependapat dengan ketentuan pidana kurungan jika terpidana tidak
membayar restitusi. Menurut penulis, sebaiknya majelis hakim memberikan pidana
kurungan lebih dari tiga bulan sebagai upaya paksa agar terpidana terdorong untuk
membayar restitusi. Selain itu, tidak memberikan remisi dan membatasi pembebasan
bersyarat juga dapat menjadi langkah tambahan jika terpidana tidak memenuhi
kewajibannya membayar restitusi kepada korban. Hal ini bertujuan untuk mendorong
terdakwa membayar restitusi sebagai pemulihan hak korban, terutama korban di bawah
umur. Perlu ada upaya paksa terhadap pelaku seperti tidak menerima remisi dan
pembebasan bersyarat.
Dalam perkara ini, ada 7 saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan tidak
ada saksi yang diajukan oleh penasehat hukum. Semua saksi telah disumpah sesuai dengan
Pasal 160 ayat 3 KUHAP. Ahli tidak memberikan keterangan dalam sidang ini, dan
terdakwa tidak mempertanyakan keterangan dari setiap saksi yang dihadirkan di
pengadilan. Berdasarkan keterangan yang telah disampaikan di persidangan, Terdakwa
tidak mempermasalahkan atau menyangkal fakta-fakta tindak pidana yang disebutkan oleh
para saksi dalam persidangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdakwa
mengakui kesalahannya.
Majelis hakim tidak menyampaikan hal-hal yang meringkan terhadap terdakwa
melainkan hanya memberikan hal-hal yang memberatkan bagi Terdakwa, yaitu Perbuatan
Terdakwa bertentangan dengan program Pemerintah dalam upaya pemberantasan
perdagangan orang, perbuatan terdakwa telah merekrut dan mengeksploitasi anak saksi,
dan Terdakwa mengetahui anak saksi yang menjadi korban masih dibawah umur. Secara
Non Yuridis Penulis berpendapat bahwa pekerjaan terdakwa sebagai ibu rumah tangga
dapat mempengaruhi keputusan dan tindakannya melalui faktor-faktor seperti beban kerja,
tekanan, ketidakpuasan, serta faktor kelompok. Jika terdakwa tidak mampu membayar
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
restitusi kepada korban, hal itu dapat dipengaruhi oleh pekerjaan dan kekayaan terdakwa
yang berdampak pada perekonomiannya.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini terhadap (Putusan
Nomor 341/Pid.Sus/2021/PN Idm) maka penulis mengambil kesimpulan bahwa
pengaturan hukum mengenai penjatuhan sanksi restitusi terhadap pelaku perdagangan
orang dalam hukum positif adalah sebagai berikut :
a. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) pasal 297
b. Dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang termuat didalam pasal 2 ayat 1 mengenai unsur dan
sanksi terhadap pelaku perdagangan orang dan pasal 48 mengenai restitusi
c. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Undang-Undang tersebut telah mencatumkan unsur dan sanksi
tindak pidana perdagangan orang didalam pasal 455 dan Restitusi sudah
dicatumkan sebagai pidana tambahan dalam pasal 66 ayat 1 bagian D.
Dasar Pertimbangan Hakim Secara Yuridis, terdakwa dalam perkara tersebut
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Terdapat 7 orang saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sedangkan
penasehat hukum tidak mengajukan saksi. Terdakwa tidak mengajukan keberatan terhadap
keterangan saksi. Selain hukuman pidana, terdakwa juga dihukum membayar restitusi
sebesar Rp.116.300.000. Sedangkan secara Non Yuridis, Terpidana adalah seorang ibu
rumah tangga beragama Islam yang sehat secara jasmani, rohani, dan waras pikirannya.
Terpidana memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah SWT dan mampu dengan baik
menjawab setiap pertanyaan di persidangan. Majelis hakim yakin bahwa terpidana
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Berdasarkan hasil pembahasan yang penulis telah teiliti, maka penulis dapat
memberikan saran bahwa pengaturan sanksi resitusi dalam hukum positif haruslah
memiliki upaya paksa yang tepat dan jelas, hal ini supaya dapat mendorong pelaku tindak
perdagangan orang untuk melaksanakan kewajibannya membayar restitusi kepada korban.
Seperti, pemerintah harus memberlakukan hukuman yang tegas bagi pelaku perdagangan
orang dan mengupayakan hak restitusi korban dengan mekanisme yang mudah dan upaya
paksa yang tepat, Masyarakat Indonesia perlu bijaksana dalam menerima tawaran
pekerjaan, dan meningkatkan kesadaran hukum kepada korban perdagangan orang bahwa
Restitusi dapat membantu memulihkan kerugian mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Afifah Farikhatul, 2022, Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagagan Orang, Surabaya,
Universitas 17 Agustus 1945.
Fuady Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Bandung, Refika Aditama.
Nommensen Journal of Toerekenbaarheid
Law
Volume 01 Nomor 15 September 2023
Hendrojono, 2005, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Marlina dan Azmiati zuliah, 2015, Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Perdagangan Orang,
Bandung, Rafika Aditama.
Marzuki Mahmud Peter, 2005, Penelitian Hukum Cet.6, Jakarta, Penerbit Kencana Prenada
Media Group.
Sinlaeloe Paul, 2017, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Malang, Setara Pers.
Website
https://www.kominfo.go.id/content/detail/46599/gugus-tugas-bahas-urgensi-
pencegahan-dan-penanganan-tindak-pidana-perdagangan-orang/0/berita.