Anda di halaman 1dari 15

PEMENUHAN HAK RESTITUSI TERHADAP ANAK

SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG


(HUMAN TRAFFICKING)

OLEH :

ANISA IZMI FADILLAH

B10020150

PROGRAM STUDI ILMU

HUKUM FAKULTAS

HUKUM UNIVERSITAS

JAMBI
BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Salah satu bentuk kejahatan yang termasuk ke dalam pelanggaran


berat Hak Asasi Manusia adalah kejahatan perdagangan orang (Suhardin,
2008). Hampir setiap negara saat ini telah memberlakukan aturan yang
mengriminalisasi perdagangan orang, dan beberapa organisasi
internasional, pemerintahan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga
secara aktif mendukung berbagai macam kegiatan guna menghentikan
kejahatan ini. Kejahatan perdagangan orang juga merupakan salah satu
dari lima kejahatan terbesar di dunia yang harus ditangani karena
konsekuensinya tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek
politik, budaya dan kemanusiaan (Pramono, 2011)

Kelompok yang sangat rentan untuk menjadi korban kejahatan


perdagangan orang adalah anak-anak. Anak-anak yang menjadi korban
perdagangan orang sering kali dieksploitasi untuk tujuan seksual, termasuk
prostitusi, pornografi, dan wisata seks. Mereka juga dieksploitasi untuk
perburuhan paksa, termasuk dijadikan pembantu rumah tangga, bekerja di
pabrik dengan upah rendah dan kondisi buruk, dan pertanian tanaman
psikotropika. Bahkan, United Nations Security Council Counter-Terrorism
Committee Executive Directorate (CTED) pernah merilis sebuah laporan
yang mengeksplorasi hubungan antara perdagangan orang (termasuk anak-
anak) dan terorisme. Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa perdagangan
orang merupakan alat untuk mengumpulkan dana untuk tujuan teroris
(CTED, 2019).

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU No. 21 Tahun
2007) diatur mengenai ganti rugi (Muladi, 2002) atau hak restitusi
(Pasal48), yakni pembayaran ganti kerugian yang dibebankan. pada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli
warisnya. Dengan dimuatnya hak-hak korban tindak pidana perdagangan
orang, berarti menjadi kewajiban negara untuk melindungi dan
memenuhi hak seluruh warga negaranya, termasuk anak. Berbagai
perumusan tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan
tersebut (idealnya) menunjukkan adanya perlindungan hukum dan hak
asasi korban (Arief, 1998).

Dalam hukum positif indonesia, telah muncul beberapa aturan terkait


dengan restitusi ini yang dinormakan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan pemerintah. dalam observasi terhadap sejumlah peraturan
perundang- undang ditemukan 7 undang-undang dan 4 peraturan
pemerintah. undang-undang yang disaat ini mengatur tentang sanksi
restitusi meliputi kuhap, undang-undang no. 26/2000 tentang pengadilan
ham, undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana teroris,
undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang lembaga perlindungan saksi dan
korban juncto undang-undang no. 31/2014 tentang revisi undang-undang
no. 13 tahun 2006, undang-undang no. 21/2007 tentang penghapusan
tindak pidana perdagangan orang, undang-undang no. 35 tahun 2014
tentang revisi undang-undang perlindungan anak (uu no. 23/2002),
undang- undang no. 11/2012 tentang sistem peradilan pidana anak. selain
itu, ada pp no. 3/2002 restitusi dan kompensasi bagi korban pelanggaran
ham. lalu ada pp no. 44/2008 dan pp no. 7/2018 yang merupakan peraturan
restitusi dan kompensasi sebagai perwujudan undang-undang perlindungan
saksi dan korban. dan pp 43/2017 untuk restitusi bagi anak sebagai korban1

Dalam hukum positif indonesia, telah muncul beberapa aturan terkait

1
Ahmad Sofian, 2018,Restitusi Dalam Hukum Pidana Indonesia, RESTITUSI DALAM HUKUM
POSITIF INDONESIA (binus.ac.id)
dengan restitusi ini yang dinormakan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan pemerintah. dalam observasi terhadap sejumlah peraturan
perundang- undang ditemukan 7 undang-undang dan 4 peraturan
pemerintah. undang-undang yang disaat ini mengatur tentang sanksi
restitusi meliputi kuhap, undang-undang no. 26/2000 tentang pengadilan
ham, undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana teroris,
undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang lembaga perlindungan saksi dan
korban juncto undang-undang no. 31/2014 tentang revisi undang-undang
no. 13 tahun 2006, undang-undang no. 21/2007 tentang penghapusan
tindak pidana perdagangan orang, undang-undang no. 35 tahun 2014
tentang revisi undang-undang perlindungan anak (uu no. 23/2002),
undang- undang no. 11/2012 tentang sistem peradilan pidana anak. selain
itu, ada pp no. 3/2002 restitusi dan kompensasi bagi korban pelanggaran
ham. lalu ada pp no. 44/2008 dan pp no. 7/2018 yang merupakan peraturan
restitusi dan kompensasi sebagai perwujudan undang-undang perlindungan
saksi dan korban. dan pp 43/2017 untuk restitusi bagi anak sebagai korban

Hak restitusi yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007, ternyata belum
sepenuhnya mengakomodir perlindungan dan pemenuhan hak anak yang
menjadi korban kejahatan perdagangan orang. Kelemahan perlindungan
anak yang menjadi korban perdagangan ini kemudian coba diatasi dengan
terbitnya Undang- undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU
No. 35 Tahun 2014). Berdasarkan amanat Pasal 71D UU No. 35 Tahun
2014, pemerintah kemudian menindaklanjutinya dengan menerbitkan
peraturan pelaksana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak
Pidana (PP No. 43 Tahun 2017). Kedua undang-undang ini (UU No. 21
Tahun 2007 dan UU No. 35 Tahun 2014) pada dasarnya berusaha untuk
memenuhi hak anak yang menjadi korban kejahatan (pemberian hak
restitusi).2

Penelitian mengenai anak sebagai korban kejahatan perdaganganorang


sudah banyak dilakukan, seperti misalnya mengenai perlindungan hukum
terhadap korban trafficking anak dan perempuan (Abdullah, 2017) dan
mengenai perlindungan terhadap anak korban trafficking (Anisa Soraya,
2020) serta Pemenuhan Hak Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang (Andi Jefri, 2021) Tulisan ini berbeda dengan penelitian-penelitian
tersebut karena bukan dimaksudkan membahas penerapan unsur-unsur
dalam tindak pidana perdagangan orang dalam kedua undang-undang
tersebut oleh penegak hukum, ataupun membahas persoalan mana yang
lebih ideal untuk diterapkan dalam rangka pemenuhan hak anak yang
menjadi korban kejahatan perdagangan orang. Akan tetapi membahas
bagaimana pemberian restitusi yang di terima oleh anak korban
perdagangan orang (Human Trafficking).

Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana pengaturan restitusi bagi anak dalam tindak pidana perdagangan
orang (Human Traffiking) di Indonesia ?

2. Apakah perlu adanya restitusi bagi anak sebagai korban dalam tindak pidana
perdagangan orang (human trafficking) ?

2
Andi Jefri Ardin dan Beniharmoni Harefa, Pemenuhan Hak Anak Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang,(Jakarta, 2021) hlm 180.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis meneliti dan menggali informasi
dari peneliti peneliti sebelumnya sebagai bahan perbandingan, baik mengenai
kekurangan atau kelebihan yang sudah ada. Selain itu, peneliti juga menggali
informasi dari beberapa buku buku maupun skripsi dan dan paper dalam rangka
mendapatkan teori yang berkaitan dengan judul

Berikut referensi yang penulis gunakan sebagai acuan


1. Jurnal dari diba Alya, Setya Wahyudi, Rani Hendriana dari soedirman
law review Universitas Jenderal Soedirman tahun 2021 dengan judul ‘’
implementasi restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
(studi di pengadilan negeri Wonosobo).Jurnal ini membahas bagaimana
implementasi restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dan
faktor-faktor penghambat implementasi restitusi bagi anak yang menjadi
korban tindak pidana di Pengadilan Negeri Wonosobo. Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
sosiologis dengan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif
2. Jurnal dari Andini Indriawati, Subekti dari Universitas Sebelas Maret
Fakultas Hukum Prodi Ilmu Hukum tahun 2020 dengan judul
‘’analisis pelaksanaan restitusi terhadap anak korban tindak pidana
(studi putusan nomor 890/PID.SUS/2018/PN BTM) jurnal ini
membahas bahwa anak yang menjadi korban dalam perkara
tersebut, tidak mendapatkan perlindungan berupa hak restitusi.
Padahal berdasarkan putusan pemidanaan Majelis Hakim, terdakwa
terbukti bersalah melakukan tindak pidana eksploitasi ekonomi
terhadap korban yang masih dibawah umur. Hal tersebut
dikarenakan penegak hukum dalam perkara ini tidak menjalankan
pelaksanaan restitusi sesuai dengan amanat peraturan perundang-
undangan.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Implementasi Restitusi Terhadap Anak Sebagai Korban DalamTindak
Pidana Perdagangan Orang (Human Traffiking) Di Indonesia

Restitusi sebagaimana prinsip pemulihan dalam keadaan semula


adalah upaya untuk memastikan bahwa korban suatu tindak pidana harus
dikembalikan ke kondisi semula sebelum tindak pidana terjadi (Bimantara dan
Sumadi, 2018), meskipun tidak mungkin korban dapat kembali ke kondisi
semula dengan sempurna. Prinsip ini menegaskan bahwa bentuk pemulihan
korban harus selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspek yang
diakibatkan oleh akibat tindak pidana. Dengan restitusi, korban dapat
dikembalikan ke kebebasan, hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan
kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggalnya, memulihkan pekerjaannya, dan
memulihkan asetnya (Anchori, 2020). Dalam praktiknya, di hampir semua
negara, konsep restitusi dikembangkan dan diberikan kepada korban kejahatan
atas penderitaannya sebagai korban kejahatan. Dalam konsep ini, korban dan
keluarganya harus mendapatkan kompensasi yang adil dan pantas dari pihak
yang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggung jawab. Kompensasi ini
mencakup pengembalian harta benda atau pembayaran atas kerusakan atau
kerugian yang diderita, kompensasi atas biaya yang timbul akibat jatuhnya
korban, penyediaan layanan dan hak untuk pemulihan (Supriyadi Widodo
Eddyono, 2014).(Ardin and Harefa 2014a)
Dalam hukum positif indonesia, telah muncul beberapa aturan terkait
dengan restitusi ini yang dinormakan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan pemerintah. dalam observasi terhadap sejumlah peraturan perundang-
undang ditemukan 7 undang-undang dan 4 peraturan pemerintah. undang-undang
yang disaat ini mengatur tentang sanksi restitusi meliputi kuhap, undang-undang
no. 26/2000 tentang pengadilan ham, undang-undang no. 15 tahun 2003 tentang
tindak pidana teroris, undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang lembaga
perlindungan saksi dan korban juncto undang-undang no. 31/2014 tentang revisi
undang-undang no. 13 tahun 2006, undang-undang no. 21/2007 tentang
penghapusan tindak pidana perdagangan orang, undang-undang no. 35 tahun
2014 tentang revisi undang-undang perlindungan anak (uu no. 23/2002), undang-
undang no. 11/2012 tentang sistem peradilan pidana anak. selain itu, ada pp no.
3/2002 restitusi dan kompensasi bagi korban pelanggaran ham. lalu ada pp no.
44/2008 dan pp no. 7/2018 yang merupakan peraturan restitusi dan kompensasi
sebagai perwujudan undang-undang perlindungan saksi dan korban. dan pp
43/2017 untuk restitusi bagi anak sebagai korban

Hak restitusi yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007, ternyata


belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan dan pemenuhan hak anak yang
menjadi korban kejahatan perdagangan orang. Kelemahan perlindungan anak
yang menjadi korban perdagangan ini kemudian coba diatasi dengan terbitnya
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014).
Berdasarkan amanat Pasal 71D UU No. 35 Tahun 2014, pemerintah kemudian
menindaklanjutinya dengan menerbitkan peraturan pelaksana dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak
yang Menjadi Korban Tindak Pidana (PP No. 43 Tahun 2017). Kedua undang-
undang ini (UU No. 21 Tahun 2007 dan UU No. 35 Tahun 2014) pada dasarnya
berusaha untuk memenuhi hak anak yang menjadi korban kejahatan (pemberian
hak restitusi).(Ardin & Harefa, 2014)

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Sondang


Kristine, penegak hukum yang menangani perkara perdagangan orang kurang
maksimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu hanya sebatas
menanyakan atau memberitahukan adanya hak restitusi yang diperoleh korban.
Selama proses penyidikan, penyidik memberitahukan korban mengenai hak
restitusi berupa ganti kerugian baik materiel maupun imateriel sebagai akibat
dari tindak pidana perdagangan orang, dalam berita acara pemeriksaan saksi
korban. Selanjutnya pada tahap penuntutan, Penuntut Umum menanyakan pada
saksi korban mengenai kerugian yang diderita baik materiel maupun imateriel
dan memberitahukan bahwa saksi korban memiliki hak restitusi dan
mencantumkan restitusi tersebut dalam surat tuntutannya. Kemudian dalam
putusan pengadilan, memuat restitusi tersebut dan mengabulkannya sebesar yang
diminta dalam surat tuntutan Penuntut Umum. Namun, pelaksanaan putusan
terhadap pemenuhan hak restitusi tersebut tidak dilaksanakan dan pelaku lebih
memilih untuk menjalankan hukuman pidana kurungan pengganti, sehingga hak
restitusi korban hanya sampai sebatas putusan belaka atau hanya di atas kertas
saja, apalagi terkait dengan kasus tersebut tidak ada aset milik terpidana yang
disita oleh penyidik (Lukwira, Program, and Ui, n.d.)
Meskipun telah diatur dalam beberapan peraturan perundang-
undangan, nyatanya pelaksanaan restitusi terhadap anak korban tidak pidana
belum dapat berjalan secara optimal dikarenakan tidak adanya upaya paksa
yang dapat dilakukan oleh korban atau aparat penegak hukum untuk
mengeksekusi restitusi yang dibebankan kepadanya. Eksekusi atau
pemenuhan restitusi pada anak korban hanya bergantung pada itikad baik
pelaku untuk membayar restitusi yang dibebankan kepadanya. (Tyas Tamtomo et
al., n.d.)

Hasil dari wawancara dengan Heriyenti sebagai Hakim Pengadilan


Negeri Yogyakarta, mengenai tuntutan restitusi dalam proses peradilan dalam
persidangan, memang tidak mudah untuk dilakukan walau sudah didukung
dengan Undang-Undang khusus perdagagangan orang tetapi hal tersebut belum
tentu menjamin akan dikabulkannya tuntutan restitusi oleh korban melalui
kuasa hukumnya ataupun Jaksa Penuntut Umum

3.2 Pentingnya Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak


Pidana Perdagangan Orang
Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas
kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Dilihat dari penjatuhan pidana denda yang harus dibayarkan oleh terdakwa kepada
negara disamping pidana badan yang harus dijalaninya di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, hal ini dirasa sangat tidak adil bagi si korban, karena dengan
pemberian ganti kerugian terhadap korban oleh pelaku kejahatan ini juga
merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana (liability based on fault). (Huda,
2008)

satu bentuk peraturan perundangan yang telah terbit yang mengantur


tentang pemberian ganti kerugian atau restitusi kepada anak sebagai korban
kejahatan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang
Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang
diundangkan pada tanggal 16 Oktober 2017,sebagai bentuk pelaksanaan amanat
dari Pasal 71 D ayat 2 UU Perlindungan Anak, yang diharapkan dapat
mewujudkan keadilan dan kemanfaatan hukum disamping kepastian hukumnya
bagi anak sebagai korban tindak pidana untuk menuntut haknya di persidangan.
Dengan lahirnya peraturan pemerintah ini akan membawa pembaruan dalam
hukum pidana nasional mengenai pemberian ganti kerugian atau restitusi kepada
anak sebagai korban kejahatan dapat memberikan perubahan kepada masyarakat
melalui perubahan dari hukum pidana tersebut (law as a tool sosial engineering)
sebagaimana yang disampaikan oleh Roscoe Pound

Dalam PP No 43 Tahun 2017 dengan jelas menyebutkan pada proses tata


cara pengajuan permohonan restitusi dan tata cara pemberian restitusi melibatkan
aparat penegak hukum, seperti penyidik, penuntut umum, dan hakim. Adanya
keterlibatan dengan sistem peradilan pidana dalam pelaksanaan restitusi
diharapkan menjamin kepastian hukum untuk pemberian restitusi oleh pelaku
kepada anak yang menjadi korban tindak pidana. Dengan adanya, kepastian
hukum terhadap pelaksanaan restitusi dalam bentuk peraturan pemerintah ini
diharapkan anak yang menjadi korban mendapatkan keadilan berupa hak restitusi
(Miszuarty Putri, 2019: 126-127).3

Oleh karena itu diharapkan restitusi terhadap anak korban tindak pidana
terutama pada tindak perdagangan orang dapat memberikan ganti kerugian kepada
korban baik kerugian immaterial ataupun kerugian material yang dibebankan
kepada pelaku terhadap anak korban perdagangan orang.

DAFTAR PUSTAKA
Ardin, Andi Jefri, and Dan Beniharmoni Harefa. 2014a. ‘Based on the Research, the Law
Number 21 of 2007 More Fulfilling than Law Number 35 of 2014. Government
Regulation Number 43 of 2017 as Implementing Regulations for Law Number 35 of 2014
Is Not Much Different in Substance from Law Number 21 Of’. Vol. 35.
———. 2014b. ‘Based on the Research, the Law Number 21 of 2007 More Fulfilling than Law
Number 35 of 2014. Government Regulation Number 43 of 2017 as Implementing
Regulations for Law Number 35 of 2014 Is Not Much Different in Substance from Law
Number 21 Of’. Vol. 35.
Lukwira, Andreas Lucky, Mahasiswa Program, and Magister Kriminologi Ui. n.d. ‘Restitusi
Sebagai Pidana Tambahan Yang Bermanfaat Bagi Pelaku Dan Korban Tindak Pidana’.
Tyas Tamtomo, Adi, Audyna Mayasari Muin, Hijrah Adhyanti Mirzana, and Penerapan Hak
Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana. n.d. ‘How to Cite’.
Andini Indriawati, Subekti “Pelaksanaan Restitusi Terhadap Anak Korban Tindak Pidana
dalam Putusan Pengadilan Nomor 890/Pid.Sus/2018/PN Btm’’ Recidive Volume 9
No. 3, Sept. - Des. 2020 hlm 207

Internet
Ahmad Sofian, 2018,Restitusi Dalam Hukum Pidana Indonesia, RESTITUSI DALAM HUKUM
POSITIF INDONESIA (binus.ac.id)

3
Andini Indriawati, Subekti “Pelaksanaan Restitusi Terhadap Anak Korban Tindak Pidana dalam
Putusan Pengadilan Nomor 890/Pid.Sus/2018/PN Btm’’ Recidive Volume 9 No. 3, Sept. - Des.
2020 hlm 207

Anda mungkin juga menyukai