Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang (human trafficking) telah lama terjadi dan merupakan tindakan yang
bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia, harkat dan martabat manusia yang dilindungi berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945. Perdagangan orang adalah kejahatan yang terorganisir dilakukan baik
dengan cara-cara konvensional dengan cara bujuk ragu sampai cara-cara modern. Pelaku
mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/ negara asal korban sampai ke
daerah atau negara tujuan. Tindak pidana perdagangan orang ini biasanya tidak hanya dilakukan
oleh individu saja tetapi juga dilakukan oleh sekelompok orang (korporasi). 1

Bentuk perdagangan orang ini berkaitan dengan pekerja seks komersial dan tujuan
eksploitasi. Eksploitasi mencakup, eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari
eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip
perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Permasalahan yang diangkat dalam
kasus ini adalah bagaimana penjatuhan sanksi pidananya dalam KUHP dan luar KUHP serta
bagaimana kaitan sanksi tersebut dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia pada UU No 39
tahun 1999.2

Pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum


pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), tetapi sedang melakukan upaya
signifikan untuk mewujudkannya. Pemerintah menunjukkan peningkatan upaya secara
keseluruhan dibandingkan periode pelaporan sebelumnya oleh karena itu Indonesia tetap berada
pada tingkat 2 (dua). Upaya-upaya tersebut antara lain memberikan layanan perlindungan kepada
lebih.

Topo Susanto, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy Syaamil, 2000),
1

hlm. 132.
2
Ummu Hilmy, Penanganan Kasus-Kasus Trafiking Berperspektif Gender Oleh
Jaksa Dan Hakim, (Malang : Universitas Malang Press, 2006), h. 43-44.
banyak korban melalui Kementerian Sosial mengidentifikasi, menerima, dan membantu
lebih banyak korban eksploitasi di luar negeri dibanding tahun sebelumnya memulihkan hak
upah pekerja Indonesia yang menuntut imbalan atas pekerjaan yang tidak dibayar di luar negeri
terus menciptakan dan menyebarluaskan materi kampanye peningkatan kesadaran dan
memberlakukan sejumlah peraturan pelaksana Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia yang selanjutnya disebut (UU PPMI) yang disahkan pada 2017.3

Namun, pemerintah Indonesia belum memenuhi standar minimum beberapa bidang


utama. Angka penuntutan dan putusan mengalami penurunan dalam dua tahun berturut-turut, dan
pengadilan terkadang berhenti memproses kasus perdata dan pidana terkait perdagangan orang
tanpa penangguhan resmi, putusan, atau justifikasi hukum. Keterlibatan pejabat dalam kejahatan
perdagangan orang tetap menjadi perhatian, dan seperti pada tahun sebelumnya, walau
pemerintah melaporkan investigasi-investigasi yang sedang berlangsung, pemerintah tidak
melaporkan penuntutan atau putusan terhadap pejabat yang diduga terlibat dalam TPPO.

Ketiadaan prosedur identifikasi yang kuat dan sistematis senantiasa menghambat


identifikasi korban secara keseluruhan terutama korban laki-laki. Koordinasi antara Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan TPPO (Gugus Tugas PP TPPO) tingkat nasional dan mitranya di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota kurang memadai dalam menerjemahkan kebijakan
pemerintah pusat yang dituangkan ke dalam pelaksanaannya secara nasional. Pemerintah
mengurangi anggaran perlindungan korban dan alokasi anggaran untuk kantor penanganan TPPO
yang menjadi bagian Gugus Tugas PP TPPO menurun dalam empat tahun terakhir. Pemerintah
belum memberlakukan sejumlah peraturan pelaksana pokok dari UU PPMI sehingga
menghambat efektivitasnya.3

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tahun 2007 tidak


konsisten dengan hukum Internasional karena masih memuat syarat penggunaan kekuatan,
penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya kejahatan perdagangan seks anak.4

3
Asadulloh AlFaruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm.
17.

4
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2011).
Pada waktu ini penjualan manusia telah menjadi perhatian serius sehubungan dengan
kesadaran bahwa penjualan manusia merupakan pengeksploitasian manusia oleh manusia. Boleh
dikatakan kanibalisme bentuk modern. Penjual maupun pembeli menjadikan manusia sebagai
barang dagangan untuk memperoleh keuntungan dan kesenangan duniawi dari menjual manusia
atau memiliki manusia yang dibelinya. Artinya penjual mendapat keuntungan dengan hasil
jualnya sedangkan pembeli memperoleh kesenangan dengan menguasai apa yang telah dibelinya.
Contohnya: pemuas nafsu seks, diperbudak, diambil organ tubuhnya.

Bentuk penerapan sanksi pidana didasarkan pada kesalahan yang sesuai dengan unsur
hukum dan tidak ada alasan penghapusan yang bersifat melawan hukum, unsur kesengajaan oleh
pelaku (dolus) sehingga tidak ada pembenaran atau alasan baginya untuk menghindari hukuman.5
Upaya penegakan hukum dalam pemberantasan perdagangan orang, dilakukan dengan cara non
penal dan sarana penal. Pendekatan non penal dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan sosial
dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga negara yang
sadar akan tindak pidana perdagangan orang, penyuluhan hukum, resosialisasi, lokakarya, dll,
terutama di lingkungan rawan tindak pidana.

Pendekatan penal dilakukan melalui upaya hukum agar pelaku tindak pidana
perdagangan orang diproses secara hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
sampai ke tingkat pengadilan dan eksekusi guna mendapatkan sanksi pidana dan jaminan
kepastian hukum di masyarakat. Upaya penegakan hukum dalam pemberantasan
perdaganganorang dilakukan dengan cara non penal dan sarana penal.6

5
Anggie Rizqita Herda Putri and Ridwan Arifin, “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana
Perdangangan Orang Di Indonesia (Legal Protection for Victims of Human Trafficking Crimes in Indonesia),” Res
Judicata, 2, no. 1 (2019). Hlm. 180.
6
Maidin Gultom, Penegakan Hukum Pidana, (Bandung : PT Refika Aditama, 2014), h.50.
Pasal 1 UU NO 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga
merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan
negara-negara yang sedang berkembang lainnya.7 Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan
salah satu pasalnya, pada pasal 3 menyebutkan mengenai “hak untuk tidak diperbudak”. Untuk
mewujudkan perlindungan hak tersebut, maka pemerintah Indonesia memandang perlu untuk
melakukan pengaturan tersendiri mengenai tindak pidana perdagangan orang (human
trafficking).
Perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan bentuk kejahatan yang baru
dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah terjadi yaitu melalui
perbudakan dan perhambaan.8 Jakarta juga menjadi salah satu daerah persinggahan atau transit
serta penerima korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual. Keadaan ini didukung dengan
banyaknya sarana dan fasilitas industri, sektor wisata, seperti hotel, karaoke, spa, massage yang
dimanfaatkan oleh oknum perdagangan orang untuk melakukan bisnis ilegalnya. Contohnya
seperti yang ada dalam putusan Nomor:20/pid.sus/2020/pn.jkt.tim.
Kasus nya adalah pengiriman TKI keluar negeri dengan persyaratan awal membayar
uang sebesar Rp. 35.000.000 dan dijanjikan akan hidup terjamin di negara Taiwan serta
mendapat pekerjaan yang gaji nya besar dan ijazah S1. Kenyataanya tidak seperti itu, ketika
sudah sampai di negara Taiwan korban ditelantarkan dan uang yang sudah dibayarkan itu
dibawa kabur. Dan pada akhirnya setelah korban berhasil pulang ke Indonesia, korban melapor
ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, telah
melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melakukan perbuatan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, pemberian bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.9Berdasarkan uraian
7
UU No 21 Tahun 2007 TentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
8
Soerjono Soekanto, BeberapaPermasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta : PT Raja Grafindo, 2001), h. 4.
9
Ghita Intan, “Pemerintah Akui Sulit Berantas Kasus Perdagangan Orang,”
Voaindonesia.Com.
di atas mendorong keinginan penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang penerapan hukum
terhadap tindak pidana perdagangan orang (studi kasus di Jakarta Timur) yang ada dalam
putusan Nomor: 20/pid.sus/2020/pn.jkt.tim.

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1.Identifikasi Masalah
a. Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang secara umum.
b. Mengetahui penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
c. Tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Nomor:
20/pid.sus/2020/pn.jkt.tim.
2.Pembatasan Masalah
Berdasarkan pembahasan yang sudah dipaparkan pada latar belakang
dan untuk mempertajam pembahasan, maka penulis akan membahas masalah
ini dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan manusia
(human trafficking) studi putusan Nomor: 20/pid.sus/2020/pn.jkt.tim.

3.Rumusan Masalah
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana perdagangan orang ?
b. Bagaimana penerapan sanksi pidana bagi pelaku turut serta melakukan tindak pidana
perdagangan orang berdasarkan Putusan Nomor: 20/pid.sus/2020/pn.jkt.tim?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap kejahatan
perdagangan orang.
b. Untuk mengetahui bagaimana cara penerapan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Nomor:
20/pid.sus/2020/pn.jkt.tim.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat untuk menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan, menambah
wawasan, khususnya dalam hukum pidana dalam rangka memberikan
wawasan tentang penerapan sanksi pidana terhadap perdagangan
manusia.
b. Secara Praktis Secara praktis semoga hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat umum, dan para penegak
hukum termasuk pemerintah. Sehingga penelitian ini dapat bermanfaat di bidang hukum
pidana khususnya tindak pidana perdagangan manusia, sehingga dapat menghasilkan
kepastian hukum terhadap terdakwa dan korban, dan bisa diadili seadil adilnya oleh
hakim. Dan memberikan gambaran terhadap masyarakat bahwa di zaman saat ini
harus lebih berhati-hati terhadap kegiatan yang ingin dilakukan.

BAB II
TINJAUAN UMUM PEMIDANAAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
A. Pengertian Tindak Pidana
Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, maka setiap
penyelenggara negara, masyarakat, maupun badan hukum harus tunduk pada hukum yang
berlaku. Namun, dalam kenyataannya banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan yang dilanggar itu,
dapat digolongkan menjadi perdata, administrasi dan pidana. Masyarakat, orang atau
badan hukum yang melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam bidang pidana disebut
dengan tindak pidana, Tindak pidana, yang dalam bahasa inggris, disebut dengan
criminal act atau a criminal offense, sedangkan dalam bahasa belanda, disebut dengan
Strafbaar Feit yang artinya adalah perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan.
Tindak pidana terdiri atas dua suku kata, yang meliputi: tindak dan pidana. Tindak diartikan
sebagai langkah atau perbuatan. Pidana, yang dalam bahasa inggris, yaitucriminal,sedangkan
dalam bahasa belanda disebut dengan istilah strafrechtelijke, sedangkan dalam bahasa jerman
disebut dengan istilah verbrecher.10 Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana belanda yaitu Strafbaar Feit. walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek van
Strafrecht Belanda, dengan demikianWetboek van Strafrecht Hindia Belanda (KUHP), tetapi
tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Oleh karena itu,
para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini
belum ada keseragaman pendapat.11

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar Feit adalah sebagai
berikut :

1) Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku pokok-pokok hukum pidana yang
ditulis oleh Mr.M.H Tirtaamidjaja.
2) Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni
dalam buku beliau ringkasan tentang hukum pidana. Begitu juga
Schravendijk dalam bukunya buku pelajaran tentang hukum pidana indonesia.
3) Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-
undang dalam undang-undang No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan
bahan peledak (pasal 3).
10
Rodliyah, Hukum Pidana Khusus, (Depok : PT RajaGrafindo Persada,2017), h. 11.
11
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 121.
4) Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. M.r Moeljatno dalam berbagai
tulisan beliau, misalnya dalam buku asas-asas hukum pidana.

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan


perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak
menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk
kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam
istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif
artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu
gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil
(pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).

Sementara itu perbuatan pasif adalah suatu bentuk tindak melakukan suatu bentuk
perbuatan fisik apapun yang karena nya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban
hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan
(pasal 304 KUHP). Istilah delik secara letterlijk sebetulnyatidak ada kaitannya dengan istilah
straf baar feit karena istilah ini berasal dari kata delictum (latin), yang juga dipergunakan dalam
perbendaharaan hukum belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip
dengan istilah strafbaar feit. Istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti
yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan ilmu hukum kita, misalnya istilah materiele feit
atau formeele feit (feiten een formele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak
pidana formil).12

Menurut Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah “perbuatanyang dilarang


oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa yang melanggarlarangan tersebut.13Yulies Tiena Masriani memberikan arti
peristiwa pidana (Tindak Pidana) adalah “suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur
perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu
dapat dikenai sanksi pidana”.

B. Pengertian Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif

12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), h. 23.
13
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), h. 59
Mengenai perlindungan hukum bagi korban Trafficking dalam hukum positif bahwa
diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Dalam Pasal 2 ayat
(1) :“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000 (seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)”. Pandangan
hukum Islam tentang tindak pidana perdagangan manusia (trafficking).
Dalam perkara tindak pidana perdagangan manusia bagi pelaku dikenai hukuman ta’zir,
sedangkan ta’zir menurut bahasa adalah menolak, kebesaran, pengajaran. Sedangkan menurut
istilah adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap kesalahan-kesalahan yang
tidakdiancam hukuman had (khusus) atau kejahatan-kejahatan yang sudah pasti ketentuan
hukumnya, tetapi syarat-syaratnya tidak cukup (seperti tidak cukupnya empat orang saksi
dalamkasus pidana).14Sedangkan sanksi yang ditentukan dalam tindak pidana trafficking
adalahta’zir, fungsi ta’zir itu sendiri adalah untuk memberi pelajaran kepada si pelaku dan
mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, adapun pelaksanaan hukuman
ta’zir itu diserahkan kepada penguasa (hakim) yang akan menghukum pelaku sesuai dengan
kejahatan yang dilakukannya. Apabila hukuman ta’zir itu dilaksanakan, maka diharapkan tindak
pidana trafficking di Indonesia dapat diberantas, ditanggulangi dan dicegah, agar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara lebih terarah dan masyarakatnya lebih disiplin hukum.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana


Secara normatif, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang telah ditentukan jenis-jenis tindak pidana perdagangan orang.
Namun untuk mengetahui hal itu, maka harus dilakukan kajian secara mendalam terhadap
14
H. Ahmadi Muslich, Pengantar hukum Pidana Islam, Fikih jinayah, ( Jakarta : Sinar
Grafika, 2004.) h.43
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Dari hasil kajian tersebut,
maka tindak pidana perdagangan orang dapat digolongkan menjadi enam belas jenis. Keenam
belas jenis tindak pidana perdagangan orang meliputi :
a. Tindak pidana kekerasan
b. Tindak pidana impor orang
c. Tindak pidana ekspor orang
d. Tindak pidana pengangkatan anak dengan tujuan eksploitasi
e. Tindak pidana pengiriman anak ke dalam negeri atau ke luar negeri dengan tujuan
dieksploitasi.
f. Tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan
g. Tindak pidana menggerakan orang lain
h. Tindak pidana pembantuan atau percobaan
i. Tindak pidana perencanaan atau melakukan pemufakatan jahat;
j. Tindak pidana penggunaan atau pemanfaatan korban
k. Tindak pidana memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen
negara atau dokumen lain.
l. Tindak pidana memberikan kesaksian palsu
m. Tindak pidana penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas.
n. Tindak pidana sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
o. Tindak pidana pembantuan pelarian pelaku tindak pidana perdagangan
orang.
p. Tindak pidana pemberitahuan identitas saksi atau korban.15

15
Rodliyah, Hukum Pidana Khusus, (Depok : PT RajaGrafindo Persada,2017), h. 266

Anda mungkin juga menyukai