Anda di halaman 1dari 19

Review Jurnal: Perdagangan Manusia

Perdagangan Manusia dan Ketahanan Keluarga

Disusun oleh:

Jasmine Octavia Putri Balaw

111811133185

Fakultas Psikologi

Universitas Airlangga

Surabaya

2021
BAB I

Translate Jurnal

“Victim Protection of Human Trafficking in Indonesia According to the International Law”

Perlindungan Korban Perdagangan Manusia di Indonesia Berdasarkan Hukum


Internasional

Abstrak: Tindak Pidana Perdagangan Manusia telah menjadi bagian dari kejahatan
terorganisir, yang didasarkan pada salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan
terhadap kesejahteraan sosial yang perlu mendapat perhatian baik secara nasional maupun
internasional. Semua itu masuk akal karena ruang lingkup dan dimensi yang luas, sehingga
dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terorganisir.

Kata Kunci: Perdagangan Manusia, Kesejahteraan Sosial, Hak Asasi Manusia

Pendahuluan

Akhir-akhir ini, banyak kejahatan dalam bentuk baru yang bermunculan, kejahatan-kejahatan
tersebut juga berkembang dalam bentuk perdagangan manusia. Menurut kejahatannya itu
sendiri, pada tahun 1995 dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai
pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap penawaran yang dilaksanakan di Kairo, hal
tersebut telah menjadi suatu diskusi mengenai tindakan untuk memberantas kejahatan
transnasional, terorisme, dan kejahatan pada perempuan. Berkaitan dengan memberantas
kejahatan transnasional, pada tahun 2000 di Palermo, Italia, dilaksanakan konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai kejahatan terorganisasi transnasional, termasuk
perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak-anak. 

Perdagangan manusia telah menjadi salah satu kegiatan dari kejahatan terorganisasi
transnasional selain kejahatan lainnya seperti industri penjualan narkoba, penyelundupan
imigran ilegal, perdagangan senjata, perdagangan bahan nuklir, organisasi kriminal lintas
negara dan terorisme, perdagangan bagian tubuh manusia, pencurian dan penyelundupan
kendaraan, dan pencucian uang (Dokumen PBB No. E/CONF.88/2, 17-22) [1]. Masyarakat
internasional telah memberikan perhatian terhadap kejahatan semacam ini karena
implikasinya memiliki dampak yang berbahaya serta berpengaruh pada semua bidang, baik
dalam keamanan dan stabilitas nasional atau internasional dan menjadi serangan frontal
terhadap otoritas politik dan integritas negara. Selain itu, mencegah terjadinya penjebakan
dan perbudak pada beberapa kelompok masyarakat seperti perempuan dan anak-anak untuk
melakukan pekerjaan ilegal seperti prostitusi.  

Tujuan utama dari kejahatan itu sendiri adalah untuk memperoleh keuntungan baik untuk
kepentingan individu atau beberapa orang yang mengaturnya. Uang tersebut akan digunakan
oleh pelaku untuk membiayai kejahatan lainnya (Ambassador Wendy Chamberlin) [2].
Kejahatan perdagangan manusia telah menjadi bagian dari kejahatan terorganisir, yang
berdasarkan pada salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap
kesejahteraan sosial yang perlu diperhatikan baik secara nasional dan internasional. Hal ini
menjadi masuk akal, karena ruang lingkup dan dimensi yang luas sehingga kejahatan tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi kejahatan terorganisir (Artikel 2 poin 1 Proposal and
Contributions Received from Governments, stated General Assembly, A/AC.254/5 19
Desember 1998) [3], kejahatan kerah putih, kejahatan korporasi, dan kejahatan transnasional.
Bahkan dengan memanfaatkan teknologi seperti kejahatan siber.

Berdasarkan karakteristik tersebut, sehingga dampak dan korban yang muncul pun menjadi
lebih besar bagi pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dalam United Nations Office on
Drugs and Crime (dilihat dari
http://www.unodc.org/unodc/en/trafficking_human_beings.html) [4], menyatakan bahwa dari
pedesaan di Himalaya hingga Eropa Timur, terutama perempuan dan anak-anak tergoda
dengan prospek pekerjaan bersamaan dengan bayaran yang tinggi sebagai pelayan di rumah,
pelayan, atau buruh. Mereka yang berjualan menemukan perempuan dan anak-anak dengan
cara melakukan penipuan atau berbohong mengenai informasi pekerjaan melalui iklan.
Mereka telah dipaksa bekerja sebagai seorang pelacur. 

Faktanya, Indonesia sendiri telah menemukan kejahatan perdagangan tersebut. Upaya untuk
menghilangkan perbudakan dan perdagangan manusia secara global terutama di Indonesia
sebenarnya telah dimulai sejak 1854 ketika parlemen (Raja) dan pemerintahan Belanda
mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1855 dengan judul Regeringreglement (RR)
yang dalam pasal 169 disebutkan bahwa pada tanggal 1 Januari 1860 bahwa perbudakan di
Hindia Belanda harus benar-benar dihapuskan. Meski terdapat ancaman hukuman yang telah
diatur pada Wetbook van starrecth atau KUHP pasal 297 dan 297, namun tidak disertai
dengan aparat penegak hukum. 
Pada awal era kemerdekaan, kegiatan tersembunyi tersebut masih tetap berjalan, bahkan
kejahatannya menjadi kejahatan global dan menunjukkan peningkatan yang signifikan
bersamaan dengan peningkatan pada transportasi, dampak yang tinggi pada teknologi
komunikasi, elektronik. Di tahun 1997, Perserikatan Bangsa-Bangsa mendekati pelaku,
penyelundup dan koruptor (baik pejabat pemerintah maupun aparat penegak hukum) yang
terlibat dengan perdagangan manusia telah memiliki keuntungan hingga $7 miliar dari hasil
kejahatan tersebut. Pernyataan lanjutannya ialah kejahatan dapat menjadi lebih berbahaya
dilihat dari perkembangannya yang semakin besar dan luas, menjadi pendapatan dan tujuan
baru, mekanisme teknologi yang lebih tinggi, varian tujuan, perubahan latar belakang korban,
semakin luasnya hubungan pelaku dengan pelaku kejahatan sektor industri, serta kuatnya
hubungan bisnis antara pelaku dan sumber politik, peningkatan keuntungan dengan dan tanpa
resiko apapun, serta pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapatkan keuntungan.

Hingga sekarang, perdagangan manusia masih ada di Indonesia. Beberapa tempat di


Indonesia menjadi tempat pusat atau tempat untuk mengirimkan orang-orang yang akan
diperdagangkan, kebanyakan dari mereka didapatkan melalui janji-janji untuk memperoleh
pekerjaan yang memadai dengan bayaran yang tinggi. Kebanyakan korban adalah perempuan
dan anak-anak dibawah umur dengan pengetahuan yang rendah serta sangat miskin sehingga
mudah untuk dibujuk dengan beberapa janji manis seperti gaji yang tinggi dan pekerjaan
yang baik. 

Sekarang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 58),
April 19, 2007, sebagai upaya perlindungan hukum baik secara maupun tidak langsung
kepada korban, dan calon korban sehingga tidak menjadi korban. Bahkan Indonesia telah
meratifikasi United Nations Convention against Transnational Organized Crime dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2009, pada 1 Januari 2009. Dengan diratifikasinya hal tersebut,
menjadikan Indonesia sebagai bagian dari upaya pemberantasan perdagangan manusia secara
global. 

Di Indonesia sendiri pun telah dikeluarkan juga Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008
tentang Tugas Penanganan dan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Manusia. Dalam
rangka penanganan korban dan saksi tindak pidana perdagangan manusia, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Pemberdayaan
Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Bagi Saksi/Korban
Perdagangan Manusia dan penghapusan eksploitasi seksual terhadap anak dan remaja di kota
atau pedesaan. 

Berdasarkan penjelasan diatas berkaitan dengan meningkatnya perdagangan manusia sebagai


kejahatan global termasuk Indonesia, maka analisis permasalahan yang perlu dibahas ialah
bagaimana bentuk perlindungan hukum korban dari kejahatan perdagangan manusia di
Indonesia menurut hukum internasional? 

Analisa dan Diskusi 

A. Definisi Perdagangan Manusia

Definisi dari perdagangan menurut Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 pada 30
Desember, 2002 mengenai penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak, telah
disebutkan:

Perdagangan perempuan dan anak-anak merupakan segala bentuk perlakuan yang terdiri dari:
perekrutan, pengangkutan antar kota atau negara, perpindahaan, pemberangkatan, relokasi
dengan cara; mengintimidasi, menggunakan kekerasan verbal dan fisik, penculikan,
kecurangan, mengambil keuntungan dalam situasi dimana orang tersebut tidak memiliki
pilihan, mengisolasi, ketergantungan pada narkoba, penjebakan, menerima bayaran atau
keuntungan dari perempuan dan atau anak-anak yang digunakan dalam tujuan; prostitusi dan
eksploitasi (termasuk pedofilia), pekerja migran baik legal dan ilegal, pengadopsian anak,
bekerja di jermal, pembantu rumah tangga, pengemis, dalam industri pornografi, penjual
narkoba, penjual organ tubuh manusia dan segala bentuk eksploitasi lainnya.

Sedangkan batasan PBB (2000) terhadap perdagangan manusia ialah:

1. Perdagangan manusia adalah merekrut, mengirim, memindahkan atau menerima


orang dengan mengintimidasi dan menyalahgunakan segala bentuk pemaksaan,
penculikan, kecurangan atau penyalahgunaan kekuasaan atau memiliki posisi yang
rentan, atau untuk memberi atau mendapatkan bayaran atau keuntungan untuk
mendapatkan persetujuan dari pemerintah dengan tujuan eksploitasi. Yang termasuk
kedalam eksploitasi adalah prostitusi atau bentuk lainnya dalam eksploitasi seksual,
layanan paksa, perbudakan atau praktek perbudakan atau pengambilan organ tubuh. 
2. Persetujuan dari korban perdagangan manusia terhadap perlakuan eksploitasi yang
disebutkan pada paragraf (a) dalam artikel ini tidak akan berkaitan apabila yang
disebutkan di atas telah digunakan. 

3. Perekrutan, pengiriman, perpindahan atau penerimaan anak-anak dengan tujuan


eksploitasi akan diklasifikasikan sebagai perdagangan manusia.

4. Semua anak yang berada dibawah usia 18 tahun.

B. Instrumen Internasional Yang Berkaitan Dengan Perdagangan Manusia

Kesepakatan-kesepakatan ini telah memulai beberapa negara untuk melakukan upaya


penghapusan perdagangan manusia, terutama untuk perempuan dan anak-anak:

a. International Agreement for The Suppression of White Slave Traffic, Year 1904

b. International Convention for The Suppression of White Slave Traffic, Year 1910

c. International Convention for The Suppression of Traffic in Women and Children


1921;

d. International Convention for The Suppression of Traffic Women of Full Age, Year
1933.

Kesepakatan tersebut umumnya merujuk pada perdagangan manusia ketika memindahkan


manusia khususnya pada perempuan serta anak-anak melalui lintas negara dengan tujuan
prostitusi. Telah dinyatakan dengan jelas bahwa pemberantasan perdagangan manusia dengan
tujuan prostitusi telah diatur dalam “Convention for The Suppression of The Traffic in Person
and Exploitation of the Prostitution of the Others” dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1949 dan mulai berlaku sejak 25 Juli 1951.

C. Perlindungan Korban Kejahatan Perdagangan Manusia Menurut Instrumen


Perdagangan Internasional

Perlindungan pada korban merupakan bagian dari permasalahan hak asasi manusia dan hak
dari korban itu sendiri serta bagian dari konsep kemanusian. Berdasarkan alasan tersebut,
sangat penting untuk memiliki perlindungan hukum bagi korban.
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa semua korban dari segala bentuk kejahatan harus
dilindungi karena korban memiliki hak untuk menuntut pelaku, korban harus mampu untuk
mempertahankan sejumlah kerugian namun tentu saja segala bentuk pembalasan dan
kerugian akan diambil alih oleh negara, sehingga korban tidak perlu mengkhawatirkannya.
Selanjutnya untuk konsep baru dari hukum pidana, yang mana telah disebutkan bahwa
perlunya pemberdayaan dan perlakuan pada perilaku pelaku kejahatan agar dapat kembali ke
kehidupan sosial, hal ini menjelaskan bahwa negara masih kurang memperhatikan korban
dari kejahatan itu sendiri (Mardjono Reksodiputro, 1994:75-76) [5]. Sekarang ini telah
berkembang orientasi baru dalam hukum pidana, dimana sebelumnya orientasi tersebut hanya
berfokus pada kejahatan dengan target mencegah kejahatan, kemudian berubah menjadi
pelaku dengan target pengobatan pada pelaku kejahatan, kemudian berkembang lagi menjadi
korban dengan target pengobatan pada korban kejahatan. Namun, kepedulian pada korban
dalam hukum pidana akhir-akhir ini lebih memiliki kesan bahwa hal itu “memanjakan” sang
pelaku kejahatan dibandingkan memperhatikan korban dari kejahatan itu sendiri.

Undang-Undang pasal 43 Nomor 21 Tahun 2007 yang mengacu pada Undang-Undang


Nomor 13 Tahun 2006 merupakan upaya perpaduan dari kedua undang-undang. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah mengatur tentang perlindungan korban
dan saksi. 

Di beberapa negara, perhatian pada korban telah menunjukkan upaya yang baik dimana
terdapat beberapa ganti rugi yang diberikan kepada korban sesuai dengan sebagian besar
keinginan masyarakat internasional yang diselenggarakan konferensi oleh PBB di Caracas,
Venezuela pada tahun 1980. Komisi PBB untuk Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan
terhadap Pelanggar berpendapat bahwa konferensi PBB IV yang dilaksanakan di Milan pada
tahun 1985 harus mendiskusikan mengenai masalah korban yang telah menutupi kejahatan
konvensional, seperti kekerasan pada orang lain atau korban karena penyalahgunaan
kekuasaan seperti ekonomi dan politik, kejahatan terorganisir dan eksploitasi, dan
memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang rentan seperti perempuan, anak-
anak, dan kaum etnis minoritas (Paul Zvonimir Separovic, 1985: 425-426) [6]. Dan juga
menurut rekomendasi dari konferensi PBB VII pada tahun 1985 di Milan menyatakan:
Bahwa hak-hak korban harus dilihat sebagai suatu kesatuan dari seluruh sistem hukum
pidana. Berkaitan dengan itu, Joanna Shapland, dan partnernya (Joanna Shapland, Jon
Willmore, dan Peter Duff, 1985:1) [7] menyatakan bahwa korban dari suatu kejahatan telah
dilupakan oleh masyarakat dalam sistem hukum pidana. Perhatian yang sedikit pada korban
pun akan memiliki dampak kekurangan dalam proses kerja sistem hukum pidana.

Berdasarkan itu, J.J.M. van Dijk, dan teman-temannya (J.J.M. van Dijk, H.I. Sagel-Grande,
and L.G. Toornvliet, 1999:289) [8] menjelaskan bahwa pada pertengahan abad 20, hukum
pidana tidak terlalu memfokuskan pada posisi korban. Sementara dalam bidang kriminologi
lebih selalu merujuk pada pelaku. Perkembangan hukum pidana dimulai pada tahun 1960
dengan tujuan dimana penderitaan pada korban akan jauh lebih ringan. Kemudian, pada akhir
tahun 1980-an, banyak negara yang telah mengangkat banyak kelompok untuk berkampanye
agar memberikan perlakuan yang lebih baik pada korban dalam sistem hukum dan
kriminologi yang berorientasi pada korban. 

Dengan berkembangnya kepedulian pada korban telah menunjukkan bahwa masalah korban
masih merupakan bagian dari hukum sistem pidana yang seharusnya mendapatkan perhatian
penuh. Respon dari komisi Eropa konferensi PBB (sebagai perbandingan) (European
Commission, 1999:2) menyatakan bahwa dalam era kemerdekaan, keadilan dan keamanan
dalam komunitas Uni Eropa harus memiliki akses jaminan warga negara Eropa dalam sistem
hukum pidana. Oleh karena itu, warga negara harus mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai. Hal ini sangat penting dilihat dari ketidakacuhan pada hak-hak korban sejak lama
dan sudah waktunya untuk memberikan perhatian yang penuh kepada hak-hak korban. Upaya
untuk melindungi korban kejahatan sebenarnya telah dilakukan sejak awal tahun 1980-an,
dimana komisi Eropa telah mengadopsi beberapa instrumen internasional dengan tujuan
memperbaiki hak-hak korban dalam Uni Eropa. Upaya selanjutnya yang dilakukan dalam
berbagai kesempatan telah didiskusikan dalam parlemen Eropa. Pada tahun 1998,
permasalahan dalam perlindungan korban masih menjadi bahasan di dewan Eropa dengan
hasil dimana korban dari kejahatan termasuk kedalam Action Plan on Freedom, Security and
Justice. 

Deklarasi PBB mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan sebenarnya telah diadopsi oleh Majelis Umum per 29 November
1985 (General Assembly Resolution 40/34), dan mencerminkan kesediaan bagi seluruh
masyarakat internasional untuk menyeimbangkan antara hak-hak fundamental antara pelaku
serta hak dan kepentingan korban. Deklarasi tersebut berdasarkan kepada filosofi yang
menyebutkan bahwa korban dilindungi dan diperlakukan sebagaimananya kemanusiaan itu.
Berkaitan dengan hal tersebut, hak korban untuk mengakses mekanisme keadilan dan
mendapatkan ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya. Selain itu, korban juga berhak
mendapatkan bantuan khusus untuk trauma emosional dan masalah lainnya akibat kesedihan
yang menimpa korban.

Kepedulian terhadap korban tidak hanya berlaku pada korban yang mengalami kejahatan
konvensional (seperti perampokan, pemerkosaan, pencurian dan kejahatan lainnya) namun
juga perlu diberikan pada korban kejahatan non-konvensional seperti korban kejahatan
perdagangan manusia.

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, meningkatnya perhatian pada korban kejahatan
sebenarnya untuk menyeimbangkan hak-hak dasar antara pelaku dan korban. Oleh karena itu,
konsepnya harus jelas dengan kata lain tujuan serta ruang lingkup dari perlindungan itu
sendiri harus dipertahankan terlebih dahulu. 

Untuk menciptakan konsep perlindungan korban, memerlukan pertimbangan dari konsep


sanksi pidana seperti yang telah disebutkan oleh Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief,
1996: 98) [9] bahwa konsep dari sanksi pidana ialah harus seimbang dari dua arah,
perlindungan pada lingkungan serta perlindungan pada individu yang kemudian melahirkan
konsep Daad-dader Strafrecht. Namun untuk perlindungan korban, dalam opini saya harus
dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya berorientasi pada pelaku (offenders
oriented) namun juga berorientasi pada korban (victims oriented). Victims oriented pun harus
lebih luas, tidak hanya berfokus pada orang yang berpotensi sebagai korban, namun juga
pada korban sebenarnya dan korban langsung. Oleh karena itu, konsep dari Daad-dader
Strafrecht telah diimplementasikan kedalam pasal 11 Rancangan Undang-Undang KUHP
tahun 2008 (Penjelasan dalam pasal 11) [10] seharusnya ditinjau dan dikembangkan dengan
konsep Daad-dader Strafrecht.

Selanjutnya, korban tidak perlu merasa terpinggirkan lagi dalam hukum pidana. Sehingga
persamaan dan keseimbangan harus dikembangkan dalam UUD/Buku Hukum Pidana
Indonesia yang baru.

D. Perlindungan Untuk Korban Perdagangan Manusia di Indonesia

Perdagangan manusia adalah kejahatan yang sulit dihentikan dan dikenal sebagai perbudakan
modern oleh masyarakat internasional saat ini. Ini menjadi 7 prioritas dalam Kepolisian
Republik Indonesia bersamaan dengan perjudian, narkoba, korupsi, penebangan liar,
perikanan-pertambangan, kejahatan di jalan dan anarkisme. Perdagangan manusia itu sendiri
terus berkembang baik di dalam negeri maupun secara internasional. Bersamaan dengan
tumbuhnya perkembangan teknologi dalam komunikasi dan transportasi yang digunakan oleh
pelaku kejahatan untuk menciptakan kejahatan baru seperti perdagangan manusia melalui
internet atau jaringan sindikat dengan rantai yang rusak.

Kegiatan perdagangan manusia itu sendiri di Indonesia telah ada sejak dahulu, namun karena
kurangnya kesadaran dari masyarakat dan buruknya jaringan antara kepolisian, jaksa, hakim,
dan organisasi non-pemerintah juga advokat yang merupakan bagian dari sub sistem dalam
Criminal Justice System (CJS). 

Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim namun juga sebagai negara tempat
transit dan penerima. Dengan arti lain bahwa beberapa tempat di Indonesia dikenal sebagai
tempat dimana korban datang sebagian tempat di Indonesia dikenal sebagai tempat dimana
eksploitasi pada korban itu terjadi. Mereka tidak hanya diperjual-belikan di dalam Indonesia
namun juga di luar negeri seperti Malaysia, Arab Saudi dan Jepang.

Fenomena perdagangan manusia di Indonesia, dalam prakteknya memiliki spektrum lapangan


yang luas, dimulai dari kegiatan ilegal yang kemudian dikemas dengan cara yang sangat baik
pejabat resmi yang menutupi praktek kejahatan tersebut. Upaya untuk menyingkirkan
perdagangan manusia ini telah dilakukan oleh pemerintah sebagaimana dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang menyatakan pemberantasan tindak pidana
perdagangan manusia dengan jalan pencegahan dimulai dari proses perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, dan pemindahan pada orang-orang yang dicurigai
sebagai korban.

Pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 telah menyebutkan perlindungan langsung


kepada korban, seperti yang diimplementasikan pada pasal 43 hingga pasal 55. Khusus untuk
tanggung jawab pelaku juga disebutkan dalam pasal 48 hingga pasal 50. UU No. 21 Tahun
2007 telah menunjukkan bahwa terdapat makna yang lebih signifikan, khususnya mengenai
tanggung jawab terhadap korban jika memperhatikan pasal 50 ayat 4 UU No. 21 Tahun 2007,
namun terdapat masalah mengenai hukuman penjara dalam konteks pasal 50 ayat 4 UU No.
21 Tahun 2007 dimana hanya orang yang dapat dikenai tindak pidana, bagaimana dengan
organisasi? Sedangkan telah disebutkan di atas, ayat 1 pasal 4 dimana undang-undangnya
menyatakan bahwa setiap orang tidak hanya berarti individu namun juga perusahaan atau
organisasi.
Merujuk kepada hal tersebut, undang-undang itu sendiri memiliki kelemahan dalam menekan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban korban dari kejahatan perdagangan manusia, selain
itu juga menunjukkan ketidakkonsistenan dalam mendefinisikan subjek pelaku.

Untuk kedepannya, diharapkan sanksi hukum pidana bagi perusahaan dapat dikembangkan
lebih luas dibandingkan hanya sanksi alternatif yang dulunya berupa denda/penalti. Untuk itu
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 melalui pasal 15 ayat 2 telah mengatur:

1. Pencabutan Izin

2. Perampasan Kekayaan Hasil Tindak Pidana

3. Pencabutan Status Badan Hukum

4. Pemecatan Pengurus; dan/atau

5. Pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha
yang sama.

Mengingat kembali bahwa konsep perlindungan tidak hanya berorientasi pada calon korban,
tetapi juga pada korban yang sebenarnya, sehingga undang-undang yang ada akan lebih jauh
dari undang-undang yang sebelumnya. 

Menurut Schafer, bahwa ganti rugi kepada korban harus menjadi tanggung jawab dari pelaku
itu sendiri, hal ini merupakan bagian dari tuntutan masyarakat. Berdasarkan pandangan
tersebut, restitusi tidak mengacu pada korban, sebagai gantinya disaat yang sama akan
membantu pelaku ke dalam masyarakat serta melakukan rehabilitasi yang merupakan bagian
dari hukumannya (M. Arief Amrullah, 2003: 213) [11]. J.J.M. van Dijk menulis bahwa untuk
menangani konflik antara korban dan pelaku, hukum pidana adalah penolong untuk
menyelesaikan konflik karena membenarkan pihak korban. Kemudian untuk menjawab
tuntutan dari masyarakat, khususnya mengenai korban perdagangan manusia, maka pihak
polisi melakukan beberapa perubahan baru dari “militeristik” menjadi “polisi sipil” dari atau
merubah sikap antagonis menjadi protagonis.

Hal-hal tersebut membentuk percepatan transformasi budaya yang telah menunjukkan dua
wajah yang tidak mampu memisahkan wajah koheren dan wajah humanis. Instansi kepolisian
memiliki tugas pokok dan wewenang yang telah diberikan dalam Undang-Undang Pasal 13:
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan bagian dari salah satu fungsi pemerintah
dalam menjaga dan mengatur keamanan serta ketertiban masyarakat. Disebutkan juga bahwa
tugas dari kepolisian adalah mampu mengayomi dan membimbing masyarakat dan berdiri di
dekat masyarakat serta sebagai profesional yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi
manusia, menjaga dan menciptakan keamanan yang baik di dalam negara untuk demokrasi
dan kesejahteraan sosial. Untuk melakukan pencegahan dan mengatasi perdagangan manusia
seperti yang telah disebutkan pada Pasal 5 ayat 2, pemerintah harus menciptakan kelompok
khusus yang berisikan perwakilan dari pemerintah, aparat hukum, organisasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, peneliti/akademisi dalam rangka pencegahan kejahatan
perdagangan manusia. 

Namun nyatanya, implementasi dari kelompok tersebut belum berjalan dengan optimal
sehingga harus lebih berkoordinasi untuk pencegahan, perlindungan untuk sanksi hukum dan
kerjasama lintas sektor dengan tujuan mencegah terjadinya perdagangan manusia.
Ketidakoptimalan koordinasi dan kerjasama antar instansi tersebut berkaitan dengan
indikator-indikator sebagai berikut:

a. Pencegahan

Dalam rangka pencegahan perdagangan manusia, yang paling utama adalah Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 belum disosialisasikan kepada masyarakat khususnya TKI yang akan
dikirim.

b. Perlindungan

Belum terciptanya kerjasama yang baik seperti koordinasi yang baik sebagaimana yang
dimaksud ialah kelompok kerja khusus yang dikaitkan dengan kerjasama bilateral,
multilateral, regional dan internasional dalam rangka penyelesaian kejahatan perdagangan
manusia. Demikian pula Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang mekanisme
pelayanan saksi dan korban perdagangan manusia.

c. Sanksi Hukum

Tidak adanya kerjasama dan koordinasi dalam penegakan hukum antara Polri, Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung karena korban tidak
aktif melapor karena kurangnya pemahaman dalam hukum atau malu.

Penutup
Perlindungan pada korban perdagangan manusia merupakan bagian dari permasalahan hak
asasi manusia dan hak-hak para korban merupakan bagian terpisah dari konsep hak asasi
manusia itu sendiri, sehingga memerlukan perlindungan di Indonesia, perlindungan pada
korban perdagangan manusia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Hukum Pidana
Indonesia serta Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 mengenai penekanan pada
perdagangan manusia. Faktanya adalah kejahatan pada perdagangan manusia tetap ada
bersamaan dengan tingginya teknologi seperti komunikasi dan transportasi yang dapat
menyebabkan kejahatan transnasional. Namun, kita harus optimis bahwa Indonesia mampu
untuk mengurangi atau menekan adanya perdagangan manusia dengan dibentuknya tim kerja
yang dibentuk mengikuti penjelasan sebelumnya, serta restitusi terhadap korban dari
perdagangan manusia harus segera mendapatkan atensi dari pemerintah. Serta hukuman
untuk para pelaku dan organisasi harus ditegakkan seperti yang telah diatur dalam undang-
undang yang ada untuk menghentikan adanya korban perdagangan manusia. Karena
perdagangan manusia telah menjadi bagian dari kejahatan transnasional, maka instrumen
internasional mengenai kejahatan tersebut harus diimplementasikan pada seluruh negara
termasuk Indonesia. Perlindungan pada korban perdagangan manusia di Indonesia harus
dilaksanakan mengingat banyaknya korban dari kejahatan tersebut, pemerintah harus
memberikan jaminan seperti perlindungan hukum pada korban dari perdagangan manusia.

Referensi

[1]. Un document No. E/CONF.88/2, August 18, 1994 and had been discussed in World
Ministerial Conference on Organized Transnational Crime in Naples, 21-23 November 1994
with theme Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various
Regions of the World, to be delivered in UN conference 9th about the Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders in Cairo, 29 April – 8 Mei 1995.

[2]. Ambassador Wendy Chamberlin, Principal Deputy Assistant Scretary, Bureau for
International Narcotics and Law Enforcement Affairs, U.S. Department of State, in Economic
Perspectives, The Fight Against Money Laundering. (diakses lewat situs di internet tentang
trafficking)

[3]. To understand what the organized crime mean, in Article 2 poin 1 Article Proposal and
Contributions Received from Governments, stated (General Assembly, A/AC.254/5 19
December 1998), that organized crime is the activities with purposed to do something related
an criminal organization. 

[4]. Trafficking in Human Beings, see


http://www.unodc.org/unodc/en/trafficking_human_beings.html 

[5]. Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta,
1994. 

[6]. Paul Zvonimir Separovic, Victimology Studies of Victims, Samobor-Novaki bb Pravni


Fakultet, Zagreb, 1985. 

[7]. Joanna Shapland, Jon Willmore and Peter Duff, Victims in the Criminal Justice System,
Gower, England, 1985. 

[8]. J.J.M. van Dijk, H.I. Sagel-Grande, and L.G. Toornvliet, Kriminologi Aktual, Alih
Bahasa P. Soemitro, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1999. 

[9]. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996. 

[10]. Explanation of article 11, stated, like: Indonesia Criminal Law based on actor and
maker (daad-daderstrafrecht) and according to it established the legality principles and
wrongful principles. 

[11]. M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam rangka Perlindungan Korban
Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.
BAB II

Tinjauan Literatur

I. Rangkuman Jurnal
Perdagangan manusia adalah segala bentuk kegiatan eksploitasi yang terdiri
dari perekrutan, pengangkutan dan pemindahan antar kota atau negara,
penampungan, dan perpindahan dengan cara mengitimidasi, menggunakan
kekerasan baik secara verbal maupun fisik, penculikan, dan lainnya dengan tujuan
prostitusi, penjualan narkoba, penjualan organ tubuh, dan segala bentuk
eksploitasi lainnya.
Sedangkan pengertian perdagangan manusia menurut UU No. 21 Tahun 2007
adalah “Perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Perdagangan manusia telah ada sejak jaman dahulu dan sudah ada beberapa
hukum internasional yang mendiskusikan mengenai pemberantasan kejahatan
tersebut. PBB sendiri telah menjelaskan bahwa perdagangan manusai termasuk
kedalam kejahatan transnasional sehingga memerlukan kerjasama banyak negara
untuk membantu mengurangi kasus yang terjadi. Di Indonesia sendiri telah ada
Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan manusia beserta hukum
yang melindungi korban serta saksi dari kejahatan, ditambah dengan pembuatan
kelompok khusus untuk memberantas kerja sehingga dengan begitu diharapkan
pelaku dapat dikenai tindak pidana yang ada.
Bersamaan dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan transportasi
akan memberikan kemudahan pada pelaku kejahatan perdagangan manusia untuk
melancarkan aksinya dengan menciptakan bentuk kejahatan baru seperti
perdagangan manusia melalui internet seperti contoh adalah prostitusi online dan
juga pemesanan organ ilegal secara online.
II. Hukum Internasional mengenai Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia merupakan kejahatan transnasional yang menjadikan
kejahatan ini masalah di banyak negara sejak dahulu. Terdapat beberapa konvensi
internasional yang telah mengatur mengenai perdagangan manusia, diantaranya
adalah sebagai berikut (Novianti, 2014; Sakharina, 2016):
1. International Convention for The Suppression of White Slave Traffic
(Konvensi Internasional Untuk Menghapus Perdagangan Budak Kulit
Putih) Tahun 1904, 1910, dan 1921
2. International Convention for The Suppression of Traffic in Women
and Child (Konvensi Internasional Untuk Menghapus Perdagangan
Perempuan dan Anak) Tahun 1921
3. International Convention for The Supperssion of Traffic in Women of
Full Age (Konvensi Internasional Untuk Menghapus Perdagangan
Perempuan Dewasa) Tahun 1933
4. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts
Women, CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan) Tahun 1979
Selain konvensi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula Protokol Palermo
yang mengatur tentang perlindungan korban perdagangan manusia dengan cara
mencegah, menindak serta menghukum pelaku perdagangan manusia khususnya
perdagangan perempuan dan anak-anak. Dimana protokol ini melengkapi United
Nations Convention Againts Transnational Organization Crime pada tahun 2000
(Novianti, 2014). PBB juga telah membentuk United Nations Office on Drugs
and Crimes atau disebut dengan UNODC guna menangani permasalahan
perdagangan manusia dan juga penyelundupan imigran gelap.

III. Undang-Undang di Indonesia mengenai Perdagangan Manusia


Di Indonesia itu sendiri telah terdapat undang-undang yang mengatur
mengenai perdagangan manusia, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
yang berisi tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau
disebut dengan UU PTPPO (Nuraeni & Kania, 2018). Dalam undang-undang
tersebut, pelaku kejahatan tidak hanya diberikan hukuman tindak pidana penjara
namun juga mendapatkan hukuman berlapis berupa pidana penjara. Selain itu,
terdapat undang-undang yang mengatur perlindungan para korban dan saksi dari
kejahatan perdagangan manusia dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 297 menyatakan bahwa perdagangan wanita dan
anak dibawah umur akan mendapatkan hukuman pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun.
Dengan maraknya kasus perdagangan manusia di Indonesia, tentunya
Undang-Undang saja tidak cukup untuk mengatasi kejahatan tersebut. Diperlukan
pula penegak hukum untuk membantu mengurangi serta menghapuskan kasus
perdagangan manusia yang ada. Salah satu kegiatan di Indonesia yang paling
rentan dalam menimbulkan perdagangan manusia adalah pengiriman tenaga kerja
ke luar negerti terkhususnya wanita atau disebut dengan Tenaga Kerja Wanita
(TKW). Adapula pengaturan kasus tersebut dipenuhi oleh unsur-unsur yang
terdapat di Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2007 (Novianti, 2014).
BAB III

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan rangkuman dari jurnal diatas, dapat dipahami bahwa
Perdagangan Manusia terutama perdagangan wanita dan anak-anak masih marak terjadi baik
di Indonesia maupun di luar Indonesia dan menjadikan kejahatan tersebut menjadi bagian
dari kejahatan transnasional dimana membutuhkan kerjasama banyak negara untuk menekan
dan menghapuskan kejahatan yang terjadi. Perdagangan manusia telah berlangsung sejak
lama dan sudah banyak konvensi yang mendiskusikan permasalahan ini sehingga perlu
ditingkatkan pengawasan dan penindaklanjutan untuk mengatasi kejahatan perdagangan
manusia. Di Indonesia sendiri, perdagangan manusia telah diatur dalam Undang-Undang No.
21 Tahun 2007 dan juga Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 mengenai Perlindungan
Korban dan Saksi.
DAFTAR PUSTAKA

Novianti. (2014). Tindak Pidana Perdagangan orang, Lintas batas negara I.


PENDAHULUAN Perdagangan manusia (. Jurnal Ilmu Hukum, 50–66.

Nuraeni, N., & Kania, D. (2018). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum Islam.
Al-’Adalah, 14(1), 131. https://doi.org/10.24042/adalah.v14i1.1866

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan


Orang.

Sakharina, I. K. (2016). Victim Protection of Human Trafficking in Indonesia According to


the International law Iin Karita Sakharina. Quest Journals, 4(12), 32–37.

Anda mungkin juga menyukai