Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

DOSEN : Nur Solihi Insani SH.,MH


Disusun Oleh Kelompok 3
- Fina Hazlinda (191010
- Gerhan Adi Lantara (191010
- Kevin Andrew Valentino (191010
- Lidia Yoeanita (19101020045)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
JL. Raya Puspitek No. 46, Buaran, Serpong, Kota Tangerang Selatan
Banten, Indonesia 15310, (021) 7412566
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdagangan manusia (Human Trafficking) merupakan sebuah kejahatan yang tercetus
sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Perdaganagan orang merupakan kejahatan yang terus menerus berkembang secara
nasional maupun internasional. Hal ini didukung dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi maka semakin berkembang pula
modus kejahatannya, yang mana dalam teknik beroperasinya sering dilakukan secara
tertutup dan bergerak diluar hukum.

Pelaku perdagangan manusia (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi


sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan. Perdagangan manusia
dapat mengambil korban siapapun, manusia-manusia dewasa dan anak-anak, laki-laki
maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situasi dan kondisi yang rentan.
Dalam melancarkan aksinya, modus yang digunakan dalam kejahatan ini sangat
beragam dan juga memiliki aspek kerja yang rumit. Bahkan secara faktanya, tidak ada
negara yang kebal terhadap perdagangan manusia ini. Dan setiap tahunnya diperkirakan
jumlah perdagangan manusia semakin meningkat dengan menyeberangi perbatasan-
perbatasan internasional para korban dipaksa berkerja ditambang dan tempat buruh yang
berupah rendah, ditanah pertanian sebagai pelayan rumah.

Diketahui sejak era kemerdekaan yang demokratis dengan masyarakat yang religius dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, bangsa Indonesia terus meningkatkan
komitmennya untuk mensejahterakan kehidupan bangsa melalui upaya-upaya yang
diselenggarakan secara konsisten dan berlanjutan dalam melindungi warga negaranya
antara lain dari praktek-praktek perdagangan manusia dan bentuk-bentuk eksploitasi
lainnya.
Maka dari itu, dalam ketentuan Perundang-undangan Republik Indonesia yang
mengatur tentang perdagangan manusia merupakan wujud kepedulian dari semua unsur
yang berwajib telah banyak melakukan tindakan hukum kepada para trafficker dan
memproses mereka secara hukum serta mengajukannya kepengadilan. Namun pihak
Kepolisian, Kejaksaan/Advokat/Pengacara dan pengamat yang perduli terhadap masalah
perdagangan manusia mengeluhkan adanya kendala dibidang perundang-undangan yang
menyebabkan hukuman yang diberlakukan kepada trafficker tidak cukup dan tidak
menimbulkan efek jera bagi mereka dilihat dari sudut pandang korbannya, hampir
seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah perempuan dan anak-anak dibawah
umur. Hanya sebagian kecil kasus yang menyangkut tenaga kerja Indonesia yang
menjadi korbannya adalah laki-laki.

Jika berangkat dari masalah perdagangan manusia yang semakin meluas, baik dalam
bentuk jaringan kejahatan yang teroganisir dan tidak teroganisir, baik bersifat antar
negara maupun dalam negeri. Hal ini dirasakan perundang-undangan selama ini yang
berkaitan dengan perdagangan manusia belum memberi landasan hukum yang
menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan manusia.
Maka dari itu Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Tindak Pidana Perdagangan Orang ?
2. Bagaimana Faktor Penyebab Tindak Pidana Perdagangan Orang ?
3. Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana dan Upaya pencegahan dan penanggulangan
dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Tindak Pidana Perdagangan Orang
2. Untuk mengetahui Faktor penyebab Tindak Pidana Perdagangan Orang
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Penerapan Sanksi Serta Upaya dan
Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Unsur-Unsur dalam


Tindak Pidana Perdagangan.

Pengertian tindak pidana perdagangan orang sebagai terjemahan dari bahasa Inggris
“Human Trafficking” yang mana menjadi standar internasional untuk mengidentifikasi
segala kegiatan illegal yang berkaitan dengan pemindahan atau transfer manusia dari
suatu negara ke negara lain dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan secara
komersil dengan cara mengeksplotasi manusia tersebut tanpa menghormati dan
mengindahkan harkat dan martabat serta hak asasi manusia.

Di Indonesia, peraturan tentang perdagangan orang sudah diatur dalam dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (UU PTPPO). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
adalah :

“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau


penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuaan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.”

Undang-undang ini tidak hanya mengatur perdagangan orang terhadap perempuan dan
anak yang rentan menjadi korban, tetapi terhadap siapapun yang dimungkinkan menjadi
korban perdagangan orang. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dianggap penting, karena kejahatan perdagangan orang terjadi
secara terorganisir, melibatkan hubungan antar negara, dan merupakan bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang dianggap baru di
dalam sistem hukum di Indonesia sekalipun bentuk perbuatan itu sudah ada sejak lama
di Indonesia. Hal ini dikarenakan undang-undang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang baru muncul dan disahkan Pemerintah pada tanggal 19 April 2007
dalam Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58.

Namun secara internasional, pengaturan tentang perlindungan korban perdagangan


manusia diatur dalam protokol Palermo (protocol of prevent, suppress and punish
trafficking in person, especially women and children, supplement the united nations
convention againts transnational organization crime), protokol tentang mencegah,
menindak dan menghukum pelaku perdagangan orang khususnya perempuan dan anak.
Protokol Palermo tersebut mendefinisikan tindak pidana perdagangan orang yaitu
“Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang,
dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan,
penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaaan kekuasaan atau posisi rentan
atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, ekploitasi untuk melacurkan orang lain
atau bentuk-bentuk lain dari ekploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh”.

Adapun unsur-unsur dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut :

a. Adanya tindakan atau perbuatan, seperti perekrutan, transportasi, pemindahan,


penempatan dan penerimaan orang.
b. Dilakukan dengan cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk- bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan,
pemberian atau penerimaan pembayaran/keuntungan untuk memperoleh
persetujuan.
c. Ada tujuan atau maksud yaitu untuk eksploitasi dengan maksud mendapatkan
keuntungan dari orang tersebut.

Jenis-jenis Tindak Pidana Perdagangan Orang


Jenis-jenis dalam tindak pidana perdagangan orang yang terjadi meliputi eksploitasi
seksual, kerja paksa, perbudakan dalam rumah tangga, adopsi antar anak illegal dalam
negara, penjeratan utang, pengantin pesanan, dan perdagangan organ tubuh manusia.

Bentuk perdagangan orang di Indonesia antara lain :

a. Buruh/ migran baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa perlindungan
sudah menjadi ragasia umum bahwa banyak orang termasuk anak di bawah
umur berimigrasi tanpa jalur yang sah ataupun tanpa diketahui oleh kementrian
tenaga kerja, melalui jalur informal yang melanggar hukum sehingga
meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan. Buruh migran
dieksploitasi sepanjang proses migrasi dimulai dari perekrutan hingga proses
keberangkatannya selama bekerja dan setelah kembali.
b. Pekerja pembantu rumah tangga (PRT), selalu mendapatkan risiko besar karena
sifat kerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan
masyarakat umum. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang
dilakukan oleh majikan. Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi
kemana mereka mau pergi dan biasanya mereka dikurung di rumah jika majikan
mereka pergi. Karena PRT termasuk sektor yang informal, profesi ini sering
sekali tidak diatur oleh pemerintah dan berada diluar jangkauan undang-undang
ketenagakerjaan nasional.
c. Perempuan atau anak yang diperkerjakan sebagai pelacur. Perekrutan untuk
industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh
migran. Banyak perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada
perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau diluar daerah
yang tidak mengetahui dari bentuk sebenarnya pekerjaan mereka sampai di
tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka dan mereka
tidak berani mengadukan kepada pihak yang berwenang karena takut akan
dideportasi dan sebagainya.
d. Perekrut menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan
tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dandijaga secara
ketat. Perempuan-perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu
rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerja di sektor hiburan kemudian
dipaksa untuk kemudian bekerja di industri seks komersial. d. Kerja paksa,
orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak sendiri dan tanpa
memperoleh imbalan yang layak atau tanpa memperoleh imbalan sama sekali.
e. Pengantin pesanan, ada kecenderungan yang marak diantara laki-laki dari negara
industri untuk mencari pengantin dari negara berkembang atau sering disebut
dengan pengantin pesanan seperti Taiwan, Cina, Hongkong, Jepang, Australia,
Amerika Utara dan Eropa. Kebanyakan perempuan yang dipesan berasal dari
Asia Tenggara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Meskipun demikian, banyak
kasus pengantin pesanan yang sukses dan bahagia, namun di sisi lain banyak
pula terjadi kasus penganiayaan dan kekerasan fisik atau praktik-praktik serupa
perbudakan dimana istri dibeli untuk melakukan pekerjaan PRT dan
memberikan layanan seks.
f. Pedofilia, orientasi seksual yang obyeknya anak-anak. orang dikatakan fedofil
atau melakukan praktek pedofil melakukan praktek seperti menyodomi,
menyentuh, meraba, memainkan alat kelamin, bervantasi dengan anak-anak.
biasanya pelaku menjauhkan anak-anak dari orang tua atau lingkungan untuk
eksploitasi seksual.
g. Tenaga penghibur, orang yang bekerja di tempat hiburan malam yang menemani
pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur. Banyak kasus dimana
perempuan yang direkrut menjadi tenaga penghibur mengalami pelecehan
seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung.
h. Pengemis dan anak jalan, banyak kasus yang terjadi di Indonesia dimana anak-
anak dan pengemis direkrut, diculik untuk menjadi pengemis dan anak jalanan
(anak yang bekerja di jalanan).
i. Perdagangan organ tubuh, perdagangan manusia juga termasuk perdagangan
organ tubuh manusia. Perdagangan organ tubuh manusia juga tidak terlepas dari
faktor kemiskinan ataupun konsumerisme yang tinggi dalam masyarakat
sehingga rela menjual organ tubuh sendiri ataupun keluarganya untuk
mendapatkan sejumlah uang.
j. Menjadikan sebagai objek percobaan di bidang ilmu pengetahuan atau objek
pencangkokan organ tubuh.
k. Menjadikan anak sebagai alat pembayaran hutang.

Dalam hal ini, masing-masing negara memiliki tafsiran sendiri terhadap definisi
perdagangan manusia sebagaimana yang tercantum dalam protokol pemberantasan
perdagangan manusia khususnya anak dan perempuan. Hal ini terkait dari budaya yang
berkembang di negara masing-masing. Akan tetapi, jenis-jenis perdagangan manusia
yang disebutkan diatas umumnya terjadi di seluruh negara dan dianggap menjadi suatu
kejahatan.

Pelaku Dalam Tindak Perdagangan Orang

Pelaku dalam konteks hukum pidana dipahami sebagai pihak atau subjek hukum yang
melakukan suatu tindak pidana. UUPTPPO mengelompokkan pelaku TPPO (Subjek
Hukum) kedalam 4 (empat) kelompok, yakni:

1. Orang Perseorangan, yang dipahami sebagai setiap individu/perorangan yang


secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri yang secara langsung maupun tidak
langsung bertindak melakukan TPPO (Pasal 1 angka 4 UUPTPPO).
2. Kelompok Yang Terorganisasi, yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga)
orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan
tujuan melakukan satu atau lebih TPPO dengan tujuan memperoleh keuntungan
materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal 16
UUPTPPO).
3. Korporasi yang adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum yang melakukan TPPO
(Pasal 1 angka 6 UUPTPPO). Keempat, penyelenggara negara yang dalam
UUPTPPO dipahami sebagai pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan,
penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya
(menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian
kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan)
untuk melakukan atau mempermudah TPPO (Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
UUPTPPO).

B. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Perdagangan Orang


Permasalahan perdagangan orang saat ini telah menjadi suatu keprihatinan bukan hanya
bagi lingkup nasional, tetapi bagi dunia internasional juga. Bilamana mengingat
sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dianggap sebagai penyebab dan
sekaligus akibat dari perdagangan orang. Pelanggaran HAM yang dimaksud seperti
kerja paksa, eksploitasi seksual dan tenaga kerja, kekerasan, serta perlakuan sewenang-
wenang terhadap para korbannya. Para pelaku perdagangan orang secara licik telah
mengeksploitasi kemiskinan, memanipulasi harapan dan kepolosan dari para korbannya
dengan menggunakan ancaman, intimidasi dan kekerasan untuk membuat para korban
menjalani perhambaan terpaksa, menjalani peonage, menjalani perhambaan karena
hutang (debt bondage), dan perkawinan terpaksa atau palsu, terlibat dalam pelacuran
terpaksa atau untuk bekerja dibawah kondisi yang sebanding dengan perbudakan untuk
keuntungan bagi si pedagang.

Faktor-faktor yang paling mendukung adanya perdagangan orang diantaranya karena


adanya permintaan (demand) terhadap pekerjaan di sektor informal yang tidak
memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah relatif rendah serta tidak
memerlukan perjanjian kerja yang rumit, sehingga menyebabkan pelaku (trafficker)
terdorong untuk melakukan bisnis trafficking. Dari segi ekonomi kegiatan usaha bisnis
seperti ini dapat mendatangkan keuntungan yang sangat besar serta adanya celah hukum
yang menguntungkan para trafficker yaitu kurangnya penegakan hukum di Indonesia,
terutama dalam mengadili pelaku perdagangan orang, termasuk
pemilik/pengelola/perusahaan pengerah tenaga kerja, sehingga mereka dapat
memanfaatkan korban dan calon korban perdagangan orang.

Secara umum dapat diidentifikasi bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya


trafiking perempuan dan anak antara lain disebabkan karena:

1. Kemiskinan (Permasalahan Ekonomi)


Faktor kemiskinan dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk
Indonesia untuk melakukan migrasi untuk memperbaiki situasi ekonomi. Terutama
bagi para calon migran, sering tidak mengetahui apakah orang yang merekrut mereka
itu resmi atau gelap. Hal yang mereka tahu bahwa hanya ada tawaran suatu pekerjaan
di suatu tempat, di suatu negara, dan dengan jumlah tertentu, atau dengan
kesepakatan tertentu, mereka bisa direkrut untuk pekerjaan itu. Orang-orang seperti
ini, baru kemudian menyadari bahwa mereka telah memasuki negara lain secara
illegal. Dan para migran illegal inilah yang posisinya sangat rentan, tanpa
perlindungan.
2. Kurangnya Lapangan Pekerjaan
Untuk mendapatkan pekerjaan merupakan hal berat, sebab dibutuhkan tingkat
inteligensi tertentu, syarat pendidikan tertentu, keahlian tertentu, pengalaman di
bidang tertentu dan hal-hal tertentu lainnya. Bagi orang yang mampu untuk
memenuhi syarat-syarat tertentu tersebut maka akan mendapatkan pekerjaan tertentu
juga, bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan maka mereka tentu akan
mencari pekerjaan yang dapat menerima mereka tanpa persyaratan rumit tersebut.
Menghalalkan segala cara, memanipulasi dokumen diri, mendapat pekerjaan tanpa
syarat-syarat yang berat dan termasuk melanggar ketentuan hukum yang berlaku
hanya untuk sebuah pekerjaan yang diiming-imingi keuntungan.
3. Rendahnya Tingkat Pendidikan
Dimana orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill
dan kesempatan kerja, hal tersebut membuat mereka lebih mudah tertarik oleh iming-
iming pelaku untuk bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian
khusus. Selain karena rendahnya tingkat pendidikan menjadikan seseorang mudah
untuk dibohongi oleh pelaku. Ketidaktahuan akan informasi mengenai perdagangan
orang ini jugalah yang membuat masyarakat lebih mudah untuk terjebak menjadi
korban perdagangan orang khususnya mereka yang berasal dari pedesaan. Maka dari
itu, para korban biasanya sulit untuk mencari bantuan di tempat dimana mereka
dijual karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa
dinegara tersebut, atau tidak mampu beradaptasi dengan keadaan masyarakat di
daerah asing.
4. Peran Keluarga
Dalam hal ini kurangnya peran keluarga dalam melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap anak-anak mulai dari lingkungan pergaulan anak-anak di sekolah maupun
di luar sekolah, keluarga juga tidak mengontrol dengan gaya hidup yang berubah dari
anak-anak, kurangnya pendidikan keagamaan dan etika yang menjadi dasar atau
pijakan bagi anak-anak/anggota keluarga.
5. Diskriminasi Gender
Jika menelaah lebih jauh, problem trafficking bukanlah permasalahan baru yang
hadir begitu saja pada masa kini, jauh pada masa kolonial, hal ini telah terjadi.
migrasi tenaga kerja pada satu titik tertentu, misalnya. penduduk lokal dipindahkan,
baik secara paksa maupun sukarela melalui jalur perbudakan, perdagangan karena
utang, ataupun perpindahan yang dilakukan negara dalam hal kriminal atau
pengasingan politik. Perbedaan mendasar dengan trafficking pada era kontemporer
atau postkolonial saat ini. Dalam arus migrasi kini terdapat fenomena lain yang
disebut dengan “feminisasi migrasi” atau “feminisasi trafficking” yang didominasi
kaum perempuan dan anak-anak gadis. Pekerjaan yang dilakoni mereka pun bersifat
dan berciri pada dirty, no dignity, dangerous, yakni kaum perempuan, anak-anak,
dan para gadis dijadikan “objek” paling menggiurkan perdagangan manusia tersebut.
Sebab terjadinya yaitu karena anak gadis dan perempuan kurang mendapat
penghargaan dalam budaya. Dalam situasi kritis, anak gadis dan perempuan yang
pertama dikorbankan. Misalnya, anak perempuan yang pertama akan diberhentikan
dari sekolah jika keluarga mengalami krisis ekonomi atau krisis pangan. Bahkan
tidak jarang keluarga atau orang tua menjual anak gadis mereka untuk bekerja demi
meringankan beban ekonomi keluarga.
6. Faktor Globalisasi
Dengan seiring perkembangan zaman, berbagai macam perubahan terjadi dalam
aspek kehidupan manusia dan demikian juga dengan bentuk-bentuk kejahatan yang
seakan tidak mau ketinggalan. Indonesia yang menjadi salah satu negara yang tidak
luput dari pengaruh keterbukaan dan kemajuan di berbagai aspek teknologi, politik,
ekonomi dan sebagainya. Kemudahan transportasi menyebabkan berkembangnya
turisme internasional. Dalam skala global, pelacuran dan turism seks merupakan
ekspansi dari jasa ini sehingga meningkatkan jasa pelayanan seks yang kemudian
berkembang menjadi bisnis yang menguntungkan melalui pariswisata seks dan
prostitusi.
Dengan demikian dari beberapa faktor di atas dapat dibagi dalam 2 faktor penyebab
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal secara umum terjadinya
perdagangan orang disebabkan kondisi dan kualitas (khususnya korban), yang
umumnya menjadi pendorong untuk tumbuh dan berkembangnya perdagangan
orang. Hal ini disebabkan karena faktor kemiskinan (permasalahan ekonomi),
kurangnya pendidikan dan informasi, dan faktor keluarga. Faktor eksternal adalah
faktor yang datang dari luar diri korban, yaitu kurangnya lapangan pekerjaan,
diskriminasi gender, dan pengaruh globalisasi. Keadaan dari beberapa faktor diatas
sering diterima oleh korban yang rentan dengan kondisi yang lemah (perempuan dan
anak-anak), walaupun dalam beberapa kasus ada juga yang menjadi korban adalah
laki-laki. Pada umumnya korban mengalami kerugian baik fisik, psikis, mental, dan
sosial, sehingga memerlukan bantuan dan perlindungan secara seimbang dan
manusiawi. Dari sisi korban (victim) faktor yang sering diderita korban TPPO
umumnya berupa penderitaan/kerugian materiil dan immaterial (fisik, psikis,
ekonomi, dan sosial), yaitu berupa:
1. Kerugian materil. Kerugian ini muncul karena kondisi korban yang berada pada
kondisi lemah dari segi ekonomi (kemiskinan), dan tingkat pendidikan yang rendah,
maka akan mudah para trafficker untuk melakukan penipuan, pemerasan, pemalsuan,
penjeratan utang, dan pemberangkatan sampai pemulangan ke kampung halamannya.
2. Kerugian immaterial. Kerugian ini lebih banyak dialami korban dari sisi
fisik/jasmani, psikis (kejiwaan), dan sosial. Korban umumnya sangat rentan dengan
kekerasan, karena berada pada kondisi yang lemah (perempuan dan anak), sehingga
korban sering mengalami perlakuan yang tidak manusiawi, baik dari para
pelaku/calo/sponsor (trafficker), perusahaan pengerah tenaga kerja, maupun majikan
di tempat kerja. Kerugian immaterial lebih banyak di derita korban, karena dapat
berakibat cacat tubuh (permanen) akibat penyiksaan yang tidak manusiawi
(gangguan kesehatan). Selain itu tidak sedikit korban yang mengalami kerugian
psikis seperti gangguan jiwa, karena kecewa atass perlakuan yang diterima di tempat
bekerja tidak sesuai dengan gambaran awal yang dijanjikan trafficker. Sedangkan
kerugian yang lebih berat diderita oleh korban adalah dari segi sosial, yaitu
pengucilan dari lingkungan asal karena korban pulang dengan kondisi yang tidak
seperti ketika berangkat (hamil akibat perkosaan di tempat kerja), inilah yang sering
dialami korban perdagangan orang yang tidak dibayangkan sebelumnya ketika
hendak berangkat.
C. Penerapan Sanksi Pidana dan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan dalam
Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang yang merupakan upaya pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum, baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap calon
korban dan/atau korban, juga berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban. Oleh karena itu untuk
melakukan pencegahan dan penegakan hukum yang tujuannya untuk melindungi HAM
dapat dilakukan dengan diawali dari mengidentifikasi penyebab terjadinya TPPO.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 297 KUHP, perbuatan
yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah
umur, sementara perkembangan yang dewasa ini terjadi korban perdagangan orang
tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak laki-laki di bawah umur saja, melainkan
sudah meluas, yang tidak terbatas pada jenis kelamin dan usia.

Disebutkan dalam Pasal 297 KUHP tidak menunjukkan adanya pengaturan secara rinci
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang, syarat mutlak terjadinya perdagangan orang
tidak diuraikan dengan jelas. Hal ini berarti Pasal 297 KUHP dapat dikatakan tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat, terutama pengenaan sanksi hukum bagi
pelaku yang hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun.
Pengenaan sanksi tersebut dianggap terlalu ringan dibandingkan akibat yang diderita
korban dan rasa keadilan masyarakat, sehinga perlu dilakukan pembaruan hukum
terhadap tindak pidana perdagangan orang. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual,
atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual.
Namun ketentuan dalam KUHP dan Pengaturan larangan untuk melakukan TPPO di
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,


pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

Dalam Pasal 2 Undang-Undang TPPO memuat pengenaan sanksi pidana yang tidak
hanya terbatas pada pengenaan sanksi pidana penjara (penal) saja, tetapi juga pengenaan
sanksi pidana denda (non penal). Dan di dalam Undang-Undang TPPO ini diterapkan
pengenaan pidana limitatif dengan ketentuan pidana penjara dan denda minimum dan
maksimum.

Pada Pasal 3 Undang-Undang TPPO yang berbunyi : “Setiap orang yang memasukkan
orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di
wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Pada Pasal 4 Undang-Undang TPPO menyatakan : “Setiap orang yang membawa warga
negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk
dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Dijelaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berlaku untuk setiap orang yang
memasukkan orang lain ke wilayah NKRI, dan membawa WNI ke luar Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun, kedua pasal ini berlaku bagi siapa saja tanpa membedakan
kewarganegaraannya. Bentuk perlindungan ini dapat dikatakan merupakan penjabaran
dari nilai-nilai luhur dan komitmen bangsa Indonesia untuk melindungi harkat dan
martabat manusia. Tidak selayaknya manusia untuk dieksploitasi dan diperdagangkan
dengan alasan apapun.

Demikian juga dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007,
berlaku untuk mereka yang melakukan pengangkatan anak (adopsi) dan mengirimkan
anak di dalam atau di luar negara Indonesia, dengan cara apa pun, diancam dengan
pidana penjara dan pidana denda sama dengan Pasal 3 dan Pasal 4.

Sedangkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 merupakan pemberatan bagi


pelaku dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, yang mengakibatkan korban
menderita luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular lainnya yang membahayakan
jiwanya, kehamilannya atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka
ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pokok dalam pasal-pasal
tersebut.

Pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ada diatur mengenai pemidanaan bagi
aparat penyelenggara negara, karena tidak sedikit modus dalam TPPO dilakukan oleh
penyelenggara negara. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 penyalahgunaan
kekuasaan/kewenangan oleh aparat penyelenggara negara diatur dalam Pasal 8, yang
berbunyi:

(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang


mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan
pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam
amar putusan pengadilan.

Pengenaan sanksi pidana terhadap penyelenggara negara merupakan pemberatan untuk


sanksi penjara dan sanksi administrasi yang berupa pemberhentian dengan tidak hormat,
hal ini sudah selayaknya dikenakan, mengingat penyelenggara negara seharusnya
melindungi setiap warganya bukan memperdagangkan atau mempermudah perdagangan
orang.

Didalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang Point (d) “bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi
tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional,
dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap
pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama”, serta penjelasan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang alinea 6 dan 7 “Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban
sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan dasar kepada korban dan saksi.

Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap
penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak
restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai
ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan
sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi
mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana
perdagangan orang”.

Dalam alinea 7 “Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang


merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga.
Upaya-upaya dalam pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain :

1. Pre-Emtif
Sebagai upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan
kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang
baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang.
Dalam hal ini untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, langkah awal
yang dapat dilakukan adalah dengan sosialisasi mengenai kejahatan perdagangan
orang yang merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia
terkhususnya hak perempuan dan anak karena dapat merugikan diri sendiri
maupun orang lain serta menanamkan nilai kemanusiaan kepada setiap
masyarakat agar dapat melindungi diri sendiri atau orang terdekatnya untuk
menjauhi perbuatan/kejahatan yang akan memberikan dampak buruk bagi
dirinya.
2. Preventif
Upaya ini merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-emtif yang masih dalam
tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang
ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk melakukan kejahatan.
Penggunaan upaya hukum sebagai ultimum remedium, dimaksudkan sebagai
salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk bidang kebijakan
penegakan hukum, sebagai upaya yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Upaya pencegahan merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana
dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, upaya ini seharusnya lebih diutamakan
daripada upaya yang bersifat represif.
3. Represif
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang
tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan
hukuman. Penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik
hukum yang secara keseluruhan merupakan politik kriminal atau social defence
planning, yang merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
Penanggulangan represif menurut pendapat Bambang Purnomo, yaitu tindakan
dari petugas hukum terhadap perbuatan seseorang yang dilakukan setelah
terjadinya pelanggaran hukum. Penanggulangan tindak pidana ini dimulai dari
tindakan pengusutan dan penyediaan barang bukti oleh polisi, tindakan
penuntutan oleh jaksa, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan oleh hakim mengutamakan analisa dari kejadian yang berakibat
melanggar dan aturan hukum yang bersangkutan untuk memperoleh putusan
hakim dan berakhir dengan pelaksanaan putusan. Dalam penanggulangan secara
represif cara-cara yang ditempuh bukan lagi pada tahap bagaimana mencegah
terjadinya suatu kejahatan tetapi bagaimana menanggulangi atau mencari solusi
atas kejahatan yang sudah terjadi. Tindak pidana perdagangan orang adalah
salah satu jenis dari tindakan/perbuatan yang dinamakan kejahatan, dan
kejahatan dalam istilah yuridis disebut tindak pidana. Menurut Saparinah Sadli
kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu
ada dalam masyarakat, dan dalam realita tidak ada masyarakat yang sepi dari
kejahatan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Faktor penyebab timbulnya perdagangan orang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor internal
yang umumnya menjadi pendorong untuk tumbuh dan berkembangnya perdagangan
orang seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan dan kurangnya informasi, faktor
keluarga; dan faktor eksternal yang disebabkan dari luar diri korban seperti kurangnya
lapangan pekerjaan, diskriminasi gender, globalisasi. Sedangkan tujuan perdagangan
orang antara lain untuk prostitusi, dipekerjakan sebagai buruh migran, ART, penjualan
anak, perkawinan kontrak, objek percobaan ilmu pengetahuan, alat bayar hutang.

Upaya-upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang melalui tindakan


pemberantasan tindak pidana perdagangan orang secara preemtif, preventif dan represif.
Dengan cara koordinasi aparat penegak hukum, peran serta masyarakat dan memperkuat
peranan di bidang legislasi yang berkaitan dengan perdagangan orang. Hambatan yang
ditemukan dalam menanggulangi perdagangan orang saat ini adalah masih banyak
anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan; minimnya kualitas
pendidikan; minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal; adanya pemahaman dalam
masyarakat untuk melegalkan perkawinan diusia dini; maraknya penjeratan utang dalam
perkerutan sampai pemulangan tenagakerja, sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana
perdagangan orang; kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO,
sehingga korban yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan kembali; masih
ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi; belum optimalnya
peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya penanggulangan TPPO;
kualitas SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum
mendukung; masih lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar
negeri, dalam upaya penangan pekerja migran di negara tujuan.

Saran
1. Perdagangan orang merupakan tindak pidana yang menduduki posisi 3 besar dalam
kejahatan yang mengancam masyarakat Indonesia selain narkoba dan korupsi. Tindakan
perdagangan orang cukup kompleks dengan beragam modus perbuatannya. Jaringan
kejahatan ini tersebar bukan hanya di beberapa daerah tetapi sampai ke luar negeri.
Perlu adanya upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan
dengan serius, jika memungkinkan perlu dibentuk lembaga khusus untuk memberantas
kejahatan terhadap hak asasi manusia ini, seperti halnya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) untuk memerangi korupsi di Indonesia.

2. Dalam melaksanakan upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, negara


berkewajiban untuk tetap melaksanakan tanggungjawabnya dengan tidak melanggar
atau bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai